api unggun

Setelah perjalanan panjang di kereta kuda bersama Pak Egi, Rizki, dan Nona Aris, hari mulai menjelang senja. Langit memerah, dan bayangan pepohonan di tepi jalan tampak semakin pekat. Ethan yang sedari tadi asyik membaca buku Kenyataan dalam Halaman di atas kereta, nyaris tak menyadari bahwa kereta telah berhenti.

“Sepertinya kita harus beristirahat di sini,” ucap Pak Egi sambil menatap sekitar, memperhatikan hamparan tanah lapang yang cukup teduh di bawah naungan pepohonan tinggi.

Rizki, sang pengawal, segera turun dari kereta. Ia melangkah hati-hati, memeriksa sekeliling dengan penuh kewaspadaan.

“Pak Egi, sepertinya tempat ini cukup aman. Kita bisa bermalam di sini,” ujar Rizki setelah memastikan tidak ada tanda-tanda bahaya.

“Baiklah. Aku akan berbicara dulu pada Nona Aris,” jawab Pak Egi sembari turun dari kusir dan melangkah menuju pintu gerbong.

Dengan langkah sopan, ia mengetuk perlahan.

“Permisi, Nona Aris. Saya ingin memberitahukan bahwa kita akan bermalam di tempat ini,” ucap Pak Egi penuh hormat.

Tak lama, pintu gerbong terbuka. Namun, bukan Nona Aris yang muncul, melainkan seorang wanita muda berpakaian seperti pembantu bangsawan. Rambut hitamnya terikat rapi, matanya coklat lembut, namun tajam memperhatikan sekitar.

“Pak Egi, apakah tempat ini aman untuk Nona Aris?” tanyanya pelan tapi tegas.

“Ya, Anna. Nak Rizki sudah memastikan tempat ini cukup aman,” jawab Pak Egi dengan tenang.

“Baik. Saya akan menyampaikannya kepada Nona.” Anna lalu kembali masuk dan menutup pintu gerbong dengan sopan.

Ethan, yang penasaran sejak tadi, turun dari kereta dan menghampiri Pak Egi.

“Jadi, bukan cuma satu orang yang ada di dalam gerbong?” tanyanya.

Pak Egi terlonjak kaget. “A-astaga, Ethan! Kau membuatku kaget!”

“Maaf, Pak. Nggak sengaja,” jawab Ethan sambil tersenyum kecil.

“Perempuan tadi namanya Anna, pembantu pribadi Nona Aris,” jelas Pak Egi setelah mengatur napasnya.

Tak lama kemudian, mereka menghampiri Rizki yang sedang sibuk mengumpulkan ranting kering.

“Nak Rizki, bagaimana keadaannya?” tanya Pak Egi.

“Aman, Pak. Aku pikir kita bisa mulai membuat api unggun,” jawab Rizki sambil menepuk tanah.

“Baik. Aku akan pindahkan kereta ke tempat ini,” ujar Pak Egi sambil melangkah kembali.

“Aku cari kayu saja, biar kita bisa mulai,” sahut Ethan, lalu masuk ke balik pepohonan.

“Hati-hati, jangan terlalu jauh! Hutan ini bisa berbahaya,” seru Rizki mengingatkan.

“Iya, iya, aku tahu,” balas Ethan sambil melambai.

Ia kembali beberapa waktu kemudian dengan tangan penuh ranting dan kayu kering. Senja telah sepenuhnya berubah menjadi malam.

Sesampainya di perkemahan, Ethan disambut tatapan aneh dari Pak Egi, Rizki, dan Anna.

“Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanyanya heran.

Ia menjatuhkan tumpukan kayu di tanah. Pak Egi segera mengambil sebagian dan mulai membuat api unggun. Sementara itu, Anna berjalan mendekati Ethan.

“Namamu Ethan, kan?” tanyanya.

“Ya. Ada perlu apa, Anna?”

“Kau tahu namaku?” Wajahnya menyiratkan rasa curiga.

“Pak Egi yang bilang.”

Anna menatap tajam.

“Terus terang saja, aku mewaspadimu. Aku tidak tahu apakah kau berbahaya atau tidak. Tapi satu hal: jangan pernah lakukan sesuatu yang membahayakan Nona Aris. Jika kau melakukannya, Rizki tidak akan ragu membunuhmu.”

Ethan hanya tersenyum, lalu berdiri, menatap Anna sejajar.

“Tenang saja. Aku hanya numpang sampai desa Tanah Merah. Setelah itu, aku akan pergi.”

Pak Egi memanggil mereka. Api unggun telah menyala, membentuk lingkaran cahaya yang hangat di tengah hutan gelap.

Sebelum ikut duduk, Anna kembali bertanya.

“Apa tujuanmu ke desa Tanah Merah?”

“Yah... itu rahasia,” jawab Ethan sambil berjalan pergi.

Anna mendengus kesal, tapi tetap menyusul ke api unggun.

Di sekitar nyala api yang kini tenang, Ethan, Pak Egi, Rizki, dan Anna duduk membentuk lingkaran. Suasana mulai nyaman. Obrolan kecil mulai tercipta di antara mereka. Namun, perhatian Ethan tiba-tiba teralihkan.

Dari balik kegelapan gerbong, seorang gadis keluar perlahan. Nona Aris melangkah anggun, dengan tatapan yang sulit dibaca. Rambut coklatnya tergerai sempurna, mata merahnya berkilat di bawah sinar api unggun. Ia berdiri diam, menatap lurus ke arah Ethan—tatapan yang kali ini bukan menghina, melainkan... penuh pertanyaan.

Ethan membalas tatapan itu dengan pandangan serius.

Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Aris... dan aku yakin, itu berkaitan dengan apa yang kucari di desa Tanah Merah.