Kein berdiri di tepi reruntuhan kastil, matanya menatap tumpukan es yang berserakan. Meski mereka telah mengalahkan Sang Ratu Es, perasaan lega belum sepenuhnya menghampirinya. Artefak Takdir, yang seharusnya menjadi pusat kekuatan ratu itu, kini tersembunyi di balik reruntuhan, memancarkan cahaya redup seperti api kecil yang hampir padam.
"Kein, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Mira dengan suara yang terdengar lelah namun tetap waspada. Dia memeluk tubuhnya sendiri, mencoba mengusir dingin yang masih menyelimuti mereka.
Kein tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia berjalan perlahan mendekati sumber cahaya itu. Setiap langkahnya terasa berat, baik karena rasa lelah setelah pertempuran maupun firasat buruk yang menggantung di pikirannya.
Ketika dia mencapai cahaya tersebut, dia melihat Artefak Takdir yang kini retak, seperti cermin yang pecah. Namun, meski dalam keadaan hancur, artefak itu masih memancarkan aura misterius yang kuat.
"Artefaknya… rusak," gumam Kein.
Mira mendekat, memeriksa artefak itu dengan hati-hati. "Tapi energinya masih terasa. Ini tidak seperti benda biasa. Apakah kita tetap bisa menggunakannya?"
Kein mengulurkan tangannya, tetapi sebelum dia bisa menyentuh artefak itu, sebuah suara lembut namun penuh wibawa terdengar di sekitar mereka.
"Jangan sentuh itu."
Keduanya berbalik dengan cepat, menemukan seorang pria tua berdiri di atas gundukan es. Rambutnya putih seperti salju, dan jubah panjangnya yang kelabu berkibar tertiup angin dingin. Matanya yang tajam menatap Kein dan Mira dengan sorot yang penuh peringatan.
"Siapa kau?" tanya Kein, mengangkat pedangnya meskipun tubuhnya terasa lelah.
"Aku adalah Penjaga Takdir," jawab pria itu. "Dan aku sudah lama mengawasi apa yang terjadi di sini. Artefak itu bukan sesuatu yang bisa kau gunakan tanpa konsekuensi."
Rahasia Artefak Takdir
Kein menurunkan pedangnya sedikit, tetapi tetap waspada. "Kalau begitu, jelaskan. Kenapa benda ini begitu penting? Dan kenapa Sang Ratu Es menggunakannya untuk memperkuat dirinya?"
Pria tua itu berjalan mendekati mereka, setiap langkahnya terasa ringan meskipun tanah di bawahnya licin karena es. "Artefak Takdir adalah ciptaan yang berasal dari zaman sebelum manusia menguasai dunia ini. Ia tidak hanya memiliki kekuatan untuk mengubah takdir seseorang, tetapi juga dapat menghancurkan keseimbangan dunia jika digunakan dengan cara yang salah."
Mira mengerutkan kening. "Tapi kami membutuhkan artefak ini untuk menyelesaikan misi kami. Dunia kami sedang dalam kekacauan, dan ini mungkin satu-satunya harapan kami."
Penjaga itu menghela napas panjang. "Itulah masalahnya. Artefak ini hanya memberikan kekuatan kepada mereka yang cukup kuat untuk menanggung bebannya. Tapi jika kau menggunakannya dalam keadaan seperti ini…" Dia menunjuk retakan pada artefak itu. "…kau mungkin akan menciptakan kekacauan yang lebih besar."
Pilihan Berat
Kein menatap artefak itu, hatinya bergolak. Dia tahu betapa pentingnya benda itu untuk misinya, tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan peringatan Penjaga Takdir.
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Kein akhirnya, suaranya rendah.
Pria tua itu memandang mereka dengan serius. "Ada dua pilihan. Kalian bisa membawa artefak ini ke kuil asalnya, tempat ia bisa diperbaiki dan dinetralkan. Namun, perjalanan ke sana sangat berbahaya, dan waktu kalian mungkin tidak cukup. Pilihan kedua adalah menghancurkannya di sini dan sekarang, mengakhiri ancamannya tetapi juga kehilangan kekuatannya selamanya."
Mira menatap Kein, menunggu keputusannya. "Apa yang kau pikirkan, Kein? Kita tidak bisa gegabah."
Kein mengepalkan tangannya. Di satu sisi, dia tahu bahwa menghancurkan artefak itu mungkin adalah pilihan yang paling aman. Tetapi di sisi lain, menyerah pada kekuatan ini berarti mereka kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan dunia mereka.
Kejutan Baru
Sebelum Kein sempat menjawab, tanah di sekitar mereka mulai bergetar. Dari bawah reruntuhan kastil, cahaya biru terang menyembur ke langit, dan suara gemuruh yang menggetarkan jiwa terdengar.
"Apa yang terjadi?!" seru Mira, mencoba menjaga keseimbangan.
Penjaga Takdir memandang ke arah cahaya itu dengan wajah yang berubah serius. "Seseorang atau sesuatu sedang mencoba memanfaatkan energi dari artefak yang rusak ini!"
Dari dalam cahaya biru itu, sebuah sosok muncul. Itu adalah seorang pria muda dengan rambut perak yang menjuntai hingga bahunya. Matanya memancarkan cahaya biru terang, dan tubuhnya dilapisi armor es yang tampak seperti bagian dari kastil yang runtuh.
"Siapa dia?" tanya Mira, suaranya bergetar.
Penjaga Takdir menggertakkan giginya. "Itu adalah Sentinel Beku, roh penjaga yang terbangun ketika keseimbangan kastil terganggu. Dia adalah manifestasi terakhir dari kekuatan Sang Ratu Es."
Sentinel Beku mengangkat tangannya, dan angin dingin yang jauh lebih menusuk daripada sebelumnya mulai bertiup. "Siapa pun yang mendekati Artefak Takdir akan musnah," katanya dengan suara datar namun penuh ancaman.
Pertarungan Baru Dimulai
Kein mengangkat pedangnya lagi, meskipun tubuhnya terasa sangat lelah. "Sepertinya kita tidak punya pilihan lain. Mira, bersiaplah."
Mira menggenggam tongkat sihirnya erat, matanya bersinar dengan tekad. "Aku selalu siap."
Penjaga Takdir melangkah mundur, memberikan ruang kepada mereka. "Hati-hati. Sentinel Beku jauh lebih kuat daripada Sang Ratu Es. Dia tidak memiliki emosi, hanya kehendak untuk melindungi artefak ini."
Kein mengangguk. "Kita akan menghentikannya."
Dengan teriakan perang, Kein dan Mira menyerang Sentinel Beku, memulai pertempuran yang jauh lebih brutal dan mematikan daripada sebelumnya.
To Be Continued...