Chapter 8 : Kepingan Puzzle

Aku terdiam untuk beberapa saat. Elena masih saja menangis, tapi ia tak menatapku lagi. Pandangannya seakan kosong entah memikirkan apa. Ruangan yang sangat hening hanya ada suara monitor ICU yang mengisi kekosongan ini. Apa dia menganggapku seorang penipu? Pembunuh? Penculik? Karena ayahnya terlihat terakhir kali pada saat bertugas untuk menginvestigasi kasus yang terjadi di keluarga Delphine, rumahku. Apa semua ini adalah salahku? Bahkan karena sekarang dia berada disisiku, hampir saja aku melukainya sama seperti apa yang terjadi pada ayahnya. Namun, melihatnya seperti ini mengingatkanku pada seorang gadis yang dulu aku temui saat ia mencari keadilan dulu. Melihat ia menangis seperti ini sangat mirip sekali dengan anak perempuan itu. Elena Olsen, pertemuan pertamaku dengannya seakan telah di takdirkan seperti skenario dalam sebuah film. Dua tahun setelah kejadian itu, aku mulai tinggal di asrama sekolah di bantu oleh Pendeta Ben yang sekarang menjadi waliku. Aku belum bisa mengambil hak milik atas rumah orangtuaku karena belum cukup umur, dan kakak sebagai orang yang lebih tua dariku untuk sekarang tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut. Saat aku berjalan menuju kantor polisi untuk mengurus beberapa dokumen bersama Pendeta Ben, seorang gadis berdiri sembari membawa sebuah poster berisikan potret seorang pria bertuliskan.

(KEADILAN UNTUK DETEKTIF JOE OLSEN)

(TOLONG CARI AYAH KAMI)

(DIA MENGHILANG SAAT BERTUGAS, DIMANA TANGGUNG JAWAB KALIAN)

Sambil menahan tangisnya gadis itu terus berdiri. Dari pagi hingga bertemu sore hari ia masih saja berdiam bagaikan patung disana.

"Maaf mengganggu, tapi jika kau tak keberatan...ambillah ini" sambil menyodorkan sebuah minuman kaleng isotonik.

Dia tersenyum sambil mengambil kaleng dingin itu dan tanpa di sadari air matanya turun begitu saja. Kami duduk di kursi taman sambil menikmati hembusan angin hangat sore hari. Gadis itu masih menangis, aku tetap duduk menemani di sisinya sampai dia merasa tenang.

*Hiks* "Uh, ma-maafkan aku" katanya sambil menyeka pipi dan kedua matanya yang masih banjir air mata.

"Tidak apa-apa, santai saja" ucapku sambil tersenyum mencoba menenangkannya.

Matanya nampak sayu, seakan-akan banyak beban yang masih ia tanggung disana. Aku mencoba untuk menghiburnya sebisa mungkin, karena pernah berada di posisinya saat ini.

"Apa kau sudah merasa lebih baik sekarang?"

"Oh! Ya ampun, aku membuatmu tidak nyaman ya dari tadi"

"Aku benar-benar minta maaf" tambahnya sambil membungkuk.

"Eh?? Ti-tidak kok, santai saja"

Gadis itu mulai tertawa, senyum manisnya menggelitik hatiku. Kami berbincang singkat untuk mencairkan suasana, karena entah perasaan ku saja atau memang langit pada sore ini terlihat begitu indah.

"Aku lupa memperkenalkan diri!"

"Namaku Elena Olsen, kau bisa memanggilku Lena atau Elena" ucapnya sambil tersipu malu.

"Oh, Elena Olsen ya. Nama yang indah" jawabku

"Err, jadi. Siapa namamu?" tanyanya penasaran

Dia sepertinya sangat exited sampai-sampai tidak menyadari jika wajahnya itu terlalu dekat.

"OMG! Maafkan aku tanpa sadar aku, bukannya memaks-"

Dia bicara terburu-buru dan cepat menjauhkan wajahnya yang sudah memerah bak buah cerry yang manis.

"Aku Leonard" jawabku singkat

"Leonard? Saja?" ucapnya dengan wajah penuh tanda tanya

"Ya, hanya itu haha. Aku tidak suka nama belakangnya"

"Oh ya, baiklah.."

Setelah perkenalan singkat hari itu, tak ku sangka kami akan menjadi dekat seperti sekarang. Elena yang akhirnya terbuka dengan masalahnya, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada ayahnya. Aku juga sama menceritakan bagaimana nasib keluargaku yang cukup tragis. Dan di saat yang bersamaan, bukan hanya rasa saling mengasihani lagi yang muncul. Namun perasaan suka kepadanya mulai muncul, ya aku menyukainya. Tidak, lebih tepatnya ini adalah perasaan cinta terhadap seseorang yang ingin kau lindungi. Aku mulai mencintainya tanpa menyadari kesalahan apa saja yang telah aku perbuat. Penyesalan dan rasa bersalah yang terus bertumpuk tanpa disadari membuatku terasa sakit. Tapi aku benar-benar tidak ingat dan bahkan tidak tau alasannya mengapa hati ini terus merasa ganjal. Apa aku telah melupakan sesuatu yang begitu penting? Atau yang menurut Elena sesuatu itu sangat berharga? Aku tidak tahu.

"Sayang, kamu mimisan lagi!" sambil mengelap hidung Leo.

"Oh? Ah. Aku tidak menyadarinya" berusaha tersadar dari lamunan.

Bahkan setelah menikahinya, hati dan pikiranku bagaikan sebuah puzzle yang kehilangan beberapa kepingan piecenya. Ibuku? Aku bahkan masih mengingat senyuman terakhirnya saat di dalam mobil kala itu. Apa ayah? Tidak, akulah yang menemukan jasadnya pertama kali, jadi itu akan menjadi kenangan sekaligus mimpi terburukku sepanjang hidup setelah kematian ibu. Atau mungkin kakak? Aku belum bisa menengoknya karena tidak tahu tempatnya dirawat. Pikiranku selalu kacau tak tentu arah dan tujuannya dimana. Elena Olsen? Aku tidak pernah mendengarnya, namun namanya seperti tidak asing lagi bagiku. Aku kira karena sekarang dia menjadi bagian dari hidupku makanya namanya itu sudah tak asing lagi bagiku. Sialnya kenyataan yang menyakitkan itu berasal dari namanya belakangnya, bahwa anaknya lah yang telah mengingatkan pada sosok pria keren meski hanya sebentar namun dia telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya.

Elena maafkan aku yang tidak bisa menyelamatkan ayahmu. Sikap pengecutku yang melupakan orang berharga dalam hidupmu itu sulit untuk di maafkan. Aku membuatmu kecewa, sangat-sangat kecewa. Di saat kau berjuang mencari keberadaan ayahmu, aku dengan santainya malah masuk kedalam kehidupanmu. Bisa dibilang, sebagai saksi dan juga tersangka utama yang terlibat langsung atas hilangnya ayahmu malah sekarang berperan, tidak, malah tanpa dosa mengambil peran bak pahlawan dihadapanmu sambil sembunyi tangan. Kau lihat Detektif? Aku sekarang menjadi suami yang buruk untuk putri kesayanganmu. Aku...Benar-benar minta maaf.

"Detektif Joe Olsen"

"Panggil saja aku Mr.Olsen"

"Oh baiklah Mr.Olsen. ku dengar kau juga memiliki anak seusiaku? Jadi aku pikir kau ingin melakukan tugas ini karena-"

"Kasihan? Ya, tapi aku hanya berpikir bagaimana jika ini semua menimpa pada putriku"

"Putriku? Jadi anak anda perempuan ya?" godaku

"Ya, jangan harap aku mengenalkannya padamu! Anak nakal" jawabnya dingin sambil menatapku tajam.

"Eyy, kenapa begitu"

"Dia sangat manja dan cengeng. Aku harap dia bisa bertemu dengan anak yang bisa menjaganya sama sepertiku" ucapnya sambil melirik ke arahku.

"Tenang saja sir! Aku bisa kok" sambil tertawa

"Terserah kau saja anak nakal" dengusnya, terlihat senyuman kecil dari sudut bibirnya.

Meski dia terlihat cuek, namun selama kami bersama ia sangatlah baik dan juga peduli. Jika aku tau saat itu adalah senyuman terakhir darinya, maka tidak seharusnya aku mengambil itu semua dari putri kesayangannya. Untuk sekarang aku baru menyadari semua kesalahanku, tapi dengan janji yang aku buat kala itu juga, sebisa mungkin dan sekuat tenaga akan aku lindungi putri kesayanganmu, ayah mertua. Tidak, penolongku dan juga terimakasih telah mengenalkanku pada putri anda yang sangat cantik dan baik hati ini.