Di kekosong angkasa, Efialtis berjalan beriringan di samping Nessie. Mereka telah menjadi sepasang bintang di angkasa yang tak memiliki sinar. Namun, memiliki keindahan tersendiri.
Setiap langkah, menapaki kehampaan menggunakan pijakan kekuatan. Efialtis melirik ke arah Nessie sembari memasang senyuman tipis di wajahnya.
Nessie menyadari tatapan Efialtis, dia berbalik dan menanyakan nya pada Efialtis sambil ikut tersenyum tapi lebih seperti menggoda nya.
"Ada apa? Apa kau terpesona oleh ku?" Tanya Nessie mengangkat tangannya di depan mulut.
"Tentu saja karena aku mencintaimu, meski kau terasa seperti pria tapi kau tetap manis layaknya gula." Efialtis balik menggodanya dengan memuji Nessie.
Darah mulai naik ke kepalanya, wajahnya mulai memerah, dia lalu berkata dengan malu-malu. "Haha, kalau begitu kau pasti tak akan menyebabkan ku mati, benarkan?"
"Ayolah itu kecelakaan, mana mungkin aku bisa teleportasi secepat itu jika aku saja bahkan hanya bisa bergerak di dalam GodSpeed selama dua belas detik." Kata Efialtis membela diri.
Senyuman Nessie tiba-tiba menghilang bersamaan dengan dirinya yang berkata.
"Apakah aku ini benar-benar diriku yang sesungguhnya, Efialtis?" Nessie dengan ekspresi serius. Namun, dengan sorot mata yang di penuhi kesedihan menatap Efialtis.
Efialtis diam membisu tak dapat menjawab pertanyaan sederhana dari Nessie, langkahnya terhenti seiring dengan Nessie yang juga ikut berhenti untuk mendengar jawaban langsung dari Efialtis.
"Apa kau tak bisa menjawabnya? Ataukah... kau tak mau menjawabnya?" Kata Nessie menekan Efialtis supaya memberikan jawabn tegas.
Namun, Dia tetap diam memandangi kehampaan yang ada di bawahnya. Nessie tentunya paham apa yang sedang dirasakan Efialtis tapi itu tak menghentikkannya untuk menyadarkannya.
"Jawablah! Apa kau benar-benar berpikir kalau aku ini nyata?!"
"Aku tidak tahu!!!"
"Aku tak ingin tahu, apakah kau itu nyata atau tidak!! Aku!! Hanya ingin kau berada di sisiku."
Efialtis akhirnya menjawab pertanyaan Nessie, keputusasaan terlukis diwajahnya yang memandangi kehampaan.
Dirinya yang sebenarnya sudah tahu kalau, Nessie yang berada di hadapannya hanyalah bentuk visual dari ingatan dan imajinasi Efialtis yang ingin tetap bersama nya.
Perlahan tangan lembut nan menghangatkan menyentuh pipinya, Nessie dengan lembut mengangkat wajahnya.
Memandang wajah Efialtis yang di penuhi perasaan bersalah dan putus asa. Dia dengan nada tenang nan halus berkata padanya.
"Efialtis, Lloyd, atau apapun nama yang kau pakai nantinya. Aku percaya kalau kau nanti nya pasti akan menemukan tujuan sejatimu. Entah itu baik atau buruk, kau pasti akan bisa memilih pilihan terbaik. Karenanya, tolong... lepaskan kami, sayang."
Nessie perlahan meneteskan air mata, kesedihan kembali memenuhi dirinya. Efialtis yang mendengar ucapan Nessie itu tak bisa lagi menahan kesedihan dan kekecewaan dalam dirinya.
"Maaf~, tapi aku tak bisa melakukannya. Aku tak ingin melepaskan kalian semua, aku tak ingin melepaskan mu Nessie, aku hanya ingin kalian tetap berada di sisiku meski semua itu hanyalah kahayalan yang kubuat. Setidaknya aku ingin kalian bisa bersamaku didalam pikiranku agar tidak membuatku kehilangan kewarasan." Kata Efialtis sembari memeluk Nessie dan mengeluarkan isi hatinya dengan tangisan.
Balas memeluknya, Nessie dengan senyum di wajahnya berkata pada Efialtis. "Hentikan itu, dasar bodoh! Kau tak akan gila, kau adalah suami ku. Dan kaulah yang kini memegang nama suku kami 'Vasilor' kuharap kau tetap membawa nama itu, untuk mengingat kami, mengingat kenangan bersama kami, mengingat istri mu ini."
Nessie ikut menangis ketika mengucapkan nya, Efialtis dengan nafas terisak-isak berkata pada Istrinya itu.
"Apanya yang mengingat?! Aku hanya akan terpukul jika mengingat kenangan baik bersama kalian!! Aku tak bisa melakukannya Nessie!! Aku tak mampu melakukannya!!" Teriaknya dengan suara gemetar karena rasa takut dan sedih.
"Bohong!" Nessie dengan tegas membantah perkataan Efialtis.
"Apa?" Efialtis terkejut dengan perkataan Nessie dan mengangkat kepalanya lalu melihat ke arahnya.
Efialtis melihat Nessie dengan senyuman di bibir dan air mata yang membasahi pipinya perlahan membuka mulutnya lalu berkata padanya.
"Kau pembohong besar, Efialtis! Kalau kau mencintaiku kau pasti merelakan kami pergi dengan tenang daripada tetap membuat kami tersiksa seperti ini." Kata Nessie, suaranya samar-samar memudar.
Matanya terbuka lebar, dia melihat dengan kedua matanya sendiri, Nessie berdiri di hadapannya tersenyum sembari menangis.
Hatinya terasa seperti tertusuk setelah mendengar perkataan Nessie yang menamparnya dengan fakta bahwa dirinya telah membuat mereka tersiksa karena terpaksa harus terus menemaninya.
Dia akhirnya tersadar, matanya kosong, memandangi Nessie yang telah menunggu jawabannya.
Kembali memeluk Nessie, Efialtis dengan suara gemetar pada akhirnya menjawab pertanyaan terakhir Nessie tanpa takut sedikitpun.
"Selamat tinggal, Nessie. Kau akan selalu jadi nomor satu di hatiku." Kata Efialtis dengan air mata yang semakin deras mengucur membasahi wajahnya.
Nessie dengan senyuman dan tangisan sedihnya, kini berubah menjadi tangisan bahagia sambil tersenyum lebar.
"Bagus! Kau juga akan selalu ada di hatiku! Efialtis, aku akan selalu mencintai mu!"
"Aku juga, aku akan selalu mencintaimu."
Setelah mengatakannya perlahan, Nessie meraih wajah Efialtis lalu mendekatkan wajahnya pada Efialtis.
Bibir mereka saling bertemu satu sama lain, terasa hangat dan juga nikmat. Efialtis dan Nessie melakukan ciuman terakhir mereka di luar angkasa, di saksikan bintang-bintang, planet, dan galaksi.
Perlahan wujud fisik Nessie menghilang menjadi serpihan debu, bersamaan dengan kesadaran semua orang yang dirinya ciptakan.
"Kuharap kau akan bahagia, karena aku akan menunggu mu di kehidupan selanjutnya. Selamat tinggal, suamiku terkasih." Kata Nessie menghilang sepenuhnya dari alam semesta entah menuju surga atau tempat lain di realitas selanjutnya.
Efialtis kini sendirian, berdiri di tengah kehampaan, memandangi bintang yang telah menghidupi planet yang Nessie tinggali selama lebih dari miliaran tahun.
"Aku harap kau menungguku di sana, Nessie." Kata Efialtis pada dirinya sendiri sembari memandangi bintang di hadapannya.
Efialtis kemudian menggunakan GodSpeed untuk mendekatinya lalu dengan energinya, dia masuk ke dalam bintang itu dan menyerap tenaganya.
Dia terbakar, lalu bangkit lagi dengan kekuatan yang berlipat ganda, terbakar lagi, dan bangkit lagi, terbakar dan bangkit lagi. Terus sampai dia berhasil menyerapnya dengan kecepatan yang luar biasa cepat.
"Satu jam? Kurasa bintang sebesar ini akan mati ketika sudah berusia lebih dari delapan belas miliar tahun lagi." Kata Efialtis menebak-nebak usia bintang yang di serapnya.
Dia bisa menyerap bintang itu karena telah merasakan energinya secara langsung dan menggunakan kemampuan abadinya yang mana dapat menyerap energi di sekitarnya untuk sekalian menyerap energi bintang itu.
Kini kekuatan yang dirinya punya telah mencapai tahap evolusi ketiga. Efialtis dengan ekspresi datar dan mata layunya mencoba kekuatan barunya itu.
Hush'
Efialtis melayangkan satu pukulan menuju salah satu planet kecil di dekatnya. Dan tak lama kemudian planet itu meleleh lalu menjadi serpihan debu batuan yang melayang kesana kemari dan menghilang.
"Hah, sudahlah ini tak terlalu penting juga. Zenith!" Kata Efialtis kembali ke tempat Zenith berada.
Zenith dengan ramah menyambut Efialtis di dalam kediamannya. Di depan sebuah meja kecil yang di penuhi hidangan kue kecil, Zenith duduk memandangi kedatangan Efialtis yang tak diduga olehnya.
Efialtis tanpa pikir panjang duduk di kursi yang berseberangan dengan Zenith. Mata nya memandang lesu meja di depannya, membuatnya merasa sedikit terintimidasi oleh hawa keberadaanya yang tiba-tiba berubah.
"Zenith!" Panggilnya sambil menghela nafas.
"Ah! Ada apa? Adikku tersayang?" Tanya Zenith agak canggung.
"Aku akan ikut perang itu, tapi sebelum itu. Apa kamu punya rekomendasi planet dimana aku bisa hidup tenang di sisa kedamaian ini?" Tanya Efialtis dengan nada malas.
Meski terlihat menyimak, Zenith malah lebih fokus merasakan hawa keberadaan yang mengintimidasinya.
"Zenith?"
"Oh! A-Aku tahu kok, tenang saja."
Zenith dengan panik mulai mengatakan planet terbaik yang dirinya bisa rekomendasikan.
"Kenapa tidak bumi saja? Disana punya kehidupan yang sama seperti Planet Kerth, tapi di sana 'agak' sedikit lebih ramai?"
"Baiklah, aku akan langsung kesana!" Kata Efialtis langsung bangkit berdiri, meninggalkan kursinya.
Zenith menghentikannya dengan berkata. "Tunggu, disana kau tak boleh menggunakan kekuatan kosmikmu karena itu bisa langsung menghancurkan planet mereka."
Efialtis mengangguk pelan, dia akhirnya berjalan meninggalkan ruangan sambil melambaikan tangannya ke arah Zenith lalu menghilang begitu saja.
Dia akhirnya terduduk lemas di kursinya ketika Efialtis telah pergi dari kediamannya, dia entah mengapa semenjak Efialtis menyerap bintang besar, hawanya menjadi lebih mengancam.
"Seperti melihat lubang hitam. Yah, kuharap di bumi dia baik-baik saja. Aku sudah mengirim nya langsung ke bumi jadi harusnya baik-baik saja, kan?" Gumam Zenith pada dirinya sendiri.
Di sisi lain, Efialtis yang telah berada di luar bumi. Berdiri memperhatikan seluk beluk planet hijau itu, dengan matanya yang dapat melihat sesuatu lebih dekat bak teleskop dan juga dapat melihat menembus benda bak sinar x.
Dia kemudian menemukan sebuah tempat yang menurutnya cocok untuk dirinya hidup selama dua belas tahun ini. Efialtis akhirnya menggunakan GodSpeed nya menuju tempat itu.
Saat melalui atmosfer, dia merasakan banyaknya gelombang yang memenuhi planet bumi hingga menggelitiki otaknya. Namun, Efialtis tak mempedulikannya dan segera mencari tempat untuk mendarat.
Dia secar tak sengaja mendarat di tengah pertempuran antar makhluk super dan membuatnya agak kesal.
Bagi Efialtis, mereka semua bergerak sangat lambt sampai hampir tak bergerak sama sekali. Namun, setiap orang itu memakai pakaian eksentrik dan ada yang mengeluarkan elemen-elemen aneh.
Keberadaan Efialtis yang tiba-tiba sontak membuat semua orang yang ada di sana terdiam sembari memandanginya. Sosok Efialtis dengan pakaian serba hitam, sembari mengeluarkan hawa mencekam berhasil mengintimidasi dan menakuti semua orang yang hadir disana.
"Kalian sedang apa?" Tanya Efialtis sambil memandang bingung semua orang yang memperhatikannya.
Semuanya tak berani bergerak atau bahkan sekedar menjawab pertanyaan Efialtis, mereka diam mematung hingga salah satu dari mereka yang Efialtis tak tahu dia berada disisi siapa angkat bicara dan menjelaskan situasinya.
"Umm... kurasa aku bisa jelaskan!" Kata orang itu yang ternyata seorang lelaki muda yang mengenakan pakaian serba biru tua dan memakai topeng menutupi setengah wajahnya.
Efialtis dengan GodSpeed nya berpindah ke hadapan lelaki itu untuk mendengar lebih seksama. Kecepatan Efialtis membuat semuanya kembali terkejut dan segera memindahkan pandangan mereka menuju Efialtis.
"Baiklah, mari dengarkan ceritamu. Anak muda." Kata Efialtis memandang tajam ke arah lelaki muda itu.