Lautan yang kita duga
adalah rahim matahari
ternyata juga adalah panggung terbuka
tempat pertunjukan tiada tara
bagaimana buih dan badai saling berdansa
diiringi musik yang diaransemen apik
oleh Juru Komposer paling epik
disaksikan oleh layar-layar perahu yang terkembang
membawa semua orang menuju pulang
Ratri Geni kembali termenung. Untuk apa para Ki Ageng Gunung berduyun-duyun datang ke Gunung Agung? Tidak mungkin jika hanya sekedar menonton sayembara yang diadakan Siluman Kembar. Pasti ada alasan yang jauh lebih penting dari sekedar urusan sayembara.
Urusan Ki Ageng Gunung tidak akan terlepas dari urusannya. Dia adalah Nyai Ageng Gunung Merbabu. Dia adalah bagian dari sekumpulan tokoh penjaga gunung-gunung berbahaya di Swarna Dwipa, Jawa Dwipa, dan Pulau Dewata. Ratri Geni mencoba menduga apa alasan dibalik kedatangan mereka ke Gunung Agung.
Gunung Agung sudah lama tidak mempunyai Penjaga Gunung. Bahkan kekuasaan atas gunung tertinggi di Pulau Dewata itu diambil alih oleh Siluman Kembar. Hal yang tentu saja membuat para penjaga gunung menjadi gelisah. Jika tidak dijaga oleh orang yang punya hati dan kemampuan, sewaktu-waktu Gunung Agung bisa murka. Dan itu sangat berbahaya bagi penduduk di sekitar gunung yang banyak sekali bermukim dan bertani.
Bisa jadi itulah alasan para Ki Ageng Gunung datang ke Gunung Agung. Mengusir Siluman Kembar agar tak lagi menghuni puncak Gunung Agung. Ratri Geni manggut-manggut sambil merasakan aliran darahnya mengencang. Siluman Kembar rupanya juga tahu apa rencana para Ki Ageng Gunung. Karena itulah mereka membuat sayembara untuk memancing kedatangan banyak orang. Hal itu akan menambah kekuatan mereka membendung upaya para Ki Ageng Gunung.
Siluman Kembar sadar tak mungkin menandingi para Ki Ageng Gunung jika semuanya hadir di Gunung Agung. Mereka sengaja membuat keramaian sehingga para penjaga gunung itu tidak bisa leluasa mengusir mereka dari Gunung Agung. Ratri Geni tersenyum puas dengan rangkaian dugaannya. Tapi bagaimana dengan Kitab Pusaka Langit Bumi yang saat ini masih berada di pusat kawah Merbabu? Bukankah Gunung Agung baru bisa memilih penjaganya hanya jika melalui kitab sakti itu?
Ratri Geni menggeleng-gelengkan kepala. Pengetahuannya belum sampai di sana. Biarlah nanti para sesepuh penjaga gunung yang membereskannya. Tugasnya hanya membantu Raden Soca merebut kembali Cupu Manik milik Ratu Gaib Laut Selatan sehingga pemuda itu terbebas dari janji yang mengikatnya.
Denting senjata beradu membangunkan lamunan Ratri Geni. Terlihat si kumis tebal tinggi besar mengayunkan pedang besarnya ke seorang pengemis berbaju tambal-tambalan yang mengangkat tongkat peraknya untuk menangkis. Dua orang itu saling melotot marah. Bersiap melanjutkan pertarungan di atas kapal yang melaju dengan kecepatan rendah melawan gelombang tinggi.
Terdengar kekeh ketawa yang diikuti dengan bayangan seseorang menyambar si kumis tebal dengan kecepatan tinggi. Si kumis tebal itu tidak menyadari apapun kecuali bahwa tiba-tiba saja pedang besarnya terlepas begitu saja, sedangkan tubuhnya terhuyung hebat ke belakang tanpa bisa dicegah lagi dan akhirnya tercebur di lautan yang sedang mengganas karena kayu penahan pinggiran kapal tidak mampu menopang berat tubuhnya.
Teriakan marah terdengar dari rombongan si kumis tebal yang langsung menghunus senjata masing-masing siap menyerbu si penyerang yang ternyata kakek tua bertubuh katai dengan perawakan yang mungil.
Kakek tua yang tak lain Siluman Ngarai Raung yang berwatak luar biasa pemarah hendak menerjang maju melihat banyak gerakan orang yang mengancamnya. Namun sebuah bayangan lain berkelebat mendahuluinya. Bayangan itu membagi-bagi pukulan terhadap rombongan si kumis tebal yang langsung bertumbangan dan satu demi satu terlempar ke laut karena bayangan itu tidak berhenti hanya menghajar namun juga melemparkan semua orang itu ke laut.
"Hmm. Siluman Lembah Neraka! Sejak kapan kau boleh keluar dari Gunung Wilis?! Apakah kau tidak takut Si Bungkuk Misteri bangkit dari kuburnya dan menghajar bokongmu?!" Siluman Ngarai Raung berteriak mengejek bayangan yang ternyata adalah Siluman Lembah Neraka.
Kedua siluman itu saling bertatapan dengan pandangan marah. Sudah bisa diduga tak lama lagi mereka akan baku hantam jika saja Chandra Abimana tidak datang mendekati gurunya dan membungkukkan tubuh dengan hormat.
"Mohon ampun Guru. Apakah tidak sebaiknya kita sambut kedatangan Paman Siluman Lembah Neraka dengan arak terbaik yang kita miliki? Bukankah lebih baik jika kita mengumpulkan kekuatan karena para Ki Ageng Penjaga Gunung sewaktu-waktu bisa kita jumpai di jalan atau di Gunung Agung?"
Siluman Ngarai Raung hanya mendengus marah. Kakek itu membalikkan tubuhnya dan meraih seguci arak yang memang selalu dibawa oleh anak buah Chandra Abimana. Kakek siluman dari Gunung Raung itu sangat menyukai arak mahal. Sambil menenggak arak itu dengan suara keras, Siluman Ngarai Raung melemparkan guci lain ke arah Siluman Lembah Neraka yang menerimanya dengan gembira dan menggelogoknya hingga tandas tak bersisa.
Siluman dari Gunung Wilis tertawa terbahak-bahak sembari menyambar guci lain dari tangan anak buah Chandra Abimana yang gemetar ketakutan saat mengangsurkannya. Kedua siluman tua itu rupanya bersepakat untuk berdamai dengan cara minum arak sepuasnya.
Ratri Geni terkesiap. Dua siluman berbahaya itu berada di atas kapal yang sama! gadis ini lalu membayangkan seandainya Siluman Puncak Pangrango juga berada di sini. Alangkah hebohnya perjalanan singkat menuju Pulau Dewata. Tapi gadis itu berusaha keras menahan diri. Tadi dia sudah hampir ikut campur saat Siluman Lembah Neraka dengan seenaknya melempar-lempar tubuh orang ke laut yang bergolak hebat. Namun niatnya diurungkan karena mendengar bisikan dari beberapa anak buah Chandra Abimana yang menyebut rombongan si kumis tebal adalah para perompak dari Meru Betiri.
Putri dari Pendekar Arya Dahana justru merapatkan tudung kepalanya agar tidak dikenali. Sungguh berbahaya jika dia harus bertarung di atas kapal yang terombang-ambing hebat dipermainkan gelombang laut. Sekarang saja perutnya sudah mual dan ingin muntah. Ratri Geni memutuskan turun ke palka bawah.
Tidak ada orang di bawah sini. Semua orang memang memilih untuk berada di atas palka karena bisa saja sewaktu-waktu kapal tenggelam dihantam badai yang makin menggila. Berada di dalam sama saja dengan bunuh diri karena pasti tidak punya kesempatan yang cukup untuk menyelamatkan diri jika kapal sampai tenggelam.
Meski hatinya ngeri, Ratri Geni merasa lega tidak ada orang di bawah. Gadis itu memutuskan untuk melakukan samadi. Selain bisa menenangkan hatinya yang jerih, dia juga bisa berlatih. Sudah lama dia tidak berlatih Empat Samadi. Samadi Bhutala, Agni dan Ranu sudah berhasil dikuasainya secara sempurna. Dia bisa mengubur dirinya dalam tanah tanpa kehabisan nafas karena Samadi Bhutala memberinya kekuatan untuk bisa bernafas dalam gua tergelap dan nyaris tidak berudara sama sekali.
Ratri Geni bisa tidak terbakar dalam api yang menyala hebat karena dia telah berhasil menyempurnakan Samadi Agni yang membuat hawa sakti di tubuhnya sanggup menolak panasnya api. Terakhir adalah saat dia berhasil menguasai dengan sempurna Samadi Ranu di laut selatan. Tubuhnya bisa mengambang di atas air saat melakukan samadi itu. Tubuhnya menjadi seringan daun kering yang tidak tenggelam dalam air.
Hanya Samadi Maruta yang belum bisa dikuasainya dengan sempurna. Entah kenapa, meski sudah berlatih sangat keras agar tubuhnya bisa mengambang di udara saat bersamadi, namun dia selalu gagal. Ratri Geni sebetulnya sangat penasaran. Di dalam Kitab Pusaka Langit Bumi disebutkan bahwa siapapun yang berhasil menyelesaikan ilmu Empat Samadi secara sempurna, maka niscaya dia akan memiliki hawa sakti sesempurna orang yang menelan Mustika Naga. Ratri Geni lalu teringat Ayahnya. Arya Dahana menelan Mustika Naga hingga dua! Air dan Api! Pantas saja Ayahnya itu memiliki hawa sakti yang seolah tak ada batasnya.
---******