Chapter 7 : Seperti Mimpi

 Kami yang masih bersembunyi dibalik sofa semakin was-was dan tegang. Eh? Tunggu sebentar , mereka masuk ke gudang bawah tangga?!. Tidak, hanya si ular saja yang masuk kesana? Ma apa dia kesana?. Dan sial sekali, kenyataan bahwa pihak kepolisian belum mengevakuasi jasad ayah yang masih tergantung itu. Tapi, kemana hilangnya jasad ayah saat Detektif Olsen datang untuk menginvestigasi tempat kejadian. Apa jangan-jangan ular itu?!. Selama 15 tahun , ayah tidak pernah memperbolehkan aku dan juga kakak memasuki ruangan itu. Meskipun aku anak yang selalu penasaran pada segala hal, tapi untuk ini ayah selalu bisa meyakinkanku bahwa tempat itu hanyalah gudang biasa tempat ia menyimpan beberapa barangnya saja. Dan apa yang sekarang aku lihat benar-benar mengejutkan. Dari basement yang tiba-tiba saja berubah, hingga gudang yang selama ini ayah tutup-tutupi ternyata tempat dimana ayah dan ibuku menyembah iblis itu. *Glup* terdengar sangat nyaring. Ya, iblis si*alan itu menelan jasad ayah di depan mataku dengan mudahnya. Sayap besarnya mulai membentang, bulu-bulu hitam yang berjatuhan berubah menjadi darah yang amis yang sangat menyengat. Makhluk itu berubah wujud, dia berdiri tegak sambil membentangkan ke 12 sayap hitamnya. *Wushh* angin dari hembusan sayapnya sangat kuat hingga menghempaskan kami berdua begitu saja. *Brak* kami terhempas beberapa kali, terpontang-panting hingga rasanya tulangku remuk semua. Setiap iblis itu mengepakan sayapnya, orang-orang dengan jubah itu akan bersorak sambil melantunkan (Doa-nya?). Gestur tubuh yang sama terus berulang menyembah pada iblis itu.

"MR.OLSEN!.....DETEKTIF!!" Teriakku.

Dia menarik Detektif dengan mudahnya dan menceki hingga ia kesulitan untuk bernafas. Aku hanya bisa menangis melihat Detektif yang sudah lemas tak berdaya. Orang-orang si*alan ini mulai bersujud dihadapan Detektif yang sudah terbaring. Iblis itu mulai berjalan ke arahku. Namun, belum dia berhasil menyentuhku, cahaya yang sangat menyilaukan muncul entah dari mana. Iblis itu mulai menggeram kesakitan, orang-orang yang tadi tengah bersujud bangkit sembari membawa tubuh Detektif Olsen dan setelah itu aku kehilangan kesadaranku.

"Nak! Leonard! Sadarlah!" teriak seseorang yang terdengar samar.

Saat terbangun aku sudah berada di rumah sakit. Ternyata Pendeta Benedict yang telah menyelamatkanku dari sana.

"Oh, kau sudah siuman rupanya" ucap sang pendeta.

"Hm? Pendeta Benedict?! Bagaimana bis-" tenggorokanku sakit hingga tidak bisa menyelesaikan ucapanku.

Seluruh tubuhku terasa sangat sakit, bahkan untuk bicarapun rasanya tidak bisa. Sudah dua hari aku berada di rumah sakit ini, dan Pendeta Ben masih saja berada disini menemani ku.

"Pendeta Ben, kenapa anda masih ada disini?" tanyaku dengan suara yang masih lemas.

"Kau kan tidak punya wali, jadi aku disini sebagai walim nak" jawabnya dengan lembut sambil tersenyum kearahku.

Aku melupakannya, bahwa saat untuk saat ini tidak ada seorangpun dari keluargaku yang ingin menjadi waliku. Bahkan untuk menampungku saja tidak ada yang mau, mereka masih saja sibuk untuk saling menyalahkan dan menjatuhkan satu sama lain atas kematian ibu. Ditambah sekarang ayah meninggal dengan cara bunuh diri, itu sangat membuatku pusing mengingat kakak yang sekarang saja masih berada di rumah sakit jiwa. Pendeta Ben yang sekarang mengajukan diri sebagai waliku adalah teman masa kecil ibu, aku tau karena ia pernah bercerita tentangnya. Sebelum ia memutuskan untuk menjadi pemuka agama, Pendeta Ben bilang pernah menyukai ibuku. Beliau juga yang membantu penyucian rumah setelah kakak bertingkah aneh, aku pikir ia sangat baik karena peduli pada keluarga teman berharganya itu.

"Tapi, Pendeta Ben...Kenapa anda tau kalau saya berada disana?" tanyaku penasaran.

"Hm? Bukankah itu hal wajar? Kan itu rumahmu?"

"Saat aku sampai, rumah itu sangat berantakan. Dan ada banyak sekali obat berserakan" tambahnya.

"Huh? Apa maksud anda?! Jelas-jelas saya dan Detektif Olsen" jawabku yakin.

Tunggu! Sial*n. Aku melupakan Detektif Olsen!? Bagaimana keadaannya sekarang dan apa yang terjadi padanya?.

"Pendeta Ben" belum aku selesai berbicara, Pendeta Benedict langsung memotong ucapanku.

"Aku tau ini sangat berat untukmu nak, tapi dengan mnegikuti bagaimana cara ayahmu pergi itu sangatlah tidak baik."

"A-apa maksud anda?" tanyaku bingung dengan jawaban Pendeta Ben yang tiba-tiba itu.

"Kau overdosis akibat obat-obatan yang di konsumsi secara berlebih".

Apa? Aku bahkan tidak pernah melakukan itu semua?! Jelas-jelas aku mengikuti Detektif Olsen menginvestigasi TKP saat itu. Aku sangat ingin menanyakan kabar Detektif, tapi lidahku seakan mati rasa!. Nafasku semakin berat, keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhku, padangan yang mulai kabur apa yang sebenarnya terjadi?.

"Hey nak, apa kau baik-baik saja?" tanya Pendeta Ben.

Dia yang keliatan panik dengan cepat memanggil dokter ke ruanganku, dan akupun tak sadarkan diri lagi.

"Detektif Joe Olsen? Mr.Olsen? kau dimana?"

"Hei bocah, apa yang kau lakukan disana? Cepatlah turun" teriaknya.

Oh? Aku masih berada diatas cerobong?. Tunggu, bukankah dia yang menyuruhku untuk naik mencari jalan keluar ya?.

"Hey, pak tua bukankah kau yang menyuruhku naik?" jawabku jengkel.

"Tidak, tidak..TURUNLAH ANAK SI*ALAN"

Aku terkejut melihat sosok kakak yang sangat menyeramkan diadapanku, dengan refleks aku melepaskan pegangan dan terjatuh bebas ke bawah. *Bughh* aku terjatuh dan menghantam Detektif dengan keras.

"Ugh, maafkan aku Detek-"

Saat aku menengok ke bawah ternyata itu bukan Detektif, melainkan tumpukan kepala wanita yang melotot dengan tajam penuh dengan darah. Aku mencoba untuk bangun tapi rasanya sangat sulit, perlahan demi perlahan tubuhku tertarik masuk kedalam genangan darah segar itu. Tangan-tangan mungil terus menarikku lebih dalam hingga aku kesulitan untuk bernafas. Aku berusaha menggapai tangan Detektif Olsen diatas sana.

"Leo! Leonard!" ia berteriak-teriak menanggilku.

"Akkkkkkk DETEKTIF JOE OLSEN!!" aku berteriak sekencang mungkin.

Namun saat membuka mata aku sudah berada dirumah sakit lagi? Dengan nafas yang terengah-engah. Apa yang tadi itu cuma mimpi? Aku melihat-lihat kesekitar dan disana ada seorang perempuan menatapku dengan mata indahnya. Ia mulai menitikan air mata dan berkata "Syukurlah". Kepalaku terasa sangat sakit, sebenarnya apa yang terjadi? Apa ini mimpi?.

"Suster! Suamiku sudah siuman tolong panggilkan dokter untuk memeriksa keadaanya" Teriaknya sambil meningalkan ruangan.

Aku yang baru saja terbangun masih mencoba untuk mencerna keadaan sekarang. Perempuan itu kembali bersama beberapa perawat dan dokter. Lalu dokter itu mulai memeriksa keadaanku menyeluruh.

"Sepertinya ia masih syok dengan semua yang terjadi,biarkan suami anda beristirahat untuk beberapa hari lagi" ucap sang dokter.

"Baik terimakasih dok" jawabnya merasa lega.

Perempuan cantik itu tersenyum padaku, dengan air mata yang masih tersisa di mata indahnya. Tunggu, dia bilang suamiku? Aku? Sial leonard! Aku melupakan bahwa aku sebernarnya memang sudah berada dirumah sakit akibat hantaman yang kakak lakukan tempo hari dirumah kami.

"Elena, aku minta ma-"

Elena tiba-tiba menangis sambil menatapku sangat dalam. Dan ia tiba-tiba berkata.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada ayahku Leonard" tanyanya sambil tidak berhenti terisak.

*Deg* rasanya jantungku berhenti berdegup. Aku baru mengingatnya, nama itu pantas saja tidak asing saat pertama kali Elena menyebutkan nama itu, Joe Olsen dan Elena Olsen. Apa ini jawaban dari semua rasa penasaranku dulu. Apa ini bentuk tanggung jawabku terhadap anakmu pak tua?.