"Simfoni semesta," singkat Aster. Suasana yang mendukung membuatnya melanjutkan penjelasan, "Aku memang tidak tahu-menahu tentang musik, tapi aku tahu, kalau semesta itu seperti simfoni. Ada keharmonisan dan masalah yang kompleks pada satu waktu, lalu mereka menciptakan keseimbangan."
"Hahaha, aneh, kan?" Aster menyenderkan punggungnya ke kursi. Menghiraukan buku yang siap dibaca, dia berujar lagi tanpa melewatkan sedetikpun waktu, "Namun, inilah alasan yang membuatku tertarik ... "
.
.
.
.
.
.
༺–·—————————————————·–༻✧
"Keselarasan alam semesta. Pernahkah kamu berpikir, apa yang membuat ruang angkasa begitu stabil?"
Seluruh gerakannya terhenti ketika netra violet itu menatap lurus kedua kalimat tersebut.
Entahlah? Sorot matanya beralih turun ke rangkaian aksara selanjutnya.
"Tidak ada, karena ruang angkasa itu menstabilkan dirinya sendiri."
"Hah?" sebuah keterkejutan keluar dari mulutnya.
Lalu? Apa yang membuat ruang angkasa itu menstabilkan dirinya sendiri? Lagipula, kenapa itu juga bisa terjadi? Mata violet itu menurunkan pandangannya untuk membaca kalimat selanjutnya.
"Meskipun "kestabilan" itu tidak semudah yang dimaksud, pada akhirnya ruang angkasa itu menjadi stabil karena diri dengan isinya sendiri.
Sederhananya, keberadaan hukum fisika yang mengatur perilaku partikel dan energi di seluruh alam semesta membuat angkasa seimbang. Lebih sederhananya lagi, karena keberadaan setiap hal yang saling melengkapi."
Jadi, hal yang membuat stabil ruang angkasa adalah materi-materi di dalamnya?
"Begitu ... " gumam Zero kecil.
Tunggu sebentar ... Zero kemudian berusaha mengingat kembali garis besar teori asal-usul dan pengertian ilmiah alam semesta yang telah ia baca.
"Pengertian ilmiah: Alam semesta itu seluruh ruang dan waktu — apapun."
Lalu asal-usulnya ...
"Teori Big Bang: Asal semesta dari titik singularitas padat yang mengalami ekspansi karena sangat panas sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu."
"Inflasi Kosmik: Pelengkap teori Big Bang. Inflasi kosmik mengarah pada proses perluasan yang sangat cepat pada tahap awal (setelah big bang).”
"Teori Alam Semesta Kuantum: Dalam teori ini, alam semesta dinyatakan sudah ada dari awal dan terus ada sepanjang masa. Teori ini juga menyatakan bahwa alam semesta tidak memiliki ruang hampa, hanya ada partikel-partikel subatomik."
"Teori Keadaan Tetap: Alam semesta telah ada dan akan terus ada tanpa awal maupun akhir. Materi baru terus diciptakan untuk mengganti materi yang hilang akibat ekspansi alam semesta."
Oke, aman. Aku sedikit ingat, setidaknya ...
Baru sedikit waktu berlalu, sebuah pintu biru muda sudah muncul menutupi rak buku. Terlihat sosok bersurai putih dengan mata biru tengah-malam berjalan keluar perlahan. Dia membuka mulutnya, "Bagaimana? Sudah sampai buku ke berapa? Atau lebih parah, masih terjebak di buku pertama?"
"... Kamu sudah bangun?"
Mendengar pertanyaannya dihiraukan, Aster hanya menjawab, "Aku terbangun tiba-tiba karena penasaran suatu hal yang belum selesai kubaca."
"Kenapa tidak mengambil buku-buku ini ke kamarmu saja?"
"Tujuan awalku juga begitu ... tapi nanti aku justru berakhir tertidur, alih-alih membaca."
Aster menghampirinya untuk melihat sekilas halaman yang dia baca. Pupil midnight blue itu menatapnya dalam keheningan. Tanpa melewatkan satu hal, dia mengulangi pertanyaannya lagi, "Sampai mana?"
"Aku masih terjebak di buku satu."
"Katakan, aku akan menerangkannya lebih jelas," jelas Aster.
"Tidak bisakah kamu saja yang menjelaskan semua ini secara langsung?"
Apakah makhluk ini memiliki kemampuan pendengaran yang rendah?
"... Kenapa?" Aster berjalan menuju kursi kosong di depan Zero. "Lagipula, aku yang menulis itu. Apa bedanya?"
"..."
Suasana jatuh dalam keheningan. Aster mengerutkan alisnya menunjukkan rasa kesal, ia kemudian mengeluarkan suaranya sedikit menekan, "Katakan, aku akan menerangkannya lebih jelas."
Sebagai reaksi, Zero tersenyum canggung. Dengan tatapannya yang tertuju pada lawan bicara, dia segera berujar, "Apa maksudnya keseimbangan alam semesta? Kenapa itu bisa ada?"
"Keseimbangan semesta?"
"Ya!" Zero menganggukkan kepalanya.
Suara helaan napas keluar dari mulutnya sebelum dia menjelaskan. Aster mendudukkan dirinya pada kursi itu. Dia berkata, "Keseimbangan adalah keadaan di mana berbagai unsur yang berbeda saling melengkapi. Sementara keseimbangan atau kestabilan semesta itu merupakan keadaan di mana alam semesta tetap berjalan teratur, seimbang, dan konsisten. Padahal aslinya penuh perubahan."
"Lalu, bagaimana dengan ancaman kosmik?" tanya Zero.
"..."
Dengan pertanyaan luar sains yang tiba-tiba dia tanyakan. Suasana di antara keduanya mendadak hening dalam sekejap. Tak ada suara apapun pada atmosfer ruangan itu. Hanya sebuah kesunyian.
"Hiraukan, kita sedang membahas semesta secara sains."
Raut wajahnya Zero tampak menentang pernyataan Aster, "Sains tetaplah realitas?"
"Tidak, ini dari sudut pandang manusia." Masih dengan lirikan datar, Aster menggelengkan kepalanya.
"Bukankah kita alien?"
Ini hanya perspektif, oke? Rasanya aku jadi ingin memukul makhluk di depanku ... Aster diam-diam berbicara dengan dirinya di dalam benak.
"Bisakah kamu diam saja dan ikuti alurnya?"
Apa mungkin dia memiliki hobi role-playing? Lalu saat ini, sedang berakting sebagai manusia? Masuk akal juga. Dalam batinnya, Zero berkata.
"Hei — Aster?" panggil Zero.
"Hm?"
"Bolehkah aku tahu, berapa umurmu?"
"82 tahun Bumi," jawabnya.
Senyum pada wajah itu menghilang karena syok. Zero segera bertanya, "Sungguh? Bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Apapun," kata Aster singkat, tidak berniat melanjutkan bicara atau memulainya.
"Oke."
Zero yang selesai membaca buku satu mulai mengamati sekitar.
Aku sudah berada di sini dari tadi, parah sekali baru menyadari ini perpustakaan miliknya ...
"Aster," ucap Zero.
"Apa?"
"Kau membuat perpustakaan ini sendiri? Maksudku, bukunya, kamu membelinya satu per satu?"
"Tentu saja iya." jawab Aster. Kemudian dia berdiri dari duduknya, "Kau ingat — setiap siang — aku berdiri menjadi penjaga perpustakaan di sana? "
"Oh, aku ingat. Kamu bekerja part-time untuk membeli buku-buku ini?"
"Iya dan tidak, sebagian dari planet asalku, sebagian dari sini." Aster mengambil buku satu yang masih terbuka itu.
Helaan napas terdengar dari arah sang manik biru tengah-malam. Dia bertanya, "Kamu sudah paham kan, buku satu?"
Zero mengangguk-angguk, "Kurang lebih, iya."
Oh, benar-benar sudah?
Oleh karena pertanyaan yang dilontarkan si rambut putih, sesi penilaian tanya jawab bagi Zero bermula.
"Jadi, kenapa alam semesta stabil?" kata Aster sembari menutup buku berjudul "Alam Semesta vI" dengan tangannya.
"Dari perspektif manusia, alam semesta yang kompleks menjadi stabil karena keberadaan hukum-hukum fisika dan energi yang ada."
Dia mudah mengingat?
"Menurutmu, apakah ada istilah lain selain stabil?" tanya Aster lagi, sensasi penasaran terbaca di tatapannya.
Zero menggelengkan kepalanya pelan, "Mungkin ada, tapi aku tidak tahu."
Ia bernaung di bawah senyap 2 detik sebelum membuka suara, "Simfoni, kamu tahu itu?"
"Sebuah alat musik?" sebuah tanda tanya besar mengitari kepala Zero, dia menjawab tidak yakin.
Aster menggelengkan kepalanya secara perlahan.
"Simfoni, secara filosofis, lebih dari sekadar musik. Simfoni merepresentasikan harmoni dan kebersamaan. Bukankah itu sama saja dengan semesta ini?"
"Nah," tatapan midnight blue-nya menyaksikan reaksi lawan bicaranya sejenak.
"Ruang angkasa itu bak simfoni, mereka tersusun dari berbagai paduan elemen harmonis. Alam semesta bukanlah kumpulan elemen yang acak, tetapi memiliki keteraturan dan harmoni tertentu."
"Simfoni semesta," singkat Aster. Suasana yang mendukung membuatnya melanjutkan penjelasan, "Aku memang tidak tahu-menahu tentang musik, tapi aku tahu, kalau semesta itu seperti simfoni. Ada keharmonisan dan masalah yang kompleks pada satu waktu, itulah keseimbangan."
"Hahaha, aneh, kan?" Aster menyenderkan punggungnya ke kursi. Menghiraukan buku yang siap dibaca, dia berujar lagi tanpa melewatkan sedetik pun waktu, "Namun, inilah alasan yang membuatku tertarik ... "
Pupil violet yang memantulkan refleksi dirinya itu terpaku menatap lurus Aster. Dia menaikkan sebelah alisnya sebelum mengatakan, "Aneh? Itu mengesankan."
" ... Haha, lelucon yang bagus."
"Tidak, aku serius."
"Kalau serius, kenapa malah mengajakku bicara?"
" ... Oh, itu ... " kalimat Zero terpotong begitu perkataannya hilang dari antrean kata. Dia tidak tahu harus berkata apa.
Dengan kebingungan dalam benaknya, Zero lanjut menatap kalimat di buku. Hanya untuk melihat huruf-hurufnya, tidak benar-benar dibaca.
Sementara itu, Aster dengan buku terbuka di depannya terus diam. Kemudian mengangkat pandangannya untuk melihat si surai gelap.
Buku ini membosankan ...
Tatkala seseorang menatapnya, Zero hanya bisa berpura-pura sedang membaca. Persis seperti tidak menyadarinya sama sekali. Goresan aksara yang tersusun rapi melintasi benaknya untuk keluar kembali. Pikirannya hampa, seakan tengah tidak membaca apapun.
"Hei," panggil Aster.
Zero beralih memerhatikannya, "Kenapa?"
"Aku penasaran. Sebelum sampai ke bumi, apakah kamu pernah menjelajahi kosmik?"
"Tidak. Aku benar-benar terlempar ke Bumi 3 bulan yang lalu dan itu bukan keinginanku." orang di hadapan Aster mengangkat bahunya sembari menggeleng. Dia menambahkan, "Lagipula, aku tidak tahu informasi dasar alam semesta."
"Walaupun kau bisa bertarung?" tebak si netra midnight blue.
"Bagaimana kau tahu?" Zero langsung berdiri dari duduknya.
"Oh, tenanglah, duduk dulu."
Mengikuti perkataannya, Zero kembali duduk.
"Aku hanya menebak, sebuah keberuntungan hal tersebut benar?"
Sejenak, Zero kehilangan kata-katanya, " ... Aku terkesan dengan kemampuan unikmu."
"Jadi, tebakanku benar?"
"Sangat."
Percakapan ringan mereka mewarnai nuansa santai ruangan penuh buku. Jendela di suatu tempat menyoroti eksistensi mereka dengan samar-samar cerahnya Bulan. Sensasi harmonis yang bukan sekedar keselarasan, tetapi juga rasa kedekatan yang asing. Keakraban dan keserasian asing — yang entah kenapa membuat keduanya merasa aman.
"Kamu pasti berasal dari spesies yang pintar bela diri," puji Aster. Setelahnya dia berkata, "Kudengar bangsa tertentu memiliki kebudayaan mewariskan teknik khusus untuk menghadapi ancaman ruang angkasa. Apakah kamu salah satunya?"
"Benar, tapi mungkin tidak banyak bangsa lain yang mengenalnya."
"Memangnya apa nama planetmu?"
"Tenebrae," ungkap Zero.
Aster menatap tak percaya pada sosok di depannya. Reflek dia berkata, "Matamu dua, bukankah Tenebrae terkenal dengan spesiesnya yang ahli bela diri?"
"Hehe," sebuah cengiran tak bersalah menghiasi wajah figur berambut hitam itu.
Meskipun terdapat sensasi menggelitik yang membuatnya ingin bertanya lebih jauh, Aster menahan suaranya. Seakan menanti sang manik violet menerangkan, dia menatap dalam diam.
༺–·—————————————————·–༻✧
End of Third-Person PoV
To be continued
#—· Simfoni, secara filosofis, lebih dari sekadar musik. Simfoni merepresentasikan harmoni, rasa saling menghormati, dan semangat kebersamaan, serta imajinasi murni yang terbebas dari kenyataan. Simfoni bukan sekadar susunan nada, melainkan ekspresi dari ide-ide kreatif dan emosi yang kompleks.