Hal Tak Terduga

Angin sore mulai mereda, menyisakan keheningan yang terasa ganjil setelah kejadian barusan. Udara yang tadinya padat oleh ketegangan perlahan kembali normal. Jejak si assasin telah ditangani, dan kini hanya Tyrell dan Arthur yang berdiri di jalanan sepi yang mulai disinari cahaya senja yang hangat. Aroma dari gerobak-gerobak makanan masih tercium samar dari kejauhan, seolah mengingatkan bahwa dunia tetap berjalan meski bayang-bayang bahaya tadi baru saja menyentuh mereka.

Mereka melangkah pelan, berjalan beriringan di jalan setapak yang kini terasa lebih lapang. Namun, di balik ketenangan itu, rasa penasaran mulai mengusik pikiran Arthur.

Arthur bertanya, "Jadi gimana kita sekarang, Tyrell?"

Tyrell menatap ke depan tanpa berhenti berjalan, langkahnya tenang. Matanya memandang lurus ke kejauhan, seolah menyusun rencana yang hanya ia pahami sendiri.

Tyrell menjelaskan, "Untuk sekarang kita ambil dulu hadiahnya, karena sekarang kita tidak tau apa yang terjadi kalau aku memberitahu informasi itu."

Ucapan itu membuat Arthur sedikit mengerutkan dahi. Masih ada pertanyaan yang belum terjawab. Dan sebagaimana biasanya, Tyrell selalu menyimpan sebagian informasi di balik senyumnya yang tenang.

Arthur bertanya, "Memangnya kau tau ledakan apa tadi??"

Sebuah senyum kecil terbentuk di wajah Tyrell, senyum yang mencerminkan antara rasa bersalah dan... kebanggaan aneh.

"Yaahh sepertinya itu karena Bola Api yang aku lempar saat pendaftaran itu hehe."

Reaksi Arthur muncul spontan, ekspresinya kosong sejenak sebelum berubah menjadi pasrah bercampur frustasi ringan.

Arthur kehabisan kata, "Hadeuuhh..."

"Yasudah, ayo kita ambil dulu, lalu kita beli makan."

"Yasudah."

Mereka memasuki aula resepsionis, dindingnya dipenuhi emblem para petualang dan lambang-lambang prestasi dari berbagai generasi. Di bawah cahaya lampu kristal yang menggantung tinggi, Tyrell dan Arthur menyerahkan kertas misi yang telah mereka selesaikan. Petugas resepsionis dengan cekatan memeriksa dokumen, memberikan cap resmi, lalu menyerahkan kantong kecil berisi delapan koin perak sebagai imbalan.

Tanpa banyak basa-basi, keduanya segera keluar dari mansion petualang, melangkah ke arah gerbang besar yang menghadap langsung ke kepadatan pusat perdagangan—pasar paling ramai di seluruh Kerajaan Elf.

Angin hangat membawa aroma kayu manis, adonan panggang, dan bunga liar yang digantung sebagai hiasan kios. Suara-suara penjual bercampur tawa anak-anak, denting logam, dan suara binatang eksotik yang menjadi daya tarik para pedagang luar negeri.

Arthur, dengan langkah yang lebih cepat, melambaikan tangannya sambil sedikit berlari ke depan.

Arthur sambil melambaikan tangannya, "Sebelah sini Tyrell..."

Tyrell mengikutinya dengan langkah santai, matanya mengamati sekeliling dengan rasa ingin tau yang tenang.

"Beli apa kita?"

Arthur menunjuk ke salah satu kios yang mengeluarkan aroma roti panggang yang menggoda. Di sana, seorang Elf tua sedang memanggang roti panjang berwarna keemasan.

"Aku lihat ada yang jual roti panjang yang terlihat seperti Baguette, harganya 6 Bronze."

Tanpa ragu, Tyrell mengangguk.

"Yasudah itu saja."

Arthur tertegun sejenak, ekspresinya seperti tidak percaya.

"......??! Kau langsung setuju?"

Tyrell menoleh ringan, mengangkat bahu dengan ekspresi datar yang penuh makna.

"Kenapa? Apa kau pernah melihatku pilih-pilih makanan?"

Ucapan itu membuat Arthur berpikir sejenak, matanya menerawang ke langit seolah mencari ingatan tertentu. Dan seperti slide yang diputar cepat, memori-memori itu muncul begitu jelas—Tyrell yang selalu mengangguk pada pilihan makanan kantin apapun, Tyrell yang pernah memakan bubur asin yang seharusnya manis, dan puncaknya... Tyrell yang dengan tenangnya memakan roti expired tanpa sekalipun mengeluh.

"Hmmmmm, oke aku beli 2." Arthur flashback ke setiap Tyrell mengantri makanan di kantin, dia langsung setuju makanan apapun yang diberi, bahkan dia pernah memakan roti yang sudah expired.

Keramaian pasar perlahan menghilang di balik langkah mereka. Arthur, yang baru saja membeli dua roti panjang dari kios elf tua, tampak santai sambil menggigit ujung salah satunya. Tyrell berjalan di sisinya, tenang seperti biasa, matanya hanya sekilas melirik ke arah deretan gang sempit di belakang pasar.

Mereka tidak mengambil jalan utama untuk keluar, sebaliknya, mereka berbelok ke jalur belakang—lorong sempit yang lebih sepi dan sunyi, dengan dinding batu yang menjulang dan bayangan-bayangan panjang dari atap di atas kepala. Suara keramaian pasar lenyap seketika, digantikan oleh desir angin tipis yang membawa debu lembut dari tanah.

Namun, di balik ketenangan itu, Tyrell merasakan sesuatu. Bukan dari suara, bukan pula dari langkah kaki. Tapi dari pergeseran kecil dalam udara—seolah ada kekosongan yang terlalu senyap, terlalu “teratur” di tengah kekacauan alami dari dunia sekitar. Ia memperlambat langkahnya sedikit.

Di balik bayangan, tersembunyi dari pandangan awam, seorang berpakaian hitam telah mengikuti mereka dengan cermat sejak awal. Gerakannya luwes, kehadirannya tersembunyi dengan teknik tinggi yang hanya bisa dikuasai oleh seorang Assasin. Matanya tertuju pada satu benda—kalung emas berkilau yang tergantung di leher Arthur, sedikit tersembunyi di balik kerah baju namun tetap mencolok bagi mata yang terlatih.

“(Hmmm... sepertinya kalung itu mahal, aku akan menusuk dan langsung mengambil itu begitu mereka keluar pasar. Tapi kenapa mereka lewat belakang pasar, yang dimana sepi orang lewat... yasudah, ini kesempatanku.)"

Ia mengintai dari kejauhan, menyesuaikan napasnya, menunggu saat yang tepat. Tangannya telah bersiap meraih belati tipis yang diselipkan di balik jubah, dan otaknya menghitung detik-detik terakhir menuju serangan. Baginya, ini bukan pembunuhan—ini sekadar pencurian cepat. Tusuk, ambil, dan menghilang.

Namun yang tidak ia sadari, adalah bahwa ia bukanlah satu-satunya yang memperhatikan. Tyrell, dengan kemampuan mendeteksinya melalui aliran gelombang, telah merasakan niat yang aneh sekecil apapun.

Langit senja menyebarkan semburat jingga di atas atap-atap pasar yang mulai sepi. Langkah kaki Arthur dan Tyrell bergema pelan di jalan berbatu saat mereka keluar dari gang belakang. Aroma roti yang baru saja dibeli masih tercium samar, namun suasana mendadak berubah—tidak ada suara, tak ada burung, tak ada angin. Hening yang tidak wajar.

Dan di dalam keheningan itulah, sosok berkerudung hitam tiba-tiba muncul di belakang Arthur. Gerakannya terlalu cepat untuk orang biasa, terlalu halus untuk terdengar. Tetapi Tyrell bahkan tidak menoleh. Ia hanya berhenti satu langkah lebih cepat dari biasanya.

Udara di sekitar mereka mendadak menegang, seperti permukaan danau yang dibekukan dalam sekejap. Angin berhenti. Debu pun diam. Dan sang pembunuh berselubung itu—assasin yang tadi menyembunyikan diri dengan begitu sempurna—kini terhenti di tempat, matanya melebar saat tubuhnya menolak semua perintah otaknya.

Ia tidak bisa bergerak. Tidak sedikit pun.

"Pantas saja aku merasa ada yang mengawasi kita. Ternyata ada perampok yang mengikuti kita." Tyrell sambil mengekang si assasin dengan kemampuannya yang memadatkan udara di sekitar assasin itu.

Aura tak terlihat menyelubungi Tyrell—tenang, tapi mengancam. Kekuatannya memadatkan udara, membentuk penjara tak kasat mata yang menjerat sang pembunuh seperti lalat dalam batu amber. Tak ada ruang untuk bernapas lebih dalam. Tak ada celah untuk melarikan diri. Hukum alam di sekitar assasin telah berubah, dan Tyrell-lah yang mengendalikannya.

Arthur terkagum, "Wah, apa yang kau lakukan Tyrell? Kau mengejutkanku lagi."

Arthur menatap pemandangan itu dengan mata terkejut—ia sudah melihat kemampuan temannya berkali-kali, tapi selalu ada sesuatu yang baru, ia tau bahwa Tyrell tidak pernah benar-benar menampakkan seluruh kekuatannya.

Assasin bicara dalam hati dan berkeringat panik, "(Sial... ternyata dia tau keberadaanku, dan aku tidak bisa bergerak seolah aku dikekang oleh udara di sekitarku... Ini tidak bagus. Dua orang ini pasti Hunter. Aku akan mengaktifkan sihir pelacak jika seandainya aku mati di sini.)"

.

Di sisi lain dunia, Keheningan lorong belakang tempat dua pemuda menangkap pergerakan mematikan, sebuah dungeon terbuka menganga seperti mulut kematian itu sendiri. Dindingnya dipenuhi ukiran tulang, dan hawa dingin menusuk hingga ke tulang sumsum. Aura kelam memenuhi ruangan besar yang dipenuhi cahaya biru kehijauan dari obor sihir yang menyala tanpa api.

Di tengah-tengahnya, berdiri seseorang dengan jubah panjang berwarna kelam—berbeda dengan para petarung di sekitarnya. Sosok itu tidak mengayunkan senjata, tapi atmosfer di sekitarnya memberi tahu siapa yang paling berbahaya di ruangan itu. Tangan kirinya memegang orb sihir gelap, dan di bawah kakinya, reruntuhan dari Lich bersenjata telah menjadi abu. Suara mantra dan jeritan undead masih bergema dari lorong terdalam dungeon itu.

Namun di tengah kekacauan itu, tatapan sosok itu teralih sejenak. Sebuah kilatan sihir kecil menyentuh kesadarannya—sinyal. Ia menyipitkan mata, membaca arus sihir yang datang dari jarak jauh. Simbol sihir pelacak. Sebuah kode darurat. Dia mengenali pengirimnya dalam sekejap.

"Anak bodoh satu ini, kenapa lagi mengirim lokasinya..."

Nada suaranya datar, terlihat kejengkelan. Ia mendengus pelan, menepis sinyal sihir itu dengan gerakan ringan tangan, seolah menyapu lalat yang mengganggu.

"...nanti saja lah, aku sedang sibuk Raid Lich Dungeon ini."

.

Udara yang semula mencekam kini berubah menjadi lebih berat, bukan karena kekuatan Tyrell semata, tapi karena kemarahan yang tumbuh dari Arthur.

Ia berdiri beberapa langkah dari assassin yang masih terkekang, matanya menyipit, menatap penuh kemuakan dan amarah. Tak seperti biasanya, wajah cerianya tergantikan oleh ekspresi kelam yang dipenuhi kebencian. Nafasnya naik turun, bukan karena lelah, tapi karena amarah yang mendidih dalam dada.

"Hei, apa aku boleh membunuhnya? Beraninya kau mau mengincar kalung warisan terakhir nenekku,"

Suara Arthur datar, penuh duri. Bukan teriakan, bukan ledakan emosi—melainkan keputusan yang telah lama ia pendam. Kalung yang ia kenakan bukan sekadar hiasan. Itu kenangan terakhir yang mengikatnya pada masa lalu, pada satu-satunya keluarga yang dulu selalu tersenyum hangat padanya. Dan kini, ada orang yang mencoba merampasnya.

Tanpa menunggu jawaban, energi mulai berkumpul di sekeliling tubuhnya. Air di udara bergetar, menari di atas telapak tangannya yang mengepal. Dari embun yang tersembunyi dalam atmosfer, terbentuklah sebuah tongkat air yang berkilau dalam nuansa biru dingin. Dalam sekejap, tongkat itu berubah bentuk, memanjang, mengeras, dan mengasah diri menjadi senjata baru.

Ujungnya membentuk bilah tajam yang berkilau seperti kristal—tombak air yang mematikan. Suara pergerakan air yang lembut menyertai lahirnya senjata itu.

[Skill Updated]

Tubuh assassin itu masih terpaku di tempat, dikelilingi tekanan udara yang membuatnya tak mampu menggerakkan satu jari pun. Tapi lidahnya belum lumpuh. Dalam upaya terakhir yang penuh dengan kepanikan dan keputusasaan, ia mencoba membalas dengan ancaman, suaranya bergetar dan diselipkan tawa paksa yang menggertak.

"Jika kalian membunuhku, Kuroinu pasti tidak akan tinggal diam dan akan segera mencari kalian haha—"

Tetapi kata-katanya tak pernah selesai.

Dalam sekejap, Arthur, yang diliputi oleh dorongan emosional dan kemarahan murni, mengayunkan Water Spear yang masih mengalirkan aura dingin. Bilah air itu menebas bersih leher sang assassin dalam gerakan cepat dan presisi. Tak ada teriakan. Tak ada perlawanan. Hanya suara lunak "shlak" dan kemudian hening. Kepala sang pembunuh jatuh ke tanah, matanya terbuka membeku dalam ekspresi terkejut yang tak sempat menghilang.

Darah mengalir di jalan berbatu, menciptakan jejak keheningan di balik pasar yang kini terasa sangat sunyi.

Arthur terdiam, tubuhnya kaku, tombak di tangannya perlahan larut kembali menjadi uap air yang menghilang ditiup angin sore. Ekspresinya kosong, lalu perlahan berubah—bukan ketakutan, melainkan kebingungan.

"A-aku membunuh orang..."

Suaranya bergetar, tapi bukan karena rasa bersalah yang mencekik. Justru, ada keganjilan yang lebih besar dari itu.

"Hei-hei, tenangkan dirimu Arthur," Tyrell berusaha menenangkannya, meski dirinya sendiri juga terdiam sejenak melihat tindakan cepat sahabatnya.

Namun Arthur menggeleng, matanya mulai memicing, bukan karena sedih, tapi karena rasa heran yang semakin dalam.

"Tidak, tidak... aku juga merasa ini salah, tapi aku tidak merasakan perasaan panik atau apa pun..."

Kening Tyrell berkerut. Ia menatap Arthur dengan penuh tanda tanya. "Hmmm?"

Arthur buru-buru membuka jendela statusnya, tangannya bergerak cepat, matanya menelusuri informasi yang sebelumnya tidak ia sadari.

"Status Window... ternyata ada skill pasif sistem yang bernama [Stabilized Lv.1]. Tertulis katanya aku tidak akan terkena gangguan mental dan meluruskan pikiran dan mental, ternyata itu fungsinya..."

Kemudian ia terdiam sejenak, memiringkan kepala seolah baru menyadari kejanggalan lain.

"Dan yang aku heran... kenapa kita bisa berbicara pada orang di sini dengan bahasa yang sama?"

Tyrell mengerjap. Ia membuka mulut sedikit, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Eehhhh iya juga ya... aku baru nyadar."

Arthur dengan cepat menggulir halaman status ke bagian lainnya, dan menunjuk ke kolom yang tersembunyi.

"Ooohhh ternyata ada juga skill pasif lain di halaman sebelah yang bernama [Communicate] Lv.1."

Tyrell hanya bisa mengangguk perlahan. Wajahnya menunjukkan bahwa pikirannya mulai terlempar ke pertanyaan yang lebih dalam lagi. "(Lalu kenapa aku bisa mengerti bahasa mereka... padahal sistemku saja error... nanti saja lah kupikirkan.)"

Ia menarik napas panjang, mencoba mengalihkan topik sebelum pikirannya menyelam terlalu dalam. "Jadi... sekarang ngapain kita? Kita letak kemana mayat ini?"

Arthur menatap Tyrell dengan tatapan curiga, kerutan terbentuk di dahinya. "Tunggu sebentar, Tyrell. Kau pasti mengerti tadi dia ngomong tentang orang bernama Kuroinu..."

Tyrell mengangkat bahu ringan, nada suaranya tetap tenang.

"Memang kenapa? Sekarang kita bawa dulu mayat ini dan membuangnya entah di mana... atau dibakar."

Arthur mengangguk, meski raut wajahnya belum sepenuhnya lega. "Yasudah, bakar saja dengan skill-mu. Aku belum punya Fire Attribute."

Tyrell melirik sejenak ke arah tepi sungai yang tak jauh dari mereka, lalu kembali menatap mayat yang terbujur diam di tanah.

"Yasudah. Aku bakar saja dia di dekat sungai sana. Ayo."

Tanpa banyak bicara lagi, Tyrell mengangkat tubuh sang assassin ke pundaknya. Mereka menyusuri jalan sempit di belakang pasar—sunyi, tak ada satu orang pun yang lewat, seakan tempat itu memang diselimuti takdir untuk menyembunyikan sesuatu. Angin berhembus lembut, membawa aroma kayu dan kelembapan dari arah sungai.

Sesampainya di tepian sungai yang sepi, Tyrell menurunkan tubuh itu perlahan. Matanya menatap jenazah yang kini hanya tinggal beban dosa yang tertinggal di dunia.

Dalam diam, Tyrell menimbang pikirannya.

"(Jika aku bisa meng-Compress api dalam ukuran besar... kenapa tidak mengecilkannya saja? Dan... meng-Koalesensi apinya agar lebih padat?)"

Tangannya terangkat perlahan, dan dari ujung telunjuknya, sebuah nyala api muncul—kecil seperti bola kelereng, tapi menyala dengan intensitas yang luar biasa. Warna merah-oranye yang biasa berganti menjadi biru cerah yang menyilaukan... api dengan panas dan densitas tak wajar. Tak ada suara berdesis atau ledakan, hanya kilau biru yang tenang juga mematikan.

Dengan satu sentuhan ke tubuh mayat itu—api pun menyebar seperti ular yang lapar. Dalam hitungan detik, tubuh itu terbakar seperti dilempar ke dalam mulut flamethrower raksasa. Api biru menyelimuti seluruh bagian tubuh tanpa menyisakan apa pun selain abu yang tertiup pelan oleh angin sungai.

Arthur menatap adegan itu dalam diam, sedikit ngeri namun juga kagum.

Di bawah cahaya mentari yang mulai condong ke barat, Arthur menggigit roti baguette-nya dengan lahap sambil berjalan santai di samping Tyrell.

"Wow, Tyrell... kau membuat api yang sangat panas lagi tadi," gumamnya sambil masih mengunyah.

Tyrell hanya menghela napas pendek, matanya lurus ke depan.

"Sudah... ayo kita pergi. Berikan roti ku sini." Arthur memberikan roti yang satunya.

"Sekarang kita akan pergi ke mana?" tanya Arthur sambil memeriksa kantong kecil tempat menyimpan uang logam mereka. "Uang kita tersisa 68 Bronze... alias 6 Silver dan 8 Bronze."

Tyrell melirik sekilas, lalu menggigit roti itu perlahan sambil berpikir.

"Hmmm... sebaiknya kita mengambil misi lagi. Atau kau mau aku bantu leveling?"

Arthur mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.

"Kenapa tidak dua-duanya? Leveling sambil mengerjakan misi, itu lebih efisien kan?"

Tyrell mengangguk setuju. "Boleh juga. Ayo."

Tanpa menunda waktu, mereka pun melangkah kembali menuju Mansion—bangunan besar yang menjadi pusat aktivitas para petualang di kerajaan ini. Udara sore terasa hangat di kulit, dan meski mereka baru saja mengalami insiden serius, keduanya tetap berjalan seperti biasa...

.

Di Dalam Mansion Guild Petualang

Langit-langit tinggi dari aula utama Mansion memantulkan cahaya lilin yang berpendar lembut. Suara langkah kaki, kertas misi, dan percakapan samar para petualang mengisi ruangan besar itu. Di salah satu sisi papan pengumuman, berdiri dua sosok mencuri perhatian hampir semua orang di sana.

"Jadi... kita pilih misi yang mana?" tanya Chloe sambil menyisir papan dengan tatapan tajam. Busur panjang bersandar di punggungnya, memancarkan aura petualang yang cukup kuat.

Desas-desus pun mulai beredar di antara para petualang lain yang melihat mereka.

"Hei hei... bukankah itu duo Hunter Class A yang terkenal itu?"

"Iya... Chloe, si 'Pemanah Matahari'. Katanya, tembakannya tidak pernah meleset dari target, bahkan saat targetnya lari atau bersembunyi di balik rintangan sekalipun."

"Dan pria di sebelahnya... Charles. Julukannya 'Hanuman'. Katanya dia bisa mengayunkan senjata berat seperti palu raksasa seolah cuma ranting kecil."

"Woah… jadi semua Class A memang sekuat itu?"

"Entahlah… tapi bayangkan katanya mereka mengalahkan Cold Wyvern sendirian dalam waktu satu jam. Satu jam."

Charles mendengus kesal, menepuk-nepuk gagang senjata yang tergantung di punggungnya—sebuah palu besar dengan ujung logam yang tampak menakutkan.

"Hmph. Bahkan setelah kita keliling tiga kerajaan, tidak ada misi yang menantang. Ini semua terlalu mudah."

Chloe menurunkan tangannya, lalu menyilangkan tangan di dada.

"Sepertinya sekarang memang sedang masa damai. Tidak ada konflik besar, tidak ada serangan monster masif... semua stabil."

Langkah kaki Tyrell dan Arthur menggema di lantai batu mansion. Mereka berjalan santai menuju papan misi, memperhatikan kertas-kertas yang menempel dengan berbagai tanda dan simbol. Sorotan cahaya matahari sore dari jendela memantul di rambut mereka.

Tepat saat mereka sedang membaca misi tentang permintaan pembasmian goblin di pinggiran hutan timur, dua sosok yang hendak keluar dari mansion tiba-tiba berhenti.

"Apa-apaan Aura Mana-nya itu..." batin Chloe, pupil matanya sedikit membesar. Dengan skill Aura Sense-nya yang selalu aktif, ia dapat melihat seperti gelombang cahaya yang mengelilingi seseorang — dan Aura Arthur tampak luar biasa besar, seolah mengalir liar seperti pusaran sungai ajaib.

Ia berbisik pelan ke Charles.

"Apa dia Hunter tingkat tinggi yang sedang GB? Soalnya... orang di sebelahnya tidak punya aura sama sekali."

Charles menatap mereka serius, tangan masih bersandar pada gagang palu.

"Aku juga merasakannya. Tapi... tatapan yang satu lagi itu — yang tidak punya aura. Itu bukan tatapan orang biasa."

Chloe mengangguk ringan. "Haruskah kita dekati? Kalau dia sekuat itu, mungkin bisa kita ajak untuk Raid Emperor Goblin."

"Kesempatan bagus," jawab Charles. "Menjalin hubungan dengan sesama Hunter tingkat tinggi bisa berguna ke depan."

Dengan langkah pelan untuk kewaspadaan, Chloe dan Charles mendekati Tyrell dan Arthur.

"Halo, permisi kalian berdua."

Arthur, yang sedang membaca kertas misi sambil menggigit roti sisa tadi, menoleh. Ia sedikit terkejut melihat siapa yang memanggil.

"Hmmm? Ada apa ya?" gumam Arthur, menatap Chloe dengan sedikit hati-hati. "(Perempuan ini... dia bukan orang biasa. Auranya bersih dan kuat.)"

Chloe tersenyum tipis.

"Apa kalian berdua baru di sini? Kami belum pernah melihat kalian sebelumnya."

Arthur menjawab santai. "Oh iya, kebetulan kami baru datang kemarin."

Seketika suara-suara kecil mulai terdengar dari arah belakang mereka. Bisik-bisik para petualang yang mengamati mulai naik.

"Lihat itu... mereka disapa Chloe dan Charles!"

"Mereka pasti bukan petualang biasa… siapa sebenarnya dua orang itu?" merujuk pada Arthur dan Tyrell

Chloe memandang Tyrell dan Arthur dengan ketertarikan yang tersembunyi. Suasana dalam Mansion agak tenang sore itu, namun ketegangan halus terasa menggantung di udara saat Chloe akhirnya berbicara.

"Kalau begitu kebetulan, kami sedang mencari party untuk memburu Emperor Goblin. Kami kekurangan orang Intermediate Hunter untuk memburunya. Apa kalian berdua mau ikut hunting dengan kami? Hadiah Raid kita bagi 50:50, bagaimana?" ucap Chloe bersemangat.

Ajakan yang terdengar seperti tawaran kerjasama biasa itu juga merupakan peluang langka. Nama Emperor Goblin bukanlah sesuatu yang sering diucapkan dengan santai. Bahkan para veteran pun berpikir dua kali sebelum menantangnya.

Tyrell berkata, "Sebentar, kami pertimbangkan dulu."

Tanpa banyak basa-basi, Tyrell memberi isyarat halus dan mereka berdua mundur sejauh tujuh meter. Di sudut aula yang lebih sepi, suara mereka tenggelam dalam bisikan.

Tyrell berbisik pada Arthur, "Hei, sepertinya mereka mengira kau itu Hunter tingkat tinggi atau apalah namanya. Makanya sebaiknya kau terima dan tetap berpura-pura jadi orang kuat sampai Raid selesai. Kalau terjadi sesuatu, aku akan membantu mu."

Arthur dengan kepercayaan pada Tyrell, "Ok."

Keputusan telah diambil. Mereka melangkah kembali dengan sikap tenang.

Arthur berkata dengan tenang yang tersirat makna lain, "Baiklah, kami akan membantu kalian."

Chloe yang setengah percaya merencanakan situasi jika Arthur dan Tyrell menyerang mereka berdua, "Terima kasih mau membantu kami."

Tatapan Tyrell sempat melirik tajam ke arah Chloe dan Charles. Ada rasa curiga yang perlahan memudar—mereka bukanlah orang jahat, bukan pula pemburu bayaran oportunis. Setidaknya, belum terlihat seperti itu.

Tyrell dalam hati, "(Sepertinya mereka bukan pembunuh ataupun perampok seperti tadi.)"

"Kapan kalian mau Raid-nya?" tanya Arthur.

"Kalau bisa sekarang juga." tegas Chloe, "(Aku khawatir orang ini tidak akan bertahan lama nanti.)" pikirnya.

"Baiklah." sontak Tyrell

Arthur melihat suasana sekitar dan sekilas melihat langit-langit dari jendela, "Sepertinya sebentar lagi langit akan gelap, Yakin sekarang??"

"Tenang saja, aku dan Charles sudah membaca dan mencari informasi tentang mahluk ini sebelumnya, dan seharusnya mahluk itu tidak bisa melihat di malam hari, tapi mereka bisa melihat ketika mata mereka berubah menjadi merah."

"Kalau begitu.. Ke arah mana kita pergi?" tanya Arthur yang tidak yakin.

"Ke arah tenggara. Sana, ada Camp Goblin. Di sanalah ada yang namanya Emperor Goblin." ucap Charles setelah daritadi hanya menyimak percakapan.

Tanpa banyak bicara lagi, mereka berempat meninggalkan Mansion. Langit mulai berubah warna; jingga senja menyelimuti hamparan tanah saat matahari perlahan turun ke cakrawala. Perjalanan mereka menuju kamp musuh terasa seperti langkah menuju babak baru—udara menjadi lebih dingin, angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua. Hening namun penuh makna.

Dan ketika mereka tiba di tempat tujuan saat matahari telah benar-benar tenggelam, apa yang mereka lihat membuat napas tertahan sejenak.

  1. Water Spear Unlocked
  2. Skill pasif yang dimiliki hampir tiap pengguna Sistem di dunia itu, agar pengguna tidak mengalami guncangan mental seperti manusia biasa yang polos.
  3. Skill pasif sama seperti [Stabilized] memiliki fungsi bawaan agar dapat mengerti bahasa dari mahluk yang berbeda sekalipun, tapi untuk trigger harus terdapat 2 orang yang berbicara dengan bahasa yang sama (bahasa yang ingin dimengerti oleh pengguna).
  4. Dalam tiap sistem pengguna memiliki Affection yang berarti hubungan ke pengguna itu sendiri, membuat elemen tiap pengguna berpotensi sangat berbeda walaupun misal sesama pengguna Api. Tapi dalam hal ini, Arthur tidak mempunyai Skill berbasis Api itu sendiri.