kebangkitan dan tujuan baru

Angin menggoyangkan sisa-sisa dedaunan yang masih bertahan di ranting kering. Desa Pocong kini sunyi senyap. Tak ada tawa anak-anak, tak ada suara ayam berkokok, tak ada kehidupan. Rumah-rumah luluh lantak, jalanan dipenuhi serpihan kayu dan puing-puing batu bata. Semua ini adalah hasil dari keganasan iblis Ambus, makhluk yang menebar maut dalam satu malam.

Di depan rumah Bunga, sebuah gundukan tanah basah perlahan bergerak. Tiba-tiba, tangan kotor penuh tanah menerobos keluar, disusul kepala seseorang yang perlahan bangkit dari dalam tanah.

"Sial... aku sudah kayak zombie aja," gerutu Ethan sambil berjuang keluar dari kuburannya sendiri.

Dengan tubuh penuh lumpur dan napas tersengal, Ethan akhirnya berdiri tegak. Dia memandang sekeliling, memastikan bahwa ini bukan lagi alam bawah sadarnya. Udara dingin desa dan aroma anyir darah di udara menguatkan kenyataan: dia telah kembali.

"Untung aja bisa keluar. Kalau enggak, aku mungkin udah kehabisan oksigen di dalam sana," ucapnya, menepuk-nepuk bajunya yang sobek dan kotor.

Matanya menyapu gundukan tanah di sekeliling kubur itu. Ia menghela napas panjang. "Pasti ini ide Bunga. Mengubur aku di depan rumahnya. Dasar cewek aneh."

Ia meraba dadanya, mencari bekas luka dari pertarungannya melawan iblis Ambus. Tapi yang ia temukan hanyalah kulit yang mulus, tanpa satu gores pun.

"Luka di dadaku... hilang? Bahkan bekasnya pun enggak ada."

Ethan mengangkat kepalanya, menatap langit abu-abu di atas desa yang sunyi. "Ini jauh lebih nyata dari tempat gelap itu."

Sambil meregangkan tubuh, Ethan mencium bau amis darah yang masih tersisa di udara. Matanya tertuju pada reruntuhan rumah-rumah warga.

"Meskipun aku berhasil selamatin Bunga, aku tetap gagal melindungi desa ini..." gumamnya dengan nada penyesalan.

Ethan memutuskan untuk membersihkan diri. Ia berjalan ke belakang rumah Bunga, masuk ke kamar mandi kecil yang masih utuh. Setelah mandi seadanya, ia melangkah ke kamar Bunga, berharap menemukan pakaian bersih.

"Semoga ada baju yang bisa kupakai... Bajuku udah enggak layak disebut baju," katanya sambil mengobrak-abrik lemari.

Namun pakaian yang ada jelas terlalu kecil dan feminin untuk dipakai. Ethan menghela napas panjang lalu menjatuhkan diri ke atas kasur.

"Pakaian cewek semua... Masa aku keliling desa tanpa baju? Bisa dikira makhluk halus nanti."

Dalam keheningan, pikirannya terbang ke sosok yang terus ada di hatinya. "Bunga… kemana dia sekarang? Semoga dia ikut Pak Budi dan selamat."

Ia tersenyum kecil. "Liam sih aku tau ke mana dia bakal pergi."

Namun senyumnya mendadak sirna saat menyadari sesuatu. Ia tersentak.

"Bukunya! Buku Kenyataan dalam Halaman!"

Ethan segera berlari ke tempat ia dikuburkan, mengobrak-abrik tanah dengan tangannya, mencari buku itu. Tapi tidak ada apa-apa. Ia kembali ke dalam rumah, membalikkan setiap perabotan. Kosong.

Ia terduduk lemas di teras rumah, napasnya berat dan wajahnya pucat.

"Sial... Tanpa buku itu, aku enggak tau harus ngapain. Aku enggak ingat semua isi ceritanya..."

Namun tiba-tiba, cahaya terang muncul di hadapannya. Sebuah notifikasi sistem melayang di udara.

[Sistem sedang membuat salinan dari Kenyataan dalam Halaman...]

Ethan membelalakkan matanya. "Sistem...? Kau muncul juga di sini?"

[Sistem: Selesai membuat salinan.]

Seketika, sebuah buku muncul di depan Ethan. Ia meraihnya dengan hati-hati dan membaca judulnya.

"Kenyataan dalam Halaman... Jadi kau bisa menyalin buku ini, Sistem?"

[Sistem: Ya, saya bisa.]

Ethan mengangguk pelan. "Tapi... di mana buku aslinya?"

[Sistem: Saya tidak tahu.]

Ethan memandangi buku itu, termenung. "Bisa jadi... sekarang buku aslinya dipegang Bunga. Tapi dia enggak akan bisa membacanya. Buku ini cuma bisa dibaca olehku."

[Sistem: Benar. Hanya anda yang bisa membaca isi buku ini.]

Ethan membuka lembar demi lembar, membaca bab terbaru. Di sana tertulis bahwa Liam kini menuju Desa Kabut Putih dan akan merekrut seseorang bernama Nana untuk bergabung dalam timnya.

"Jadi Liam bakal ketemu Nana. Timnya nanti bakal berisi lima orang, dan Nana adalah salah satunya."

Ia menutup buku itu perlahan, berpikir.

[Sistem: Apa anda akan menuju Desa Kabut Putih?]

Ethan tertawa kecil. "Sekarang kau bisa nanya juga ya?"

[Sistem: Ya.]

"Sayangnya, kita enggak akan ke sana dulu. Ada tempat lain yang harus kudatangi terlebih dahulu."

Ia bangkit dari duduknya, menatap jalanan kosong desa Pocong yang terbentang di hadapannya.

"Cepat atau lambat, aku akan bertemu lagi dengan Liam dan timnya. Tapi untuk saat ini, aku harus menyiapkan diri. Ada peristiwa besar yang akan datang."

[Sistem penasaran dengan rencana anda.]

Ethan menoleh ke arah notifikasi yang melayang.

"Tenang aja. Kau akan tahu pada waktunya."

[Sistem memiliki hadiah untuk anda.]

Sebuah cahaya keluar dari sistem, membentuk sebuah benda yang belum sepenuhnya terlihat. Ethan tersenyum lebar.

"Ternyata kau perhatian juga ya, Sistem."