beristirahat sejenak

Pagi itu, sinar matahari yang biasanya membangunkan Liora terasa lebih menyilaukan daripada biasanya. Ia membuka matanya perlahan, merasakan kepalanya berat dan tubuhnya lemas. "Kenapa rasanya ngga enak begini ya?" gumamnya sambil mencoba bangkit dari tempat tidur.

Perutnya terasa melilit, dan keningnya panas saat ia menyentuhnya. "Aduh, kok demam sih?" pikirnya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang mungkin menjadi penyebabnya. "Mungkinkah karena makanan di restoran kemarin sama Kak Isabella?" tanyanya dalam hati.

Meski merasa tidak enak badan, Liora memutuskan untuk tetap mengabari para subscribernya. "Mereka pasti menunggu live-ku hari ini," ujarnya pelan sambil menyalakan laptop di samping tempat tidurnya.

Dengan susah payah, ia memasang headset dan membuka aplikasi streaming. Wajah avatarnya muncul di layar, namun kali ini ekspresinya tampak sedikit pucat. "Hai teman-teman..." sapanya dengan suara lembut.

Chat langsung ramai dengan sapaan dan semangat dari para penonton. "Liora! Pagi!", "Semangat ya!", "Apa kabar hari ini?"

Liora tersenyum tipis. "Maaf banget ya, hari ini aku ngga bisa live lama. Aku lagi kurang enak badan, jadi butuh istirahat dulu," ujarnya sambil berusaha terdengar ceria.

Chat dipenuhi dengan pesan perhatian. "Cepat sembuh ya!", "Jaga kesehatan!", "Kami akan menunggu kamu kembali!"

"Terima kasih banyak atas pengertiannya. Kalian memang terbaik!" kata Liora sebelum menutup streaming singkatnya. Ia mematikan laptop dan merebahkan diri kembali di tempat tidur. "Semoga besok sudah mendingan," harapnya.

Sementara itu, di dapur, Nadira sedang menyiapkan sarapan. Biasanya, Liora sudah muncul sambil mengunyah roti panggang sebelum berangkat beraktivitas. Namun pagi ini, suasana sepi. "Aneh, kok dia belum turun ya?" pikir Nadira.

Setelah menunggu beberapa saat, kekhawatiran mulai muncul di benaknya. Ia meletakkan piring yang sedang dicucinya dan mengeringkan tangannya. "Mungkin dia masih tidur," ujarnya sambil berjalan menuju kamar Liora di lantai atas.

Sesampainya di depan pintu kamar, Nadira mengetuk perlahan. "Liora, Sayang, kamu sudah bangun?" tanyanya dengan lembut. Tidak ada jawaban. Ia membuka pintu perlahan dan melihat putrinya terbaring dengan selimut menutupi hingga dagu.

"Liora?" panggilnya lagi sambil mendekat. Ketika ia menyentuh kening Liora, rasa panas langsung terasa di telapak tangannya. "Ya ampun, kamu demam!"

Liora membuka mata perlahan. "Ibu... Aku pusing," ucapnya lemah.

Nadira duduk di tepi tempat tidur, mengelus rambut Liora dengan penuh kasih sayang. "Kenapa ngga bilang dari tadi kalau kamu sakit?" tanyanya dengan nada khawatir.

"Aku ngga mau merepotkan Ibu. Mungkin cuma masuk angin," jawab Liora sambil mencoba tersenyum.

"Jangan bilang begitu. Kesehatanmu yang paling penting," tegas Nadira. "Tunggu sebentar ya, Ibu ambilkan obat dan kompres."

Nadira bergegas ke dapur, menyiapkan air hangat dan handuk kecil untuk mengompres. Ia juga mengambil obat penurun demam dari lemari obat. Kembali ke kamar, ia meletakkan kompres di dahi Liora. "Rasanya lebih enak kan?"

Liora mengangguk pelan. "Terima kasih, Bu."

Nadira duduk di sampingnya, terus mengelus kepala putrinya. "Mungkin karena makanan di restoran kemarin? Apa kamu merasa ada yang ngga enak?"

"Entahlah, Bu. Tapi perutku juga sakit," jawab Liora sambil memegang perutnya.

Nadira semakin khawatir. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi suaminya, Arya, yang sedang berada di Fopuveria Foundation. "Halo, Mas. Liora sakit. Demam dan sakit perut," ujarnya dengan suara cemas.

Di seberang sana, Arya langsung merespon. "Apa? Aku akan segera pulang. Kamu sudah kasih obat?"

"Sudah, tapi aku khawatir kalau ini lebih serius."

"Baik, aku akan mengurus izin dan pulang sekarang juga. Tolong jaga Liora dulu ya."

"Ya, Mas. Hati-hati di jalan."

Setelah menutup telepon, Nadira kembali fokus pada Liora. "Ayahmu akan segera pulang. Kita mungkin perlu ke dokter kalau kondisimu ngga membaik."

Liora menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Maaf ya, Bu, merepotkan."

Nadira tersenyum lembut. "Kamu ngga pernah merepotkan Ibu, Sayang. Kamu anak Ibu satu-satunya. Kesehatanmu adalah yang terpenting."

Waktu berlalu, Nadira tetap setia di samping Liora, mengganti kompres dan memastikan putrinya merasa nyaman. Sesekali, ia menyenandungkan lagu pengantar tidur yang biasa ia nyanyikan saat Liora masih kecil.

"Ibu masih ingat lagu itu," kata Liora dengan suara lirih.

"Tentu saja. Lagu ini selalu berhasil membuatmu tidur nyenyak," balas Nadira sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu depan terbuka. "Liora! Nadira!" panggil Arya dengan nada panik.

"Kami di atas, Mas!" jawab Nadira.

Arya bergegas naik dan memasuki kamar Liora. Melihat kondisi putrinya, ia duduk di sisi lain tempat tidur dan menggenggam tangan Liora. "Bagaimana perasaanmu, Nak?"

Liora mencoba tersenyum. "Sedikit mendingan, Yah. Tapi masih pusing."

"Kita ke rumah sakit saja ya, biar diperiksa lebih lanjut," saran Arya.

Nadira mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Khawatir kalau ada infeksi atau keracunan makanan."

Arya menghubungi dokter langganan keluarga mereka dan membuat janji untuk segera diperiksa. "Mobil sudah siap. Kita berangkat sekarang ya," katanya sambil membantu Liora bangun perlahan.

Dengan hati-hati, mereka membawa Liora ke mobil. Selama perjalanan, Arya menyetir dengan tenang meski hatinya cemas. Nadira duduk di belakang, memeluk Liora agar ia merasa nyaman.

"Maaf merepotkan Ayah dan Ibu," ujar Liora dengan suara pelan.

"Jangan berkata begitu. Kami sayang kamu," jawab Arya sambil menatap melalui kaca spion.

Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung diterima oleh dokter yang sudah menunggu. Setelah serangkaian pemeriksaan, dokter menyimpulkan bahwa Liora mengalami gastritis akut kemungkinan akibat makanan yang tidak cocok.

"Tidak terlalu serius, tapi perlu istirahat dan perawatan," kata dokter sambil tersenyum menenangkan.

"Terima kasih banyak, Dokter," ucap Arya dan Nadira hampir bersamaan.

Kembali ke rumah, Liora ditemani oleh kedua orang tuanya. Nadira menyiapkan bubur hangat dan teh herbal untuk membantu pemulihan. Arya membacakan buku favorit Liora saat kecil untuk menghiburnya.

"Masa Ayah masih ingat buku itu?" tanya Liora dengan mata berbinar meski lelah.

"Tentu saja. Kita pernah membacanya berkali-kali," jawab Arya sambil tertawa kecil.

Malam itu, sebelum tidur, Liora merasa hatinya hangat meski tubuhnya lemah. "Terima kasih, Ayah, Ibu. Aku beruntung punya kalian," katanya tulus.

"Kami juga beruntung memiliki kamu, Sayang," jawab Nadira sambil mengecup keningnya.

"Kamu istirahat yang cukup ya. Besok pasti sudah lebih baik," tambah Arya.

Liora menutup matanya dengan perasaan tenang. Meskipun sakit, cinta dan perhatian dari keluarganya membuatnya merasa kuat. "Besok aku pasti sembuh," gumamnya sebelum terlelap.

---

Pagi berikutnya, sinar matahari masuk melalui jendela, memberikan kehangatan. Liora membuka matanya dan merasa tubuhnya lebih ringan. Demamnya menurun, dan perutnya tidak lagi sakit.

"Ibu, Ayah!" panggilnya dengan suara lebih kuat.

Nadira dan Arya masuk ke kamar dengan ekspresi lega. "Bagaimana perasaanmu, Sayang?" tanya Nadira.

"Jauh lebih baik, Bu. Aku sudah lebih segar."

"Syukurlah," ucap Arya sambil tersenyum. "Kamu bikin kami khawatir."

"Maaf ya," Liora tertawa kecil.

Setelah sarapan ringan, Liora duduk di teras belakang, menikmati udara segar. Ia membuka ponselnya dan melihat banyak pesan dari para subscriber dan teman-temannya yang mengkhawatirkan kondisinya.

"Terima kasih atas doanya. Aku sudah merasa lebih baik," tulisnya di media sosial.

Keesokan harinya, Pagi itu, Liora bangun dengan perasaan lebih segar. Demamnya sudah hilang, dan tubuhnya terasa lebih ringan. "Wah, akhirnya mendingan juga," gumamnya sambil meregangkan tubuh. Matahari sudah mulai naik, memberikan cahaya hangat yang masuk melalui tirai kamarnya.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian nyaman—kaos oversized dengan gambar kelinci dan celana jeans—ia menuju meja kerjanya. "Aku harus update ke para subscriber nih, biar mereka nggak khawatir," pikirnya sambil menyalakan laptop.

Setelah semua peralatan siap, Liora membuka aplikasi streaming dan memasang avatarnya. Wajah virtualnya muncul di layar dengan senyum ceria. "Halo semuanya! Selamat pagi!" sapanya dengan semangat.

Chat langsung ramai dengan pesan dari para subscriber.

"Hi Liora!"

"Senang melihatmu kembali!"

"Bagaimana kabarmu sekarang?"

Liora tertawa kecil. "Aku sudah jauh lebih baik, teman-teman. Terima kasih banyak atas doanya ya!"

"Syukurlah!"

"Jaga kesehatan ya!"

"Nggak sabar untuk live kali ini!"

Liora mengangguk. "Iya, tapi karena aku masih dalam pemulihan, hari ini live-nya nggak bisa lama-lama ya."

"Nggak apa-apa kok!"

"Yang penting kamu sehat!"

Setelah ngobrol dan bermain game ringan selama sekitar setengah jam, Liora memutuskan untuk menutup sesi live-nya. "Oke deh, teman-teman. Sampai di sini dulu ya. Terima kasih sudah menemani aku hari ini. Kalian memang terbaik!"

"Bye Liora!"

"Get well soon!"

"Kami selalu mendukungmu!"

Setelah menutup streaming, Liora meregangkan tangannya. "Waktunya menikmati hari!" ujarnya dengan senyum.

***

Di luar, cuaca cerah dengan langit biru tanpa awan. Liora memutuskan untuk keluar dan menikmati udara segar. Ia mengganti pakaiannya dengan setelan olahraga—kaos lengan pendek dan celana training. Rambutnya diikat kuncir kuda, memberikan kesan sporty namun tetap manis.

Saat keluar rumah, ia melihat tetangganya, Cicil, sedang menyapu halaman. Cicil adalah gadis sebaya yang ramah dan selalu ceria.

"Hai, Cicil!" sapa Liora sambil melambaikan tangan.

"Eh, Liora! Udah sembuh nih?" tanya Cicil dengan senyum lebar.

"Udah dong. Makanya mau gerak-gerak biar badan makin fit."

"Bagus deh! Mau main badminton nggak? Aku lagi nggak ada kerjaan nih," tawar Cicil sambil mengangkat raketnya.

"Emang bawa raket? Kebetulan banget! Yaudah, let's go!" balas Liora antusias.

Mereka berdua menuju lapangan kecil di taman komplek. Angin sepoi-sepoi membuat suasana makin nyaman. Pertandingan pun dimulai dengan tawa dan canda.

"Awas, aku smash nih!" teriak Cicil sambil memukul shuttlecock dengan keras.

"Waduh, nggak kena!" Liora tertawa sambil mencoba mengembalikan pukulan.

Pertandingan berlangsung seru. Keduanya saling menggoda dan bercanda.

"Kamu makin jago aja, Lio!"

"Ah, biasa aja kali. Kamu yang lengah tadi," balas Liora sambil menjulurkan lidah.

Setelah puas bermain badminton, mereka beristirahat sejenak di bangku taman.

"Aku dengar di lapangan sebelah ada yang main voli. Ikutan yuk!" ajak Cicil.

"Loh, emang boleh gabung?"

"Boleh lah. Mereka juga tetangga kita kok."

Tanpa ragu, mereka menuju lapangan voli. Benar saja, beberapa pemuda dan pemudi sedang bermain di sana.

"Hai teman-teman! Boleh gabung nggak?" tanya Cicil dengan ramah.

"Eh, tentu saja! Makin rame makin seru," jawab salah satu dari mereka.

Pertandingan voli pun dimulai. Liora merasa senang bisa bergerak aktif setelah beberapa hari sakit. Ia menikmati setiap detiknya, tertawa bersama teman-teman barunya.

"Nih, bola buat kamu, Lio!" teriak salah satu pemain sambil melempar bola.

"Siap!" Liora melompat dan memukul bola dengan keras. "Yes! Masuk!"

"Skornya imbang nih! Lanjut terus!"

Mereka bermain hingga sore hari. Matahari mulai beranjak turun, memberikan warna oranye keemasan di langit.

"Seru banget hari ini," kata Liora sambil mengusap keringat di dahinya.

"Setuju. Besok-besok kita main lagi ya," ujar Cicil.

"Pasti!"

***

Dalam perjalanan pulang, Liora melewati jalan utama komplek yang cukup ramai. Tiba-tiba, ia mendapat ide. "Kayaknya seru kalau aku nyanyi di sini," pikirnya.

Ia pulang sebentar untuk mengambil kostum imut yang bisa menutupi telinga kelincinya—hoodie dengan penutup kepala berbentuk telinga beruang. Setelah itu, ia kembali ke tepi jalan.

Dengan percaya diri, Liora mulai bernyanyi lagu-lagu populer dengan suaranya yang merdu. Beberapa pejalan kaki berhenti untuk mendengarkan. Ada yang merekam, ada yang ikut bernyanyi.

"Suara kamu bagus banget, Dek!" puji seorang ibu yang lewat.

"Terima kasih, Bu!" jawab Liora sambil tersenyum manis.

Tak hanya pejalan kaki, beberapa pengendara motor dan mobil juga memperlambat laju mereka untuk mendengarkan. Suasana menjadi meriah.

"Lagu apa lagi nih enaknya?" tanya Liora kepada kerumunan kecil yang mulai terbentuk.

"Coba nyanyiin lagu yang tadi lagi!" seru seorang anak kecil.

"Oke! Buat adik kecil yang manis ini, ya!" Liora kembali menyanyikan lagu tersebut dengan penuh semangat.

Waktu berlalu tanpa terasa. Langit mulai gelap, dan lampu-lampu jalan menyala, menambah keindahan suasana malam.

"Terima kasih ya semuanya sudah mau mendengarkan aku. Kalian keren banget!" ucap Liora sambil membungkuk hormat.

"Besok nyanyi lagi ya!" teriak seseorang dari kerumunan.

"Pasti!"

Dengan hati riang, Liora berjalan pulang. Ia merasa hari ini sangat berharga. Bisa berinteraksi langsung dengan orang-orang di sekitarnya memberikan kebahagiaan tersendiri.

Sesampainya di rumah, Nadira menyambutnya di pintu. "Wah, dari mana aja nih anak Ibu sampai malam begini?" tanyanya dengan nada lembut.

"Lagi jalan-jalan aja, Bu. Terus tadi nyanyi di jalan sebentar," jawab Liora sambil tersenyum.

"Nyanyi di jalan? Seru juga ya. Yang penting kamu senang dan hati-hati."

"Iya, Bu. Aku mandi dulu ya, habis itu langsung tidur."

"Jangan lupa makan malam dulu. Ibu sudah siapkan sup ayam kesukaanmu."

"Wah, enaknya! Makasih ya, Bu."

Setelah mandi dan makan malam, Liora merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Rasa lelah mulai terasa, tapi hatinya puas.

"Hari ini lengkap banget. Main bareng teman-teman, nyanyi, dan ketemu orang-orang baik," pikirnya sambil menatap langit-langit kamar.

Ia mengambil ponselnya dan melihat pesan dari beberapa subscriber.

"~~"

"~~ !"

Liora tersenyum. "mereka semua lucu lucu ya, pesannya" gumamnya.

Setelah menaruh ponselnya di samping bantal, Liora menutup matanya.

Pagi itu, Liora terbangun, Sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela kamarnya, memberikan kehangatan yang nyaman.

Setelah mandi dengan air hangat yang menyegarkan, ia mengenakan kaos putih sederhana dan celana jeans pendek. Rambutnya diikat kuncir kuda, memberikan kesan santai namun tetap manis. Di dapur, aroma roti panggang dan telur orak-arik menyambutnya.

"Pagi, Sayang!" sapa Nadira, ibunya, sambil meletakkan sarapan di meja.

"Pagi, Bu! Wah, sarapannya menggoda banget," balas Liora sambil duduk.

"Rencananya hari ini mau ke mana?" tanya Nadira sambil menuangkan jus jeruk ke gelas Liora.

"Aku mau ikut memancing di laut bareng para nelayan, Bu. Pengen coba pengalaman baru," jawab Liora dengan antusias.

Nadira tersenyum. "Seru tuh! Tapi hati-hati ya. Pakai sunblock biar nggak gosong."

"Siap, Bu! Aku bawa topi juga kok," Liora menunjukkan topi jerami lebar yang ia gantungkan di tas.

Setelah sarapan, Liora berpamitan. "Aku berangkat dulu ya, Bu!"

"Hati-hati di jalan. Jangan lupa bawa air minum," pesan Nadira.

---

Di pelabuhan kecil dekat rumahnya, Liora bertemu dengan Pak Budi, nelayan ramah yang sudah ia kenal sejak kecil.

"Pagi, Pak Budi!" sapa Liora sambil melambaikan tangan.

"Pagi juga, Liora! Jadi kamu mau ikut melaut hari ini?" tanya Pak Budi dengan senyum lebar.

"Iya, Pak. Boleh kan?" tanya Liora dengan mata berbinar.

"Tentu saja! Semakin ramai semakin seru," balas Pak Budi sambil mengajak Liora naik ke perahu.

Perahu kayu berwarna biru dan putih itu bergerak perlahan meninggalkan dermaga, membelah air laut yang tenang. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Liora, memberikan sensasi menyegarkan. Di kejauhan, garis cakrawala tampak jelas di bawah langit biru cerah.

"Bapak Nelayan pada ke mana?" tanya Liora melihat hanya ada beberapa orang di perahu.

"Mereka sudah berangkat lebih awal. Kita akan menyusul ke spot yang bagus," jawab Pak Budi sambil mengarahkan kemudi.

Selama perjalanan, Liora dan Pak Budi berbincang tentang banyak hal. Pak Budi menceritakan pengalamannya saat melaut, cerita-cerita lucu, hingga tantangan yang pernah ia hadapi.

"Seru banget ya, Pak. Pekerjaan Bapak penuh petualangan," kata Liora kagum.

"Ya begitulah, Nak. Tapi kita harus cinta dengan apa yang kita lakukan," balas Pak Budi bijak.

Sesampainya di tengah laut, Pak Budi menurunkan jangkar. "Di sini tempatnya. Banyak ikan besar kalau beruntung," ujarnya sambil menyiapkan alat pancing.

Liora mengambil satu set pancing yang disediakan. "Cara pasang umpannya gimana, Pak?"

"Begini caranya," Pak Budi menunjukkan dengan sabar. "Perlahan saja, biar umpan nggak rusak."

Setelah siap, Liora melemparkan tali pancing ke air. Ia duduk di tepi perahu, menunggu dengan penuh harap.

Angin laut dan suara ombak membuat suasana terasa damai. Tiba-tiba, tali pancing Liora terasa ditarik.

"Pak! Sepertinya ada yang nyangkut!" serunya dengan mata melebar.

"Tarik perlahan! Jangan buru-buru," kata Pak Budi sambil mendekat.

Liora menarik tali dengan hati-hati. "Wah, berat juga!"

Setelah beberapa saat, muncul seekor ikan berwarna perak mengkilap. "Wow! Ikan kerapu!" seru Pak Budi.

"Yeay! Aku dapat ikan!" Liora bersorak gembira.

"Bagus, Nak! Kamu cepat belajar," puji Pak Budi sambil membantu melepas ikan dari kail.

Mereka melanjutkan memancing hingga siang. Liora berhasil menangkap beberapa ikan lagi, termasuk ikan kakap merah dan baronang.

"Pak Budi, saya suka banget pengalaman ini. Rasanya seru dan menantang," kata Liora sambil tersenyum lebar.

"Senang dengarnya. Kamu berbakat jadi nelayan nih," candanya.

Menjelang sore, matahari mulai condong ke barat. Langit berubah warna menjadi oranye keemasan.

"Kita kembali ke darat sekarang," ujar Pak Budi sambil menaikkan jangkar.

Perahu mereka melaju perlahan menuju pelabuhan. Liora duduk sambil memandang matahari terbenam. "Indah banget," gumamnya.

"Betul, pemandangan seperti ini yang membuat Bapak selalu bersyukur," kata Pak Budi sambil tersenyum.

Sesampainya di pelabuhan, Liora berpamitan. "Terima kasih banyak ya, Pak Budi. Hari ini menyenangkan sekali."

"Sama-sama, Liora. Kapan-kapan ikut lagi ya."

"Siap, Pak!"

---

Di rumah, Liora membawa hasil tangkapannya ke dapur. "Bu, aku bawa ikan segar nih!" serunya.

Nadira muncul dari ruang tamu. "Wah, banyak sekali! Ini semua hasil tangkapanmu?"

"Iya, Bu. Aku dapat bantuan dari Pak Budi juga."

"Mantap! Kita masak buat makan malam ya."

"Iya, aku bantuin deh."

Mereka berdua mulai membersihkan ikan.

Nadira mengajari Liora cara membersihkan sisik dan isi perut ikan dengan benar.

"Pelan-pelan, biar dagingnya nggak rusak," kata Nadira sambil menunjukkan caranya.

Setelah ikan bersih, mereka memutuskan untuk memasak beberapa menu. Ikan kerapu dibuat sup asam pedas, ikan kakap merah digoreng dengan bumbu kunyit, dan ikan baronang dibakar dengan sambal kecap.

"Aroma masakannya menggoda banget!" ujar Liora sambil menghirup aroma masakan.

"Sudah lapar ya?" tanya Nadira sambil tertawa.

"Banget, Bu!"

Tak lama kemudian, Arya, ayah Liora, pulang dari kantor. "Wah, ada pesta apa nih? Makanannya kelihatan enak sekali," katanya sambil mencium aroma masakan.

"Ayah, ini hasil tangkapan Liora hari ini," jelas Nadira.

"Hebat kamu, Sayang!" puji Arya sambil mengacak rambut Liora.

Mereka bertiga duduk di meja makan, menikmati hidangan yang telah disiapkan. Suasana hangat dan penuh canda tawa mengisi ruangan.

"Ini enak banget!" kata Arya sambil mengambil potongan ikan lagi.

"Kerja sama tim antara aku dan Ibu dong," kata Liora sambil tersenyum bangga.

Setelah makan malam, Liora membantu ibunya merapikan dapur. "Hari ini melelahkan, tapi menyenangkan," ujarnya.

"Senang melihat kamu menikmati harimu," balas Nadira.

---

Malam mulai larut. Liora masuk ke kamarnya setelah mandi. Ia merebahkan diri di tempat tidur, menatap langit-langit kamar.

"Ternyata memancing itu seru banget. Kapan-kapan harus coba lagi," pikirnya.

Ia memejamkan mata.

"Semoga mimpi indah," bisiknya sebelum terlelap dalam tidur yang nyenyak.

---

Pagi-pagi banget, Sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai kamarnya, membuat suasana jadi hangat dan nyaman. "Hari ini mau ngapain ya yang seru?" gumamnya sambil meregangkan tubuh.

Setelah mandi dengan air hangat yang bikin segar, Liora memilih pakaian santai—kaos lengan pendek bergambar karakter anime favoritnya dan celana jeans panjang. Rambutnya diikat setengah, memberikan kesan manis tapi tetap casual.

Di meja makan, ibunya, Nadira, sudah menyiapkan sarapan. "Pagi, Sayang! Sarapan dulu biar kuat seharian," sapa Nadira sambil menyodorkan sepiring roti panggang dengan selai cokelat dan segelas jus jeruk.

"Pagi, Bu! Wah, favoritku nih," balas Liora sambil duduk dan mulai makan.

"Rencananya hari ini mau kemana?" tanya ibunya dengan senyum lembut.

"Hmm, aku pengen keliling kota, Bu. Mungkin mampir ke perpustakaan, terus ikut kegiatan sosial gitu," jawab Liora sambil mengunyah.

"Bagus tuh! Daripada di rumah terus. Tapi jangan lupa pulang sebelum malam ya," pesan Nadira.

"Siap, Bu! Nanti kalau sudah mau malam, aku langsung pulang," janji Liora sambil menghabiskan sarapannya.

Setelah berpamitan, Liora keluar rumah dengan tas ransel kecil di punggungnya. Udara pagi yang segar membuatnya merasa lebih bersemangat. "Oke, tujuan pertama: perpustakaan kota!" ujarnya sambil berjalan menuju halte bus terdekat.

Sesampainya di perpustakaan, Liora disambut dengan suasana tenang dan aroma khas buku-buku. Ia langsung menuju rak buku sains, mencari referensi untuk ide konten selanjutnya. "Wah, buku tentang teknologi energi terbarukan! Menarik nih," gumamnya sambil mengambil buku tersebut dan mencari tempat duduk.

Sambil membaca, Liora mencatat hal-hal penting di notepadnya. "Ini bisa jadi bahan buat konten edukasi di channel-ku," pikirnya. Tak terasa, sudah hampir dua jam ia tenggelam dalam bacaan.

Ketika hendak mengembalikan buku, ia melihat seorang anak kecil yang kesulitan mengambil buku di rak atas. "Eh, adik butuh bantuan?" tanya Liora dengan ramah.

Anak itu mengangguk malu-malu. "Iya Kak, aku nggak bisa ambil buku itu."

Liora tersenyum dan mengambilkan buku yang dimaksud. "Nih, hati-hati ya."

"Terima kasih, Kak!" balas anak itu dengan mata berbinar.

"Senang bisa membantu. Rajin membaca ya!"

Setelah keluar dari perpustakaan, Liora memutuskan untuk mampir ke taman kota. Suasana di sana cukup ramai, dengan anak-anak bermain, orang-orang berolahraga, dan penjual makanan keliling. "Asik nih, bisa jajan sekalian," ujarnya sambil mendekati penjual es krim.

"Satu es krim rasa stroberi ya, Pak," pesan Liora.

"Baik, Mbak. Ini es krimnya," kata si penjual sambil menyerahkan es krim.

Sambil menikmati es krim, Liora duduk di bangku taman. Tiba-tiba, matanya tertuju pada sekelompok orang yang sedang berkumpul. Ternyata, mereka adalah komunitas yang sedang melakukan kegiatan sosial—membagikan makanan gratis untuk tunawisma.

"Menarik," pikir Liora. Ia pun mendekat dan bertanya kepada salah satu anggota. "Maaf, Kak. Ini lagi ada kegiatan apa ya?"

"Oh, kami dari komunitas 'Berbagi Senyum'. Hari ini kami membagikan makanan untuk saudara-saudara kita yang membutuhkan. Mau ikut bergabung?" tawar perempuan itu dengan ramah.

"Wah, boleh banget! Aku Liora, senang bisa membantu," jawabnya antusias.

"Salma di sini. Ayo, kita mulai!"

Liora diberikan beberapa paket makanan untuk dibagikan. Ia merasa senang bisa terlibat langsung dalam kegiatan sosial seperti ini. Setiap senyum dan ucapan terima kasih dari orang-orang yang menerima membuat hatinya hangat.

"Terima kasih ya, Nak. Semoga rezekimu lancar," ucap seorang kakek sambil menerima makanan dari Liora.

"Sama-sama, Kek. Sehat-sehat selalu ya," balasnya dengan tulus.

Setelah selesai, anggota komunitas berkumpul kembali. "Terima kasih untuk partisipasinya hari ini. Tanpa kalian, kegiatan ini nggak akan berjalan lancar," kata Salma kepada semua yang hadir.

"Senang bisa ikut serta. Kalau ada kegiatan lagi, boleh aku ikut?" tanya Liora.

"Tentu saja! Kami selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin berbagi. Nanti aku masukkan kamu ke grup ya," Salma tersenyum.

Setelah berpamitan, Liora merasa harinya semakin berarti. "Ternyata banyak hal positif yang bisa kita lakukan di luar sana," pikirnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Liora memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di pusat kota. Ia memasuki toko buku, butik kecil, dan kedai kopi untuk sekadar melihat-lihat. Di salah satu sudut jalan, ia melihat keramaian.

"Ada apa tuh?" penasaran, ia mendekati kerumunan. Ternyata, ada pertunjukan musik jalanan. Seorang pemuda dengan gitar akustik sedang menyanyikan lagu-lagu populer. Suaranya merdu dan permainan gitarnya apik.

Liora terpukau dan ikut menyanyi pelan. Setelah lagu selesai, ia bertepuk tangan bersama penonton lainnya. "Keren banget, Mas!" serunya.

Pemuda itu tersenyum. "Terima kasih! Senang bisa menghibur kalian."

Merasa terinspirasi, Liora memberanikan diri untuk mendekat. "Mas, boleh nggak kalau aku nyanyi satu lagu bareng?"

"Tentu saja! Ayo, sini," ajak pemuda itu sambil memberikan mikrofon kedua.

Mereka pun berduet menyanyikan lagu yang ceria. Suara Liora yang merdu berpadu harmonis dengan lantunan gitar. Penonton semakin ramai dan antusias.

"Wah, suara Mbak bagus banget!" puji pemuda itu setelah lagu selesai.

"Makasih, Mas. Permainan gitarnya juga keren."

Setelah itu, mereka berbincang sebentar. "Aku Rizal, sering perform di sini," katanya.

"Aku Liora. Senang bisa kenalan."

"Kalau ada waktu, kita collab lagi ya?"

"Siap! Aku pasti mampir lagi," janji Liora sambil tersenyum.

Langit mulai meredup, matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Liora memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan, ia merasa puas dengan hari ini. Banyak hal bermanfaat yang sudah dilakukannya.

Sesampainya di rumah, Nadira menyambutnya. "Wah, anak Ibu baru pulang. Capek, Nak?" tanyanya.

"Sedikit, Bu. Tapi senang banget. Banyak pengalaman seru hari ini," jawab Liora sambil melepaskan sepatu.

"Mau makan dulu atau mandi dulu?"

"Mandi dulu deh, Bu. Biar fresh."

Setelah mandi dan makan malam, Liora merasa tubuhnya mulai lelah. "Kayaknya aku tidur lebih awal aja malam ini," pikirnya.

Ia masuk ke kamar, merebahkan tubuhnya di tempat tidur yang empuk. Menatap langit-langit kamar, Liora mengingat kembali semua kejadian hari ini.

"~~" ucapnya pelan sebelum menutup mata.

Perlahan-lahan, ia terlelap dalam tidur yang nyenyak, siap menyambut petualangan baru di hari esok

---

Malam itu, Liora tertidur dengan tubuh yang lelah setelah seharian beraktivitas. Suara angin malam yang berbisik lembut melalui jendela kamarnya membuat suasana terasa tenang. Namun, ketenangan itu perlahan berubah saat alam bawah sadarnya mulai memainkan gambaran-gambaran aneh.

Dalam mimpinya, Liora berada di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya remang-remang. Dinding di sekelilingnya tampak bergerak, seolah bayangan-bayangan menari mengikuti irama yang tidak terdengar. Tiba-tiba, suara laki-laki yang lembut namun menggoda memecah keheningan.

"Hai, Liora," sapa suara itu. Liora menoleh ke segala arah, mencoba mencari sumber suara. "Siapa di sana?" tanyanya dengan nada waspada.

Sebuah bayangan muncul di sudut ruangan, membentuk sosok laki-laki yang samar. Wajahnya tidak jelas, namun senyumnya terlihat menggoda. "Aku hanya pengagum rahasiamu," ujarnya sambil mendekat perlahan.

Liora mundur selangkah. "Apa yang kamu inginkan?" tanyanya dengan jantung berdebar.

"Tak ada yang spesifik. Hanya ingin menikmati waktuku bersamamu," jawabnya sambil tertawa kecil.

Suara tawa itu membuat Liora merinding. "Aku harus pergi," katanya sambil berusaha mencari pintu keluar. Namun, ruangan itu seperti labirin tanpa ujung.

Laki-laki itu terus mendekat, suaranya semakin menggoda. "Kenapa terburu-buru? Kita baru saja mulai bersenang-senang."

Tiba-tiba, suasana berubah drastis. Ruangan gelap itu kini dipenuhi bayangan yang bergerak sendiri. Suara berat dan mengancam menggema di seluruh ruangan. "Liora... Kau tak bisa lari dariku," kata suara itu dengan nada mengintimidasi.

Liora menutup telinganya, mencoba menghalau suara tersebut. "Tinggalkan aku!" teriaknya panik.

Bayangan besar dengan mata merah menyala muncul di depannya. "Semua usahamu sia-sia. Kau tak akan pernah berhasil," ujarnya dengan suara menggema.

Liora merasakan ketakutan yang mendalam. "Tidak! Aku tidak akan menyerah!"

Kemudian, pemandangan berganti lagi. Kini, ia berada di sebuah ruangan mewah dengan lantai marmer dan lampu kristal bergantung di langit-langit. Seorang wanita bergaun hitam elegan berdiri di depannya. Wajahnya cantik namun tatapannya tajam dan dingin.

"Jadi, kamu pikir novelmu 'My Bunny Girls' akan sukses?" tanya wanita itu dengan nada sinis.

Liora terkejut. "Bagaimana kamu tahu tentang novelnya?"

Wanita itu tersenyum miring. "Aku tahu segalanya. Dan aku di sini untuk memberitahumu bahwa karyamu akan gagal total pada bulan Januari 2025."

Detak jantung Liora semakin cepat. "Tidak mungkin! Aku sudah bekerja keras untuk itu!"

"Kerja keras? Dunia tidak peduli seberapa keras kamu berusaha. Mereka hanya menunggu kegagalanmu," balas wanita itu sambil melipat tangan di dada.

Air mata mulai menggenang di mata Liora. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Banyak orang yang mendukungku."

Wanita itu tertawa kecil. "Kita lihat saja nanti," katanya sebelum menghilang dalam kepulan asap hitam.

Liora terduduk lemas. Perasaan putus asa menghampirinya. Namun, sebelum ia tenggelam lebih dalam, suasana kembali berubah.

Kini, ia berada di pantai dengan pasir putih dan ombak yang tenang. Matahari senja mewarnai langit dengan gradasi oranye dan ungu. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, memberikan perasaan damai.

"Di mana aku sekarang?" bisiknya.

Sebuah suara laki-laki yang familiar terdengar di belakangnya. "Tempat di mana kamu bisa merasa tenang."

Liora berbalik dan melihat sosok laki-laki berwujud bayangan dengan aura hangat. Meski wajahnya tidak jelas, kehadirannya memberikan kenyamanan. "Kamu lagi?" tanyanya, kali ini tanpa rasa takut.

Laki-laki itu tersenyum. "Maaf jika sebelumnya membuatmu takut. Aku hanya ingin menemanimu."

Mereka berjalan bersama di tepi pantai, kaki mereka menyentuh air laut yang hangat. Percakapan ringan mengalir, membahas impian dan harapan.

"Kamu tahu, kadang aku merasa ragu dengan diriku sendiri," ungkap Liora.

"Itu wajar. Tapi ingat, kamu memiliki kekuatan lebih dari yang kamu sadari," jawabnya sambil menatapnya dalam-dalam.

Liora merasakan kedamaian di hatinya. "Terima kasih sudah ada di sini."

"Liora, kamu istimewa," bisik laki-laki itu sambil mendekat.

Jantungnya berdebar kencang. Saat mereka semakin dekat, perasaan hangat menyelimuti. Mereka saling menatap sebelum akhirnya bibir mereka bersentuhan dalam ciuman lembut. Dunia seolah berhenti sejenak.

Namun, tiba-tiba gelombang besar datang, menghantam mereka dan membuat Liora terbangun.

Dengan napas tersengal-sengal, Liora membuka matanya. Kamar tidurnya gelap, hanya disinari cahaya bulan yang masuk melalui jendela. "Astaga, mimpi apa barusan?" katanya sambil memegang dadanya yang masih berdetak kencang.

Ia duduk di tempat tidur, mencoba menenangkan diri. "Kenapa mimpi itu terasa begitu nyata?" pikirnya. Bayangan sosok-sosok dalam mimpinya masih terngiang di benaknya.

Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul 4 pagi. "Masih terlalu pagi untuk bangun," gumamnya. Tapi perasaannya gelisah.

Liora memutuskan untuk mengambil segelas air di dapur. Langkahnya pelan agar tidak membangunkan orang tuanya. Di dapur, ia menyalakan lampu kecil dan meneguk air putih. "Apa arti mimpi itu?" tanyanya pada diri sendiri.

Kembali ke kamarnya, Liora duduk di meja kerjanya. Ia membuka laptop dan melihat draft novelnya "My Bunny Girls" yang sedang dalam proses. Teringat kata-kata wanita dalam mimpinya, ia merasa perlu membuktikan bahwa ia bisa.

"Aku tidak akan membiarkan rasa takut menghalangiku," tekadnya sambil mengetik beberapa kalimat baru.

Setelah beberapa saat, mata Liora mulai berat. Ia memutuskan untuk mencoba tidur kembali. "Semoga mimpi buruk itu tidak datang lagi," harapnya sambil merebahkan diri lalu melelapkan matanya secara perlahan.

Kali ini, ia kembali berada di laboratorium gelap yang dingin, dikelilingi oleh peralatan sains yang tampak rusak dan berkarat. Cahaya lampu berkedip-kedip, menimbulkan bayangan menyeramkan di dinding.

Di hadapannya, eksperimen genetik hewan fotosintesis yang selama ini ia kerjakan tampak berantakan. Hewan-hewan yang seharusnya bisa melakukan fotosintesis kini tergeletak tak bernyawa, warnanya pucat dan tak bersinar.

"Tidak... ini tidak mungkin," gumam Liora dengan suara gemetar. Ia mencoba menyentuh salah satu hewan tersebut, namun tubuhnya hancur menjadi debu saat disentuh. Perasaan putus asa mulai merayapi hatinya.

Tiba-tiba, sosok bayangan besar dengan mata merah menyala muncul di sudut ruangan. Suaranya berat dan mengancam. "Lihatlah hasil karyamu, Liora. Teorimu salah. Semua usahamu akan sia-sia."

Liora mundur beberapa langkah, hatinya berdebar kencang. "Siapa kamu? Kenapa kamu mengatakan itu?" tanyanya dengan suara bergetar.

Bayangan itu mendekat, auranya menekan dan membuat napas Liora sesak. "Aku adalah diri mu sendiri. Kau tak akan pernah berhasil. Eksperimenmu tidak berguna."

"Tidak! Aku sudah bekerja keras. Aku yakin dengan teoriku," balas Liora mencoba tegar, meski hatinya diliputi rasa takut.

Bayangan itu tertawa sinis. "Yakin? Lihatlah sekelilingmu. Kegagalan demi kegagalan. Kau hanyalah pengejar mimpi kosong."

Liora merasa air matanya mulai mengalir. "Aku tidak akan menyerah. Aku akan mencoba lagi."

"Percuma. Dunia tidak butuh ide-ide bodohmu," bayangan itu semakin menekan.

Saat itu juga, suasana berganti. Liora kini berada di sebuah ruangan gelap dengan cermin-cermin besar di sekelilingnya. Dari cermin-cermin itu, muncul sosok wanita bergaun hitam dengan senyum licik.

"Oh, Liora. Masih berharap 'My Bunny Girls' akan sukses ?" tanya wanita itu dengan nada mengejek.

Liora menghapus air matanya. "Apa urusanmu ?, Aku percaya pada karyaku."

Wanita itu melangkah mendekat. "Urusanku ?, Aku hanya ingin memberitahumu bahwa novelmu akan di benci banyak pembaca, Fikirkan, Kau menuliskan tentang sains dan agama secara bersamaan, apakah kau masih waras !? ."

"Kenapa kamu begitu ?, ceritaku mengandung banyak makna," jawab Liora dengan suara bergetar.

Wanita itu tertawa kecil. "Keyakinanmu itu naif seperti dirimu yang bodoh di dunia nyata."

Perkataan itu menusuk hati Liora.

"Tidak... itu tidak benar."

"Terimalah kenyataannya. Lebih baik kau membunuh dirimu sendiri sebelum terluka lebih dalam," ujar wanita itu sambil menyentuh bahu Liora dengan tangan dinginnya.

Liora merasa dingin menyelimuti tubuhnya. "Kenapa kamu melakukan ini padaku... ?"

"Karena aku adalah dirimu yang sangat payah."

Sekali lagi, suasana berubah. Kini, Liora berada di pantai dengan langit senja yang indah.

Ombak tenang dan angin sepoi-sepoi memberikan kedamaian. Namun, hatinya masih gelisah.

Sosok laki-laki bayangan muncul di sampingnya. Wajahnya samar, tapi aura lembut terpancar darinya.

"Liora," panggilnya dengan suara hangat.

Liora menoleh. "Kamu lagi ?"

"Ya. Aku di sini untukmu, sayang."

"Aku merasa bingung dan takut. Mereka bilang aku akan gagal," ungkap Liora sambil menatap matahari yang hampir tenggelam.

Laki-laki itu tersenyum lembut. "Mereka hanyalah cerminan dari ketakutanmu sendiri, Jangan biarkan mereka menguasaimu."

"Tapi bagaimana kalau mereka benar ?, Bagaimana kalau semua usahaku sia-sia?" tanya Liora dengan suara lirih.

"Dengarkan nasihatku, kerja kerasmu akan mendatangkan imbalan yang sesuai, semua manusia di dunia ini sangat hebat - mereka kuat dan memiliki kemampuan yang sangat unik."

"Kamu tahu ?, Negara A sering di hina akibat makanan yang kurang higienis - cara memasaknya kotor - tetapi negara ini mampu untuk menghibur semua negara, Kamu Tahu ?, Negara D sering di caci maki dan di rendahkan negara lain akibat kasus korupsi - tetapi negara ini mampu membawakan keindahan alam - mampu mempertahankan budaya lokal - mampu mempertahankan masakan lokal yang khas akan rempah rempah, Kamu Tahu ?, Negara L sering di katakan plagiarisme Karya Negara D karena mengambil unsur budaya dan kearifan lokal - tetapi negara ini mampu dalam berbisnis minyak sawit, semua memiliki kelebihan dan kekurangan, termasuk dirimu, sayangku, aku yakin kamu akan sukses di masa depan.

Liora menatapnya. "Aku gabisa mengerti apa yang kamu katakan, kata kata ini sangat kompleks, membuat kepalaku pusing."

"cerna perlahan sayangku, karena aku adalah bagian dari diri mu sendiri," jawabnya sambil tersenyum.

Mereka berjalan menyusuri pantai, menikmati saat-saat tenang itu.

"Tapi kenapa mimpi ini terus berlanjut ?, Kenapa aku tidak bisa tenang ?" tanya Liora.

"Karena kamu belum berdamai dengan dirimu sendiri yang kacau, yakinkan diri mu."

Tiba-tiba, bayangan wanita bergaun hitam muncul di depan mereka. "bodoh, tidak berguna, beban negara, pembawa sial, ah sayangku, jangan menangis, tenangkan jiwa mu dengan cara membunuh dirimu sendiri, ikutlah denganku di dunia baru yang penuh ketenangan" katanya dengan tatapan tajam.

Laki-laki bayangan berdiri di samping Liora. "Jangan dengarkan dia."

Liora mengambil napas dalam-dalam. "Aku akan tetap menjalani kehidupanku, Aku akan tunjukkan bahwa KARYA KU AKAN DI SUKAI BANYAK ORANG !!, Aku sudah hidup selama 18 Tahun Dan Aku TIDAK AKAN MATI KONYOL seperti MEREKA YANG LEMAH"

Wanita itu tersenyum sinis. "Ah Sayangku, keras kepala sekali, sial, mengapa dirimu terlalu percaya diri dengan kebodohanmu."

Sekeliling mereka berubah menjadi badai. Angin kencang menerpa, ombak menjadi ganas.

"Apakah kehidupan yang kamu maksud itu bermalas malasan - makan minum dan menonton tv sambil bermain ponsel seharian ?, apakah karya berharga mu itu yang berjudul - My Bunny Girls ? akan sesuai dengan ekspektasi mu ? -, Fikirkan kedalam otak mu, manusia mana yang akan membuat judul novel yang sangat sampah dan tidak memiliki arti ?!, MATILAH, KAMU TIDAK DI TERIMA DI DUNIA INI" teriak wanita itu.

Liora menggenggam tangan laki-laki bayangan. "AKU PERCAYA PADA DIRIKU SENDIRI, TIDAK AKAN ADA YANG BISA MERUBAH JATI DIRIKU, BAHKAN KEMATIAN SEKALIPUN, KAU MEMBALIKKAN SEMUA FAKTA, DASAR KAU WANITA (~~) ! ."

Cahaya terang muncul dari genggaman kedua tangan, perlahan mengusir bayangan gelap dan badai yang mengamuk.

Wanita itu menjerit sebelum akhirnya menghilang.

Suasana kembali tenang. Liora merasa beban di hatinya mulai menghilang.

"Terima kasih," ucapnya kepada laki-laki itu.

"Kamu yang berhasil mengatasinya sendiri, Aku hanya mendampingimu" balasnya dengan senyum hangat.

"Kamu siapa sebenarnya ?"

"Aku adalah harapan mu dan keyakinan mu yang selalu ada di dalam dirimu."

Liora tersenyum.

"Bagus, Ingatlah perasaan ini ketika kamu terbangun nanti."

"Laki Laki Itu Mengecup Keningku Sangat Lembut Sebelum Akhirnya Menghilang"

***

Liora membuka matanya.

Cahaya matahari pagi menembus melalui celah tirai.

Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara segar memenuhi paru-parunya.

"Mimpi itu... terasa begitu nyata," gumamnya.

Ia duduk di tepi tempat tidur, merenungkan mimpi yang terus berulang.

Liora membuka jendela.

Angin pagi menyentuh wajahnya.

"Aku tidak akan menyerah, Eksperimenku, novel ku, semua mimpiku..., Aku akan mewujudkannya menjadi kenyataan."

Liora mengambil notebook dan mulai menulis.