Saat Joshua menyampaikan pembukaan serta rangkaian acara, semuanya mendengarkan dengan seksama. Dengan semua mata memandangnya, Joshua yang tidak yakin apakah ini akan berjalan lancar, membawakan pembukaan acara perpisahan ini dengan sempurna.
"Yang terhormat, para tamu undangan yang sudah bersedia hadir pada acara hari ini, yaitu, Pelepasan Kelas XII SMK Rangka Raya Tahun ajaran 2020/2021."
Joshua sangat ogah-ogahan saat menyapa para tamu undangan, bahkan dia sengaja melihat ke arah lain padahal sebagai MC atau Master or Ceremony yang baik, dia harus menjaga kontak mata dengan para audience. Siapa peduli? Toh, mereka tidak pantas dihormati, kecuali Tiara sih.
"Yang terhormat, wisudawati pada hari ini." Saat dia menoleh ke Ressa yang duduk tidak jauh dari posisinya, Joshua melihat bahwa Ressa tersenyum lebar padanya sambil melambai sedikit.
Sekali lagi Joshua diingatkan dengan fakta bahwa Ressa, gadis sebaik dan semanis itu sudah meninggal dunia. Sayang sekali, dengan wajah itu dia bisa menjadi model. Joshua menyayangkan itu sebelum melanjutkan tugasnya sebagai pembawa acara.
"Para penonton yang terhormat, para tamu undangan, biarkan saya bacakan apa saja kegiatan yang akan kita lewati bersama dalam acara ini. Pertama adalah pembukaan, kedua adalah pidato perwakilan, ketiga adalah sesi pemasangan samir dan toga, dan yang terakhir adalah penutup."
Joshua hanya membaca apa yang ada di dalam teks yang sudah disiapkan oleh Queenta, jadi dia tidak tahu bahwa akan ada sesi pidato perwakilan.
Tampaknya tidak ada yang menyangkanya kecuali yang menulisnya sendiri karena ekspresi semua orang, bahkan Yunita yang tidak tertarik, mengangkat satu alisnya saat mengetahui bahwa akan ada pidato perwakilan.
All eyes on me. Itulah yang Joshua rasakan, seharusnya itu normal karena dia adalah pembawa acara. Tapi tatapan itu penuh keterkejutan dan ketidakyakinan. Siapa yang akan nyaman ditatap seperti itu? Joshua ingin sekali keluar dari perannya dan mengatakan : Hei jangan lihat aku seperti itu! Aku juga tidak tahu!
Akhirnya tibalah ke sesi yang ditunggu-tunggu, sesi pidato perwakilan, datang.
Siapa perwakilannya?
Para penonton mengira Joshua yang akan menjadi perwakilan juga. Tiara menyadari bahwa saat ini Joshua sedang melihat Queenta, dengan perlahan dia menengok ke belakang, gadis itu mengangkat kedua bahunya sambil... tersenyum?
???
Thoriq yang juga menyadari bahwa Joshua menatap arah belakang, menoleh dan mendapatkan jari tengah dari Queenta. Dia menggertakkan giginya lalu membuang muka, kontak mata dengan Tiara yang jijik padanya. "...."
Nasi sudah menjadi bubur. Thoriq menyukai Tiara sebagai temannya, namun dia masih ada kesadaran diri bahwa Tiara membencinya karena apa yang dia lakukan di masa lalu.
Rahasia yang dia kira bisa dia bawa sampai mati sudah terbongkar, bahkan jika dia mengatakan bahwa dia menyesal sudah melakukan itu, Tiara tidak akan mempercayai apa yang dia katakan atau melihat dirinya seperti sebelumnya. Memikirkan hal itu membuat hatinya sedikit sesak dan dia dengan baik hati menjauh dari tempat duduk Tiara.
Seakan satu keburukan menghancurkan segala kebaikan, Tiara memasang ekspresi benci yang sangat kentara di wajahnya seakan memperlihatkan bahwa mau Thoriq mendekat atau menjauhkan tempat duduknya, Tiara tetap membenci laki-laki yang pernah dia sukai saat kelas 10 dulu.
Interaksi mereka tidak lolos dari mata tajam Queenta. Sejujurnya dia tidak peduli dengan mereka karena pada dasarnya dia tidak kenal semua orang disini kecuali Pak Marno, Joshua dan Ressa.
Ditambah dengan informasi-informasi mencengangkan yang sebelumnya dia dapatkan, Queenta makin tidak peduli apakah mereka akan mati atau tidak jika berada terlalu lama disini.
Sementara itu Pak Marno tetap dengan santai melihat ke arah panggung, membaca tulisan banner yang dia simpan selama ini. Nostalgia sekali. Dia memutar kepalanya dan membuat kontak mata dengan mantan muridnya yang paling cantik. Ressa tampak sangat cantik dengan balutan kebaya, menonjolkan fisiknya yang di atas rata-rata.
Saat Ressa melihat bahwa Pak Marno memperhatikan bagian itu, dia tersenyum manis, senyuman yang sejak dulu dia keluarkan hanya untuk Pak Marno.
Erna yang melihat senyuman Ressa dan Pak Marno mendecakkan lidahnya dan memutar matanya ke samping dengan sinis. Jalang. Batinnya di dalam hati. Sementara Yunita hanya diam dengan tangan menyilang di bawah dadanya. Dia tidak memiliki ekspresi apapun saat ini, seakan dia sedang melihat suatu pertunjukan yang sangat tidak dirinya minati.
Queenta menghela napas dan maju kembali ke depan, mengambil mikrofon lainnya di meja Joshua lalu memulai pidato sebagai perwakilan adik kelas untuk wisuda Ressa.
Saat Queenta membuka mulutnya, tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Bukan hanya dia, semua orang mengalaminya sampai membuat keributan.
"Apa itu??" Erna memegangi bagian belakang kepalanya dan menoleh ke arah lain. Teman-temannya yang lain juga merasakan hal yang sama, membuatnya merasa lebih baik. Mungkin karena dia yang paling tua, sakit kepala yang Pak Marno alami lebih parah dari murid-muridnya.
Kepalanya terasa seperti secara perlahan dari belakang dibelah, membuatnya mengerang kesakitan dengan keringat dingin terus mengucur dari keningnya.
Joshua hampir kehilangan keseimbangan karena sakit kepala yang berlebihan. Dia harus memegang bagian meja untuk menjaga dirinya tidak jatuh dari kursi.
Apa yang terjadi saat ini?
"Dasar bodoh."
Suara nyaring dari mikrofon lain terdengar dan orang-orang yang merasakan sakit, kembali mengerang kesakitan karena volume mikrofon yang memekakkan telinga siapapun pendengarnya. Di kekacauan ini, hanya Ressa yang tidak terpengaruh. Dia tetap duduk manis di kursinya sambil mempertahankan senyuman manis di wajahnya.
Dia tampak senang saat melihat teman-temannya kesakitan.
Queenta adalah orang kedua yang tidak terlalu terpengaruh karena dia punya pain resistance yang cukup kuat sehingga dia masih bisa berdiri tegak di depan semua orang bahkan bisa mengatai orang-orang ini.
Queenta yang melihat Joshua kesakitan melihatnya sekilas sebelum berbisik kepada Sistem yang sejak tadi sibuk dengan bagiannya. Karena itulah sejak tadi dia tidak pernah berbicara kembali bahkan setelah Joshua kembali dengan Ressa. Kesepakatan keduanya sebelumnya merupakan penyebab insiden ini.
Resiko yang tinggi, namun merupakan hukuman yang setimpal. Percayalah, Queenta sangat menikmati hal ini.
"Namaku Queenta. Singkat saja, aku disini menjadi perwakilan untuk wisudawati bernama Ressa Desyca yang dikenal semua orang disini."
Sistem menurunkan rasa sakit yang akan dialami para penonton menjadi 10%. Akhirnya satu persatu, orang-orang bisa mengangkat kepala mereka lagi dengan sakit kepala kecil.
Queenta menoleh ke sebelah dan Ressa tersenyum lalu mengangguk, dia tahu apa yang harus dia lakukan saat ini setelah melihat tatapan mata Queenta yang mengisyaratkan 'Lakukan sekarang atau tidak sama sekali'. Menenangkan dirinya untuk terakhir kali, Ressa bangkit dari kursinya lalu berjalan ke Queenta.
"Perubahan rencana. Pidato perwakilan akan disampaikan langsung oleh sang wisudawati pada hari ini, Ressa Desyca! Ressa Desyca, time is yours."
Mengambil mikrofon dari Queenta, Ressa berdiri di depan dengan tatapan teguh dan tak goyah. "Tes, tes, tes." Dia mengetes mikrofonnya. Saat mendengar suara yang sudah tidak mereka dengan selam atiga tahun, membuat kelima penonton terkejut dan menatap Ressa dengan nostalgia.
Mau mereka baik, mau mereka buruk, mereka semua tidak bisa tidak mengingat semua hal tentang Ressa yang mereka ketahui masing-masing. Bahkan yang iri sekali dan bermuka dua seperti Erna, tidak bisa tidak teringat beberapa momen yang dia habiskan hanya dengan Ressa seorang tanpa ada yang lain.
"...."
Saat melihat orang yang sudah mati itu tersenyum dengan begitu mudahnya, membuat mereka tidak nyaman. Hanya Pak Marno yang masih sangat kesakitan saat ini karena dia merupakan pendosa terbesar di ruangan ini sebelum dilanjut oleh Erna dan Thoriq.
Queenta mendekati Joshua dan mendekap kepalanya ke dada dengan erat.
"???"
Joshua kira Queenta akan meminta kursi yang dirinya duduki karena ada perubahan rencana, namun dia tidak menyangka gerakan selanjutnya dengan perempuan itu membuka tangannya dan menarik kepala Joshua untuk bersandar ke dua gundukan yang selalu membuatnya gagal fokus di beberapa momen.
Wajahnya memerah dan tangannya bergetar hebat karena dia tidak tahu harus melakukan apa ataupun meletakkan tangannya dimana.
"Santai saja. Aku tahu kau tidak suka tapi tahanlah, ini untuk kebaikanmu sendiri."
"Apffuah?" Dengan susah payah dia berusaha mendongak agar bisa bernafas, namun Queenta tetap mendorong kepalanya untuk tetap berada di dadanya. Apa yang terjadi?Apa yang untuk kebaikannya sendiri?? Apakah ini baik? maksudku, ini baik, tentu saja.
Joshua yang tidak menduga ini merasa overheat, otaknya sudah ngebul menerka-nerka alasan mengapa Queenta memeluk kepalanya seperti ini. Bukan, bukannya dia mengeluh, hanya saja menemukan orang yang selalu ingin menghancurkan kakimu dengan sepatu pantofel tiba-tiba memeluk kepalamu ke bagian itu, siapa yang tidak curiga?
"Diam."
Sebelum Joshua bisa bertanya lebih lanjut, dia mendengar suara teriakan histeris dari Tiara.
"AAAAAAAAAA!! T-Thoriq!!!"
"THORIQQ!!!"
Suara itu disusul dengan bunyi KREK yang satisfying untuk telinga. Rasanya seperti mendengar asmr orang mukbang yang mematahkan kaki ayam.
"..."
Bukan itu, kan?
Saat itu juga tangan Queenta mengelus kepalanya dan dia mendengar sesuatu yang mencengangkan sekaligus mengerikan.
"Woah, seperti lampu meledak saja. Baru kali ini aku lihat air terjun dari leher, ck, kasihan."
"..."
Kamu ngomong apa tadi??
Joshua tidak bisa berkata-kata lagi saat mendengar banyak suara sama terdengar, bahkan lebih parah saat suara itu menjadi ganda. Teriakan kesakitan dan histeris terus terdengar dari arah yang Joshua yakini adalah tengah ruangan.
Coba tebak di tengah ada apa? Ya, ada orang. Joshua yakin 100% karena dia yang menata kursi untuk penonton.
Merasa takut mencium bau anyir lagi atau sampai terbayang karena terus mendengar suara bagian-bagian tubuh yang satu persatu meledak dan dipatahkan, Joshua mendistraksi dirinya dengan membenamkan kepalanya lebih dalam dan memeluk pinggang Queenta dengan kencang. Queenta hanya menghela napas.
"Hahh.. laki-laki macam apa ini. Lemah dan tidak bisa diandalkan."
Dia mendecakkan lidahnya, terdengar kesal juga, namun tangannya tidak berhenti menyentuh rambut Joshua.