Tangan dibalik tirai

Setelah mencatat ide-ide baru di notebook-nya, Liora merasa semangatnya kembali membara. Tiba-tiba, ponselnya berdering. "Nomor tidak dikenal?" gumamnya sambil mengernyitkan dahi.

Dengan ragu, ia mengangkat telepon tersebut.

"Halo, dengan Liora?" sapa suara di seberang.

"Ya, benar. Ada apa ya?" jawab Liora sambil penasaran.

"Perkenalkan, saya Rina dari stasiun televisi Nusantara TV. Kami tertarik untuk mengundang Anda dalam acara kami minggu depan. Apakah Anda bersedia?"

Liora terdiam sejenak. "Stasiun televisi? Kenapa mereka ingin mengundang aku ?" pikirnya. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Bolehkah saya tahu acara apa yang dimaksud, dan kenapa saya diundang?"

"Kami sangat terkesan dengan karya-karya Anda sebagai Vtuber dan juga proyek sains Anda yang mulai dikenal publik. Kami ingin menampilkan Anda dalam segmen inspiratif untuk generasi muda," jelas Rina dengan ramah.

Liora mempertimbangkan tawaran tersebut. "Ini kesempatan bagus, tapi aku harus hati-hati," batinnya. "Baiklah, saya bersedia, tapi ada syaratnya. Saya ingin identitas saya disamarkan. Nama saya di acara tersebut bukan Liora, dan saya berharap pihak televisi dapat menyembunyikan... uh, fitur unik saya."

Rina memahami maksudnya. "Oh, tentu saja. Kami bisa menggunakan nama panggung untuk Anda, dan tim kami akan memastikan segala sesuatunya sesuai dengan keinginan Anda."

"Terima kasih atas pengertiannya," jawab Liora lega.

"Kalau begitu, kami akan mengirimkan detailnya melalui email. Sampai jumpa di hari acara!"

"Baik, terima kasih."

Setelah menutup telepon, Liora merasa campuran antara gugup dan antusias. "Wah, tampil di televisi? Ini bakal jadi pengalaman baru," ujarnya sambil tersenyum tipis.

Ia bergegas mandi untuk menyegarkan diri. Air hangat yang mengalir membuat pikirannya lebih tenang. Selesai mandi, ia menikmati sarapan sederhana—roti panggang dengan selai stroberi dan segelas jus jeruk.

"Baju apa ya yang cocok?" pikirnya sambil membuka lemari pakaian. Ia melihat dresscode yang dikirimkan oleh pihak televisi: rok mini dan crop top putih. "Hmm, agak berbeda dari gayaku sehari-hari, tapi oke lah," katanya sambil mengambil pakaian tersebut.

Setelah berpakaian dan memastikan penampilannya rapi, Liora memakai topi bertepi lebar untuk menyembunyikan telinga kelincinya. "Semoga ini cukup," ujarnya sambil bercermin.

Untuk menghemat biaya, ia memesan **JEKO CAR**, layanan transportasi online yang terkenal ekonomis. Tak lama kemudian, mobil berwarna biru muda tiba di depan rumahnya.

"Selamat pagi, Mbak. Mau ke stasiun televisi Nusantara TV, ya?" tanya pengemudi dengan ramah.

"Betul, Pak. Terima kasih," jawab Liora sambil memasuki mobil.

Perjalanan berlangsung lancar. Liora menikmati pemandangan kota sambil sesekali memeriksa email yang berisi jadwal acara dan detail lainnya.

Sesampainya di lokasi, ia disambut oleh seorang kru televisi. "Selamat datang! Anda pasti... hmm, Mbak Luna, ya?" sapa kru tersebut sambil tersenyum.

"Oh, iya. Panggil saja Luna," jawab Liora, mengingat nama samaran yang disepakati.

"Kami sudah menunggu Anda. Mari, saya antar ke ruang makeup terlebih dahulu."

Di ruang makeup, tim profesional membantu menyempurnakan penampilannya. "Kulitmu mulus banget, jadi nggak perlu banyak makeup," puji salah satu makeup artist.

"Ah, terima kasih," Liora tersipu.

Setelah selesai, Liora diarahkan ke set pengambilan gambar untuk iklan pertama. "Oke, untuk yang pertama kita akan syuting iklan sirup merek **NARMAN**. Konsepnya sederhana, kamu menikmati sirup ini di taman sambil tersenyum ceria," jelas sutradara.

"Baik, saya siap," jawab Liora dengan semangat.

Syuting berlangsung lancar. Liora menampilkan ekspresi natural yang memukau, membuat sutradara dan kru terpukau. "Bagus banget! Kamu natural di depan kamera," puji sutradara.

"Terima kasih, senang mendengarnya," jawab Liora sambil tersenyum.

Selanjutnya, ia membintangi iklan untuk game MOBA terkenal berjudul **Honor of Nevaria Legends**. "Kamu akan berperan sebagai karakter pejuang yang tangguh. Jangan khawatir, nanti efek spesial akan ditambahkan pasca-produksi," kata kru kostum sambil membantu Liora mengenakan armor ringan.

"Wow, keren juga kostumnya," ujar Liora sambil melihat dirinya di cermin.

Dalam adegan tersebut, Liora memegang pedang dan melakukan beberapa gerakan aksi. Meski bukan seorang aktris profesional, ia berhasil membawakan perannya dengan baik.

"Kamu punya bakat akting, lho," kata sutradara dengan kagum setelah syuting selesai.

"Benarkah? Ini pertama kalinya saya mencoba," balas Liora dengan rendah hati.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kamu ikut dalam proyek drama romantis kita? Syutingnya besok, tapi peranmu tidak terlalu besar. Cocok untuk pemula."

Liora berpikir sejenak. "Hmm, baiklah. Saya tertarik untuk mencoba."

"Hebat! Nanti tim akan mengirimkan naskah dan detail lainnya."

Setelah semua selesai, hari sudah menjelang sore. Liora merasa puas meski lelah. "Hari yang produktif," pikirnya.

Ia kembali memesan **JEKO CAR** untuk pulang. Pengemudi yang sama menjemputnya. "Wah, ketemu lagi, Mbak," sapa pengemudi dengan ramah.

"Iya nih, Mbak Luna kan? Gimana acaranya?"

"Alhamdulillah, lancar, Pak. Terima kasih sudah bertanya," jawab Liora sambil tersenyum.

Dalam perjalanan pulang, Liora menikmati pemandangan matahari terbenam. Pikiran-pikirannya melayang ke pengalaman hari ini. "Siapa sangka aku bisa muncul di televisi? Semoga saja ini bisa membuka peluang baru," ujarnya dalam hati.

Sesampainya di rumah, Liora merasa tubuhnya mulai lelah. "Terima kasih, Pak, sudah mengantar dengan aman," ucapnya saat turun dari mobil.

"Sama-sama, Mbak. Semoga harinya menyenangkan!"

Liora masuk ke rumah dan disambut oleh ibunya, Nadira. "Halo, Sayang. Baru pulang ya?"

"Iya, Bu. Hari ini sibuk banget, tapi seru!" jawab Liora sambil meletakkan tasnya.

"Kamu pasti capek. Makan malam dulu atau mau langsung istirahat?"

"Mungkin nanti makan sedikit aja, Bu. Aku ingin merebahkan diri sebentar."

"Baiklah. Ibu siapkan makanan ringan ya."

"Terima kasih, Bu."

Liora menuju kamarnya, melepaskan topi dan pakaian yang dikenakannya. Setelah berganti pakaian dengan piyama nyaman, ia merebahkan diri di tempat tidur.

"Besok syuting drama romantis, ya? Harus siap-siap nih," pikirnya sambil tersenyum kecil.

Tanpa disadari, rasa lelah membuatnya tertidur lebih cepat.

Pagi itu, Liora terbangun dengan semangat baru. Matahari baru saja terbit, memberikan cahaya hangat yang menyelinap melalui tirai kamarnya. Setelah mandi dan sarapan roti panggang dengan selai stroberi favoritnya, ia mengenakan rok mini denim dan crop top putih yang simpel tapi stylish. Rambutnya diikat setengah, memberikan kesan manis tapi tetap casual.

"Semoga hari ini lancar," gumamnya sambil memasang helm. Ia memesan **GOLEBA Bike** untuk menuju perusahaan produksi film. "Hemat biaya dikit nggak apa-apa lah," pikirnya sambil tersenyum.

Sesampainya di depan gedung produksi, Liora turun dari motor dan berterima kasih kepada pengemudi. "Makasih ya, Mas!"

"Sama-sama, Mbak. Semoga harinya menyenangkan!" balas pengemudi itu dengan ramah.

Di lobi, sutradara yang kemarin ia temui sudah menunggunya. "Hai, Liora! Tepat waktu banget ya," sapa sutradara itu sambil tersenyum.

"Selamat pagi, Pak. Iya nih, nggak mau telat di hari pertama," jawab Liora dengan sopan.

"Bagus! Nah, ini naskah dramanya," kata sutradara sambil menyerahkan setumpuk kertas. "Oh iya, ada sedikit perubahan. Kamu akan membintangi peran utama di film 'Tingkah Laku Anak Generasi Z dan Generasi Alpha'. Film ini nanti akan tayang di televisi dan bioskop."

Mata Liora membesar. "Peran utama, Pak? Tapi... naskahnya banyak banget," ujarnya sambil melihat tumpukan halaman di tangannya.

Sutradara tertawa kecil. "Tenang aja, kami yakin kamu bisa. Saya sudah lihat kemampuan aktingmu kemarin. Kamu punya bakat alami."

Liora merasa gugup tapi juga tertantang. "Baiklah, saya akan berusaha sebaik mungkin."

"Bagus! Kita mulai syuting satu jam lagi. Kamu bisa baca-baca naskahnya dulu di ruang tunggu."

***

Di ruang tunggu, Liora duduk sambil membaca naskah dengan serius. Ceritanya tentang seorang gadis bernama **Alya** yang mencoba menavigasi kehidupan di era digital, menghadapi tantangan sosial media, pertemanan, dan keluarga.

"Wah, ceritanya relate banget sama kehidupan sekarang," pikir Liora. Meskipun gugup, ia merasa tertarik dengan karakter Alya.

Satu jam kemudian, Liora dipanggil ke set untuk mulai syuting. "Makeup dan kostummu sudah oke. Siap ya?" tanya salah satu kru.

"Siap!" jawab Liora sambil mengangguk mantap.

Scene dibuka di sebuah kafe modern. Alya duduk sendirian sambil memegang ponsel, terlihat gelisah. Temannya, **Dina**, datang menghampiri.

"Hey, kamu kok murung gitu?" tanya Dina.

Liora, sebagai Alya, menatap Dina dengan ekspresi sedih. "Aku baru aja dapat komentar negatif di postinganku. Katanya aku norak dan nggak pantas."

Dina mengecek ponselnya. "Ah, biarin aja. Haters gonna hate. Yang penting kamu tetap jadi diri sendiri."

Liora menampilkan senyum tipis. "Iya sih, tapi rasanya berat juga."

Sutradara berteriak, "Cut! Bagus banget, Liora! Ekspresimu pas banget."

Liora tersipu. "Terima kasih, Pak."

Di rumah, Alya bertengkar dengan ibunya karena terlalu sering bermain ponsel.

"Alya, seharian kamu cuma main ponsel! Kapan belajarnya?" tegur ibunya dengan nada tegas.

Liora menampilkan ekspresi kesal. "Ibu nggak ngerti! Ini penting buat aku. Aku lagi bangun personal branding!"

"Personal branding apaan? Yang penting itu nilai-nilai kamu di sekolah!"

"Kenapa Ibu nggak pernah mendukung apa yang aku suka?"

Sutradara kembali memuji. "Ekspresi marah dan frustrasimu dapet banget! Lanjut terus ya."

Alya mendapat tawaran dari influencer terkenal untuk kolaborasi, tapi Dina merasa ditinggalkan.

"Kamu berubah, Alya. Sejak populer, kamu lupa sama teman-teman lama," ucap Dina dengan nada kecewa.

Liora menampilkan wajah terkejut. "Nggak gitu, Dina! Aku cuma sibuk akhir-akhir ini."

"Sibuk atau sombong?"

"Maaf kalau aku bikin kamu merasa begitu. Tapi aku butuh dukunganmu."

Adegan itu membuat kru terharu. Beberapa bahkan mengusap mata mereka.

"Emosinya dapet banget, Liora. Kamu benar-benar masuk ke dalam karakter," kata sutradara dengan kagum.

Dalam momen introspeksi, Alya duduk di tepi danau, merenungkan kehidupannya. Liora menampilkan ekspresi sendu, matanya menerawang jauh.

"Mungkin aku terlalu terpaku pada dunia maya, sampai lupa apa yang sebenarnya penting," bisik Alya.

Sebuah lagu instrumental lembut mengiringi adegan itu. Kamera menyorot wajah Liora yang penuh dengan campuran emosi—penyesalan, kesedihan, dan harapan.

Sutradara bertepuk tangan. "Ini luar biasa, Liora! Kamu berhasil menyampaikan pesan film ini dengan sempurna."

Alya memutuskan untuk bertemu kembali dengan Dina dan ibunya. Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu kamar Dina.

"Boleh masuk?" tanya Liora dengan nada lembut.

Dina menoleh. "Apa lagi sekarang?"

"Aku minta maaf. Kamu benar, aku terlalu fokus pada diriku sendiri."

Dina tersenyum kecil. "Aku juga harusnya mendukung kamu. Maaf ya."

Mereka berpelukan. Adegan berlanjut dengan Alya yang berbicara dari hati ke hati dengan ibunya, menjembatani kesalahpahaman yang ada.

Sutradara hampir meneteskan air mata. "Sempurna! Kita dapat gold scene di sini."

***

Seharian syuting berlangsung lancar.

Meski lelah, Liora merasa puas dengan usahanya. "Ternyata akting itu seru juga ya," pikirnya sambil tersenyum.

Sore itu, sutradara menghampirinya. "Liora, saya harus bilang, kamu punya masa depan cerah di dunia perfilman. Kalau kamu tertarik, kita bisa bekerja sama lagi di proyek selanjutnya."

"Benarkah ? Terima kasih banyak, Pak. Saya senang bisa menjadi bagian dari film ini," jawab Liora dengan tulus.

Setelah bersiap-siap pulang, Liora memutuskan untuk memesan **GOLEBA CAR** agar perjalanannya lebih nyaman. "Udah capek banget, pengen cepet sampai rumah dan istirahat," gumamnya.

Di dalam mobil, Liora merebahkan kepala di sandaran, membiarkan matanya terpejam sejenak.

Pengemudi memutar musik jazz yang menenangkan, membuat suasana semakin nyaman.

"Sepertinya hari ini menyenangkan ya, Mbak ?" tanya pengemudi sambil tersenyum melalui kaca spion.

Liora membuka mata dan tersenyum balik. "Iya, Pak. Hari yang panjang tapi memuaskan."

"Senang mendengarnya. Semoga selalu sukses ya, Mbak."

"Amin, terima kasih, Pak."

Sesampainya di depan rumah pada pukul 23.00, Liora turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih kepada pengemudi. "Hati-hati di jalan ya, Pak."

"Iya, Mbak. Selamat beristirahat."

Liora memasuki rumah dengan langkah pelan agar tidak membangunkan orang tuanya. "Kayaknya Ibu dan Ayah sudah tidur," pikirnya saat melihat ruang tamu yang gelap.

Setelah mengganti sepatu dengan sandal rumah, ia langsung menuju kamarnya di lantai atas. Tanpa banyak basa-basi, ia meletakkan tas dan melepaskan jaketnya. Tubuhnya terasa berat

"Misi hari ini sukses," ujarnya sambil meregangkan tubuh.

Ia merebahkan diri di atas kasur yang empuk, menarik selimut hingga sebatas dada. "Besok harus bangun pagi lagi," pikirnya sebelum menutup mata.

Dalam hitungan menit, Liora sudah terlelap.

Pagi-pagi buta, matahari bahkan belum muncul sepenuhnya. Liora terbangun dengan mata yang masih berat. Semalam dia cuma tidur tiga jam, saking capeknya setelah syuting seharian penuh. Dia menguap lebar sambil meraih ponselnya yang bergetar nyaring di samping bantal. Nomor tak dikenal muncul di layar.

"Siapa sih pagi-pagi gini nelpon?" gumamnya sambil mengusap mata.

"Hallo?" sapanya setelah menekan tombol hijau.

"Selamat pagi, Liora!" suara energik terdengar di seberang. Ternyata itu sutradara film yang kemarin.

"Oh, Pak Sutradara! Ada apa nih?" tanyanya sambil berusaha terdengar ceria meski masih ngantuk.

"Saya mau kasih kabar baik! Film 'Tingkah Laku Anak Generasi Z dan Generasi Alpha' sudah bisa ditonton mulai pukul sembilan pagi ini! Kami berhasil menyelesaikan editing semalam."

Liora terkejut sekaligus senang. "Wah, cepet banget! Serius nih, Pak?"

"Serius dong! Kamu harus nonton ya. Penampilanmu di film ini luar biasa. Saya yakin kamu bakal suka."

"Baik, Pak. Terima kasih sudah mengabari. Saya pasti nonton!"

Setelah menutup telepon, liora tidur hingga jam sembilan pagi, ketika bangun Liora langsung merasa bersemangat.

Rasa ngantuknya mendadak hilang. Dia bergegas mandi dan memilih pakaian santai—kaos oversized dengan gambar kelinci dan celana jeans pendek.

Rambutnya diikat sederhana.

"Bu, aku ada kabar baik!" serunya sambil menuju dapur.

Nadira, ibunya, sedang menyiapkan sarapan. "Apa tuh, Sayang?"

"Film yang aku bintangi udah tayang mulai jam sembilan pagi ini! Ayo kita nonton bareng!"

"Wah, hebat! Tentu saja, Ibu juga penasaran sama aktingmu."

Setelah sarapan bersama, mereka duduk di ruang tamu. Liora menyalakan televisi dan mencari channel yang menayangkan film tersebut.

"Pas banget! Mulai sebentar lagi," kata Liora dengan mata berbinar.

---

**Film: Tingkah Laku Anak Generasi Z dan Generasi Alpha**

Film dibuka dengan adegan suasana kota modern. Gedung-gedung tinggi, jalanan sibuk, dan orang-orang yang asyik dengan gadget mereka. Kamera kemudian fokus pada sebuah kamar tidur dengan dekorasi khas remaja.

**Alya** (diperankan oleh Liora) terbangun dari tidurnya. Dia segera meraih ponselnya yang berdering dengan notifikasi media sosial. Senyum merekah di wajahnya saat melihat jumlah like dan komentar di postingannya.

"Wow, video dance-ku viral!" serunya.

---

Di sekolah, Alya bertemu dengan sahabatnya, **Dini** dan **Bimo**. Mereka duduk di kantin sambil membahas tren terbaru.

"Alya, video kamu keren banget! Aku sampai repeat berkali-kali," puji Dini.

"Thanks! Kalian juga harus ikutan next time," jawab Alya sambil tersenyum.

Bimo menimpali, "Eh, tapi jangan lupa besok ada ujian matematika. Udah belajar belum?"

Alya mengerutkan dahi. "Aduh, lupa! Kayaknya malam ini harus begadang nih."

---

Di rumah, Alya asyik membuat konten baru untuk channel-nya. Ibunya masuk ke kamar.

"Alya, sudah malam. Waktunya tidur. Besok kan ada ujian," kata ibunya dengan lembut.

"Iya, Bu. Sebentar lagi," jawab Alya tanpa menoleh.

"Jangan terus-terusan main ponsel. Kesehatanmu penting," lanjut ibunya.

Alya merasa kesal. "Ibu nggak ngerti deh. Ini penting buat masa depanku!"

---

Keesokan harinya, Alya melihat komentar negatif di video terbarunya.

"Lebay banget sih."

"Nggak berbakat."

Perasaan sedih menyelimuti Alya. Di sekolah, dia tampak murung.

"Bimo, Dini, aku kok merasa nggak dihargai ya?" tanya Alya.

Dini mencoba menenangkan. "Jangan dipikirin. Haters emang selalu ada. Fokus aja sama yang mendukung kamu."

---

Alya mendapat DM dari influencer terkenal, **Kevin**.

"Hei, aku suka konten kamu. Mau collab nggak?" tulis Kevin.

Alya girang bukan main. Dia menceritakan hal ini kepada Dini dan Bimo.

"Wah, kesempatan emas nih!" kata Bimo.

Tapi Dini terlihat ragu. "Kamu harus hati-hati. Jangan sampai terjebak."

---

Setelah collab dengan Kevin, Alya semakin populer. Namun, dia mulai jarang berkumpul dengan Dini dan Bimo.

"Alya, kamu sibuk banget sekarang. Susah diajak ketemu," keluh Dini.

"Maaf ya, jadwalku padat banget. Nanti deh kita atur waktu," jawab Alya sambil terburu-buru.

Bimo menatap Alya dengan kecewa. "Jangan sampai kamu lupa sama kita, ya."

---

Alya menemukan fakta bahwa Kevin hanya memanfaatkannya untuk menaikkan viewer. Setelah itu, Kevin tidak lagi menghubunginya.

Perasaan sedih dan kecewa membuat Alya merasa terpuruk. Dia mencoba menghubungi Dini dan Bimo, tapi mereka mulai menjaga jarak.

---

Alya duduk sendirian di taman, merenungi kesalahannya. Dia menyadari bahwa popularitas membuatnya berubah.

"Apa gunanya terkenal kalau aku kehilangan sahabat dan keluargaku?" gumamnya.

---

Alya mendatangi rumah Dini. Dengan mata berkaca-kaca, dia berkata, "Aku minta maaf. Aku salah telah mengabaikan kalian."

Dini tersenyum tipis. "Kami cuma ingin yang terbaik buat kamu."

Bimo menambahkan, "Kita selalu ada buat kamu, Alya."

---

Di rumah, Alya berbicara dari hati ke hati dengan ibunya.

"Bu, maafkan aku. Selama ini aku keras kepala," ucap Alya.

Ibunya memeluknya erat. "Ibu juga minta maaf kalau kurang memahami kamu. Kita bisa cari jalan tengah."

---

Alya memutuskan untuk membuat konten yang lebih bermakna, menginspirasi generasi muda untuk tetap menjadi diri sendiri tanpa terpengaruh tekanan sosial media.

Dia membuat video bersama Dini dan Bimo, menunjukkan pentingnya persahabatan dan keluarga.

---

Film ditutup dengan adegan mereka bertiga tertawa bersama di taman, sementara suara narasi Alya berkata, "Perjalanan ini mengajarkanku bahwa popularitas bukan segalanya. Yang terpenting adalah tetap menjadi diri sendiri dan menghargai orang-orang yang selalu ada untuk kita."

---

Setelah film selesai, Liora menghapus air mata yang mengalir di pipinya. "Wah, ternyata aktingku lumayan juga ya, Bu," katanya sambil tertawa kecil.

Nadira menatap putrinya dengan bangga. "Kamu hebat sekali, Sayang. Ceritanya sangat menyentuh."

"Aku jadi ingat pesan pentingnya. Kadang kita terlena dengan dunia maya dan lupa apa yang benar-benar penting," ujar Liora.

Ibunya mengangguk. "Iya, film ini bisa jadi pelajaran buat banyak orang."

Tanpa sadar, Liora merebahkan kepala di pundak ibunya. Rasa hangat dan nyaman membuatnya merasa tenang.

"Kamu capek ya? Istirahatlah dulu," kata Nadira sambil mengelus rambutnya.

"Iya, Bu. Tidur cuma tiga jam tadi malam," jawab Liora dengan suara pelan.

Tak lama kemudian, mata Liora terpejam. Nafasnya mulai teratur, menandakan dia sudah tertidur.

Nadira tersenyum lembut, membiarkan putrinya beristirahat di pundaknya. "Anakku yang hebat," bisiknya.

Pagi itu, setelah tidur yang cukup, Liora bangun dengan perasaan segar.

Sinar matahari menyelinap melalui tirai kamarnya, menciptakan pola cahaya di lantai. "Aku butuh relaksasi," pikirnya sambil meregangkan tubuh. "Kayaknya enak nih kalau pergi pijat."

Setelah mandi dan sarapan roti panggang dengan selai favoritnya, Liora mengenakan kaos lengan pendek berwarna pastel dan rok jeans yang nyaman. Rambutnya diikat kuncir kuda, memberikan kesan santai namun tetap manis. "Bu, aku mau keluar sebentar ya!" serunya sambil memakai sepatu.

Nadira muncul dari dapur. "Mau ke mana, Sayang?"

"Mau ke tempat pijat. Badanku pegal-pegal nih," jawab Liora sambil tersenyum.

"Oh, baguslah. Jangan lupa bawa air minum ya. Cuaca lagi panas."

"Siap, Bu! Makasih!"

Liora berjalan menuju tempat pijat profesional yang tak jauh dari rumahnya. Tempat itu terkenal dengan terapisnya yang handal dan suasana yang menenangkan. Saat tiba, aroma terapi lavender langsung menyambutnya.

"Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?" sapa resepsionis dengan ramah.

"Pagi! Aku mau pesan sesi pijat relaksasi, bisa sekarang?"

"Tentu saja. Silakan tunggu sebentar ya, terapis kami akan segera mempersiapkan ruangan."

Tak lama kemudian, terapis perempuan dengan senyum hangat menghampirinya. "Halo, saya Maya. Mari, Mbak Liora, kita ke ruangannya."

Liora mengikuti Maya menuju ruangan dengan pencahayaan lembut dan musik instrumental yang menenangkan. Setelah mengganti pakaian dengan kain yang disediakan, ia berbaring di atas tempat tidur pijat.

Selama sesi pijat, Liora merasakan tangan terampil Maya menghilangkan ketegangan di otot-ototnya. Setiap tekanan dan gerakan membuat rasa lelahnya perlahan memudar.

"Tekanannya sudah pas, Mbak?" tanya Maya dengan suara lembut.

"Iya, pas banget. Nyaman sekali," jawab Liora sambil memejamkan mata.

Aroma minyak pijat yang menenangkan dan suasana ruangan yang damai membuatnya hampir tertidur. "Wah, ini benar-benar yang aku butuhkan," pikirnya.

Setelah satu jam, sesi pijat pun selesai. "Bagaimana rasanya, Mbak?" tanya Maya sambil membantu Liora duduk.

"Enak banget! Badanku jadi ringan sekarang. Makasih banyak, Mbak Maya," ujar Liora dengan senyum lebar.

"Sama-sama. Senang bisa membantu. Jika ada kebutuhan lain, jangan ragu untuk menghubungi kami."

Setelah berganti pakaian, Liora meninggalkan tempat pijat dengan perasaan segar dan semangat baru. "Apa lagi ya yang bisa kulakukan hari ini?" gumamnya sambil melihat jam di pergelangan tangan. "Masih siang, latihan dansa aja deh!"

Liora menuju sebuah studio tari yang sering disewanya. Tempat itu biasanya sepi di siang hari, cocok untuk latihan sendirian. Ruangan luas dengan lantai kayu dan cermin besar di satu sisi, serta tirai tebal yang masih tertutup.

"Perfect! Bisa fokus nih," katanya sambil menyalakan speaker dan menghubungkannya ke ponselnya. Ia membuka aplikasi Tube dan memutar video tutorial dance yang ingin dipelajarinya.

Musik mulai mengalun, Liora mempositioning diri di tengah ruangan. Dengan gerakan lincah, ia mengikuti setiap langkah yang ditunjukkan di video. Tubuhnya bergerak selaras dengan irama, mengekspresikan energi dan emosi melalui tarian.

Sesekali ia berhenti sejenak, mengulang gerakan yang dirasa kurang pas. "Aduh, kaki kiriku kurang tinggi tadi," ujarnya sambil mencoba lagi. Peluh mulai membasahi dahinya, namun semangatnya tak surut.

Tanpa disadari, di balik tirai yang tertutup, sebuah tangan muncul sebentar lalu menghilang kembali. Namun Liora terlalu fokus dengan latihannya hingga tak menyadari hal tersebut.

Setelah hampir dua jam berlatih, Liora akhirnya merasa puas. "Yes! Gerakannya sudah lumayan rapi," katanya sambil tersenyum ke arah cermin. Ia mengambil handuk kecil dari tas dan menghapus keringat di wajahnya.

Sebelum meninggalkan studio, ia merapikan kembali peralatan dan memastikan ruangan tetap bersih. "Terima kasih, tempat yang selalu nyaman," ucapnya seolah pada ruangan itu.

Keluar dari studio, matahari sore mulai condong ke barat, memberikan semburat jingga di langit. "Waktu yang pas untuk pulang," pikirnya.

Sesampainya di rumah, Liora disambut oleh Nadira yang sedang menyiram tanaman di halaman. "Halo, Sayang! Dari mana aja? Kok kelihatan capek?" tanya ibunya.

"Baru selesai latihan dansa, Bu. Seru banget, tapi lumayan menguras tenaga," jawab Liora sambil meregangkan tubuh.

"Kamu belum makan sore kan? Ibu sudah siapkan camilan di meja."

"Wah, makasih, Bu! Pas banget nih perut keroncongan."

Setelah menikmati camilan dan berbincang sebentar dengan ibunya, Liora naik ke kamarnya. Ia menyalakan laptop dan memutuskan untuk mengecek perkembangan teman-temannya di Vtube Lololope.

"Eh, Hana upload cover lagu baru! Keren banget!" serunya sambil mendengarkan suara merdu Hana. "Giselle juga streaming game horror lagi. Berani banget dia."

Liora terpaku di depan layar, menikmati konten-konten dari rekan-rekannya. Ia merasa bangga dan termotivasi untuk terus berkarya.

Tanpa disadari, kelopak matanya mulai terasa berat. "Ngantuk juga ya," ujarnya sambil menguap. Ia menutup laptopnya dan merebahkan diri di tempat tidur,

Pagi itu, Liora terbangun dengan semangat baru. Matahari menyapa melalui celah tirai kamarnya, menghangatkan ruangan dengan sinar keemasannya. "Hari ini latihan lagi," gumamnya sambil tersenyum. Setelah mandi dan mengenakan outfit olahraga—tank top hitam dan celana jogger yang nyaman—ia mengikat rambutnya menjadi ponytail tinggi.

Selesai sarapan, ia berpamitan pada Nadira. "Bu, aku berangkat latihan dulu ya!"

"Iya, Sayang. Jangan lupa makan siang, ya," pesan ibunya dengan senyum hangat.

"Siap, Bu!"

Liora melangkah keluar, menuju studio tari yang biasa ia gunakan. Tempatnya cukup sepi, sehingga ia bisa fokus berlatih tanpa gangguan. Sesampainya di sana, ia membuka pintu dan merasakan aroma khas ruangan tersebut—campuran antara kayu lantai dan sedikit bau cat dinding yang masih baru.

"Let's get started!" ujarnya sambil menyalakan musik dari ponselnya. Lagu upbeat dengan beat yang catchy memenuhi ruangan. Ia mulai melakukan pemanasan, meregangkan otot-ototnya agar tidak kaku.

Setelah pemanasan, Liora mulai berlatih koreografi yang semalam ia pelajari dari aplikasi Tube. Gerakannya lincah dan enerjik, mengikuti irama musik dengan sempurna. Tubuhnya bergerak dengan anggun, setiap langkah dan putaran dilakukan dengan penuh penghayatan.

Tanpa ia sadari, dari kejauhan ada sosok bayangan laki-laki yang memperhatikannya. Berdiri di balik pintu kaca studio, pria itu tampak terpesona melihat Liora berdansa. Namun, Liora terlalu fokus dengan latihannya hingga tidak menyadari keberadaan pria tersebut.

"One, two, three, four...," hitungnya sambil terus bergerak. Keringat mulai membasahi dahinya, namun ia tidak peduli. Semangatnya untuk menyempurnakan gerakan membuatnya lupa waktu.

Setelah beberapa jam berlatih, ia berhenti sejenak untuk minum. "Fiuh, capek juga," ujarnya sambil mengusap keringat dengan handuk kecil. Ia menenggak air mineral dari botolnya, merasa segar kembali.

Pria yang memperhatikannya tadi sudah menghilang entah ke mana. Mungkin puas setelah melihat Liora berlatih dengan begitu tekun.

"Waktunya coba koreo baru nih," pikir Liora sambil mengganti lagu. Kali ini, ia mencoba genre yang berbeda—lebih slow dan elegan. Gerakannya berubah menjadi lebih lembut dan penuh ekspresi.

Kembali tenggelam dalam tarian, Liora mengekspresikan perasaannya melalui setiap gerakan. Matanya terpejam, membiarkan musik mengalir dalam tubuhnya. Ia merasa bebas dan bahagia.

Saat sore mulai menjelang, Liora memutuskan untuk mengakhiri latihannya. "Cukup untuk hari ini," ujarnya sambil tersenyum puas. Ia merapikan barang-barangnya dan mematikan lampu studio.

Keluar dari gedung, angin sore yang sejuk menyambutnya. Langit berwarna oranye keemasan, menandakan matahari sebentar lagi terbenam. Di jalan pulang, ia melihat sebuah stand es krim yang menarik perhatiannya.

"Es krim enak nih buat nikmati senja," pikirnya sambil berjalan mendekat. Penjual es krim itu, seorang kakek dengan senyum ramah, menyapa Liora. "Mau es krim rasa apa, Nak?"

"Liora tersenyum. "Rasa cokelat vanila campur, Pak."

"Baik, tunggu sebentar ya," jawab si kakek sambil mulai meracik pesanannya.

Sambil menunggu, Liora menatap langit yang indah. "Hari yang sempurna," gumamnya. Es krim pun siap, ia membayarnya dan mencari tempat duduk di dekat taman kecil.

Duduk di bangku taman, ia menikmati es krim sambil melihat matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung tinggi. "Besok harus latihan lagi. Mungkin aku harus coba genre lain," rencananya dalam hati.

Es krimnya habis, tapi Liora masih betah duduk sambil menikmati suasana. Beberapa anak kecil bermain bola di lapangan, suara tawa mereka membuat suasana semakin hidup. "Lucu ya mereka," pikirnya sambil tersenyum.

Waktu menunjukkan pukul 18.30. "Sudah saatnya pulang," ujarnya sambil bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju halte bus terdekat. Tak lama menunggu, bus yang ditumpangnya tiba. Selama perjalanan, Liora mendengarkan musik melalui earphone, menambah mood baiknya.

Sesampainya di rumah, langit sudah mulai gelap. Nadira menyambutnya di pintu. "Halo, Sayang! Capek ya hari ini?"

"Sedikit, Bu. Tapi senang banget!"

"Sudah makan malam belum? Ibu masak sup ayam kesukaanmu."

"Wah, enak nih! Belum makan kok, Bu."

"Mandi dulu sana, biar segar."

"Siap!"

Setelah mandi, Liora duduk di meja makan bersama ibunya. Mereka berbincang tentang kegiatan hari itu. "Bu, tadi aku latihan dansa lagi. Gerakan baruku sudah mulai lancar," cerita Liora dengan antusias.

"Bagus dong. Ibu senang kamu punya hobi yang positif."

"Oh iya, tadi ada kejadian aneh, Bu. Sepertinya ada orang yang memperhatikan aku saat latihan, tapi aku nggak yakin."

Nadira mengerutkan dahi. "Memperhatikan? Siapa?"

"Nggak tahu. Mungkin cuma perasaanku aja," jawab Liora sambil mengangkat bahu.

"Ya sudah, yang penting kamu tetap hati-hati ya."

"Siap, Bu."

Setelah makan malam, Liora merasa tubuhnya mulai lelah. "Bu, aku ke kamar dulu ya. Mau istirahat."

"Iya, Sayang. Selamat malam."

"Selamat malam, Bu."

Di kamarnya, Liora merebahkan diri di tempat tidur. Ia menyalakan laptop dan membuka channel Vtube **Lololope**. "Wah, Giselle baru upload video baru," ujarnya sambil klik play. Ia menikmati konten-konten dari rekan-rekannya, merasa terinspirasi untuk membuat konten baru juga.

Sambil menonton, mata Liora mulai terasa berat. "Ngantuk juga ya," gumamnya. Ia menutup laptop dan meletakkannya di meja samping tempat tidur.

Menarik selimut hingga sebatas dada, ia menatap dinding atas kamar.

"Semoga besok lebih seru lagi," pikirnya sebelum terlelap.

Pagi itu, Liora terbangun dengan semangat baru. Matahari menyapa lewat celah tirai, memberikan kehangatan yang menyenangkan. Setelah mandi dan sarapan ringan, ia mengenakan pakaian latihan favoritnya: crop top comfy dan celana jogger yang stylish. Rambutnya diikat kuncir kuda, memudahkan gerakannya saat menari.

"Latihan lagi, let's go !" ujarnya sambil memasukkan botol minum dan handuk kecil ke dalam tas. Ia pamit pada ibunya, Nadira, yang sedang menyiram tanaman di halaman.

"Hati-hati ya, Sayang. Jangan lupa makan siang" pesan Nadira dengan senyum hangat.

"Siap, Bu !" balas Liora sambil melambaikan tangan.

Sesampainya di studio tari, suasana masih sepi.

Ruangan luas dengan cermin besar di salah satu dinding membuatnya merasa leluasa bergerak. Ia menyalakan playlist favoritnya dan mulai melakukan pemanasan.

Hari ini, ia berencana menggabungkan tarian dengan vokal. "Coba deh nyanyi sambil menari, pasti keren," pikirnya. Lagu yang dipilihnya adalah "Bayang di Atas Takhta", sebuah lagu dengan tempo cepat dan nada tegas.

Musik mulai mengalun, Liora mengambil posisi di tengah ruangan. Dengan suara yang mantap, ia mulai menyanyi sambil menggerakkan tubuhnya mengikuti irama. Gerakannya lincah dan penuh energi, memancarkan aura percaya diri.

Tanpa ia sadari, dari kejauhan, sosok pria yang pernah memperhatikannya muncul kembali. Ia berdiri di balik pintu kaca studio, matanya tak lepas dari Liora yang sedang asyik berdansa. Pria itu mengangkat ponselnya, berbicara dengan suara pelan namun jelas.

"Target sudah ditemukan, Dok," ucapnya sambil terus memperhatikan Liora. "Apa dokter yakin ingin menjadikannya subjek penelitian? Dia sangat cantik, saya terpikat sejak pertama kali melihatnya."

Suara di seberang ponsel terdengar tenang namun tegas. "Bawa saja. Pastikan dia dalam keadaan hidup. Bagaimanapun caranya, kita harus menjadikannya lebih baik, untuk persiapan di masa depan."

Pria itu mengangguk pelan. "Baik, Dok. Saya akan melakukan yang terbaik."

Setelah menutup telepon, ia kembali menatap Liora yang masih berdansa dengan semangat. "Kenapa harus dia?" gumamnya, tampak ada keraguan di wajahnya.

Sementara itu, Liora masih tenggelam dalam dunia tariannya. Suaranya menggema di ruangan, menyatu dengan gerakan tubuhnya yang anggun. Keringat mulai membasahi dahinya, namun senyum tak pernah lepas dari bibirnya.

"Wah, latihan hari ini seru banget!" ujarnya sambil menghentikan musik. Ia meregangkan tubuh, merasa puas dengan progresnya.

Melihat jam di pergelangan tangan, ternyata sudah sore. "Waktu cepat banget berlalu," pikirnya. Ia membereskan barang-barangnya dan keluar dari studio. Udara sore yang sejuk menyambutnya.

"Kayaknya enak nih kalau menikmati senja dulu sebelum pulang," Liora memutuskan. Ia berjalan menuju taman kecil di dekat studio, tempat favoritnya untuk bersantai.

Duduk di bangku taman, Liora menatap matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Warna oranye dan ungu menghiasi langit, menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Ia merasa damai.

Tanpa sadar, ia mulai menyanyikan lagu "Tangan di Balik Tirai" dengan suara yang lembut namun sedikit misterius. Nuansa lagu itu cocok dengan suasana senja yang tenang. Beberapa orang yang lewat sempat menoleh, terpesona dengan suaranya yang merdu.

"Aku suka banget momen seperti ini," gumamnya sambil tersenyum tipis.

Setelah puas menikmati senja, Liora memutuskan untuk pulang. Ia memesan **GOLEBA Bike** melalui aplikasinya. Tak berapa lama, pengemudi datang dengan motor yang bersih dan terawat.

"Selamat sore, Mbak Liora ya?" sapa pengemudi dengan ramah.

"Iya, benar. Sore juga," balas Liora sambil memasang helm.

Perjalanan pulang terasa nyaman. Angin sore menerpa wajahnya, membuatnya merasa segar. Pengemudi sempat mengajak Liora berbincang ringan tentang cuaca dan kemacetan kota.

"Latihan tari lagi, Mbak?" tanya pengemudi sambil tetap fokus mengemudi.

"Loh, kok tahu?" Liora sedikit terkejut.

"Saya sering lihat Mbak di sekitar studio tari. Kebetulan saya sering ambil orderan di area situ," jelasnya sambil tersenyum.

"Oh gitu. Iya nih, lagi persiapan untuk acara," jawab Liora tanpa menjelaskan lebih lanjut.

"Semangat ya, Mbak. Semoga sukses."

"Terima kasih banyak."

Sesampainya di rumah, langit sudah mulai gelap. Liora turun dari motor dan mengucapkan terima kasih. "Hati-hati di jalan ya, Mas."

"Siap, Mbak. Selamat malam."

Di rumah, Nadira sudah menyiapkan makan malam. "Hai, Sayang. Pas banget Ibu baru selesai masak."

"Wah, enaknya! Perutku juga sudah keroncongan," ujar Liora sambil mencuci tangan.

Mereka makan malam bersama, hidangan sederhana namun lezat. "Hari ini capek nggak?" tanya Nadira sambil menuangkan air putih ke gelas Liora.

"Cukup capek, tapi senang kok, Bu."

"Baguslah kalau begitu. Jangan lupa istirahat yang cukup ya."

"Siap, Bu."

Setelah makan, Liora mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Air hangat membantu menghilangkan rasa lelah.

Selesai mandi, ia mengenakan piyama favoritnya dan menuju kamar tidurnya.

Sebelum tidur, Liora sempat membuka laptop untuk mengecek pesan dan notifikasi. "Wah, banyak yang komentar di video latihan tarianku," katanya sambil membaca satu per satu.

Setelah merasa cukup, ia menutup laptop dan meregangkan tubuh. "Besok harus lebih semangat lagi," ujarnya sambil tersenyum.

Merebahkan diri di tempat tidur, Liora menatap dinding-dinding kamar. Pikirannya sempat terlintas tentang sosok pria yang mungkin memperhatikannya. "Ah, mungkin cuma perasaanku saja," pikirnya.

Liora menutup mata, membiarkan dirinya terlelap dalam tidur yang nyenyak.

Pagi itu, matahari bersinar cerah.

Liora bangun dengan semangat baru, menyadari bahwa ini adalah hari terakhir latihannya sebelum pertunjukan besar. Setelah mandi dan mengenakan pakaian latihan—kaos tanpa lengan dan celana legging hitam—ia memasukkan sepatu dance dan botol minumnya ke dalam tas.

"Bu, aku berangkat dulu ya!" serunya sambil menyantap sarapan cepat.

"Iya, Sayang. Semangat ya latihannya!" balas Nadira dengan senyum hangat.

Liora keluar rumah dengan langkah ringan. Di udara, ada perasaan antusias bercampur haru karena ini adalah latihan terakhirnya. Sesampainya di studio tari, ia menyapa beberapa teman yang sudah datang lebih awal.

"Hai Liora! Siap untuk hari ini?" tanya Mia sambil meregangkan otot.

"Siap dong! Gimana gerakan barumu? Sudah lancar?" balas Liora.

"Masih perlu sedikit polesan sih, tapi lumayan lah."

Mereka mulai latihan dengan semangat. Musik mengalun memenuhi ruangan, dan kaki-kaki mereka bergerak seirama. Liora menari dengan penuh penghayatan, setiap gerakan tampak begitu anggun dan kuat.

Di luar studio, dari kejauhan, pria misterius itu kembali mengamati. Matanya tak lepas dari Liora, seolah ada sesuatu yang membuatnya terpikat. Namun, ada juga sorot mata yang tampak ragu.

"Kenapa harus dia?" gumamnya pelan sambil menghela napas. Tapi tugas adalah tugas. Ia harus menjalankannya.

Latihan berjalan lancar hingga sore hari. "Kerja bagus, semuanya!" teriak pelatih dengan penuh kebanggaan. "Besok kita istirahat, dan lusa pertunjukannya. Jangan lupa jaga kesehatan ya."

Liora merasa puas. "Akhirnya, semua usaha kita terbayar," ujarnya pada Mia.

"Betul banget. Aku nggak sabar tampil di depan penonton," balas Mia dengan mata berbinar.

Setelah membereskan peralatan, Liora berpamitan. "Aku duluan ya, guys!"

"Hati-hati di jalan!"

Liora keluar dari studio dan berjalan menuju halte bus. Langit sore berwarna oranye keemasan, angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. "Wah, indah banget," pikirnya sambil tersenyum.

Namun, tanpa ia sadari, pria itu mulai mengikutinya dari belakang. Saat Liora melewati jalan yang sedikit sepi, pria itu mempercepat langkahnya.

Tiba-tiba, Liora merasa ada yang aneh. "Kok rasanya ada yang mengikuti?" batinnya. Ia menoleh ke belakang, namun tak melihat siapa pun.

Saat ia hendak melanjutkan langkah, pria itu muncul di depannya. "Maaf, apakah kamu Liora?" tanyanya dengan suara tenang.

Liora terkejut. "Iya, benar. Ada apa ya?" tanyanya sambil mundur selangkah.

"Saya ingin menunjukkan sesuatu. Ini penting," ujar pria itu.

"Maaf, saya sedang buru-buru," jawab Liora merasa waspada.

Sebelum sempat bereaksi lebih, pria itu mengeluarkan sapu tangan dan menutup hidung Liora. Aroma aneh masuk ke hidungnya. "Apa ini..." ucap Liora sebelum pandangannya mulai kabur.

"Demi tugas," bisik pria itu sambil menangkap tubuh Liora yang mulai lemas. Ia lalu mengangkatnya dengan hati-hati dan membawanya ke sebuah mobil Alphard hitam yang terparkir tak jauh.

Di dalam mobil, Liora tertidur pulas akibat bius. Pria itu menatapnya sejenak. "Maafkan aku," gumamnya sebelum menyalakan mesin dan melaju pergi.

***

Setelah perjalanan beberapa jam, mereka tiba di sebuah fasilitas penelitian terpencil. Bangunan modern dengan keamanan ketat, jauh dari keramaian kota. Pria itu keluar dari mobil dan membawa Liora yang masih tak sadarkan diri ke dalam.

"Objek sudah dibawa," lapornya pada seorang ilmuwan berjas putih.

"Bagus. Letakkan di ruang preparasi," jawab ilmuwan itu tanpa ekspresi.

Liora dimasukkan ke dalam kapsul tabung transparan. Tubuhnya terbaring dengan tenang, napasnya teratur. Beberapa kabel dipasangkan ke tubuhnya untuk memonitor tanda-tanda vital.

"Kapsul siap dinyalakan," kata salah satu teknisi.

"Mulai prosesnya," perintah ilmuwan utama.

Kapsul itu menyala dengan cahaya biru lembut. Cairan khusus mengisi tabung perlahan, menjaga kondisi tubuh Liora tetap stabil. Di layar monitor, data-data vital muncul dan menunjukkan angka normal.

Pria itu berdiri di samping ilmuwan. "Apa langkah selanjutnya?"

"Kita akan memulai tahap pertama peningkatan genetika. Dengan potensinya, dia bisa menjadi kunci untuk proyek ini," jelas ilmuwan dengan mata berbinar.

"Apakah ini benar-benar perlu?" tanya pria itu dengan nada ragu.

Ilmuwan menatapnya tajam. "Jangan mulai meragukan tugasmu. Ingat, ini demi masa depan."

Pria itu terdiam, kembali menatap Liora di dalam kapsul. "Baiklah."

***

Di sisi lain, di rumah Liora, Nadira mulai merasa cemas. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00, namun Liora belum juga pulang.

"Biasanya jam segini sudah di rumah," gumamnya sambil mencoba menghubungi ponsel Liora. "Tidak aktif?"

Perasaan khawatir mulai menyelimuti hatinya. Nadira segera menghubungi Arya, suaminya.

"Mas, Liora belum pulang. Aku nggak bisa menghubunginya," ujarnya dengan suara panik.

"Apa? Tenang, Sayang. Aku akan pulang sekarang juga," jawab Arya yang saat itu masih di kantor.

Setelah Arya tiba di rumah, mereka mencoba mencari tahu keberadaan putri mereka. "Mungkin kita harus lapor polisi," saran Nadira dengan mata berkaca-kaca.

"Tunggu dulu. Aku akan menghubungi Veiya dari **Liberty Phantom**," ujar Arya sambil mengambil ponselnya.

"Apa mereka bisa membantu?" tanya Nadira.

"Mereka punya sumber daya lebih untuk mencari Liora."

Tak lama kemudian, tim **Liberty Phantom**, **Sniper Group**, dan **Agenviula** datang ke rumah mereka. Veiya, pemimpin Liberty Phantom, menenangkan Nadira.

"Kami akan melakukan segala cara untuk menemukan Liora. Jangan khawatir," ujarnya dengan tegas.

"Kami akan menyisir area terakhir di mana Liora terlihat. Tim Sniper akan memantau dari jarak jauh, sementara Agenviula akan mengumpulkan informasi di lapangan," jelas Rey, anggota Sniper Group.

Nadira menggenggam tangan Arya erat. "Mas, aku takut terjadi sesuatu pada Liora."

"Aku juga, Sayang. Tapi kita harus percaya pada mereka," jawab Arya mencoba menenangkan.

Malam itu, pencarian besar-besaran pun dimulai.

Tim-tim tersebut bergerak cepat, menggunakan teknologi canggih dan jaringan intelijen mereka untuk melacak keberadaan Liora.