Senin, 14 Agustus 2057
Mentari pagi menerobos jendela kamar K, sinarnya hangat, menyinari meja belajarnya yang dipenuhi dengan buku catatan dan pulpen. Alarm kecil di sudut meja berbunyi lirih, nyaris seperti memohon agar K bangun dari tidurnya yang sepertinya tidak terlalu nyenyak. Namun, pagi ini berbeda. Ada sedikit semangat dalam gerakan K saat ia bangun, meski wajahnya tetap datar.
Setelah menghela napas panjang, ia menuju kamar mandi. Air dingin menyegarkan pikirannya. Setelah mandi, ia mengenakan seragam akademi yang sudah digantung rapi malam sebelumnya. Rambutnya ia tata seadanya, tidak terlalu peduli pada penampilan, namun cukup untuk tidak terlihat berantakan. Ia kemudian meraih tasnya, memastikan buku catatan yang sudah ia persiapkan sejak semalam ada di dalamnya.
"K! Sarapan sudah siap!" panggil suara berat dari lantai bawah. Itu suara kakeknya, yang setiap pagi memastikan cucunya tidak melewatkan sarapan.
"Ya, aku turun," jawab K singkat sambil menyampirkan tas di pundak.
Di ruang makan, meja sudah penuh dengan hidangan sederhana namun lezat—nasi goreng dengan telur mata sapi, segelas susu hangat, dan beberapa potong roti. Kakeknya duduk di sisi meja, membaca koran tua yang terlihat mulai usang, tapi masih bisa terbaca dengan jelas.
"Cepat makan, kau tidak ingin terlambat, bukan?" tanya kakeknya tanpa menatap K, matanya masih fokus pada berita di koran.
"Tidak juga," jawab K sambil duduk dan mulai makan.
"Kau bilang hari ini ada apa di akademi?" Kakeknya melipat koran, kini menatap cucunya.
"Tidak ada yang spesial, hanya pelajaran seperti biasa."
"Baguslah. Jangan lupa, kau harus selalu menulis catatan dengan baik. Aku tahu kau tidak suka banyak bicara, tapi kau pintar. Manfaatkan itu," nasihat kakeknya dengan nada lembut.
K hanya mengangguk sambil menghabiskan makanannya. Setelah mencuci piringnya, ia pamit dan berjalan keluar rumah.
Di luar, suasana pagi terasa sejuk. Jalanan yang ia lewati menuju akademi mulai ramai oleh siswa-siswa lain. Beberapa menyapanya, namun K hanya membalas dengan anggukan kecil. Baginya, percakapan singkat sudah cukup.
Sesampainya di gerbang akademi, ia melihat kelompok-kelompok kecil siswa sedang berbincang. Ada yang tertawa keras, ada yang sibuk melihat ponsel mereka, dan beberapa terlihat tergesa-gesa menuju kelas masing-masing. K berjalan tenang melewati mereka, tidak terlalu memperhatikan.
Ketika K sampai di kelas, suasana sudah ramai. Beberapa teman sekelasnya duduk di meja masing-masing, mengobrol dengan semangat. Suara tawa dan percakapan bercampur, menciptakan hiruk-pikuk khas ruang kelas pagi hari.
"Pagi, K," sapa Ane dari meja depan, melambaikan tangan.
"Pagi," balas K singkat, tanpa ekspresi berlebih.
Ia berjalan ke tempat duduknya di dekat jendela, tempat favoritnya. Dari sana, ia bisa melihat taman akademi yang asri, dengan pohon-pohon besar yang memberi keteduhan. K duduk, menatap keluar jendela, menikmati sejenak kedamaian di tengah keramaian kelas.
Di sudut lain kelas, Nobu dan Brandon sedang bercanda.
"Eh, Brandon, menurutmu siapa di kelas ini yang paling malas?" tanya Nobu sambil menyikut Brandon.
"Ya jelas si K. Lihat saja dia, duduk melamun lagi," jawab Brandon dengan tawa kecil.
Nobu menoleh ke arah K. "Hei, K! Kau melamun apa, hah? Memikirkan siapa?" tanyanya dengan nada menggoda.
K menoleh sebentar, menatap Nobu dengan tatapan datarnya yang khas. "Memikirkan betapa berisiknya kau," jawabnya santai sebelum kembali memandang keluar jendela.
Seketika kelas meledak oleh tawa.
"Wah, kena kau, Nobu!" kata Froze sambil tertawa terbahak-bahak.
Nobu mendengus, tapi senyumnya tetap terlihat. "Tunggu saja, K, aku akan membalasmu nanti."
Sementara itu, Julia dan Julian sedang sibuk dengan ponsel mereka.
"Lihat ini, Julian. Aku baru saja membeli tas baru dari butik di pusat kota," kata Julia sambil menunjukkan foto tas mahal di ponselnya.
"Bagus, tapi aku yakin kau hanya akan memakainya sekali," balas Julian dengan nada santai.
"Dan itu sudah cukup," jawab Julia sambil tersenyum angkuh.
Chloe duduk dengan tenang di mejanya, membaca buku. Ane menghampirinya, membawa beberapa kertas catatan.
"Chloe, kau sudah mengerjakan tugas yang diberikan Fred?" tanya Ane.
"Tentu saja. Aku bahkan sudah menyelesaikannya setelah pulang." jawab Chloe tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
Ane menghela napas. "Kau selalu yang paling rajin."
"Bukan rajin, hanya terorganisir," Chloe membalas sambil menutup bukunya dan memandang Ane.
Di meja belakang, Cramaric dan Loomian sedang berbicara dengan penuh semangat.
"Kau tahu, aku ingin mencoba menjadi lebih cepat lagi. Mungkin aku bisa menantang pelatih lari di akademi ini," kata Cramaric sambil mengepalkan tangannya.
Loomian tertawa kecil. "Kau benar-benar tidak bisa diam, ya? Tapi itu bagus, setidaknya kau selalu punya tujuan."
"Dan tujuanmu apa?" tanya Cramaric penasaran.
Loomian tersenyum tipis. "Menjadi orang yang lebih baik setiap hari. Itu saja."
Bel masuk berbunyi nyaring, menandakan dimulainya jam pertama di kelas 1-C. Semua murid mulai duduk di tempat mereka masing-masing, beberapa masih tertawa dan mengobrol, ketika suara langkah berat mendekat dari luar kelas.
Pintu kelas terbuka, dan Vanther muncul dengan tampilan yang benar-benar di luar nalar. Kali ini, dia mengenakan kostum panda besar, lengkap dengan kepala kostum yang seharusnya terlihat lucu—tapi malah kocak karena dia mengenakan kacamata hitam dan rokok terselip di tangan.
"Pagi, bocah-bocah tak berguna!" sapa Vanther santai sambil melangkah masuk. Suaranya berat, santai, dengan nada yang mengintimidasi namun entah kenapa selalu bikin semua orang tertawa.
"Panda... ngudud? Ini maksudnya apa sih, Pak?" teriak Brandon sambil tertawa terbahak-bahak, bahkan hampir terjatuh dari kursinya.
Vanther menyandarkan tubuhnya di meja guru, membetulkan posisi kacamatanya dengan gaya sok keren. "Denger ya, Nak Brandon, panda ini hidup di bawah tekanan. Jadi jangan banyak nanya kenapa dia begini, oke?"
Satu kelas meledak dalam tawa. Bahkan Chloe, yang biasanya tenang, terlihat menahan senyumnya. Nobu tidak bisa berhenti tertawa sambil memukul meja.
"Pak, kostum kayak gini nggak ganggu, gitu? Berat, kan?" tanya Ane sambil menahan tawa.
Vanther mengangkat satu tangan dengan gaya dramatis, menatap langit-langit kelas. "Ane, anakku, hidup itu berat. Jadi pake kostum kayak gini mah cuma latihan!" jawabnya dengan gaya sok puitis.
Loomian mengangkat tangan, mencoba bertanya. "Pak, ini... kita belajar teori sihir, kan? Apa hubungannya sama kostum panda?"
Vanther menunjuk Loomian dengan rokoknya yang belum menyala, sambil menjawab, "Bagus, Loomian, pertanyaan yang bagus. Jawabannya simpel: nggak ada. Tapi kalau panda bisa belajar sihir, kalian juga harusnya bisa, kan?"
Nobu langsung memotong, "Pak, tapi panda nggak merokok!"
Vanther menatap Nobu dengan ekspresi datar. "Panda-panda di hutan mungkin enggak. Tapi panda ini beda, dia panda yang udah hidup di Aurevast selama 20 tahun!"
Lagi-lagi, kelas pecah oleh tawa.
Setelah suasana sedikit tenang, Vanther mengambil spidol dan menulis di papan tulis: "Teori Manipulasi Mana".
"Oke, bocah-bocah. Hari ini kita belajar tentang teori manipulasi energi. Tapi denger dulu. Energ itu ibarat uang. Kalau kalian boros, kalian bangkrut. Kalau kalian pelit, kalian enggak berkembang. Jadi, apa pelajaran pertama hari ini?"
Fritz langsung menjawab, "Pakai energi dengan bijak?"
Vanther menepukkan tangan. "Salah. Pelajaran pertama adalah jangan jadi miskin di depan musuh. Karena kalau kalian bangkrut energi pas lagi lawan monster, ya udah, tinggal nunggu ajal. Ngerti?"
Semua murid serempak menjawab, "Ngerti, Pak!"
"Bagus. Sekarang, siapa di sini yang sering buang-buang energi buat hal enggak penting?" tanyanya sambil melirik Nobu.
Nobu menunjuk dirinya sendiri tanpa ragu, "aku, Pak. Kadang aku pake buat bikin ledakan kecil aja biar seru."
Vanther menggeleng pelan. "Nobu, Nobu... Kau ini memang contoh nyata bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk menguji kesabaran panda tua ini."
Loomian mencoba menahan tawa, tapi gagal total. "Pak, itu bukannya cuma alasan bapak buat ngomel, ya?"
Vanther tersenyum kecil. "Tentu saja. Karena ngomel itu hak asasi seorang guru!"
Setelah beberapa saat menjelaskan konsep dasar, Vanther mulai menjelaskan teknik-teknik manipulasi energi dengan bahasa yang lebih gaul dan santai.
"Denger ya, bocah-bocah. Manipulasi energi itu kayak pacaran. Ada yang pelan-pelan, ada yang langsung gas. Kalau kalian pelan-pelan, kalian bikin lawan bingung, tapi kalau kalian gas, ya langsung habis-habisan. Pilihan ada di tangan kalian. Tapi inget, pacaran tanpa strategi itu kayak perang tanpa senjata. Siap-siap mati, paham?"
Julia mengangkat tangan dengan ekspresi penasaran. "Pak, tapi kalau terlalu pelan, nanti kita diserang duluan, kan?"
"Persis! Makanya, kau harus tahu kapan pelan, kapan gaspol. Sama kayak ngatur uang belanja bulanan. Jangan cuma belanja tas, Julia!"
Kelas langsung bersorak, sementara Julia memasang ekspresi setengah kesal, setengah malu. "Pak, itu beda konteks!"
Vanther mengangkat bahu. "energi sihir ini gak ada beda. Hidup ini semua tentang keseimbangan, Julia. Baik sihir, uang, atau cinta."
Di jam kedua, suasana kelas makin santai. Vanther mulai memberikan contoh-contoh kasus manipulasi mana dengan simulasi kecil.
"Oke, sekarang bayangin kalian lagi duel. Energi kalian tinggal separuh, musuh masih penuh. Apa yang kalian lakuin?"
Cramaric langsung menjawab, "Kabur, Pak!"
Vanther tertawa keras. "Pintar! Lari itu strategi yang sering diremehkan, padahal itu salah satu cara paling jenius untuk tetap hidup. Tapi kalau kabur sambil teriak-teriak panik, ya percuma. Malu-maluin."
Brandon menambahkan, "Pak, kalau kabur sambil bikin ilusi, itu boleh?"
"Bagus, Brandon! Kau ini jarang-jarang pintar, ya. Ilusi itu salah satu trik murah tapi efektif. Tapi inget, jangan sampai ilusi kau malah menyerang balik dirimu sendiri, kayak waktu aku baru belajar sihir dulu."
Nobu tertawa keras. "Pak, bapak pernah gagal?"
"Sering, Nobu. Bahkan aku pernah bikin ilusi macan, tapi yang muncul malah macan pink dengan dasi kupu-kupu. Untung aku bisa kabur. Tapi jangan bilang siapa-siapa!"
Kelas tertawa terbahak-bahak lagi.
Setelah tiga jam penuh dengan teori, canda, dan lelucon absurd, bel istirahat pertama akhirnya berbunyi.
Vanther berdiri, merentangkan tangan seperti mau menyambut penonton konser. "Baiklah, bocah-bocah. Panda pensiun dulu sebentar. Ingat, kalian semua harus lebih pintar dari panda tua ini, ya!"
Saat Vanther keluar dari kelas, beberapa murid masih tertawa, memegangi perut mereka.
"Gila, guru kita ini memang nggak ada lawannya," ujar Loomian sambil menggelengkan kepala.
"Ya, absurd, tapi pelajaran jadi nggak bosen," tambah Chloe dengan nada tenang.
Semua setuju, dan kelas pun mulai kosong saat murid-murid keluar untuk menikmati istirahat pertama mereka.
Jam istirahat tiba, dan suasana kelas mulai ramai. Sebagian murid keluar dengan bersemangat, sementara beberapa masih sibuk dengan obrolan santai di meja mereka. Froze, Fritz, Brandon, dan Cramaric langsung mendekati K, yang seperti biasa, masih duduk sendirian di kursinya di dekat jendela, tatapannya kosong seperti memikirkan sesuatu yang jauh.
"Oi, K! Jangan jadi patung saja di sini," kata Froze sambil melipat tangannya di dada. "Ikut kami ke kantin. Beli makan bareng."
K menoleh perlahan, menatap mereka dengan ekspresi datar. "Males," jawabnya singkat.
Brandon menyeringai, menepuk bahu K keras-keras. "Ayolah! Kau selalu sendirian saja. Hidup nggak seru kalau cuma ngelamun di kelas. Lagian, kita semua kan perlu makan, nggak mau kan kau mati kelaparan?"
Cramaric menambahkan dengan gaya lebay, "Iya, K, dengarkan dia. Kalau kau ikut, aku traktir deh. Asal jangan pesan yang mahal-mahal saja."
"Kurasa K bakal pesan yang paling murah," sahut Fritz sambil tertawa kecil.
K mendesah pelan. "Baiklah," jawabnya akhirnya, meskipun nada suaranya jelas menunjukkan kalau dia tidak terlalu antusias.
Mereka pun berjalan menuju kantin bersama-sama.
Suasana kantin seperti biasanya: ramai, penuh obrolan dan tawa, dengan suara dentingan piring dan gelas yang bertabrakan menambah keramaian. Meja-meja dipenuhi murid dari berbagai kelas, semuanya berbincang dengan seru. Penjual makanan di berbagai kios tampak sibuk melayani antrean yang terus mengular. Bau berbagai macam makanan bercampur di udara—nasi goreng, roti panggang, bahkan beberapa makanan khas Aurevast yang kaya rasa.
"Wah, ramai banget, ya," komentar Froze sambil melirik sekeliling.
"Iya, dan aku lapar banget. Kita langsung ke kios yang itu saja," tunjuk Fritz ke arah kios yang menjual menu makanan berat.
Cramaric langsung berlari kecil ke arah kios. "Aku duluan! Aku nggak mau antre lama!"
Brandon menatapnya sambil menggeleng. "Anak kecil banget, tuh bocah. Padahal kita kan bisa bareng-bareng."
K hanya mengamati mereka semua dengan diam, berjalan mengikuti tanpa terlalu peduli.
Setelah mendapatkan makanan masing-masing, mereka memilih meja kosong yang cukup jauh dari keramaian utama kantin.
Froze menaruh nampannya di atas meja dan langsung duduk. "Akhirnya! Aku benci banget kalau harus antre lama."
Fritz duduk di sebelahnya, menggigit rotinya. "Ya sudah, kalau begitu lain kali kau masak sendiri, biar nggak usah antre."
Brandon tertawa. "Dia masak? Jangan mimpi, bro. Aku yakin Froze bakal bikin dapurnya kebakar sebelum selesai masak mie instan."
"Hei!" protes Froze dengan mulut penuh makanan. "Aku bisa masak, tahu!"
"Masak air itu nggak dihitung, bro," kata Cramaric sambil menepuk punggung Froze.
Obrolan mereka terus berlanjut, penuh dengan lelucon dan candaan, tapi K tetap diam sambil makan perlahan. Pandangannya sesekali melirik ke sekitar kantin, memperhatikan suasana.
Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu.
Ada tekanan sihir yang kuat di udara. Rasanya seperti gelombang yang samar, tapi cukup untuk membuatnya waspada. K menghentikan sendoknya di tengah jalan, diam sejenak. Tekanan itu terasa semakin jelas, seperti pusat energi yang menonjol di tengah keramaian kantin.
"K? Kau kenapa diam?" tanya Froze sambil menatapnya.
K mengangkat pandangannya, menoleh ke pojok kantin. Di sana, seorang murid duduk sendirian. Penampilannya tampak lesu, dengan wajah yang kusut dan tatapan kosong. Murid itu makan dengan perlahan, seolah tidak punya tenaga untuk sekadar menikmati makanannya. Tapi di sekelilingnya, ada sesuatu yang tidak biasa. Aura tekanan sihir itu jelas berasal darinya.
"K, kau dengar aku nggak?" suara Brandon kembali memanggil.
K mengalihkan pandangannya dari murid itu. "Nggak ada apa-apa," jawabnya singkat, meskipun pikirannya masih terfokus pada apa yang baru saja dirasakannya.
"Benar kau nggak apa-apa? Mukamu seperti melihat hantu," tanya Fritz sambil menatap K curiga.
"Aku baik-baik saja," balas K sambil kembali makan.
Meskipun mencoba mengabaikan perasaan itu, K tidak bisa sepenuhnya melupakan tekanan sihir yang dia rasakan. Namun, dia memilih untuk tidak membicarakannya. Hingga bel berbunyi, menandakan akhir dari jam istirahat, K tetap diam, mengikuti teman-temannya kembali ke kelas tanpa berkata apa-apa.
Froze berjalan di sampingnya sambil berkata, "Eh, K, kau tahu nggak, besok katanya Vanther bakal cosplay lagi. Katanya mau jadi T-Rex."
"Serius?" tanya Brandon sambil tertawa. "Guru kita itu memang aneh banget. Tapi aku suka. Paling nggak pelajaran nggak pernah membosankan."
"Aku yakin dia cuma alasan buat nggak pakai seragam guru," tambah Cramaric.
K tidak menjawab. Pikirannya masih terus memutar kejadian di kantin tadi. Tekanan sihir itu—dan murid yang ada di pojok.
"Siapa dia?" pikir K dalam diam, saat mereka kembali melangkah menuju kelas mereka. "Padahal aku tidak memiliki kekuatan sihir,tapi aku bisa merasakan tekanan sihir yang sangat kuat darinya... Tapi ah sudah lah.. bukan urusan ku."
Mereka sampai dikelas,dan duduk seperti biasa.
Kelas sedang dalam suasana tenang, beberapa murid sibuk berbicara atau menulis di buku mereka. Tiba-tiba, suara speaker kelas berbunyi, memecah keheningan.
"Dimohon dari kelas 2-A Zxio dan 1-C K agar segera menuju ruangan OSIS di lantai 3. Terima kasih."
Suasana kelas langsung berubah riuh. Semua kepala menoleh ke arah K, yang duduk santai di kursinya.
"Apa itu tadi? Kau dipanggil OSIS?" tanya Froze dengan nada terkejut.
Brandon langsung menimpali, "Apa yang kau lakukan, K? Jangan-jangan kau bikin masalah lagi?"
Fritz ikut bergabung, "Serius, apa kau menghancurkan sesuatu? Atau kau nggak sengaja ngelawan murid senior?"
K menatap mereka semua dengan ekspresi datar. "Aku nggak tahu," jawabnya santai sambil berdiri dari kursinya.
"Eh, kau benar nggak tahu?" tanya Nobu, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Biasanya kalau dipanggil OSIS itu berarti sesuatu yang besar, lho!"
Cramaric tertawa kecil. "Kalau K yang dipanggil, mungkin ini kesalahan administrasi."
K hanya mengabaikan komentar-komentar itu. Dia mengambil tas kecilnya, bersiap untuk pergi, tapi langkahnya terhenti.
"Masalahnya," gumamnya, "aku bahkan nggak tahu di mana ruangan OSIS."
Chloe, yang duduk tak jauh darinya, menghela napas pelan. "Serius? Ruangan OSIS itu di lantai yang sama dengan kita. Kau benar-benar nggak tahu?"
K menoleh padanya. "Aku nggak pernah peduli soal itu," jawabnya jujur.
Chloe berdiri, merapikan seragamnya. "Baiklah, aku akan menemanimu. Kebetulan aku juga penasaran kenapa kau dipanggil."
"Terima kasih," ujar K singkat.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka berdua keluar kelas. Saat berjalan di lorong, Chloe mencoba mencairkan suasana.
"Jadi, kau yakin kau nggak bikin masalah? Sejauh ini aku belum pernah melihatmu melakukan sesuatu yang aneh."
"Aku nggak yakin," jawab K dengan nada monoton.
"Yah, kalau begitu kita lihat saja apa yang terjadi," ujar Chloe sambil tersenyum kecil.
---
Mereka sampai di depan pintu ruangan OSIS. Pintu itu besar, lebih tinggi dari pintu biasa, dengan ukiran megah berwarna emas di sekelilingnya. Di depan pintu, berdiri seorang murid berambut biru gelap, dengan mata biru yang tajam, wajahnya tampak sedikit bingung. Chloe dan K mendekatinya.
"Zxio?" tanya K, mengenali seniornya dari kelas 2-A.
Murid itu menoleh, menatap K dan Chloe. "Ya, itu aku," jawabnya singkat. "Kau yang dari kelas 1-C, kan? Namamu K?"
K mengangguk. "Kau tahu kenapa kita dipanggil?"
Zxio menggeleng. "Nggak tahu. Aku juga baru sampai. Tapi sepertinya ini bukan masalah besar."
Chloe melirik Zxio dengan penuh rasa ingin tahu. "Mungkin ini semacam misi atau tugas penting. Bukannya OSIS hanya memanggil murid untuk hal-hal serius?"
Zxio mengangkat bahu. "Mungkin saja. Kita akan tahu kalau sudah masuk."
Tanpa membuang waktu lagi, mereka bertiga membuka pintu besar itu. Chloe mengikuti mereka, meskipun dia tidak dipanggil, karena rasa penasarannya terlalu besar.
Begitu masuk, mereka tertegun. Ruangan OSIS itu seperti dunia lain.
Langit-langitnya tinggi dengan lampu kristal besar yang menggantung di tengah. Di ujung ruangan, ada meja besar dengan logo OSIS yang terukir megah, di belakangnya berdiri sebuah jendela besar yang menghadap ke taman akademi. Dinding ruangan dihiasi dengan rak buku besar, lukisan-lukisan mahal, dan piala-piala kemenangan. Ada beberapa pintu kecil di sudut ruangan, dengan label seperti "Ruang Game," "Ruang Nonton," "Ruang Diskusi," dan "Ruang Relaksasi." Bahkan ada kamar mandi pribadi dengan desain yang tampak lebih mewah daripada sebagian rumah murid biasa.
Namun, perhatian mereka segera tertuju pada satu orang yang berdiri di dekat meja OSIS.
Vishap, Ketua OSIS.
Dia adalah definisi dari kesempurnaan. Rambut blonde panjang hingga setengah punggung, berkilau seperti sutra. Matanya tajam tapi penuh kelembutan, seperti mata yang mampu membaca pikiran siapa pun. Kulitnya cerah tanpa cela, dan setiap gerakannya terlihat anggun. Dia mengenakan seragam OSIS yang dimodifikasi dengan sedikit bordiran emas, menambah aura elegannya. Senyumnya ramah, tapi ada sesuatu yang begitu tegas di baliknya, seolah dia mampu memimpin siapa pun tanpa harus mengangkat suara.
"Hai," sapanya dengan suara lembut tapi jelas. "Selamat datang di ruangan OSIS. Aku Vishap, Ketua OSIS kalian. Senang bertemu dengan kalian semua."
Zxio sedikit membungkuk, mencoba bersikap sopan. K hanya menatap Vishap tanpa ekspresi, sementara Chloe tampak terpesona dengan kehadiran ketua OSIS itu.
"Ada yang bisa kami bantu?" tanya Zxio dengan nada formal.
Vishap tersenyum lebih lebar. "Tenang saja. Aku hanya ingin berbicara dengan kalian sebentar. Tidak ada masalah besar, jadi jangan khawatir."
Chloe, yang tidak dipanggil, langsung bertanya, "Apa aku boleh tetap di sini? Aku hanya menemani K, tapi aku juga penasaran."
Vishap menatap Chloe sejenak, lalu mengangguk. "Tentu saja. Aku tidak keberatan."
K dan Zxio duduk di sofa yang tersedia, sementara Vishap berjalan perlahan ke arah mereka, setiap langkahnya begitu anggun. Chloe tetap berdiri di dekat K, masih terpesona oleh atmosfer ruangan itu.
"Jadi," kata Vishap sambil duduk di kursinya, "aku memanggil kalian karena ada sesuatu yang menarik perhatian kami di OSIS. Tapi sebelum aku jelaskan, aku ingin tahu: apa kalian pernah merasa ada sesuatu yang aneh di akademi ini akhir-akhir ini?"
K dan Zxio saling berpandangan, sementara Chloe hanya terdiam, menunggu kelanjutan pembicaraan.
Ruangan OSIS yang megah itu tiba-tiba terasa sunyi. Vishap menatap ketiganya dengan senyum tenang, namun tatapan matanya mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—seperti ia tahu lebih banyak daripada yang terlihat. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan bersandar ke kursinya dengan elegan.
"Dilihat dari ekspresi kalian, aku sudah tahu," ucap Vishap santai, memecah keheningan.
Chloe tampak bingung, mengernyitkan alisnya.
"Tau? Tau apa?" gumamnya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.
Namun Vishap mendengarnya. Ia menoleh dan menjawab langsung.
"Maksudku, aku tahu apa yang terjadi pada kalian di kantin tadi."
K, Zxio, dan Chloe saling pandang. Ada ketegangan di antara mereka, terutama pada K dan Zxio. Wajah mereka tidak menunjukkan apa-apa, tetapi Vishap tampaknya bisa membaca lebih dari sekadar ekspresi.
"Aku akan menjelaskannya," lanjut Vishap, nada suaranya berubah serius. "K dan Zxio, kalian berdua berbeda dari murid lainnya. Kalian tidak memiliki sihir sama sekali, bukan?"
Zxio mengangguk pelan, sementara K hanya menatap Vishap tanpa ekspresi. Chloe tampak lebih bingung dari sebelumnya.
"Jadi apa hubungannya dengan yang terjadi tadi?" tanya Chloe, mencoba memahami situasinya.
Vishap mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya semakin menegaskan otoritasnya.
"Karena kalian tidak memiliki sihir, kalian bisa merasakan sesuatu yang kami—pemilik sihir—tidak bisa rasakan dengan mudah. Kalian dapat mendeteksi kebangkitan alter ego seseorang."
Kata-kata itu membuat ketiganya terkejut. Chloe ternganga, sementara K dan Zxio tetap membisu, tapi jelas terkejut. Mereka bahkan belum sempat memikirkan hal sejauh itu.
"Alter ego?" Chloe mengulang kata-kata itu dengan nada bingung. "Apa maksudmu?"
Vishap menatap Chloe dengan senyum tipis.
"Alter ego adalah sisi gelap dari seseorang. Ketika terlalu banyak emosi negatif, energi itu bisa berubah menjadi bentuk lain, mengambil alih tubuh mereka. Kau mungkin tidak sadar, tapi di kantin tadi, salah satu murid di sana sudah berada di tahap awal kebangkitannya. Bukankah begitu, K? Zxio?"
Zxio menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
"Aku memang merasakan sesuatu, tapi tidak berpikir sejauh itu. Aku hanya merasa ada tekanan yang aneh…"
K mengangguk kecil, suaranya datar seperti biasa.
"Ya. Sama."
Vishap tersenyum lebar, tapi senyumnya mengandung ancaman yang samar.
"Tidak perlu canggung. Aku juga merasakannya, meskipun aku memiliki sihir. Bedanya, kekuatanku sudah mencapai tahap ketiga, jadi aku bisa mendeteksi energi itu dengan lebih jelas daripada kalian."
Chloe terlihat bingung sekaligus kagum.
"Tahap ketiga? Maksudmu… kekuatanmu sudah sejauh itu?"
Vishap mengangguk, dengan nada santai tapi penuh kebanggaan.
"Benar. Itulah sebabnya aku bisa memimpin OSIS. Tapi kita tidak di sini untuk membahas diriku. Aku memanggil kalian karena kalian memiliki peran penting dalam situasi ini."
Zxio menegakkan tubuhnya.
"Kalau begitu… apa yang harus kami lakukan? Alter ego itu tidak bisa diberhentikan, bukan?"
Vishap menatap Zxio dengan mata tajam.
"Kau benar, tidak bisa diberhentikan. Tapi bukan berarti tidak bisa dikendalikan."
Ketiganya terkejut. Chloe bahkan hampir menjatuhkan tas kecilnya.
"Dikendalikan?" tanya Chloe, nadanya penuh kebingungan. "Apa maksudmu?"
Vishap berdiri, berjalan perlahan ke arah mereka. Suaranya semakin dalam, seperti memberikan perintah yang tak bisa ditolak.
"Aku ingin kalian memperingati dan membantu murid yang terpengaruh alter ego itu. Bantu dia mengendalikan kekuatannya. Jika berhasil, kita semua selamat. Jika gagal…"
Vishap berhenti, tatapannya menjadi dingin. Ia melanjutkan dengan suara yang begitu tenang, namun mengerikan.
"…aku akan membunuhnya di tempat."
Ruangan itu menjadi dingin seketika. Chloe menatap Vishap dengan mata melebar, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar.
"Membunuhnya? Kau serius? Itu murid kita sendiri!"
K, untuk pertama kalinya, menunjukkan sedikit emosi.
"Kalau gagal, bukankah alter ego itu akan menjadi sangat kuat? Bagaimana kau bisa begitu yakin bisa mengalahkannya?"
Vishap menatap K dengan tatapan tajam, seperti hendak menantang. Ia mengangkat satu tangan, dan dalam sekejap, tekanan sihir yang luar biasa memenuhi ruangan. Dinding bergetar, udara menjadi berat, dan Chloe hampir kehilangan keseimbangannya.
Vishap berbicara dengan suara rendah, namun setiap katanya terasa seperti dentuman keras di telinga mereka.
"Karena aku lebih kuat."
Ketegangan itu berlanjut selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, sebelum Vishap menarik kembali tekanannya. Udara kembali normal, tapi rasa takut di antara mereka bertiga masih terasa jelas.
"Sekarang," lanjut Vishap dengan nada santai, seolah tidak terjadi apa-apa, "kalian tahu apa yang harus dilakukan. Ini adalah tanggung jawab kalian. Aku percaya kalian bisa melakukannya."
Setelah percakapan yang panjang, Vishap mengantar mereka keluar dengan senyum ramah yang terasa begitu kontras dengan apa yang baru saja ia tunjukkan. K dan Zxio kembali ke kelas masing-masing, sementara Chloe tetap bersama K.
Ketika mereka kembali ke kelas 1-C, suasana di dalam kelas benar-benar kacau. Murid-murid saling bercanda, bermain-main, dan berteriak. Ternyata Vlad, guru mereka, tidak masuk karena sakit, sehingga mereka mendapat waktu bebas.
"Ini kenapa berisik sekali?" gumam Chloe sambil memandang kelas yang penuh kekacauan.
K hanya mengangkat bahu dan kembali ke tempat duduknya di dekat jendela. Ia mengambil buku catatannya dan mulai menulis sesuatu, sementara Chloe bergabung dengan kelompok Nobu yang sedang bermain kartu di belakang. Hari itu terasa lebih panjang daripada biasanya.
Hari itu berlanjut seperti biasa di Akademi Viper. Setelah istirahat selesai, kelas 1-C kembali masuk untuk pelajaran Seni Budaya bersama Pak Folk. Guru seni yang terkenal unik ini sudah menunggu di depan kelas dengan gitar akustiknya.
"Selamat siang, anak-anak! Hari ini kita akan belajar seni yang sesungguhnya. Seni yang datang dari hati… bukan dari otak kalian yang kadang kosong itu!" seru Pak Folk dengan gaya dramatis sambil memainkan kord gitar.
Murid-murid tertawa, meskipun sebagian pura-pura mengeluh.
"Pak, jangan gitu dong! Otak kami nggak kosong!" teriak Brandon dari barisan belakang.
Pak Folk mengangkat alisnya sambil tertawa kecil.
"Oh, Brandon. Kalau kau tidak kosong, coba jawab ini. Apa perbedaan seni dan kerajinan tangan?"
Brandon terlihat bingung. Dia mencoba menjawab dengan percaya diri.
"Seni itu... lebih keren dari kerajinan tangan?"
Pak Folk menggeleng sambil memainkan nada sedih di gitarnya.
"Jawaban yang menyedihkan. Duduk, kau gagal jadi artis. Siapa yang bisa jawab?"
Chloe mengangkat tangannya, dengan wajah tenang seperti biasa.
"Seni itu ekspresi bebas tanpa batasan, sementara kerajinan tangan lebih fokus pada teknik dan hasil akhirnya."
Pak Folk tersenyum lebar.
"Luar biasa, Chloe! Seperti biasa, kau adalah permata di kelas ini. Yang lain, belajarlah darinya!"
K hanya diam, duduk di sudut dekat jendela, sambil menatap keluar. Chloe melirik ke arahnya, sedikit tersenyum, merasa sudah biasa dengan sikapnya yang selalu pasif. Pelajaran berlangsung dengan penuh humor khas Pak Folk, yang sesekali menyisipkan lelucon absurd dan bahkan bermain lagu cinta untuk menggoda murid-muridnya. Akhirnya, bel pulang pun berbunyi.
Di rumah, K langsung melempar tasnya ke sofa dan mengambil ponselnya. Ia membuka grup kelas, di mana suasana sedang ramai seperti biasa. Nobu sedang mengeluh tentang tugas matematika.
"GILA, SIAPA YANG BIKIN SOAL BEGINI?! OTAK AKU KEBALIK!"
Chloe sudah menanggapi dengan santai.
"Tenang, aku sudah kerjakan semuanya. Jawabannya sudah kukirim di grup, termasuk caranya. Jangan malas baca."
K membuka file yang dikirim Chloe. Soal-soal matematika yang tampak seperti kode alien baginya sekarang sudah penuh dengan jawaban dan penjelasan yang panjang. Ia menghela napas lega, walaupun merasa sedikit bersalah karena benar-benar tidak mengerti apa pun. Ia menyalin semua jawaban itu ke bukunya dengan teliti.
Di grup, Brandon ikut mengomentari.
"Chloe, kau benar-benar penyelamat hidup kami. Kalau aku jadi guru, kau langsung kuberi nilai A+ tanpa ujian."
Chloe membalas dingin.
"Kalau aku jadi guru, kau langsung kukasih soal tambahan biar belajar lebih giat."
Brandon membalas dengan emoji menangis. K tertawa kecil membaca percakapan mereka. Setelah selesai menyalin tugas, ia meletakkan buku dan ponselnya di meja, meregangkan tubuhnya yang lelah.
Saat malam semakin larut, K berbaring di tempat tidurnya. Ia memikirkan kejadian di ruang OSIS tadi. Vishap, alter ego, tekanan sihir yang luar biasa… semuanya terasa aneh, tapi ia mencoba mengabaikannya. Ia mengambil ponselnya lagi dan melihat pesan terakhir di grup.
Nobu: "Matematika selesai! BESOK MAIN VOLI KAN?! SIAPA TAKUT!"
Froze: "Kalau kalah, kau harus traktir kami semua makan siang."
Brandon: "Deal!"
K membaca sambil tersenyum tipis. Ia menaruh ponselnya di meja samping tempat tidur dan memejamkan matanya. Hari itu mungkin melelahkan, tapi seperti biasa, semuanya berjalan dengan cara mereka sendiri. Tidak sempurna, tidak terlalu buruk, tapi cukup untuk membuat K merasa dunia ini tidak sepenuhnya membosankan.
Lalu ia tertidur, dengan senyuman samar di wajahnya.