"Oh astaga, aku minta maaf."
Joshua yang merasa bersalah segera mengambil handphone yang dia lempar ke Ressa di lantai, lalu mengambil langkah mundur karena dia masih takut. Dia tidak sengaja tadi karena dia terkejut melihat Ressa di dalam toilet pintu terakhir.
Ressa tidak memberikan reaksi dan tetap menundukkan kepalanya.
"Apa kamu tidak apa-apa?"
Sebenarnya dia tidak tahu harus bagaimana. Tidak mau mendiskriminasi, dia memberanikan diri dengan melangkah lebih dekat tapi melihat ke arah lain sambil tangannya terulur dan memegang bahu Ressa.
"Anu, Kak Ressa. Acaranya mau mulai." Mereka tidak banyak waktu karena tamu-tamu sudah dipanggil, walau Joshua sendiri tidak tahu apakah Ressa mau menemui orang-orang itu. Setelah semua yang dia dengar dan lihat dari sudut pandang Queenta dengan bantuan Sistem, dia tidak mau Ressa hadir.
Menemui teman-teman fake seperti itu tidak ada akan ada rasa bahagia bahkan di acara sepeting dan mengharukan wisuda. Namun Joshua tidak bisa begitu saja meninggalkan misinya, nyawanya dan Queenta dipertaruhkan disini. Awalnya Joshua kira mereka hanya perlu mewisudakan Ressa saja, tidak akan ada masalah yang terjadi. Tapi Sistem sendiri mengatakan bahwa kepuasaan Ressa berpengaruh juga.
Siapa yang menyangka hal ini akan terjadi?
Ressa mendongak, melihat ke adik kelas laki-laki yang sangat tampan tapi takut dengannya sekilas sebelum menundukkan kepalanya lagi.
Joshua yang tidak merasakan Ressa merespon sama sekali, memberanikan diri melihat ke arah orang yang memakai kebaya wisuda dan terkejut bukan main saat dia tidak lagi melihat wajah Ressa yang hancur setengah, melainkan wajah utuh yang memperlihatkan kecantikan lokal dengan make up yang flawless dan tidak menor.
Bulu mata lentiknya menonjolkan sepasang mata yang tampak sedikit sayu, memancarkan aura murni dan kepolosan. Bibir tipis yang diombre oleh Queenta dengan sempurna membuat Joshua tidak bisa berkata-kata. Tidak secantik Queenta, namun kecantikan lokal ini sukses membuat Joshua terpana.
Apakah ini kecantikan yang kakek buyutnya lihat saat baru pertama kali menginjakkan kaki di nusantara sampai akhirnya menetap di Indonesia selama bertahun-tahun sampai akhir hayatnya?
"Kak Ressa..?"
Joshua masih tidak mempercayai apa yang dia lihat. Dia mengucek matanya dan melihat Ressa lagi, sebelum akhirnya menerima kenyataan bahwa dia tidak berhalusinasi. Perempuan itu tampak seperti manusia kembali. Tidak ada darah atau luka terlihat dari tubuhnya. Saat ini dia tampak seperti seorang manusia yang masih hidup dan bernapas.
"...?" Tampaknya Ressa menyadari ada sesuatu yang salah saat melihat Joshua yang sejak awal takut kepadanya bisa melihatnya dengan tatapan shock dan kagum.
Dia segera memegang bagian yang paling Joshua takuti dari dirinya--wajahnya. Betapa terkejutnya dia saat merasakan kulit halus dan kenyal dan bukannya darah anyir yang jatuh dari rahangnya yang rusak di hari kematiannya. Ressa segera memegang bagian lain tubuhnya dan menemukan bahwa semua bagian tubuhnya tersambung dengan sempurna seakan tidak pernah terpisah.
"Apa yang terjadi.."
Joshua segera mundur, memberikan Ressa ruang saat perempuan itu berdiri dari toilet duduk.
Rok kebaya yang didapatkan oleh Joshua dari ruang teater memiliki gaya span dengan bagian belakang memanjang daripada yang depan. Dengan heels setinggi 3 cm dia berputar dan menikmati tubuhnya yang bisa digerakkan sedemikian rupa, dengan wajah yang bahagia terpantul di cermin, Ressa tertawa bahagia.
Dengan posisi mereka masih di kamar mandi, tidak membuat situasi ini terlihat aneh. Justru Joshua tersenyum, ikut senang saat melihat Ressa bahagia dengan wujudnya. Jika saja bukan karena dia tadi melihat kebawah, dia pasti sudah mengira bahwa Ressa hidup kembali. Yup, benar, Ressa tidak punya bayangan sama sekali. Bahkan saat tubuhnya terpecah belah menjadi beberapa bagian, dia tetap mempunyai bayangan.
Artinya saat ini dia benar-benar berubah menjadi hantu.
Hantu yang sangat cantik.
"Kak Ressa."
Saat dia dipanggil oleh Joshua, dia menoleh ke belakang dan memberikan respon yang ceria. "Iya, Joshua?"
Joshua memperlihatkan senyuman canggung. Dia tidak mau merusak momen bahagia Ressa, tapi mereka sudah terlalu lama disini. Acara harus segera dimulai, masalahnya adalah, apakah orang yang diwisuda ini akan senang dengan audience seperti mereka (mengacu pada Thoriq, Erna, Yunita dan Pak Marno)?
Sistem memperingatkannya bahwa waktu orang-orang yang tidak terikat dengan skenario terus berjalan, dan jika terlalu lama maka akan menyebabkan efek samping yang Sistem sendiri tidak tahu.
"Kamu bereaksi saat nama Erna dan Pak Marno disebut."
Saat Joshua memutuskan bahwa dia harus mempertanyakan ini kepada orangnya langsung, Ressa menegang dan senyuman di wajahnya hilang hanya dalam kedipan mata. Saat dia diam, dengan mata melotot dan tangan terkepal seperti itu, dia terlihat seperti memendam sesuatu yang besar kepada dua orang itu.
Melihat bagaimana reaksinya, Joshua mempertimbangkan apakah dia harus lanjut atau tidak. Sebelum dia bisa memutuskan, Ressa sudah terlebih dulu bereaksi. Seakan tidak terjadi apa-apa, dia tersenyum dan mendekati Joshua.
"??"
Ressa menarik kerahnya dan mengelus kepala yang tertunduk.
"Kamu sudah tahu segalanya, huh?"
Perempuan itu tidak mempertanyakan darimana Joshua tahu, malahan, Ressa tampak lega saat Joshua mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di circle pertemanan nya. Dia lega sekali akhirnya ada yang tahu, dan karena Joshua tahu, sudah pasti Queenta sudah tahu juga. Saat Ressa memikirkan itu, dia tersenyum lembut.
"Aku tidak apa-apa."
Mereka tidak bisa menyakiti dirinya lagi.
"Tidak ada yang akan berubah jika aku tidak menemui mereka untuk terakhir kali, apalagi kamu sudah berusaha keras untuk menyiapkan upacara wisudaku."
Senyumannya memberikan kehangatan di hati Joshua. Joshua juga menyadari bahwa kata-kata Ressa mengandung artian lain, yaitu 'tidak ada yang akan berubah, aku sudah mati, jadi setidaknya aku harus menemui mereka untuk terakhir kali sebelum arwahku menghilang'.
Ressa menepuk kedua bahu Joshua dengan, "Terima kasih untuk segalanya, Joshua.", lalu pergi keluar dari kamar mandi begitu saja, meninggalkan Joshua di belakang.
"..."
Dengan langkah berat, dia mengikuti Ressa ke aula, tempat dimana yang sudah berkumpul.
"....."
Hanya ada keheningan yang tidak nyaman saat semuanya duduk diam di kursi masing-masing, menonton seorang wanita cantik memasuki aula. Auranya memancarkan kecantikan yang anggun dan polos, terlebih dengan make up dan bulu matanya, saat dia tersenyum tidak ada yang bisa memalingkan wajah mereka karena terpana.
Sayangnya dengan apa yang terjadi sebelumnya, bukan karena terpana, mereka diam menatap Ressa dengan pandangan aneh. Hanya Tiara, lagi-lagi hanya dia yang memalingkan wajah.
Bukan karena dia tidak suka melihat Ressa seperti Yunita, bukan karena dia merasa bahwa dia tidak bersalah seperti Erna, apalagi seperti kedua laki-laki yang selama ini Tiara percayai menjadi yang paling terluka saat kehilangan Ressa untuk selama-lamanya.
Thoriq yang menyukai Ressa, dan Pak Marno yang Ressa sukai, faktanya, kedua laki-laki itu sangat busuk.
Tiara tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya antara Pak Marno dengan Ressa, tapi menurut pengamatannya dan feelingnya, itu sesuatu yang sangat besar. Seperti.. bisa menyebabkan kematian. Terlebih mengingat bagaimana Ressa mati...
Tiara merasa malu pada dirinya yang tidak mengetahui apa yang dialami Ressa selama ini sampai orang itu meninggal. Bahkan dia harus tahu kebenaran-kebenaran pahit ini tiga tahun kemudian.
"...."
Queenta yang melihat sosok Ressa yang tidak berdarah mengangkat tangan seakan dia sedang menyapa teman lama. "Yo, kalian sampai juga."
Ressa tersenyum sementara Joshua hanya menganggukkan kepalanya pada Queenta. Dia segera mengarahkan pandangannya kepada jajaran orang yang ada di tengah aula. Satu-satunya yang mengenal siapa dirinya adalah Pak Marno, jadi yang cuma membalas tatapannya adalah Pak Marno. Namun Joshua dengan berani memberikan guru BK nya itu sebuah jari tengah sebelum mendekati Queenta.
Ressa berdiri di sebelah kanan Queenta, sementara Joshua berdiri disebelah kiri Queenta.
"?"
Baru setelah dia berdiri di sebelah perempuan berambut abu-abu itu, Joshua mendapatkan perasaan buruk.
"Apa yang kamu rencanakan..?"
Insting yang dia kembakan sebagai musuh dan rival Queenta selama bersekolah disini mengatakan bahwa gadis itu sedang merencanakan sesuatu yang besar. Saat mendengar pertanyaan dari Joshua, Queenta hanya melirik sekilas dan mengacuhkannya. Tapi dia memberikan sesuatu kepada Joshua sebelum bergerak ke belakang, ke tempat sesi pemotretan.
"Ini.."
[Pembukaan.
Pidato perwakilan.
Sesi wisuda.
Penutup.]
"Kemana sesi pemotretan nya?" Tanya Joshua namun Queenta sudah berada di belakang sehingga dia tidak mendengar pertanyaan itu. Joshua memegang kertas itu dengan pandangan bingung. Mungkin sesi pemotretan termasuk ke dalam penutup?
Sebentar, memangnya bakal ada sesi pemotretan dengan kondisi seperti ini?
Joshua meragukan semua orang akan setuju untuk berbaris dan tersenyum ke kamera seperti tidak ada sesuatu yang salah. Membayangkannya saja membuatnya merasa kesal. Dia mengambil mikrofon setelah melihat Ressa duduk di sebelahnya dan Queenta menganggukan kepalanya.
"Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua."
Akhirnya acara wisuda ini dimulai.