Begitu Kinn berlalu dengan mobilnya, Porche langsung duduk tegak. Dia melawan para dokter yang mengerubuti hidungnya, lalu melepas perban yang ditaruh di sana.
"Tunggu, Tuan Porche! Jangan ...."
"Alah tidak apa-apa!" seru Porche. "Sumpah aku cuma sempat agak pusing!"
"Tapi, Tuan--"
"Kinn itu memang agak parno," kata Porche kesal. Dia menekan-nekan hidungnya dengan kapas, tetapi tidak memperbolehkan satu pun dokter ikut campur tangan. "Aku ini biasa berkelahi, walau jarang kena tonjok di muka, sih. Kalian tahu aku takkan membiarkan orang lain bikin luka di sini, kalau bukan karena lengah."
Dokter-dokter itu pun menghela napas panjang. Mereka sudah mendengar sedikit banyak tentang calon istri boss mereka itu. Porche adalah petarung. Wajar bila dia begitu.
"Kudengar yang melakukannya adalah teman Anda, ya."
"Hmm, karena itu aku juga kaget tadi," sahut Porche. Dia lega pendarahan di hidungnya sudah mampet, lalu membubuhi luka di sana dengan alkohol tipis-tipis. "Tapi sepertinya itu wajar. Aku sendiri lupa pernah meninju mukanya. Dan ... yeah, ini bukan apa-apa dibanding yang pernah kulakukan."
Salah satu dokter mengangsurkan pil untuk Porche. "Ini, Tuan Porche. Setidaknya minumlah untuk meredakan rasa sakitnya."
"Oke, terima kasih," kata Porche. "Sssh ... tapi memang benar agak ngilu. Anjir lah ... aku harus minta maaf dengan benar pada Jom kapan-kapan."
Dua dokter itu pun berpandangan. Mereka seolah saling bicara dari telepati, lalu Porche dibantu membersihkan sisa-sisa kapas yang berserakan di pahanya. "Ngomong-ngomong, soal perilaku Tuan Kinn, Anda jangan merasa terganggu, ya," katanya. "Beliau begitu pasti karena traumanya dulu."
Porche pun memandang dokter itu sekilas, sebelum mengangguk santai. "Hm, aku paham lah kalau soal itu," katanya. "Makanya tadi dia kuturuti. Biar bikin tenang saja. Padahal, ingin kupukul saja Kinn karena terlalu mengatur-atur."
Dua dokter itu pun mengulum senyum. Mereka pikir, mereka tahu alasan Kinn menyukai Porche.
"Ohh ...."
"Tapi kalian jangan ikut-ikutan!" tegas Porche. "Aku ini bukan perempuan, astaga! Stop memperlakukanku seperti bocah baru bisa jalan!"
"Maaf, Tuan Porche."
"Pokoknya kalian boleh berlebihan, tapi kalau di depan Kinn saja," kata Porche. "Kalau tidak, kusumpahi penismu lemas selamanya, mengerti?"
Dua dokter itu justru tertawa kecil.
"Ck, terserah!" kata Porche kesal. Lalu meraba-raba saku salah satu dari mereka. "Mana ponsel. Aku pinjam sebentar untuk menelpon."
"Eh? Tunggu--"
"Aku mau bicara dengan Big," kata Porche.
"Tapi, mau apa, Tuan?"
"Ck, diam. Ini bukan urusanmu."
Lalu meski tanpa izin, Porche lun menelpon Big yang sekarang menggunakan motor Ducati untuk mengikuti ambulans mereka dari belakang.
Big agak terkejut ditelpon di jalan. Dia pikir Porche akan menurut sampai ke rumah, tetapi sang calon nyonya Theerapanyakul justru meminta mereka berhenti.
Porche juga tak menunggu ambulans benar-benar diam. Dia melompat dari sana, lalu mengambil alih kemudi Ducati merah itu dari tangan sang bodyguard.
"Tuan Porche, jangan begini. Tolong. Ini sangat-sangat berbahaya," kata Big. Karena Porche menolak helm darinya, dengan alasan hidung masih pengar.
"Sudah, hei. Ikut saja, Big," kata Porche. "Aku tidak mau Kinn bertindak sendirian. Enak saja menyuruhku pulang dengan rasa penasaran. Aku peka ekspresinya tadi aneh waktu melihat dua orang asing tadi!"
Big pun diam, tapi dia memasukkan peluru lebih dalam pistol yang dibaw untuk berjaga-jaga. "Baiklah, Tuan. Tapi, jangan memaksakan diri. Anda tahu aku bisa diandalkan kapan saja."
"Hm," sahut Porche. Lalu melajukan motor itu lebih kencang.
Angin pun menerpa tubuh mereka berdua. Sangat kencang, sebagaimana Porche menaikkan spidometer tunggangannya. Dia merasa sejuk di kulit dada, juga wajahnya yang tampan.
Big sempat melirik wajah itu dari spion motor. Dia tampak memikirkan sesuatu, tetapi Porche tidak menyadarinya.
"Tuan Porche," panggil Big sekali lagi.
"Hm?" sahut Porche sembari membelokkan motornya. Dia mengikuti GPS mungil di sisi setang kiri yang menunjukkan dimana Kinn berada sekarang.
"Tapi kalau bisa, kapan pun itu, jangan buat tubuh Anda terluka lagi," kata Big pelan. Porche mengerutkan kening, tetapi dia hanya diam saja. "Karena aku salah satu yang senang melihat melihat Tuan Kinn sering tersenyum seperti dulu."
***
Sampai di "Maunju Bar's" kembali, Kinn tidak menghabiskan banyak waktu. Dia langsung permisi masuk ke dalam, dan diberikan lewat oleh beberapa bodyguard berwajah asing yang pastinya bawaan Mossimo.
Kinn mungkin tidak dikenal oleh bodyguard-bodyguard baru, tetapi yang senior langsung memberinya jalan.
"Thanks," kata Kinn. Lalu ditunjukkan lounge tempat Mossimo duduk-duduk memangku Laura, minum wine merah, sambil mengobrol santai dengan Jom.
Ah, Kinn masih menyimpan rasa kesal pada lelaki itu, tetapi menahan diri untuk duduk di sebelahnya.
"Oui, Kinn," kata Mossimo. Dia berhenti cuddling dengan Laura, lalu meletakkan gelas wine-nya untuk menghormati. "Kupikir tadi aku sudah salah lihat. Ternyata pria tinggi kekar ini memang dirimu. Ha ha ...."
"Ya, Ini aku."
"Hhh ... heh ...." kekeh Mossimo. Pria itu melirik wajah hingga kaki Kinn di bawah meja, kemudian bercelutuk. "Baguslah kau bertumbuh dengan baik. Dan, lebih bagus lagi sepertinya barangmu di bawah juga ikut besar."
Laura mengerling kepada Mossimo sebentar sebelum menuangkan wine untuk Kinn. "Well, aku jadi ingin minta maaf," katanya. "Sempat mengira lelaki manis tadi bawahanmu. Bahkan, calon model bawaanku ini sampai meninju mukanya. Tapi, ternyata dia itu istrimu."
Kinn melirik Jom sekilas, kemudian menerima gelas wine-nya. "Porche sudah kubawa ke tempat yang benar," katanya. "Tinggal kuselesaikan urusanku dengan calon model bawaanmu ini."
"Ha ha ... good," kata Laura. Lalu menunjuk wajah terluka Jom dengan ujung kelingkingnya. "Kau tahu, Kinn Sayang? Model berkelas itu tidak harus tampan, tapi tubuh dan wajahnya harus cocok dipakaikan berbagai fashion. Weird fashion, high fashion, androgini style, belum lagi tema fotografi yang bermacam-macam. Jadi, tolong wajar bila calon anak didikku ini marah pada Cintamu."
"Aku tahu, aku tahu," kata Kinn. Dia menoleh kepada Jom, kemudian melirik Mossimo sekilas. "Karena itu aku di sini. Mencoba menyelesaikan yang mungkin masih bisa ditolong."
"Oh, really?" kata Mossimo. "Istriku ini sedang dalam masa-masa semangatnya, Kinn. Dia pasti antusias kalau kau membantu calon model didikannya dari garis awal."
Kinn pun menawarkan uang ganti rugi atas perilaku Porche. Toh, dia sendiri tahu kegilaan Porche di arena malam itu karena ulahnya juga. Anggaplah ini bukan salah Porche. Kinn merasa harus membereskannya secepat mungkin sebelum itu mengganggu rencana pernikahan mereka.
Tentu saja, uang yang Kinn berikan untuk Jom tidaklah kecil. Selain biaya operasi muka, Kinn juga menjanjikan spongsor untuk Jom kedepannya setelah dia masuk di agensi modelling.
Janji yang sangat panjang, huh?
Kinn rasa usahanya sepadan. Meski setelah menyerahkan cek uang 4,7 miliyar baht itu, dia serasa melayang ke udara.
"Porche tidak boleh tahu soal ini," batin Kinn. Dia menenggak bir hingga habis, kemudian berpura-pura tersenyum kepada Mossimo seolah uang itu bukan apa-apa. "Baiklah, Kawan. Aku rasa sudah beres. Kalian senang-senanglah di sini. Maaf sempat mengganggu waktu berhargamu."
"Hm, I love the way we business with you, Kinn," kata Laura. Wanita itu membiarkan Kinn pergi setelah meninggalkan kecupan di pipi. (3)
(3) Aku suka cara kita berbisnis, Kinn.
Kinn risih, sebenarnya. Lebih-lebih yang melakukannya wanita. Tapi untuk ukuran orang asing, dia tahu itu hanya sapaan sesama kolega kerja.
Setelah pamit, Kinn keluar dengan mengusap wajahnya. Dia menghela napas panjang beberapa kali di depan bar, dan melebarkan mata karena wajah Porche ada tak jauh dari sana.
Oh, ada Big juga yang berjaga di sekitar tempat parkir. Sang bodyguard tampak waspada, dan mengedarkan pandangan setiap beberapa detik untuk mengontrol situasi.
"Bagaimana kabarmu, Kinn?" tanya Porche. Dia membuang puntung rokok yang dihisap, kemudian mendekati Kinn yang tampak sedikit resah. "Jangan bohong, oke? Barusan kau membakar uang untukku. Karena itu kutanya. Apa rasanya menyenangkan? Berpasangan mungkin bukanlah hal yang tepat untukmu."
Diam-diam, Kinn meneguk ludah. Tapi, dia tetap menyunggingkan senyum saat meraih wajah Porche. "Tidak, itu bukan apa-apa," katanya. "Dan senang melihat lukamu tak parah. Mungkin semingguan sudah sembuh? Akan kusuruh dokter rumah untuk membuatkan salep khusus nantinya."
Lidah Porche pun kelu. Dulu, dia pernah berpikir tidak mau menanggung beban tak kasat mata di bahu Kinn. Namun, sekarang Porche benar-benar sadar, berpasangan dengan lelaki itu, berarti dirinya pun termasuk beban terbesar yang dibawa Kinn.
"Ha ha ... yeah, kau tak perlu khawatir dengan lukaku," kata Porche. Kedua matanya memanas, tetapi tak ada air mata yang jatuh dari sana. "Daripada itu, kenapa kita tidak pulang sekarang? Aku benar-benar menciummu."
"Apa?"
Mungkin karena masih sedikit syok tentang peristiwa barusan, Kinn jadi sedikit susah berpikir.
Porche pun mengecup pipi Kinn, kemudian dan tersenyum tipis. "Kau tahu? Aku ingin melakukannya sepuasku."
Bersambung ...
Chapter depan 18+ lagi.
Btw, di sini apa udah kelihatan kalau Porche baru bener-bener peka? Tapi dia malah sedih tahu seberapa sayang Kinn sama dia.
Kayak apa sih ... "Nih orang bener gitu banget ama gw? Really? Kayak enggak nyata aja."