Saranku, dengerin lagu Niykee Heaton - Infinity (udah aku sematkan di video atas) kalau mau baca bab ini. Vibe-nya cocok banget untuk ewean yang kasar dikit, romantis, tapi intens. Walau ini belum ewean sih. Baru pemanasan ke adegan aja udah 1 bab. Dan karena agak panjang, eweannya aku bagi jadi 2 bab ya: 19+20.
.
.
.
Begitu sampai di rumah, Porche tidak menunggu waktu lama untuk menyeret Kinn masuk ke dalam. Tapi bahkan belum sampai di kamar, lelaki itu sudah mengunci pintu ruang tengah agar mereka hanya berdua.
Cklek!
"Cium aku, Kinn," kata Porche. Dengan mata yang berkaca-kaca, dia pun melompat seperti bajing. Untung Kinn sigap memeluknya meski masih agak bingung. Sambil mencium, kedua kaki Porche bertengger di pinggang sang mafia. Dia langsung melahap bibir Kinn seolah-olah makanan, menggerusnya hingga lecet, dan memasukkan lidahnya ke sana.
"Ashhh ..." desis Kinn. Kulit bibirnya pun langsung perih dalam sekejap, tetapi dia sanggup membalas Porche.
"Ughhmnh ... mnn ...."
BRAKH! PRAKH!
Porche mendorong Kinn kemana pun semaunya. Ke tembok, menyenggol vas keramik hingga pecah, menabrak nabrak punggung sofa, lalu membantingnya ke sana.
BRUGH!
"Tunggu, tunggu--kau bilang hidungmu sakit?!" protes Kinn. Dia mendorong Porche, lalu meraih sisi wajahnya. "Benar tidak apa-apa? Kenapa tidak diobati!"
"PLIS LAH! KAU MEMPERMASALAHKAN ITU SEKARANG?!" protes Porche balik. Daripada kecewa, dia lebih terlihat ketakutan. Mungkin takut makin membebani, mungkin juga takut tak mampu jadi kekasih yang sepadan. "Kau baru membayar Jom, Kinn! Kau baru menyuap orang-orang itu! Kau pikir mataku buta?!"
"Porche--"
"Aku akan melacur untukmu," sela Porche. Dengan bola mata yang semakin berkerlap, dia pun menelanjangi diri sendiri. Lalu membanting kausnya ke lantai.
Persetan dengan Kinn yang semakin cemas, Porche malah menuntun tangan sang kekasih agar meraih dadanya. "Kau dulu ingin menyewaku dengan 200 juta baht per minggu? Baik. Berapa miliyar baht yang tadi kau habiskan. Aku akan melakukannya untukmu."
"Apa?!"
"Aku akan membayarmu, Kinn. Aku tak ingin berhutang apapun," kata Porche. "Kau pikir aku ini tolol? Akan kupastikan kau dapat apapun yang kau inginkan ...."
Porche langsung meraup bibir Kinn kembali. Dia meremas rahang pria itu agar diam, juga menuntunnya untuk terus meraba-raba. Tubuhnya panas. Porche merasakan tekanan hebat di penisnya sendiri, meski kulitnya masih menggesek kain.
"Mmhh ... nhh ... ahh! "
Tersulut nafsu, Kinn pun menjambak rambut Porche hingga mendongak. Dia sebenarnya tidak ingin menyentuh, tapi Porche sulit sekali ditolak. Kinn akhirnya meladeni lidah nakal di mulutnya itu.
"Aakh! Sshh ...." Kinn tak mau kalah. Setiap Porche mengabsen gigi-giginya, Kinn makin menguatkan jambakannya.
Dia menjelajahi leher Porche yang telanjang. Gigi dan lidahnya mengular di sana, hingga nyaris tiap jengkal bertandakan merah-merah.
Sssaaakhhh! Brakh!
"Kau pikir perasaanku ini main-main?!" tanya Kinn. Matanya penuh kemelut emosi setelah membalik posisi mereka. "Aku mencintaimu, Porche! Ini bukan soal perhitungan!" Dia meninju sofa.
"Oh, begitu?" kata Porche. "Tapi aku melihat wajahmu, Kinn! Aku ini menyebabkan masalah untukmu. Jadi, bullshit dengan semua ini!"
Prakh!
Melihat cincin lamarannya dilempar, otot-otot di leher Kinn baru bermunculan hebat. "Kau ...."
"APA?!" kata Porche tak kalah marah. Di bahkan tak mau menoleh ke benda cantik yang menabrak guci antik itu.
Dengan urat-urat tangan yang gemetar, Kinn sebenarnya bisa saja menghajar Porche. Toh sang kekasih ada di bawahnya sekarang, tetapi dia malah mengeluarkan pistol dan memberikannya ke tangan Porche.
Crakh!
"Lakukan sesuatu, Porche," kata Kinn. Dia langsung menghadapkan moncong benda itu ke dadanya, tanpa peduli wajah sang kekasih jadi agak pucat. "Tembak aku di mana pun. Lebih baik begitu daripada kau meninggalkanku."
"Apa?!"
"Bukankah sejak awal itu yang kau pikirkan?" kata Kinn. Dia meraba sudut bibir Porche dengan tangan kiri yang masih bebas. Di sana, ada setitik darah lecet berkat gigitannya, dan itu menimbulkan ngilu di hatinya. "Aku sudah bilang kedatanganmu itu hebat, Porche. Kau berbeda, dan aku ingin kita menikah. Tapi, selalu ada yang kau permasalahkan."
Porche pun diam, tetapi panik saat melihat telunjuknya dipaksa berada di depan pelatuk.
Ah, sial! Kenapa dia lupa Kinn seorang mafia? Pria itu bahkan membawa pistol kapan saja, dan itu benar-benar memaksanya bingung.
"Soal bodyguard, soal wanita, dan sekarang adalah uang ...." kata Kinn. Pertautan mata mereka begitu dalam. Porche sampai takut untuk melihat perasaan sang kekasih lebih jauh, jadi dia pun membuang muka. "Kalau memang ada yang tidak kau suka dariku, bilang saja. Jangan membuat-buat perkara, seolah kau ingin pergi darimu setiap saat."
"Hei, kau tahu bukan begitu maksudku, Kinn--"
"LALU APA?!" Kinn mencengkeram lengan Porche yang memegang pistol. "Aku memang syok dengan kejadian tadi, tapi uang masih bisa dicari!"
Lidah Porche kelu seketika.
"Tapi, kalau temanmu itu terus menerus dendam, bagaimana jika dia melakukan sesuatu?" kata Kinn. "Bagaimana jika dia melukaimu, lalu suatu saat aku takkan bisa menyelesaikannya dengan uang saja."
"...."
"Kau ini orang terpenting untukku saat ini. Jadi, berhentilah menghitung-hitung!" tegas Kinn. "Tidak ada yang perlu dibayar, oke? Kau pikir aku menikahimu karena menginginkan seks saja? Benar-benar sangat tolol."
Porche pun membiarkan Kinn mengecup tangannya. Pria itu memejamkan mata kuat-kuat. Mungkin juga membayangkan cincin darinya masih di sana.
Kalau boleh jujur, Porche benar-benar benci dengan situasi ini, tetapi dia akui Kinn benar.
"Walau sebenarnya bukan temanmu yang kukhawatirkan," bisik Kinn pada akhirnya. Pria itu memindah kecupan di kening Porche, lalu turun ke arah tulang pipi sang kekasih. "Tapi Mossimo, dan istrinya. Kau mungkin tidak, tapi aku tahu seberapa berbahaya mereka."
Prakh!
Pistol pun jatuh dari tangan Porche. Lelaki itu menyambut ciuman lembut Kinn di bibir hangatnya, dan menikmatinya meski dengan perasaan campur aduk.
"Mereka juga sepertiku, Porche," kata Kinn saat mereka sudah berpandangan. "Gangster dan pebisnis besar dari Sisilia. Tapi bahkan meski hanya
kerja sama sekali, aku dan ayahku tak ingin mengulanginya."
"Kenapa?" tanya Porche. Dia pun merasa bersalah karena tidK benar-benar memahami sudut pandang pria ini.
"Hmph, banyak hal," kata Kinn dengan senyuman hambar. "Karena di luar bisnis, orang-orang seperti mereka selalu menginginkan lebih."
Meski tetap tidak paham, kali ini Porche memilih mengalah. Dia pun memeluk leher Kinn, mengesun tengkuknya sayang, lalu meminta maaf dalam bisikan. "Aku hanya benci merasa jadi pengganti," katanya.
"Apa? "
"Orang-orang di sekitarmu, Kinn. Mereka melihatku, menerimaku, tapi aku paham yang di ingatan mereka adalah Tawan," kata Porche. "Jadi, aku merasa percuma saja. Dia mati, tidak ada. Tapi aku masih di sebelahmu sebagai bayang-bayangnya."
Kali ini Kinn lah yang terdiam. "...."
"Aku tidak mau begitu, Kinn. Aku adalah Porche. Hanya Porche Pachara Kittisawasd," kata Porche tak kalah serius. "Hanya bartender, lelaki biasa, dan kau membawaku kemari. Bisa kau pahami juga posisiku? Sulit sekali untuk merasa percaya diri."
Tanpa pikir panjang, Kinn pun memeluk Porche erat.
Brugh!
"Di mataku kau itu bukanlah dia," kata Kinn. "Tidaklah itu sudah cukup, Porche?"
Bersambung ....