Api unggun menyala perlahan, menari-nari kecil seperti nyawa yang menggeliat di tengah gelapnya malam. Setelah perjalanan panjang dan permainan maut yang menyisakan luka batin, malam itu akhirnya memberi jeda. Ethan duduk bersandar di batang pohon, pandangannya terpaku pada nyala api yang memantul di bola matanya. Walau tubuhnya letih, pikirannya tak berhenti berputar—tentang permainan, tentang desa Tanah Merah, dan tentang keberadaan mereka di dunia yang tidak lagi masuk akal.
Tak jauh dari situ, Pak Egi, Rizki, dan Anna duduk melingkari api unggun bersamanya. Udara malam mulai mendingin, dan suara jangkrik menggantikan ketegangan sebelumnya dengan keheningan yang meresahkan.
“Jika tidak ada hambatan, mungkin besok kita akan sampai di desa,” ucap Pak Egi pelan, seperti mencoba menenangkan semua orang—termasuk dirinya sendiri.
Belum sempat ada yang menanggapi, pintu gerbong kereta kuda perlahan terbuka. Nona Aris keluar dari dalamnya, melangkah tenang menuju mereka yang duduk mengelilingi api unggun.
“Nona Aris…, kenapa Anda keluar dari gerbong? Apa Nona butuh sesuatu?” tanya Anna dengan panik, langsung berdiri dan menghampirinya.
Pak Egi dan Rizki juga segera bangkit, ekspresi mereka berubah cemas saat melihat Aris.
“Ada apa, Nona Aris?” tanya Rizki dengan sopan.
“A-apa gerbong kurang nyaman, Nona?” sambung Pak Egi cemas.
“Bahaya, Nona keluar dari gerbong!” seru Anna.
Ethan hanya bisa mengangkat alis, terkejut dengan bagaimana semua orang langsung panik seolah seorang bangsawan kecil keluar dari istananya.
"Yah…, seperti yang tertulis di novel. Karakter bernama Aris memang sangat dihormati oleh penduduk desanya," gumam Ethan pelan, menyandarkan tubuh lebih dalam ke batang pohon.
"Aku juga nggak berniat sok akrab dengannya sih… Tapi, melihat langsung gaun bangsawannya—ini makin bikin aku yakin, aku beneran ada di dalam dunia novel!" bisik Ethan sambil menghela napas.
Nona Aris hanya tersenyum tenang. “Tenanglah semua, aku hanya ingin bergabung. Duduk sendiri di dalam gerbong seharian membuatku lelah,” ucapnya sopan.
Ethan tersenyum kecil. “Iya, kasihan juga kalau dia terus dikurung dalam gerbong,” ujarnya sambil menambahkan beberapa batang kayu ke dalam api.
Namun, Anna langsung menoleh dan memarahi Ethan, wajahnya memerah karena emosi. “Ethan, apa kau tidak tahu siapa Nona ini? Dia adalah putri dari pemimpin desa Tanah Merah! Kalau terjadi sesuatu, kau mau tanggung jawab?! Kita ini sedang di tengah hutan!”
Pak Egi dan Rizki buru-buru menenangkan Anna, begitu juga Aris yang dengan lembut memegang lengan pembantunya.
“Tenang, Anna. Tidak apa-apa,” ucap Aris lembut.
Anna akhirnya menunduk, merasa bersalah. “Ma-maafkan aku, Nona Aris. Aku hanya khawatir…”
“Yah, aku juga mengerti,” jawab Aris sambil tersenyum.
Ethan hanya mengangkat bahu, lalu menggeser posisi duduknya. “Sampai kapan kalian mau berdiri? Duduklah,” ucapnya santai.
Anna kembali ke gerbong sebentar, lalu kembali dengan sehelai kain untuk mengalasi tempat duduk Aris. Setelah semua duduk kembali mengelilingi api unggun, Aris mulai mencuri-curi pandang ke arah Ethan.
“Ada apa, Nona Aris? Dari tadi sepertinya Anda sering melihat ke arah saya,” tanya Ethan penasaran.
“Aku hanya... penasaran dengan pakaianmu,” jawab Aris jujur. “Baru kali ini aku melihat pakaian seperti itu. Terlihat seperti pakaian mahal… Kau dari keluarga bangsawan juga?”
Ethan terkekeh kecil. “Tidak. Aku hanya pengembara. Pakaian ini pemberian seseorang.”
[Sistem menatap Anda dengan penuh kesenangan.]
“Begitu ya,” gumam Aris. “Tapi... tampangmu juga cukup mengejutkan.”
Ethan mengerutkan kening. “Ehh… maksudnya?”
“Maaf! Maksudku bukan begitu!” ucap Aris buru-buru, wajahnya memerah malu.
“Y-yah… tidak masalah,” balas Ethan dengan nada sedikit kesal.
[Sistem merasa kasihan terhadap Anda.]
Tawa tiba-tiba meledak. Rizki tertawa terbahak-bahak, disusul Pak Egi dan Anna yang tak bisa menahan senyum mereka.
“Maaf bro, itu lucu banget,” kata Rizki sambil menepuk punggung Ethan.
“Jangan diambil hati, nak Ethan,” ucap Pak Egi.
“Yah, tampangmu memang berhasil mencairkan suasana,” sambung Anna sambil tertawa.
Ethan hanya bisa memutar bola mata dan tersenyum kecil. “Sial, emangnya aku sejelek itu?” gumamnya dalam hati. “Yah… paling nggak, suasananya jadi lebih santai.”
Namun, tawa mereka mendadak berhenti ketika notifikasi tak kasatmata muncul di depan Ethan.
[Misi dimulai.]
[Kalahkan hantu di sekitar Anda.]
[Hantu yang dikalahkan: 0/10]
Mata Ethan langsung melebar. Ia berdiri cepat, pandangannya menyapu ke sekeliling hutan.
“Nak Ethan, ada apa?” tanya Pak Egi.
“Kau baik-baik saja, bro?” tambah Rizki.
Anna menyipitkan mata. “Berhenti main-main! Kau bikin semua orang cemas!”
Ethan menoleh ke mereka, wajahnya serius. “Pak Egi, cepat bawa Nona Aris dan Anna masuk ke gerbong!”
Semua langsung menegang.
“Ada apa sebenarnya, Ethan?” tanya Aris cemas.
Suasana berubah mencekam. Ethan merasakan hawa dingin merambat dari balik pepohonan.
[Sistem: Para hantu mulai mendekati Anda.]
“Aku tahu…” gumam Ethan pelan. “Rizki! Ambil senjatamu, sekarang juga!”
Rizki refleks meraih tombak yang disandarkan di pohon. Anna masih tak percaya.
“Ethan, kau serius? Mana mungkin—”
Belum sempat selesai, suara keras menggelegar dari dalam hutan. Semua langsung menoleh. Suara itu tidak berasal dari binatang—itu suara rintihan... tangisan... dan langkah kaki menyeret.
Nona Aris dan Anna membeku di tempat. Wajah mereka memucat.
Ethan menatap hutan dengan tajam. “Sepertinya… ini akan menjadi malam yang panjang.”
[Misi dimulai.]