Keesokan harinya, suasana kelas 2-A SMA Meguro terasa berbeda. Saat Nana memasuki kelas, ia disambut dengan tatapan heran dan bisik-bisik dari teman-teman sekelasnya. Bukan karena kecantikannya yang menawan seperti hari pertama, melainkan karena sosok yang berjalan di sampingnya. Airi Hayashi, gadis paling populer di sekolah, berjalan berdampingan dengan Nana, bahkan sesekali tertawa bersama.
"Lihat! Airi dan Nana datang bersama!" bisik seorang siswi dengan takjub.
"Apa mereka sudah berbaikan?" tanya siswi lainnya dengan penuh heran.
"Sepertinya begitu. Mereka terlihat akrab sekali."
Selama ini, para siswi di kelas 2-A menjaga jarak dengan Nana. Mereka takut pada Airi yang dikenal posesif dan mudah tersinggung. Namun, melihat Airi yang kini berteman dengan Nana, mereka pun berubah sikap. Mereka mulai mendekat dan menyapa Nana dengan ramah.
"Nana, boleh kah aku duduk di sebelahmu?" tanya seorang siswi dengan malu-malu.
"Tentu saja," jawab Nana dengan senyum ceria.
Sejak saat itu, Nana tidak lagi kesepian di sekolah. Ia memiliki banyak teman yang menyayanginya dan menerimanya dengan tangan terbuka. Ia merasa lebih nyaman dan bahagia di kelas. Ia juga semakin akrab dengan Airi dan Yumi. Mereka sering menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah, berbelanja, menonton film, atau sekedar mengobrol di kafe.
Ryuu, yang melihat perubahan itu, merasa sangat lega. Ia senang Nana bisa beradaptasi dengan baik di Tokyo dan memiliki teman-teman yang baik. Ia juga mengapresiasi perubahan sikap Airi yang kini lebih dewasa dan bertanggung jawab.
"Sepertinya keputusan Paman Ichiko untuk memindahkan Nana ke Tokyo adalah keputusan yang tepat," pikir Ryuu. "Nana terlihat lebih bahagia di sini."
Di tengah keceriaan Nana yang kini memiliki banyak teman, Airi justru dilanda kegelisahan. Bayangan pemuda bertopeng yang mengancamnya di Harajuku terus menghantuinya. Ia ingin sekali menceritakan hal itu pada Nana, namun ia teringat peringatan Yuki untuk merahasiakan pertemuan mereka. Airi takut jika ia menceritakannya pada Nana, Yuki akan marah dan menyakiti keluarganya.
"Airi, kenapa kau melamun?" tanya Nana yang melihat Airi tampak murung.
Airi tersentak dari lamunannya. Ia mencoba tersenyum, menyembunyikan kegelisahannya.
"Tidak apa-apa, Nana," jawab Airi dengan nada riang. "Aku hanya sedang memikirkan acara nonton bioskop kita nanti sore."
Nana tersenyum dan mengangguk. "Oh iya, aku sudah tidak sabar ingin menonton film itu!"
Airi menghela napas lega. Ia berhasil menyembunyikan rahasianya dari Nana. Namun, ia tetap merasa tidak tenang. Ia berharap Yuki akan menepati janjinya dan tidak menyakiti keluarganya.
Sebenarnya, ada alasan lain mengapa Yuki mengampuni keluarga Airi. Ia mendapatkan informasi dari kakeknya bahwa Tatsuya Hayashi, ayah Airi, adalah salah satu rekan bisnis Kenji yang pernah dibantu oleh ayahnya. Keluarga Hayashi bisa sukses seperti sekarang juga berkat bantuan Kenji.
"Yuki, ayahmu pernah menolong keluarga Hayashi," kata Tuan Haru lewat telepon. "Mereka berhutang budi pada keluarga kita."
Yuki merenung sejenak. Ia tidak tahu mengapa ayahnya menolong keluarga Hayashi, tetapi ia percaya ayahnya memiliki alasan yang kuat. Ia pun memutuskan untuk tidak menghancurkan keluarga Hayashi, meskipun Airi telah berbuat jahat padanya.
"Aku akan memaafkan mereka kali ini," batin Yuki. "Tapi jika mereka mencoba menyakiti Nana lagi, aku tidak akan segan-segan untuk menghukum mereka."
Yuki akan terus mengawasi Airi dan keluarganya. Ia berharap Airi benar-benar telah berubah dan tidak akan mengulangi kesalahannya. Ia juga berharap persahabatan antara Nana dan Airi akan terus berlanjut dan membawa kebahagiaan bagi mereka berdua.
Aroma popcorn yang baru dibuat memenuhi lobi bioskop, bercampur dengan suara riuh orang-orang yang antusias menunggu film diputar. Airi, Nana, dan Yumi berjalan berdampingan, membicarakan film yang akan mereka tonton. Mereka terlihat ceria dan bersemangat, tidak menyadari bahaya yang sedang mengintai di sekitar mereka.
Ryuu, yang kini sudah percaya pada Airi, mengizinkan Nana pergi tanpa pengawalannya. Ia berpikir Nana akan baik-baik saja bersama Airi dan Yumi. Namun, keputusan itu justru membuka peluang bagi Hibiki untuk melancarkan rencana jahatnya.
Hibiki, yang selama ini terus memantau Nana melalui orang suruhannya, menunggu kesempatan untuk menyingkirkan Nana. Kehadiran Ryuu di sisi Nana selalu menjadi penghalang baginya. Dan sekarang, kesempatan itu akhirnya tiba.
Hibiki menghubungi anak buahnya di Tokyo dan memberikan instruksi yang jelas: culik Nana dan eksekusi dia. "Jangan biarkan ada saksi," perintah Hibiki dengan dingin. "Jika perlu, habisi semua orang yang bersama Nana."
Di dalam ruang bioskop yang gelap, Airi, Nana, dan Yumi asyik menonton film. Tawa dan jeritan kecil mereka sesekali terdengar di tengah suasana hening ruangan. Namun, kebahagiaan Airi seketika berubah menjadi ketakutan saat ia menoleh ke belakang.
Di barisan kursi paling belakang, seorang laki-laki berhoodie hitam duduk dengan tegap. Wajahnya tertutup masker hitam, menyembunyikan identitasnya. Meskipun ruangan itu gelap, cahaya dari layar bioskop yang memantul di wajahnya membuat Airi mengenalinya. Itu adalah Yuki, pemuda bertopeng yang menyerang Kazuya dan mengancamnya di Harajuku.
Airi terpaku, tubuhnya gemetar. Ia ingin berteriak memberitahu Nana dan Yumi, tetapi ia takut Yuki akan marah. Ia hanya bisa menatap Yuki dengan mata penuh ketakutan.
Yuki, yang sebenarnya sudah mengetahui rencana Hibiki, datang ke bioskop itu untuk melindungi Nana. Ia mengamati sekeliling dengan waspada, siap menghadapi bahaya yang mungkin muncul. Saat ia melihat Airi menatapnya dengan ketakutan, ia memberikan isyarat agar Airi tutup mulut.
Airi mengerti isyarat Yuki. Ia menutup mulutnya dengan tangan dan mencoba untuk tenang. Ia berharap Yuki bisa melindungi mereka dari bahaya.
Airi, Nana, dan Yumi melangkah keluar dari bioskop dengan hati riang, membicarakan adegan-adegan favorit mereka dalam film yang baru saja mereka tonton. Namun, ketika mereka tiba di area parkir yang remang-remang, suasana tiba-tiba berubah mencekam. Beberapa pria berbadan tegap muncul dari balik bayangan, mengepung mereka dengan gerakan cepat dan terlatih.
Sebelum mereka sempat berteriak minta tolong, mulut mereka dibekap dan tangan mereka diikat ke belakang. Mereka diseret masuk ke dalam sebuah van hitam yang sudah menunggu. Airi, Nana, dan Yumi terperangkap dalam cengkeraman para penculik, hati mereka dipenuhi ketakutan dan kebingungan.
Van itu melaju kencang, membawa mereka menuju sebuah gudang tua di pinggiran kota. Di dalam gudang yang remang-remang dan berbau apak itu, mereka dihadapkan pada seorang pria bertubuh besar dengan wajah bengis yang duduk di sebuah kursi kulit. Pria itu adalah pemimpin geng yang menculik mereka.
"Kenapa ada tiga orang?" tanya pemimpin geng dengan suara garang. "Bukankah perintahnya hanya menculik satu gadis?"
Salah satu anak buahnya menjawab dengan gugup, "Tuan Hibiki mengatakan jangan biarkan ada saksi. Jika perlu, habisi semua orang yang bersama target."
Pemimpin geng itu mengumpat. Ia menatap Airi, Nana, dan Yumi satu per satu. Matanya melebar saat mengenali Airi.
"Kalian bodoh!" teriaknya pada anak buahnya. "Apa kalian tidak tahu siapa gadis ini? Dia putri Tatsuya Hayashi!"
Para penculik itu terkejut. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah menculik putri seorang konglomerat terkenal. Meskipun mereka adalah anggota geng yang kejam, mereka tidak berani macam-macam dengan orang-orang berpengaruh seperti keluarga Hayashi.
Pemimpin geng itu segera menghubungi Hibiki, melaporkan situasi yang tidak terduga ini. Hibiki, yang sedang diliputi amarah dan keputusasaan, tidak peduli.
"Bunuh mereka semua!" perintah Hibiki dengan tegas. "Aku akan menambah bayaran kalian."
Yuki, yang selama ini bersembunyi di kegelapan, mendengar percakapan itu. Ia segera bersiap untuk bertindak. Saat para penculik mendapatkan perintah untuk mengeksekusi Airi, Nana, dan Yumi, Yuki melompat dari persembunyiannya.
"Jangan sentuh mereka!" teriak Yuki sambil menendang salah satu penculik hingga terpelanting.
Pertempuran pun tak terelakkan. Yuki, dengan kemampuan Tao yang dimilikinya, bergerak dengan kecepatan dan kekuatan yang luar biasa. Ia menghindari serangan para penculik dengan lincah, lalu membalas dengan pukulan dan tendangan yang mematikan. Satu per satu penculik itu tumbang, tidak berdaya melawan kekuatan Yuki.
Airi, Nana, dan Yumi menyaksikan pertarungan itu dengan takjub dan ketakutan. Mereka tidak pernah melihat pertarungan sehebat itu sebelumnya. Airi mengenali Yuki sebagai pemuda bertopeng yang menyerang Kazuya, tetapi ia tidak mengatakan apapun. Nana dan Yumi bertanya-tanya siapa pemuda misterius itu. Apakah ia seorang pahlawan atau penjahat? Yang jelas, mereka bersyukur pemuda itu telah menyelamatkan mereka.
Setelah semua penculik tumbang, Yuki berbalik menghadap Airi, Nana, dan Yumi. Ia melepas topengnya, mengungkapkan wajah tampannya yang selama ini tersembunyi. Nana tertegun. Ia mengenali Yuki sebagai pahlawan kecilnya yang menyelamatkannya dari penculikan bertahun-tahun yang lalu.
Yuki tersenyum kecil pada Nana, lalu berkata pada Airi, "Nona muda, apa kau tidak apa-apa?"
Airi terkejut mendengar Yuki menyapanya dengan sopan. Ia menyadari bahwa Yuki tidak ingin Nana mengetahui identitas aslinya. Ia pun mengangguk dan menjawab, "Aku tidak apa-apa."
Yuki berpura-pura menjadi pengawal yang ditugaskan oleh ayah Airi untuk melindungi putrinya. Ia membawa Airi, Nana, dan Yumi keluar dari gudang itu dan mengantarkan mereka pulang ke rumah Airi.
Di perjalanan, Yuki meminta mereka bertiga untuk tidak menceritakan kejadian itu pada orang tua mereka. Ia tidak ingin dianggap sebagai pengawal yang gagal oleh keluarga Hayashi. Airi mengerti maksud Yuki dan menyetujuinya.
Sesampainya di rumah Airi, Nana dan Yumi memutuskan untuk menginap di sana. Mereka masih terlalu syok dengan kejadian yang baru saja mereka alami. Airi dengan senang hati menerima mereka. Ia merasa bersyukur dan berhutang budi pada Yuki yang telah menyelamatkan mereka.
Di kamar Airi yang luas dan mewah, suasana terasa hening. Nana, Airi, dan Yumi duduk berdampingan di atas tempat tidur empuk, masih terguncang oleh peristiwa penculikan yang baru saja mereka alami. Bayangan para penculik dan pertarungan Yuki yang heroik masih terbayang jelas di benak mereka.
Airi menatap Nana dengan tatapan penuh kekaguman. "Nana, kau sungguh beruntung memiliki seseorang yang selalu melindungimu," ucapnya dengan tulus.
Nana menunduk, perasaannya campur aduk. Ia bersyukur telah diselamatkan oleh Yuki, namun ia juga dilanda kebingungan. Haruskah ia menceritakan kejadian ini pada Ryuu dan orang tuanya? Di satu sisi, ia ingin mereka tahu agar lebih waspada. Di sisi lain, ia takut jika mereka khawatir dan memutuskan untuk memindahkannya kembali ke Hokkaido. Ia juga takut jika Ryuu akan merasa kecewa karena gagal melindunginya untuk kedua kalinya.
"Ada apa, Nana?" tanya Airi, peka melihat raut wajah Nana yang gelisah. "Kau tampak bingung."
Nana menghela napas panjang. "Aku tidak tahu apakah aku harus menceritakan kejadian ini pada Ryuu dan orang tuaku," akunya dengan jujur. "Aku takut mereka khawatir."
Airi mengangguk mengerti. "Aku paham perasaanmu, Nana. Tapi mungkin untuk saat ini, lebih baik kita simpan rahasia ini dulu. Kita tidak ingin membuat mereka panik dan mengambil tindakan yang berlebihan."
Yumi menyetujui pendapat Airi. "Ya, Nana. Kita lihat saja nanti bagaimana situasinya. Jika ada bahaya lagi, baru kita ceritakan pada mereka."
Nana merenung sejenak, lalu tersenyum. "Kalian benar. Terima kasih atas sarannya."
Mereka bertiga pun berpelukan, merasakan ikatan persahabatan yang semakin kuat di antara mereka. Mereka telah melewati masa-masa sulit bersama, dan itu membuat mereka semakin dekat dan saling mempercayai. Mereka berjanji akan selalu saling mendukung dan menjaga satu sama lain.
Di balik kehangatan persahabatan itu, ada sebuah rahasia yang mereka simpan bersama. Rahasia tentang seorang pahlawan bertopeng yang selalu mengawasi dan melindungi mereka dari bayangan. Seorang pahlawan yang misterius, yang keberadaannya hanya mereka ketahui.
Keheningan malam menyelimuti kamar Airi. Yumi, yang kelelahan setelah seharian penuh dengan kejadian menegangkan, sudah tertidur pulas di samping Airi. Namun, Nana masih terjaga. Ia berguling-guling di tempat tidur empuk, pikirannya dipenuhi oleh bayangan pemuda bertopeng yang menyelamatkan mereka dari para penculik.
Wajah pemuda itu terus muncul di benaknya. Tatapan mata yang tajam, gerakan yang lincah, dan aura kekuatan yang terpancar darinya. Nana mencoba mencocokkan wajah itu dengan wajah pahlawan kecilnya yang ia temui bertahun-tahun yang lalu. Mungkinkah mereka orang yang sama?
Hati kecil Nana berbisik bahwa pemuda bertopeng itu adalah Yuki. Ia tidak percaya jika pemuda itu hanyalah seorang pengawal Airi. Ada sesuatu yang familiar dalam diri pemuda itu, sesuatu yang membuatnya merasa dekat dan nyaman.
Nana memegang erat liontin berbentuk separuh hati pemberian Yuki. Ia mengusap permukaan liontin itu dengan lembut, seolah-olah bisa merasakan kehadiran Yuki melalui benda kecil itu.
"Apakah itu kamu, Yuki?" bisik Nana lirih, air matanya menetes di pipinya. "Apakah kau yang selama ini melindungiku?"
Meskipun Yuki tidak pernah menampakkan dirinya secara langsung, Nana merasakan kehadiran Yuki di dekatnya. Ia percaya bahwa Yuki selalu menjaganya dari bayangan, seperti seorang malaikat pelindung yang tidak pernah meninggalkannya.
"Terima kasih, Yuki," gumam Nana dalam hatinya. "Terima kasih karena selalu ada untukku."
Nana memejamkan matanya, membayangkan wajah Yuki yang tersenyum padanya. Ia merasa tenang dan
aman dalam pelukan bayangan Yuki. Ia berharap suatu saat nanti ia bisa bertemu Yuki lagi dan mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya.