kepergian dan awal baru

Tiba-tiba, dari dalam notifikasi yang muncul di hadapan Ethan, muncul sebuah baju dan hoodie. Baju itu berwarna putih polos, sedangkan hoodie-nya hitam, sangat kontras dengan keheningan desa yang hancur. Ethan menatap pakaian tersebut, lalu tersenyum dan melirik ke arah notifikasi sistem yang masih mengambang di udara.

"Kamu peka juga ya," ucap Ethan sambil tersenyum kecil, meraih pakaian itu dan mengenakannya.

Setelah mengenakan baju dan hoodie yang terasa begitu modern untuk zaman ini, ia memperhatikan dirinya di cermin rumah Bunga. "Sepertinya ini terlihat sangat modern untuk zaman sekarang," gumam Ethan, sedikit terkesima dengan pakaian yang terasa aneh, namun pas di tubuhnya.

[Sistem: Memperhatikan Anda.]

Ethan mengangguk pelan, menyadari bahwa perubahan yang dialaminya lebih dari sekadar fisik, bahkan pakaian pun terasa berbeda. "Sepertinya kita sudah siap," katanya, menatap buku Kenyataan dalam Halaman yang tergeletak di atas meja.

Ia meraih buku itu, kemudian berbalik menuju pintu. "Baiklah, ayo kita berangkat."

Dengan langkah pasti, Ethan meninggalkan rumah Bunga. Ia berjalan menuju gerbang desa yang sudah rusak, tampak tak ada lagi kehidupan di jalanan yang dulunya ramai. Setiap langkahnya dihiasi dengan bau amis darah yang menyengat, bercampur dengan aroma tanah basah dan reruntuhan.

"Bau yang sangat menyengat... wajar saja, noda darah berserakan di mana-mana," keluh Ethan sambil menutup hidungnya menggunakan tangan.

Ethan melihat sekeliling, menyadari bahwa mayat warga desa sudah tak terlihat lagi. Mungkin, Bunga, Liam, dan yang lainnya sudah mengubur mereka dengan penuh kehormatan. Namun, perasaan kesedihan dan penyesalan tak bisa ia hindari.

Matanya kemudian tertuju pada patung pocong yang hancur. Ia mendekat, memperhatikan sisa-sisa patung yang dulu menakutkan itu, yang kini tergeletak rusak. Di bawahnya, bekas tubuh iblis Ambus yang tampak gosong, seperti terbakar hebat, tersisa.

"Patung yang menimpa iblis Ambus ini sepertinya habis terbakar?" ucap Ethan, rasa penasaran menguasai dirinya.

[Sistem: Jika iblis mati, tubuhnya akan terbakar hingga menjadi abu.]

"Begitu ya... yah, pada dasarnya mereka tercipta dari api," gumam Ethan, masih memandangi sisa-sisa patung dan tubuh iblis yang telah hancur.

Dengan langkah cepat, Ethan meninggalkan patung itu, berjalan menuju gerbang desa. Saat itu, pikirannya melayang, bertanya-tanya tentang nasib Bunga. "Apakah Bunga baik-baik saja? Apakah hidupnya mempengaruhi cerita di dalam buku ini?" Semua pertanyaan itu terus mengusik pikirannya.

Tak sadar, ia sudah sampai di depan gerbang desa yang tertutup rapat. Ethan mengamati pintu gerbang yang sengaja terkunci.

"Pintu gerbang desa tertutup... sepertinya mereka sengaja menutupnya," gumamnya, mendorong pintu dengan sedikit kekuatan. Pintu gerbang terbuka perlahan, membiarkan Ethan keluar dari desa Pocong yang penuh kenangan kelam.

"Akhirnya aku keluar juga dari desa ini... aroma di dalam sana sangat menyengat," ucap Ethan dengan menghela napas panjang.

Ia menoleh ke belakang, menutup pintu gerbang desa dengan hati-hati. "Apa alasan mereka menutup pintu gerbang ini?" tanyanya, bertanya-tanya dalam hati.

Namun, belum sempat ia berpikir lebih lama, terdengar suara langkah kaki yang mendekat dari arah hutan. Suara itu semakin jelas, mengisyaratkan adanya sesuatu yang bergerak ke arahnya. Ethan langsung waspada.

"Sepertinya aku tahu alasannya... kenapa gerbang ini ditutup," bisik Ethan, mengingatkan dirinya untuk tetap hati-hati.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan, muncul seekor harimau besar yang bergerak dengan cepat menuju Ethan. Harimau itu siap menerkamnya, dan tanpa pikir panjang, Ethan bersiap untuk bertahan.

"Sial... baru saja hidup, sudah harus mati lagi!" keluh Ethan, merasa gugup. "Baru juga hidup, sudah mati lagi!"

Harimau itu melompat menyerangnya dengan cepat, namun dengan refleks yang luar biasa, Ethan berhasil menghindar. Ia terkejut dengan kecepatan dan ketangkasan dirinya. Serangan harimau itu tampak lambat baginya, seolah gerakannya bisa dibaca dengan mudah.

"Sepertinya ini berkat hadiah peningkatan fisik dari sistem!" bisik Ethan pada dirinya sendiri, menyadari ada yang berbeda dalam dirinya.

[Sistem: Kalahkan harimau itu, Anda akan mendapatkan hadiah.]

Notifikasi muncul di hadapan Ethan, memberi tahu tantangan baru. Tanpa ragu, Ethan merespons dengan semangat.

"Baiklah, mari kita pemanasan!" teriak Ethan, siap menghadapi harimau tersebut.

Harimau itu kembali menyerangnya dengan kecepatan luar biasa, namun kali ini Ethan sudah siap. Ia memancing harimau itu menuju gerbang desa. Dalam sekejap, harimau itu melompat tinggi ke arah Ethan, namun Ethan berhasil menghindar. Harimau itu menabrak pintu gerbang desa dengan keras.

Dengan refleks yang tajam, Ethan segera menghantamkan pukulan keras ke kepala harimau itu. Sekejap, harimau tersebut terjatuh dan tak bergerak lagi. Ethan berdiri dengan napas terengah-engah, heran dengan kekuatan yang baru ia rasakan.

"Tidak kusangka, hanya dengan sekali pukul langsung membuat harimau ini mati," ucap Ethan, masih terkejut sambil menatap tubuh harimau yang tak bernyawa.

[Sistem: Selamat, Anda berhasil menyelesaikan tantangan.]

Ethan tersenyum, menunggu hadiah yang dijanjikan sistem.

[Sistem: Peningkatan panca indra Anda.]

Tiba-tiba, tubuh Ethan bersinar terang, tanda bahwa hadiah peningkatan telah diberikan. Penglihatannya menjadi lebih tajam, pendengarannya semakin peka, dan ia bisa mencium bau amis darah yang menyengat dari dalam desa.

"Sepertinya aku tahu kenapa harimau itu datang ke sini... aroma amis darah ini yang memancingnya," gumam Ethan, sambil menutup hidungnya.

"Peningkatan panca indra-ku benar-benar meningkat drastis!" lanjutnya, merasa kepekaan terhadap dunia sekitar semakin tajam.

Dengan senyuman puas, Ethan melihat mayat harimau yang tergeletak di tanah. "Baiklah, sebelum aku pergi, mungkin aku harus mengubur harimau ini," ucap Ethan sambil meraih cangkul dari samping gerbang dan mulai menggali.

Setelah selesai, Ethan menatap kuburan harimau yang kini terbenam di samping gerbang desa. Ia siap melanjutkan perjalanan.

"Baiklah, mari kita pergi ke tujuan kita," katanya, semangat kembali menggelora.

Dengan langkah pasti, Ethan melanjutkan perjalanan, membuka buku Kenyataan dalam Halaman untuk membaca petunjuk lebih lanjut.

"Ehmm... berarti kita ke arah barat atau utara?" gumamnya sambil membaca buku itu.

"Sepertinya perjalanan ini akan memakan waktu cukup lama jika hanya dengan berjalan kaki," ucap Ethan, merasa sedikit cemas.

[Sistem: Ke mana arah tujuan Anda?]

"Kita akan ke Desa Tanah Merah," jawab Ethan, menutup buku itu.

[Sistem: Apakah Anda tahu jalan menuju desa itu?]

"Ehh... sebenarnya agak sulit tanpa peta," jawab Ethan, sedikit kebingungan.

Meskipun latar cerita ini berada di Indonesia, rasa kebingungannya tetap ada, karena zaman yang terjalani terasa sangat berbeda.

Tiba-tiba, suara langkah kaki kuda terdengar mendekat dari belakang. Ethan menoleh, dan dari arah itu muncul sebuah kereta kuda yang menuju ke arahnya.