Aku saat ini duduk di singgasana, tetapi hatiku sangat cemas.
Mengapa? Karena hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Ketiga kerajaan akan melancarkan serangannya.
Aku menunggu kabar hasil penyerangannya, apakah berhasil atau tidak.
Sementara itu, masalah dengan monster Duke Graham sudah menyelesaikannya.
Ya, itu sesuai dengan kekuatannya. Tidak hanya itu, dia mendapat sebuah kristal berwarna merah setelah berhasil memusnahkan monster tersebut. Dia memberikan kristal itu kepadaku. Aku memandang kristal di tanganku.
Nama: Devil Crystal
Deskripsi: Sebuah kristal yang mengandung pesona dan tekanan. Jika dibuat senjata, musuh akan ditekan oleh gravitasi. Jika dibuat aksesoris, memberikan pesona tambahan kepada pengguna. Bisa juga digunakan keduanya sekaligus.
Aku bingung tentang apa yang harus kulakukan dengan benda ini, jadi aku memutuskan untuk menyimpannya saja.
Selama satu setengah bulan terakhir, aku telah mengurus Kekaisaran.
Saat administrator menyampaikan semua masalah yang ada, aku memberikan dia kebijakan yang diterapkan dalam kehidupanku sebelumnya yang berguna dan memperbaikinya.
Kebijakan yang aku buat sangat berguna dan bermanfaat. Namun, aku memutuskan untuk tidak menciptakan senjata modern.
Entah mengapa, aku merasa jijik saat melihat novel-novel yang kubaca merusak peradaban zaman itu. Contohnya, novel tentang reinkarnasi ke zaman abad pertengahan.
Yang dimana MC-nya menggunakan pengetahuan zaman modern untuk membuat senjata, yang pada akhirnya merusak peradaban. Aku merasa nyaman merasakan zaman abad pertengahan. Mengapa harus merusaknya? Mengapa tidak menikmatinya saja?
Mungkin itu disebabkan rusaknya otak penulis. Saat aku mengutuk penulis novel MC tersebut, seorang pembawa pesan mungkin muncul di hadapanku dengan napas terengah-engah. Ya, mungkin dia kelelahan berlari.
"Yang Mulia," ucapnya sambil mengatur napasnya.
"Ada apa?" tanyaku sambil memandangnya.
"Ahli strategi militer berhasil memukul mundur ketiga kerajaan!" ucapnya dengan nada bersemangat.
"Oh," reaksiku seolah-olah itu adalah hal yang wajar.
Pembawa pesan itu kebingungan melihat reaksiku, mungkin?
"Kamu bisa kembali," ucapku.
Pembawa pesan itu kembali dengan muka penuh kebingungan.
Aku memandangnya lalu menghela nafas. Sebenarnya, hatiku sangat bahagia, tetapi sifat kesombonganku tidak mengijinkannya, jadi terjadi hal tersebut.
Aku sangat ingin berteriak kegirangan, tapi sifatku menahan itu. Namun, aku merasa lega karena akhirnya aku tidak jadi mati.
Sebelumnya.
"Tuan, apa yang harus kita rencanakan melawan ketiga kerajaan?" ucap seorang prajurit.
"Rencana? Tentu saja, kita akan memanfaatkan berbagai medan yang ada dan memasang jebakan untuk kedatangan mereka," senyum Levioras. Dengan itu, Levi memerintahkan para prajurit untuk membuat jebakan dan menelusuri berbagai medan yang bisa digunakan untuk penyergapan.
Setelah semuanya siap, para prajurit bersiap-siap menunggu kedatangan pasukan ketiga kerajaan. Saat hari penyerangan tiba, para prajurit Kekaisaran sudah siap melakukan penyergapan. Tentu saja, pasukan dari tiga kerajaan tidak mengetahui hal ini. Akibatnya, mereka kalah total, dan hampir setengah pasukan mereka dibantai.
"Lapor, tuan, setengah pasukan musuh musnah, dan mereka menarik pasukan mereka kembali," ucap komandan prajurit dengan nada kegembiraan.
"Bagus, mari kita menarik pasukan kita juga," ucap Levi.
Di suatu tempat di tenda musuh.
"Hahaha, aku tidak menyangka bahwa akan tiba saatnya kita menyerang Kekaisaran," ucap seorang jendral salah satu dari tiga kerajaan bernama Drian.
"Hmp, Kekaisaran sudah terlalu lama berkuasa. Sudah saatnya ketiga kerajaan menggantikannya," ucap sinis seorang jendral dari salah satu tiga kerajaan bernama Leipo.
"Mari kita rayakan keberhasilan kita menghancurkan Kekaisaran," ucap seorang jendral bernama Nafis.
Mereka saling memandang satu sama lain lalu mengangkat minuman anggur mereka dan bersulang.
"T-tuan, berita buruk," seorang prajurit memasuki tenda lalu berbicara dengan terengah-engah.
"Hey, apakah kamu tahu kamu sedang berbicara dengan siapa?" ucap Leipo dengan nada marah.
"T-tapi, tuan, ini berita penting," ucap prajurit.
"Berani sekali kau," Drian memandang prajurit itu dan mencabut pedangnya. Namun, Nafis menghentikannya.
"Berbicaralah, apa beritanya?" ucap Nafis memandang prajurit itu.
"I-itu pasukan kita disergap oleh pasukan Kekaisaran, dan setengahnya mati di sana," ucap prajurit itu dengan gemetar.
Mata kedua jendral itu terbelalak, seolah-olah tidak percaya.
"Ulangi ucapanmu tadi."
"Pasukan kita disergap, dan hampir setengahnya mati," ucap prajurit itu dengan nada ketakutan.
"Brengsek, apa ini? Kenapa mereka bisa menyergap pasukan kita?" ucap Leipo dengan nada marah dan tidak percaya.
"Apakah mereka mengetahui rencana kita? Sialan!"
Nafis memandang prajurit itu lalu menghadap ke dua jendral yang sedang marah lalu menghela nafas.
"Tarik mundur pasukan kita," ucap Nafis.
Jendral itu memandang Nafis.
"Apa maksudmu? Leipo memandang Nafis dengan mata merah. Jika kau ucapkan itu lagi, aku akan memenggalmu."
"Musuh mungkin mengetahui rencana kita. Jika kita menyerang mereka dengan gegabah, mungkin tidak hanya setengah pasukan kita yang musnah, tapi kita juga akan mati," Nafis menjelaskan dengan tenang.
Tentu saja, mereka berdua terus mengomelkan Nafis, dan Nafis menutup telinganya dan menyuruh prajurit itu melapor ke komandan dan menarik pasukan yang sedang menyerang.
'Bagaimana Kekaisaran mengetahui bahwa kami menargetkannya?' gumam Nafis. Dia memandang ke arah Kekaisaran dan menyipitkan matanya lalu menghela nafas.
"Mungkin ada sesuatu yang kami lewatkan," kata Nafis.
Saat ini, prajurit Kekaisaran sedang merayakan keberhasilan mereka memukul mundur pasukan ketiga kerajaan.
"Hahaha, berani-beraninya ketiga kerajaan menyerang Kekaisaran kita," ucap salah seorang prajurit.
"Muka mereka yang penuh ketakutan dan kebingungan sangat lucu," sahut seorang prajurit.
"Tidak hanya itu, mereka menyerang Kekaisaran kita seolah-olah kami tidak tahu, padahal kami sedang menunggu mereka," ucap seorang prajurit.
Levi memandang para prajurit yang berbicara satu sama lain, lalu menganggukkan kepalanya.
"Hmm, jika bukan karena Kaisar memberitahuku, mungkin hasilnya akan berbeda," gumam Levi lalu memandang ke arah ibukota, tempat istana Kekaisaran berada.
Sementara itu, para prajurit Kekaisaran merayakan keberhasilan mereka. Luke saat ini berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Cherie memandangnya dengan mata dingin yang menusuk.
"Apa yang kau lakukan di sini?" ucap Luke.
"Aku disuruh komandan penjaga istana untuk menjagamu," sahut Cherie.
"Aku tidak membutuhkannya," ucap Luke dengan nada sombong.
Ngomong-ngomong, di bawah pelatih para ksatria yang ada di istana, Cherie berkembang dan menjadi sangat kuat, mengalahkan semua ksatria yang ada di istana. Bahkan para penyihir di istana tidak bisa berkata-kata, karena bakatnya yang melebihi mereka. Aku pernah mendengar Penyihir Agung Kekaisaran mengeluh padaku.
"Yang Mulia, dimana kamu menemukan monster itu?" ucap Vizier, seorang penyihir agung, dengan nada mengeluh.
"Monster? Siapa yang kamu maksud?" tanyaku dengan penasaran.
"Orang yang kamu bawa kembali ke istana, Yang Mulia."
"Oh, dia. Ada apa dengannya?" tanyaku.
"Memangnya apa dengannya? Yang Mulia, apakah kamu tahu berapa lama aku belajar sihir? Dan butuh berapa tahun aku menguasainya? Aku hanya memberi dia sedikit pelajaran sihir, tapi dalam sekejap dia sudah menguasainya. Yang Mulia, tolong lakukan sesuatu! Aku dijuluki jenius kedua setelah Yang Mulia, tetapi saat bertemu dengannya, harga diriku terluka. Yang Mulia, tolonglah," keluhnya panjang lebar.
Aku memandangnya dengan kasihan lalu menghiraukannya.
Sekarang, dia berdiri di depanku, mengatakan bahwa dia ingin melindungiku. Tentu saja, aku menolaknya. Sifatku mengatakan bawha aku tidak membutuhkan perlindungan.
"Aku tidak membutuhkannya, silahkan kembali. Aku sudah sangat kuat," kataku dengan nada sombong.
"Hmp, kuat? Bagaimana kalau kita melakukan latihan tanding, Yang Mulia?" ucap Cherie dengan nada meremehkan.
Hah? Latihan tanding? Dengan monster sepertimu? Bagaimana mungkin aku mau?
"Baiklah, mari kita lakukan. Aku akan membuktikan padamu bahwa kamu hanyalah sampah," ucapku dengan nada merendahkan.
Ya, tentu saja tidak sesuai dengan hatiku inginkan.
Ketika dia mendengar kata 'sampah', entah mengapa, aku merasakan hawa dingin menusuk di belakang punggungku.
-----
Silahkan kritik dan beri saran serta berkomentar itu akan membantuku untuk menjadi lebih baik.