Bab 6. The Graduation (4)

Sudah berapa lama waktu berlalu, Queenta tidak menghitung sama sekali karena jam di dinding maupun di handphone miliknya membeku. Joshua yang pingsan tadi, sudah siuman, dan mau tidak mau harus ikut serta membantu Queenta.

Di antara pilihan make up atau mencari bagian atas tubuh Ressa, Joshua lebih memilih mencari saja karena dia trauma melihat sepasang kaki dan kepala Ressa yang hancur ada di ruangan yang sama dengan dirinya.

Yang tidak disangka-sangka adalah dalam waktu yang cukup dekat, Joshua kembali, dengan perwujudan teke-teke tanpa kepala mengejarnya.

Teke-teke alias hantu jepang tanpa bagian tubuh bawah itu, berlari menggunakan kedua tangan dengan sangat cepat sampai bisa melompat-lompat. Karena kasihan, Queenta akhirnya turun tangan dan menangkap teke-teke itu, lalu menyuruh Joshua ke ruang teater untuk mengambil bulu mata palsu dan jika ada make up juga, sementara dirinya berusaha menyatukan Ressa yang terpecah belah menjadi tiga bagian.

"Hmmmm...."

Setelah meletakkan handphone di meja dengan flashlight ke atas, ruangan BK, tepatnya di ruang Pak Marno, menjadi lebih terang setelah Queenta menutup semua tirai kaca yang menjadi pemisah antara ruang BK Pak Marno dengan guru BK lainnya.

Kepala Ressa kembali ke posisi semula dan sekarang 'menatap' Queenta, seperti menunggu apa yang akan Queenta lakukan. Queenta sendiri sekarang sedang kebingungan.

"Gimana cara nyambungnya ya?"

Dengan lem? Dijahit? Atau bagaimana? Queenta tidak pernah memikirkan bagaimana cara menyatukan tubuh manusia yang terpotong menjadi tiga bagian terlepas dari dirinya yang menikmati film horor.

Seakan memahami apa dilema Queenta, bagian atas tubuh Ressa yang tadi Queenta injak pakai pantofel sampai takut mau bergerak, sekarang sudah berani bergerak mendekati kepala miliknya yang ada di atas meja. Queenta menganga saat melihat kepala Ressa dipasang oleh Ressa sendiri, seakan tubuhnya hanyalah lego yang bisa dicopot dan dipasang kembali.

"Keren." Ucap Queenta sambil memberikan jempol tangan kanan.

Karena Ressa bisa melakukannya sendiri, Queenta membuka sabuk yang dia pakai untuk mengikat sepasang kaki Ressa dan membantu mengangkat bagian atas tubuh gadis itu. Tubuhnya sedikit berat, terlebih saat mengangkatnya, darah mengalir ke lantai dengan deras. Queenta harus bertahan dengan bau anyir yang sangat pekat dari apa yang dia pegang.

Akhirnya tubuh bagian atas bisa terpasang sempurna kembali dengan kakinya.

Setelah dipasang kembali, darah masih mengalir dari bagian yang terpisah-pisah, apalagi kepalanya masih hancur setengah dan soket matanya masih kosong.

Saat Queenta memikirkan bagaimana cara mendandani Ressa yang masih mengeluarkan banyak darah, Joshua masuk dan langsung otomatis mundur tiga langkah saat dia merinding hebat dari ambang pintu yang terbuka. Bau anyir yang pekat di lantai membuatnya berbalik dan mual-mual.

"Hei, hei. Jangan pingsan lagi."

Joshua yang melihat seragam Queenta penuh darah di bagian depan hanya bisa menahan dirinya untuk tidak muntah di situasi ini. Dia melempar tas berisi make up dan bahkan kebaya serta jarik yang dia temukan di ruang teater ke Queenta.

"Aku mau muntah."

"Ha?"

Queenta yang baru akan memuji Joshua yang sudah bertahan sendirian dan menemukan barang-barang yang dibutuhkan, terkejut saat melihat laki-laki itu lari terbirit-birit setelah mengatakan bahwa dia akan muntah.

"Dia.. beneran mau muntah?" Tanya nya pada orang yang berdiri di sebelahnya. Ressa menoleh ke Queenta dan menganggukkan kepalanya karena dia tidak bisa berbicara lancar dengan rahangnya yang hancur.

Setelah menemukan bahwa hampir semua hal yang dia butuhkan sudah lengkap, Queenta tersenyum dan melepaskan seragam atasnya yang penuh darah, sekarang dia hanya menggunakan tanktop hitam tanpa rasa malu karena tidak ada Joshua disini. Sementara Ressa hanya diam dan duduk saat disuruh duduk.

Sebenarnya dia mau berkomentar namun Ressa tahu yang bisa keluar dari mulutnya hanya 'aaghh' dan 'uaghh'.

"Aku tidak nyaman basah-basahan."

Queenta mengatakan alasannya secara singkat sebelum meraih handuk wajah dan menyeka bagian dahi Ressa. "Aku tidak yakin apakah aku bisa membuatmu secantik dulu."

Tidak seperti bagian tubuh lain yang ada di sekolah, Ressa kehilangan rahang sampai ke atas pipi kirinya. Kecuali itu jalan atau tembok yang bisa ditutup aspal atau semen, Queenta tidak tahu bagaimana menutupi bagian rahang itu. Lagipula dia tidak bisa lama-lama saat mengingat kondisi Joshua yang sama sekali tidak bisa diandalkan untuk situasi ini.

"Aku minta maaf, tapi aku akan berusaha sebisaku."

"Aughhh."

"Apa kamu tidak apa-apa?"

Ressa menganggukkan kepalanya. Dia sadar akan kondisinya yang.. tidak bisa dirubah sama sekali. Dia bisa menemukan dan menyatukan bagian tubuhnya yang tersebar di sekolah dengan mudah, bahkan tanpa bantuan Queenta dan Joshua. Hanya saja saat dia menyatu kembali dan memiliki wujud manusia, wajah cantiknya tidak bisa kembali ke sedia kala.

Wajahnya adalah apa yang selama ini Ressa bisa andalkan di hidupnya. Dengan dirinya yang tidak berbakat di bidang apa-apa baik akademik maupun non-akademik, satu-satunya yang membuat orang tuanya tidak membuang dan masih mau mencukupinya adalah karena tubuh dan wajahnya.

Terlalu bergantung dengan rupa, membuatnya merasa sangat putus asa saat dia menjadi roh gentayangan di sekolah ini dengan wujud yang.. tidak enak dilihat.

Queenta masih khawatir apakah dia bisa mendandani Ressa menjadi wisudawati yang cantik, seperti keinginan terakhirnya. Memakai bulu mata dengan make up yang flawless. Apa dia bisa mewujudkannya? Dia tiba-tiba tidak yakin bisa memenuhi keinginan kakak kelasnya yang sudah meninggal tiga tahun yang lalu ini.

"Aughh."

Ressa memegang tangan Queenta yang berhenti di udara dan masih memegang foundation.

"..."

Benar, ini bukan waktunya untuk pesimis. Queenta tersenyum dan meletakkan foundation dan alat-alat make up lainnya ke atas meja Pak Marno sebelum mengambil sepasang bola mata dari dalam topi OSIS miliknya.

Queenta melihat Ressa dan menarik napas. Dengan perlahan, Queenta mengambil satu bola mata yang terasa kenyal di tangannya, seakan dengan satu genggaman telapak tangannya, bola mata itu bisa meledak.

"Tidak, kata-kataku salah."

Queenta menyentuh kelopak di soket mata yang masuk ke dalam karena tidak ada yang bisa mengganjalnya. Dengan hati-hati Queenta memasukkan bola mata itu. Bahkan jika dia bukan anak biologi, Queenta tahu bahwa bola mata manusia lebih besar dari bagian kelopak sehingga dia harus memegang kelopak atas dan bawah dan mendorong mata perlahan-lahan dari celahnya.

"Seharusnya aku tidak mengatakan bahwa aku akan mencoba membuatmu secantik dulu."

Bola mata kiri berhasil masuk setelah upaya keras Queenta mengontrol kekuatannya dan fokus agar tidak merusak kelopak mata Ressa. Sekarang ganti yang kanan.

"Tapi mencoba membuat kecantikanmu tidak pudar bahkan dengan wujud barumu."

Queenta senang saat dia berhasil memasukkan kedua bola mata masuk ke soketnya. Ressa memutar bola matanya yang tidak terikat syaraf apapun, jadi dia bisa menggerakkannya sesuka hati. Sepasang pupil dan retina hitam pun terlihat dan sekarang mengarah pada Queenta. Bahkan dengan wajahnya yang setengah hancur, tubuhnya yang mengeluarkan banyak darah anyir, mata Ressa masih tampak bersinar.

Seperti.. masih ada gairah kehidupan terlepas dari fakta bahwa dia sudah meninggal tiga tahun yang lalu.

Tanpa bulu mata, tanpa make up, saat orang terfokus pada mata Ressa, mereka sudah bisa mengatakan bahwa Ressa cantik.

Queenta menepuk kepala kakak kelasnya dengan lembut dan tersenyum dengan tulus, mengulangi apa yang pernah Pak Marno katakan kepada Ressa di ruangan yang sama.

"Juga, kamu udah cantik kok, Kak Ressa. Ga usah pakai bulu mata palsu, mata kamu itu udah cantik."