K membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela kamarnya menyilaukan, membuatnya mengerutkan dahi. Jam dinding tua di sudut kamar berdetak pelan, menunjukkan pukul 06.30 pagi.
Dengan wajah yang masih ngantuk, K duduk di tepi tempat tidurnya. Rambutnya yang acak-acakan dan tatapan kosong membuatnya terlihat benar-benar belum siap menghadapi hari baru.
"Hhh... hari kedua," gumamnya sambil mengusap wajah. Ia tidak terlalu bersemangat untuk pergi ke akademi, apalagi setelah pengalaman kemarin dengan guru yang aneh seperti Vanther. Tapi tetap saja, dia tidak punya pilihan.
Dengan langkah malas, K berjalan ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin, dan mencoba sedikit menyegarkan pikirannya.
Di dapur, kakeknya sudah menyiapkan sarapan sederhana ya... roti bakar dan segelas teh hangat.
"K, ayo makan dulu sebelum berangkat," kata sang kakek sambil duduk di kursi kayu yang mulai usang.
"Ya, kek," jawab K tanpa banyak bicara. Ia duduk di meja makan dan mulai mengunyah roti pelan-pelan.
Sang kakek memandang cucunya dengan penuh perhatian.
"K, kau tahu... tidak semua orang punya kesempatan untuk belajar di akademi seperti itu. Cobalah nikmati. Mungkin kau akan menemukan sesuatu yang berharga di sana."
K hanya mengangguk, meskipun dalam hati dia merasa biasa saja. Baginya, akademi hanyalah tempat lain yang harus ia datangi untuk menjalani rutinitas.
Setelah selesai sarapan, ia mengambil tasnya, mengenakan jaket tipis, dan berpamitan.
"Aku pergi dulu, Kek."
"Hati-hati, K. Jangan lupa makan siangmu nanti."
Seperti kemarin, gang kecil tempat rumahnya berada masih dipenuhi dengan aktivitas pagi. Anak-anak kecil bermain di lorong, sementara para tetangga saling berbincang di depan rumah mereka.
Di luar gang, dunia terlihat lebih modern dan sibuk. Orang-orang menggunakan sihir mereka untuk berbagai keperluan: seorang ibu menggerakkan kereta bayi dengan sihir levitasi, seorang pedagang menyalakan api untuk memasak dengan sihir api, dan beberapa anak muda terbang rendah menggunakan papan sihir mereka.
K berjalan melewati semua itu dengan tenang. Baginya, semua pemandangan itu sudah biasa. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasa sedikit iri karena ia belum benar-benar tahu apa sihirnya sendiri.
"Apa sebenarnya kekuatanku? Atau... apakah aku bahkan punya kekuatan?,ah tapi mampus situ ah,Lagian juga dunia ini tidak berfokus ke sihir kan,masih ada Hp dll,so who give a fuck about not having a power shit." pikirnya sambil terus melangkah.
Setelah berjalan sekitar 15 menit, K akhirnya sampai di gerbang akademi. Tempat itu sudah mulai ramai dengan murid-murid yang datang. Beberapa terlihat bercanda, beberapa sibuk dengan ponsel mereka, dan beberapa tampak bergegas menuju kelas.
Ketika K masuk ke gedung utama, ia segera menuju kelasnya di lantai tiga. Koridor akademi terasa hidup, dengan suara langkah kaki, tawa, dan obrolan yang memenuhi udara.
Ketika ia sampai di kelas 1-C, suasana sudah cukup ramai. Sebagian besar murid telah datang, dan masing-masing sibuk dengan kegiatan mereka.
"Yo, K! Pagi!" sapaan ceria datang dari Fritz, yang duduk di dekat pintu.
"Pagi," balas K singkat, lalu menuju kursinya di dekat jendela.
Bel masuk berbunyi, dan semua murid mulai duduk di tempat masing-masing. Guru pertama hari itu adalah seorang pria paruh baya bernama vald. Dengan pakaian rapi dan gaya mengajar yang serius, dia langsung memulai pelajaran.
"Baiklah, pagi semuanya. Hari ini kita akan melakukan pembahasan tentang dasar-dasar teori sihir. Kayak cara mengendalikan nya,dll,lalu nanti kita akan masuk ke praktek."
vald melanjutkan penjelasannya dengan diagram dan penjelasan yang terperinci. Sebagian murid mencatat dengan serius, sementara yang lain tampak mulai bosan. Karna ya memang bosenin gila.
Di bangkunya, K mencoba mendengarkan, tetapi pikirannya sering melayang. Sementara itu, di kursi depan, Julia dan Julian terlihat sibuk bertukar catatan, sementara Nobu diam-diam menggambar sesuatu di buku catatannya.
"Hei, K," bisik Fritz dari belakang. "Menurutmu sihir apa yang paling kuat?"
K menoleh pelan. "Aku tidak tahu. Mungkin sesuatu yang tidak memiliki batasan."
Fritz tertawa kecil. "Itu jawaban yang aman."
Setelah teori sihir, kelas bergeser ke pelajaran praktik dasar yang dipimpin oleh Guru Vlad.
"Baik, anak-anak, kita akan mencoba sesuatu yang baru. Aku ingin kalian bekerja berpasangan dan mencoba memadukan sihir kalian. Ini penting untuk melatih koordinasi dan pemahaman antar elemen sihir."
Murid-murid mulai mencari pasangan. Nobu langsung mendekati K dan berkata dengan nada santai, "Hei, kita berpasangan. Kau tidak keberatan, kan?"
"Tentu," jawab K tanpa banyak berpikir.
"Kau tahu sihirmu apa?" tanya Nobu sambil melipat tangan.
K menggeleng pelan. "Belum."
"Bagus," jawab Nobu dengan senyum lebar. "Kalau begitu, aku akan jadi bos di sini. Kau hanya perlu mengikutiku."
Selama latihan, Nobu menggunakan kekuatan "Demonic Authority"-nya untuk menciptakan aura tekanan di sekitarnya. Murid-murid lain bahkan sempat berhenti untuk memperhatikan.
"Hei, Nobu, kau tidak perlu terlalu pamer," komentar Loomian dari sudut lain ruangan.
"Ini bukan pamer. Ini latihan," balas Nobu dengan nada dingin, meskipun ada senyuman licik di wajahnya.
Sementara itu, K mencoba mengikuti arahannya, meskipun ia merasa tidak banyak yang bisa ia lakukan.
Setelah dua jam pelajaran intens, bel istirahat akhirnya berbunyi. Sebagian besar murid segera keluar kelas untuk mencari makan atau sekadar menghirup udara segar.
K tetap di kelas, duduk di bangkunya sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi. Nobu, yang masih berada di dekatnya, meliriknya.
"Kau terlalu banyak berpikir, K," kata Nobu tiba-tiba. "Sihir itu bukan tentang logika. Kadang kau hanya perlu membiarkan instingmu bekerja."
K mengangkat alis. "Mudah bagimu untuk mengatakan itu. Kau tahu kekuatanmu. Aku bahkan tidak yakin apakah aku punya kekuatan."
Nobu tertawa kecil. "Kau punya. Kita semua punya. Hanya soal waktu sampai kau menemukannya."
Percakapan itu berakhir dengan Nobu berjalan keluar kelas, meninggalkan K sendirian.
Bel istirahat telah berakhir, dan murid-murid kelas 1-C mulai kembali ke tempat masing-masing. Ruang kelas itu sendiri tampak seperti dunia kecil yang penuh dengan berbagai energi.
Beberapa murid terlihat berkeringat, terutama Fritz dan Brandon, yang baru saja kembali dari lapangan basket. Mereka bercanda sambil menyeka keringat di dahi dengan seragam mereka.
"Kau beruntung tadi berhasil mencetak poin terakhir," kata Brandon dengan nada bercanda sambil menepuk punggung Fritz.
"Tentu saja, aku ini pro!" Fritz tertawa lebar.
Sementara itu, Loomian masuk kelas dengan seekor burung kecil yang bertengger di jari telunjuknya. Murid-murid lain meliriknya, tetapi ia hanya tersenyum kecil.
"Loomian, kau selalu saja menarik perhatian," komentar Julia yang baru saja masuk dengan Julian.
"Apa boleh buat? Hewan-hewan suka padaku," jawab Loomian santai sambil melepas burung itu dari jari dan membiarkannya terbang keluar jendela.
Di sisi lain kelas, Nobu masuk dengan langkah santai. Tidak seperti yang lain, ia tidak terlihat lelah atau tergesa-gesa. Ia langsung duduk di kursinya tanpa mempedulikan keramaian.
Di dekat jendela, K hanya duduk diam sambil mengamati semuanya. Ia tidak terlalu tertarik dengan obrolan atau aktivitas mereka. Sebagian besar waktu, ia merasa lebih nyaman hanya menjadi pengamat.
Saat suasana kelas mulai tenang, langkah kaki santai terdengar di luar koridor. Beberapa murid berhenti berbicara dan menoleh ke arah pintu, berharap bahwa guru berikutnya akan berbeda.
Namun, harapan itu pupus ketika pintu kelas terbuka dengan suara berderit, dan sosok yang dikenal masuk: Pak Vanther.
Penampilannya tidak berubah sama sekali. Jaket kasual, celana jins, kacamata hitam yang masih ia kenakan meskipun di dalam ruangan, dan tentu saja, rokok yang belum dinyalakan di tangan kirinya.
"Oh, bukan dia lagi..." gumam Eno pelan sambil memutar mata.
Pak Vanther berjalan santai ke meja guru tanpa mempedulikan reaksi para murid. Ia meletakkan pemantik dan rokoknya di meja, lalu duduk dengan posisi santai, seperti seseorang yang tidak punya beban hidup.
"Baiklah," katanya dengan suara berat, "seperti biasa, aku malas berbasa-basi. Jadi, langsung saja. Hari ini, aku akan menjelaskan sesuatu yang penting. Dengarkan baik-baik, atau tidak sama sekali. Itu terserah kalian."
Beberapa murid saling melirik dengan ekspresi campuran antara bingung dan kesal. Namun, mereka tetap memperhatikan, karena meskipun Vanther terlihat malas, ia memiliki aura otoritas yang sulit diabaikan.
Pak Vanther berdiri, menyandarkan tubuhnya di meja guru, dan mulai berbicara.
"Dengar, anak-anak. Di dunia sihir ini, kekuatan kalian tidak hanya diukur dari seberapa besar energi yang bisa kalian keluarkan. Ada sistem tingkat yang menentukan sejauh mana kalian memahami dan mengendalikan sihir kalian. Aku tahu mungkin ada yang masih bego dan belum tahu soal ini, jadi dengarkan baik-baik."
Ia mengangkat satu jarinya.
"Tingkat pertama disebut Necro. Ini adalah tahap awal, tempat kalian semua berada sekarang. Tidak ada yang spesial di sini. Kalian hanya baru belajar, dan kekuatan kalian masih dasar."
Ia mengangkat dua jari.
"Tingkat kedua dibagi menjadi dua bagian: Vista dan Altera. Vista adalah tahap yang bisa kalian capai melalui kerja keras dan bakat. Ini adalah evolusi alami dari sihir kalian."
Vanther berhenti sejenak, menyalakan rokoknya, dan mengisapnya dengan santai sebelum melanjutkan.
"Namun, Altera... itu cerita lain. Altera adalah hasil dari tragedi, trauma, atau penderitaan. Jika kalian mencapai Altera, kalian mendapatkan kekuatan yang luar biasa, tetapi dengan harga yang mahal. Sedikit demi sedikit, bagian Altera akan mengambil kendali tubuh kalian. Pada akhirnya, kalian akan kehilangan akal sehat dan berubah menjadi monster."
Ruangan menjadi hening. Murid-murid mulai merasa sedikit tidak nyaman mendengar penjelasan itu.
Vanther mengangkat tiga jari.
"Dan akhirnya, ada tingkat ketiga: Mastered. Ini adalah puncak kekuatan kalian, di mana kalian mencapai kesempurnaan. Tapi, biar aku beri tahu kalian sesuatu: sangat sedikit orang yang bisa mencapai tingkat ini. Jadi, jangan terlalu berharap."
Ia mengakhiri penjelasannya dengan mengembuskan asap rokok ke udara
"Apa itu berarti kita semua bisa menjadi monster?" tanya Fritz tiba-tiba, suaranya terdengar sedikit tegang.
Vanther menatapnya dengan santai.
"Hanya jika kalian memilih jalan yang salah. Tapi siapa tahu? Mungkin beberapa dari kalian sudah berada di ambang Altera tanpa menyadarinya."
Loomian mengangkat tangan.
"Pak, apakah semua orang yang mencapai Altera pasti menjadi monster?"
Vanther mengangguk pelan.
"Ya. Itu bukan soal kemungkinan, tapi kepastian. Jika kalian masuk terlalu dalam ke Altera, tidak ada jalan keluar."
Nobu, yang sejak tadi diam, tersenyum tipis dan menyilangkan tangan.
"Menarik. Jadi, semakin sakit jiwa seseorang, semakin kuat dia?" tanyanya dengan nada yang penuh rasa ingin tahu.
Vanther menatap Nobu sejenak sebelum menjawab.
"Ya, tapi ingat, kekuatan yang didapat dari rasa sakit itu tidak gratis. Ada harga yang harus dibayar, dan kau mungkin tidak akan suka membayarnya."
Di pojok kelas, K merenungkan semua yang telah dikatakan. Ia mulai merasa sedikit resah, terutama karena ia belum menemukan apa pun tentang kekuatannya sendiri.
"K," bisik Nobu tiba-tiba, memecahkan lamunannya. "Kau terlihat lebih pusing dari biasanya."
K menoleh ke arah Nobu. "Aku hanya berpikir. Apa yang terjadi kalau seseorang tidak punya sihir sama sekali?"
Nobu tertawa kecil. "Itu tidak mungkin. Semua orang punya sihir. Kalau tidak, kau tidak akan ada di sini."
K menghela napas pelan, tetapi tidak membalas. Ia kembali memandang keluar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya.
Setelah selesai memberikan penjelasan, Vanther kembali duduk di kursinya dan memejamkan mata.
"Baiklah, itu saja untuk hari ini. Jangan harap aku akan menjelaskan lebih banyak. Kalau kalian mau tahu lebih banyak, cari sendiri. Sekarang, aku mau tidur."
Semua murid terdiam, bingung harus berbuat apa. Beberapa mulai berbisik, sementara yang lain hanya menggelengkan kepala.
Jadi santai dah tu kelas
Setelah Pak Vanther menutup mata dan mulai mendengkur pelan di kursinya, suasana kelas berubah menjadi lebih santai. Tidak ada yang berani membangunkannya, dan tidak ada guru lain yang masuk, seperti mereka sudah menyerah pada kebiasaan buruknya.
Brandon yang duduk di barisan tengah memutar kursinya, menatap Fritz yang duduk di belakangnya.
"Hei, kau pikir apa alasan dia jadi guru?" Brandon berbisik sambil menunjuk Vanther dengan dagunya.
Fritz mengangkat bahu.
"Mungkin dia punya koneksi. Atau dia terlalu kuat untuk ditolak?" katanya sambil menahan tawa.
"Tapi tetap saja, ini gila. Seharusnya kita belajar sesuatu, bukan melihat guru tidur sepanjang waktu," keluh Julia yang duduk di dekat mereka. Julian, saudara kembarnya, hanya mengangguk setuju.
Di sisi lain kelas, Chloe duduk dengan wajah bosan. Dia mengeluarkan buku catatannya dan mulai mencorat-coret sesuatu, sementara Loomian berbicara dengan Eno di bangku sebelahnya.
"Eno, kau pikir sihir tanamanmu bisa membuat pohon tumbuh di dalam ruangan ini?" tanya Loomian dengan nada serius.
Eno terdiam, lalu memiringkan kepalanya, berpikir.
"Mungkin saja, tapi itu akan aneh. Kau ingin aku mencoba?"
Loomian tersenyum kecil.
"Tidak usah, aku hanya bercanda. Aku penasaran saja."
Di pojok kelas, Nobu menggeser kursinya mendekati meja K. Ia menatap K yang masih terlihat tenggelam dalam pikirannya.
"K," panggil Nobu.
K menoleh, wajahnya masih penuh dengan rasa penasaran yang terpendam.
"Apa lagi, Nobu?"
"Aku penasaran, kau ini sebenarnya kenapa selalu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat? Apakah kau menyimpan rahasia besar?" tanyanya sambil menyilangkan tangan di depan dada.
K menghela napas panjang.
"Tidak ada yang spesial. Aku hanya merasa… tidak cocok dengan semua ini."
Nobu tertawa kecil, suaranya terdengar agak serak.
"Tidak cocok? Maksudmu, kau merasa lebih baik daripada kami semua?"
"Bukan itu maksudku," balas K dengan nada sedikit defensif. "Aku hanya merasa seperti orang luar. Semua orang di sini tahu kekuatan mereka. Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya bisa kulakukan."
Nobu menatapnya dengan mata tajam, tetapi senyumnya tidak pudar.
"Menarik. Jadi kau adalah teka-teki yang bahkan dirimu sendiri belum bisa pecahkan?" Ia tertawa lagi. "Yah, siapa tahu, mungkin itu justru kelebihanmu. Kau misterius."
K tidak menjawab. Ia hanya mengangkat bahu dan kembali memandang keluar jendela.
Di tengah kelas, Julia mulai mengangkat topik lain untuk mengisi waktu.
"Hei, kalau kalian harus memilih, siapa menurut kalian murid terkuat di kelas ini?" tanyanya dengan nada serius.
"Nobu," jawab Fritz tanpa ragu. "Dia punya 'Demonic Authority.' Itu bahkan terdengar seperti nama bos terakhir dalam permainan."
"Tentu saja aku yang terkuat!" Nobu menyahut dari belakang tanpa menoleh. "Kalian tidak perlu membicarakannya lagi."
"Tapi itu hanya pendapatmu," sela Brandon. "Kita belum pernah melihat Nobu benar-benar menggunakan kekuatannya. Bagaimana kalau si K di pojok sana sebenarnya jauh lebih kuat?"
K yang mendengar namanya disebut hanya memutar matanya.
"Tolong, jangan libatkan aku dalam obrolan ini," gumamnya.
"Atau mungkin aku," kata Loomian sambil tersenyum kecil. "Berbicara dengan hewan itu lebih dari sekadar hobi, kalian tahu."
"Atau aku," tambah Chloe dengan nada dingin. "Sihir api lebih praktis daripada yang kalian kira."
Diskusi terus berlanjut, dengan semua murid saling memberikan argumen tentang siapa yang paling kuat. Bahkan Pak Vanther yang sedang tidur tampak tidak terganggu oleh keramaian itu.
Tidak terasa, waktu berlalu dan akhirnya bel pulang berbunyi. Semua murid mulai berkemas. Beberapa terlihat lega karena akhirnya bisa keluar dari rutinitas kelas, sementara yang lain masih saling bercanda atau mengobrol.
"Akhirnya," gumam Fritz sambil melempar tasnya ke pundak. "Aku lapar. Siapa yang mau pergi ke kantin sebelum pulang?"
Brandon mengangkat tangan. "Aku ikut. Tapi cepat, aku tidak ingin kehabisan gorengan lagi."
Julia dan Julian berjalan keluar bersama, sementara Chloe langsung keluar tanpa berkata apa-apa. Loomian berhenti sejenak di pintu, menunggu burung kecil yang tadi pagi bersamanya kembali.
Di pojok kelas, K memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dengan gerakan lambat. Nobu masih duduk di kursinya, memandang ke arah langit-langit dengan tangan bersilang.
"K, kau tidak buru-buru?" tanya Nobu tiba-tiba.
K menatapnya sekilas. "Tidak juga. Kenapa?"
Nobu mengangkat bahu. "Hanya penasaran. Kau selalu terlihat seperti orang yang tidak punya tempat tujuan."
"Mungkin memang begitu," balas K sambil mengangkat tasnya. "Sampai jumpa besok."
Nobu tidak menjawab, hanya tersenyum tipis saat K keluar dari kelas.
Di perjalanan pulang, K berjalan sendirian di trotoar. Pikiran tentang sihir, Altera, dan semua yang dikatakan Pak Vanther tadi siang masih memenuhi kepalanya. Ia tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sesuatu yang ia sendiri belum bisa pahami.
Ia melintasi taman kecil di dekat akademi, tempat beberapa anak bermain dan tertawa riang. Ia berhenti sejenak, mengamati mereka dengan tatapan kosong.
"Kenapa aku merasa seperti orang asing di dunia ini?" pikirnya.
Setelah beberapa saat, K melanjutkan langkahnya, meninggalkan keramaian di belakangnya. Dunia mungkin tidak memberikan jawaban untuk pertanyaannya hari ini, But who give a fuck nigga.
Jadi ya dia pulang dirumah terus tidur sampai besok pagi.