Dari balik kabut tipis yang menyelimuti jalan, tampak sebuah kereta kuda mendekat. Kereta itu tampak mewah dengan ukiran di sisi gerbongnya, ditarik oleh dua ekor kuda kuat berwarna coklat gelap. Di bagian depan, tampak seorang pria paruh baya memegang tali kekang, duduk bersama seorang pemuda yang terlihat sigap dan waspada.
“Kereta kuda?” gumam Ethan sambil menyipitkan mata. “Sepertinya berasal dari keluarga bangsawan.”
Kereta berhenti tepat di samping Ethan. Dari balik jendela kereta, terlihat bayangan seseorang yang sedang duduk di dalamnya. Namun, belum sempat Ethan memperhatikan lebih lanjut, pemuda di sisi pengemudi melompat turun dengan sigap, lalu mengacungkan tombaknya ke arah Ethan.
"HEI! SIAPA KAMU?!" bentaknya dengan nada tinggi, penuh kecurigaan.
Ethan menatap ujung tombak itu dengan kesal. “Apa kau tidak tahu sopan santun? Mengarahkan tombak ke orang lain tanpa alasan?”
Pria paruh baya yang mengemudi segera ikut turun, lalu menepuk bahu si pemuda, berusaha menenangkannya.
“Maafkan kami, tuan!” ucapnya sopan pada Ethan.
“Pak Egi! Kenapa Anda minta maaf pada monster ini?” protes si pemuda, masih menatap tajam ke arah Ethan.
“Tenang, Nak Rizki. Lihat baik-baik, dia bukan monster,” jawab pria itu lembut. “Meskipun wajahnya... yah, kalau diperhatikan baik-baik, dia tetap terlihat seperti manusia biasa.”
[Sistem: menatap kasihan kepada anda.]
“Sistem sialan,” gumam Ethan sambil menahan amarah.
Dengan nada tenang, Ethan pun memperkenalkan dirinya. “Namaku Ethan Pramata. Panggil saja Ethan. Dan ya, aku bukan monster. Jadi tolong, turunkan senjatamu.”
Setelah beberapa detik kebingungan, pemuda bernama Rizki menurunkan tombaknya, meski ekspresi curiga masih tertinggal di wajahnya.
“Seriusan kamu manusia?” tanya Rizki.
“Ya… meski kelihatannya kau masih belum percaya,” jawab Ethan santai.
“Hahaha! Aku nggak nyangka ada manusia berwajah jelek kayak kamu!” ejek Rizki sambil tertawa keras.
“H-hei! Nak Rizki, itu tidak sopan!” tegur pria paruh baya yang ternyata bernama Pak Egi.
Ethan hanya bisa menarik napas dalam-dalam. “Apa aku hajar saja bocah sialan ini?” gumamnya lirih, menahan emosi.
Setelah situasi sedikit mereda, Pak Egi menjelaskan bahwa mereka tengah melakukan perjalanan ke Desa Tanah Merah.
“Pas sekali,” pikir Ethan. “Kalau bisa menumpang, aku bisa hemat tenaga.”
“Kalau begitu, ikutlah bersama kami, Tuan Ethan,” ajak Pak Egi ramah.
“Panggil Ethan saja, Pak. Dan terima kasih,” jawab Ethan senang. “Tidak sia-sia aku sabar dikatain jelek tadi.”
Namun, sebelum Ethan naik, jendela gerbong kereta perlahan terbuka. Seorang perempuan muda dengan rambut coklat panjang dan mata merah menyala menatap Ethan dengan ekspresi aneh—campuran antara kasihan dan jijik.
“Kenapa kalian bicara dengan hantu buruk rupa ini?” ucapnya datar.
Ethan menghela napas panjang.
[Sistem: merasa kasihan terhadap anda.]
“Sial... kalau aku nggak butuh tumpangan, mungkin sudah kuhajar kalian semua,” bisik Ethan dalam hati.
Pak Egi buru-buru menjelaskan kepada perempuan itu, yang ternyata bernama Nona Aris, bahwa Ethan adalah manusia biasa.
“Begitu, ya. Ya sudah, ayo lanjutkan saja perjalanannya,” ucap Aris acuh tak acuh lalu menutup jendela.
Pak Egi memandang Ethan. “Kalau begitu, naiklah.”
Ethan pun naik dan duduk di depan bersama Rizki dan Pak Egi. Kereta mulai bergerak perlahan, meninggalkan jalanan desa Pocong yang kelam.
“Aris... sepertinya tidak dijelaskan dalam buku Kenyataan dalam Halaman,” gumam Ethan, menyelidik.
Tiba-tiba, Rizki menoleh ke arahnya. “Hei, Ethan. Apa tujuanmu ke Desa Tanah Merah?”
“Ada urusan pribadi. Setelah selesai, aku akan pergi dari sana,” jawab Ethan singkat.
“Oh, perempuan dalam gerbong tadi itu Nona Aris,” jelas Rizki. “Putri dari penguasa Desa Tanah Merah. Dan aku adalah pengawalnya!”
“Pantas saja pakaiannya seperti bangsawan Eropa,” gumam Ethan. Ia pun teringat potongan kalimat dalam bukunya: ‘Sesuatu yang kau cari berkaitan dengan Aris.’
Sebuah notifikasi muncul.
[Sistem: Apa yang sebenarnya anda cari di Desa Tanah Merah?]
Ethan tersenyum samar.
“Sistem, kau pasti penasaran, kan?” bisiknya pelan.
“Kita akan mencari pedang... di Desa Tanah Merah.”
[Sistem: menatap dengan rasa penasaran kearah anda.]