Bab 8

Di kediaman keluarga Aoi yang megah, Hibiki mondar-mandir di ruang kerjanya dengan gelisah. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menegang. Ia baru saja menerima kabar buruk dari anak buahnya di Tokyo: rencana penculikan dan eksekusi Nana telah gagal total.

"Sial! Sial! Sial!" umpatnya berulang kali, menghantamkan tinjunya ke meja kerja dengan keras.

Ia tidak habis pikir bagaimana rencananya bisa gagal lagi. Padahal, ia sudah merencanakan semuanya dengan matang. Ia sudah menyewa penculik profesional dan memberikan mereka instruksi yang jelas. Namun, mereka tetap saja gagal menculik Nana.

"Siapa yang menghalangi rencanaku?" gumam Hibiki dengan geram. "Apakah Nana memiliki pengawal rahasia?"

Hibiki merasa frustasi dan putus asa. Ia sudah berkali-kali mencoba untuk menyingkirkan Nana, tetapi selalu saja gagal. Ia mulai meragukan kemampuannya sendiri. Apakah ia akan berhasil menyingkirkan Nana dan merebut kekuasaan keluarga Aoi?

Di tengah kegalauannya, Hibiki tiba-tiba teringat sesuatu. Ia tersenyum sinis. Ia masih memiliki satu kartu as yang belum ia gunakan. Kartu as yang ia yakini akan membantunya mencapai tujuannya.

"Tunggu saja, Nana," gumam Hibiki dengan tatapan penuh dendam. "Aku akan menghancurkanmu dan merebut semuanya darimu.

Kabar kegagalan penculikan Nana membuat Hibiki terguncang. Ia merasa frustasi dan marah. Namun, di balik kemarahan itu, ada sebuah kesadaran yang muncul di benaknya. Ia tidak boleh gegabah. Ia harus lebih bersabar dan menunggu waktu yang tepat untuk menyingkirkan Nana.

"Tenang, Hibiki," gumamnya pada diri sendiri. "Masih ada waktu. Nana masih di bangku SMA. Jalannya untuk menjadi pewaris Aoi Corp masih panjang."

Hibiki menyadari bahwa ia telah terlalu terburu-buru dalam mengambil tindakan. Ia harus lebih cermat dan hati-hati dalam merencanakan langkah selanjutnya. Ia tidak boleh membiarkan emosinya mengontrol dirinya.

Ia memutuskan untuk mengumpulkan informasi lebih banyak tentang Nana dan orang-orang di sekitarnya. Ia ingin tahu siapa saja yang melindungi Nana dan seberapa besar kekuatan mereka. Ia juga ingin mengetahui kelemahan Nana agar bisa menyerangnya dengan lebih efektif.

"Aku akan menunggu kesempatan yang tepat," batin Hibiki dengan tekad yang membara. "Dan saat kesempatan itu tiba, aku tidak akan ragu untuk menghancurkan Nana dan merebut semuanya darinya."

Hibiki tersenyum sinis. Ia bagaikan seekor serigala yang sedang mengintai mangsanya dengan sabar. Ia akan menunggu saat yang tepat untuk menerkam dan mengakhiri hidup Nana.

Waktu berlalu dengan cepat, mengisi lembaran-lembaran kehidupan Yuki, Nana, dan teman-temannya dengan berbagai warna. Yuki, dengan kecerdasan dan dedikasinya, mengambil program fast-track untuk mempercepat masa studinya. Hanya dalam waktu dua tahun, ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan prestasi gemilang.

Sementara itu, Ryuu telah memasuki tahun kedua di universitas, menggeluti bidang hukum dengan penuh semangat. Ia bercita-cita menjadi seorang pengacara yang berintegritas, melindungi yang lemah dan menegakkan keadilan. Nana, di sisi lain, kini telah menyelesaikan pendidikannya di SMA Meguro. Hari perpisahan sekolah tiba, menandai akhir dari sebuah bab dalam hidupnya.

Nana, Yumi, dan Airi merayakan kelulusan mereka dengan makan malam bersama di sebuah restoran mewah di pusat kota Tokyo. Suasana ceria menyelimuti mereka, namun ada sebuah kesedihan yang tersembunyi di balik senyum mereka. Mereka akan berpisah, mengejar mimpi masing-masing di jalan yang berbeda.

"Aku akan merindukan kalian," kata Nana dengan mata berkaca-kaca, memeluk Airi dan Yumi erat-erat.

"Kami juga akan merindukanmu, Nana," jawab Airi dan Yumi hampir bersamaan.

Saat mereka berpelukan, Airi melihat sesosok pria yang familiar di kejauhan. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang elegan, wajahnya tertutup masker medis. Airi langsung mengenali sosok itu. Itu adalah pria misterius yang telah menyelamatkan mereka dari penculikan dan mengancamnya di Harajuku.

Airi melepaskan pelukannya dan menatap pria itu dengan tatapan penuh pertanyaan. Pria itu tersenyum kecil dan memberikan isyarat agar Airi menemuinya.

"Aku pergi ke toilet dulu ya," kata Airi pada Nana dan Yumi, lalu berjalan menuju pria misterius itu.

Mereka bertemu di sebuah sudut restoran yang sepi. Pria itu melepas maskernya, mengungkapkan wajah tampannya.

"Terima kasih, Airi," kata pria itu dengan tulus. "Terima kasih karena telah menjaga rahasiaku dan menjadi teman baik untuk Nana."

Airi tersenyum. "Sama-sama. Aku senang bisa membantu."

Rasa penasaran yang selama ini ia pendam akhirnya meluap. "Sebenarnya... siapa kau?" tanya Airi dengan hati-hati.

Pria itu menatap Airi dengan tatapan lembut. "Aku adalah orang yang telah ditakdirkan untuk Nana," jawabnya dengan misterius.

Airi semakin penasaran. "Apa maksudmu? Kenapa kau selalu berada di dekat Nana?"

Pria itu hanya tersenyum tipis. "Suatu saat nanti, kau akan mengerti, Airi. Untuk saat ini, cukuplah kau tahu bahwa aku akan selalu melindungi Nana."

Pria itu kemudian meminta Airi untuk tetap menjaga rahasianya. Airi mengangguk mengerti. Ia percaya pada pria itu dan akan menghormati keputusannya.

Dering telepon memecah kesunyian di apartemen Yuki. Ia melirik layar ponselnya dan tersenyum. Nama "Kakek Haru" terpampang di sana.

"Halo, Kakek," sapa Yuki dengan riang.

"Yuki, selamat atas kelulusanmu!" Suara hangat Tuan Haru terdengar dari seberang sana. "Kakek bangga padamu."

"Terima kasih, Kakek," jawab Yuki dengan tulus.

"Sebagai hadiah kelulusan, Kakek ingin memberikan sesuatu padamu," kata Tuan Haru. "Apa yang kau inginkan, Yuki?"

Yuki terdiam sejenak, berpikir. "Hmm... Bagaimana kalau Kakek memberikan aku sebuah perusahaan ternama di Tokyo?" ucapnya dengan nada bercanda.

Ia sebenarnya tidak serius dengan permintaannya. Ia hanya ingin menguji seberapa besar kekuasaan kakeknya. Namun, jawaban Tuan Haru di luar dugaannya.

"Baiklah, Yuki. Kakek akan memberikanmu perusahaan Phoenix Holdings."

Yuki tercengang. Phoenix Holdings adalah perusahaan holding terkemuka di Tokyo yang menaungi berbagai anak perusahaan di bidang perbankan, properti, dan ritel. Perusahaan itu memiliki reputasi yang sangat baik dan nilai pasar yang fantastis. Yuki tidak menyangka kakeknya akan memberikan perusahaan sebesar itu padanya.

"Kakek, apa kau serius?" tanya Yuki dengan tidak percaya.

"Tentu saja, Yuki," jawab Tuan Haru dengan tenang. "Kakek percaya kau bisa mengelola perusahaan itu dengan baik. Anggap saja ini sebagai modal awalmu untuk membangun kerajaan bisnismu sendiri."

Yuki merasa terharu dengan kepercayaan kakeknya. Ia merenung sejenak. Ia memang ingin memiliki sebuah perusahaan, namun ia juga ingin fokus pada misinya melindungi Nana dan menyelidiki kecelakaan ayahnya. Tiba-tiba, ia mendapat ide.

"Terima kasih, Kakek," kata Yuki dengan suara bergetar. "Aku tidak akan mengecewakanmu."

Tuan Haru tersenyum. "Kakek tahu itu, Yuki. Kakek selalu percaya padamu."

Yuki memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan Phoenix Holdings pada Say. Ia yakin Say memiliki kemampuan untuk memimpin perusahaan itu. Ia akan menawarkan posisi itu pada Say nanti.

Dengan begini, Yuki bisa tetap fokus pada misinya, sementara Say bisa mengembangkan karirnya di dunia bisnis. Keduanya saling mendukung dan bekerja sama meskipun dengan cara yang berbeda.

Keesokan harinya, Yuki mengundang Shika dan Say ke apartemennya. Ia menyiapkan secangkir kopi panas dan beberapa kue lezat untuk menemani pertemuan mereka. Suasana terasa hangat dan akrab, seperti saat mereka masih bersama di Hokkaido.

"Ada apa, Yuki? Tumben sekali kau mengundang kami ke sini," tanya Shika dengan penasaran.

Yuki tersenyum misterius. "Aku punya sesuatu yang ingin kuceritakan pada kalian."

Ia lalu menceritakan tentang hadiah kelulusan yang diberikan kakeknya, yaitu perusahaan holding terkemuka, Phoenix Holdings. Say dan Shika terkejut mendengar cerita Yuki. Mereka tidak menyangka Yuki memiliki latar belakang keluarga yang begitu berpengaruh.

"Wow, aku tidak menyangka kau seorang chaebol selama ini, Yuki!" seru Shika dengan kagum.

Say juga mengungkapkan kekagumannya. "Luar biasa, Yuki! Kakekmu benar-benar luar biasa."

Yuki menjelaskan bahwa ia ingin merahasiakan identitasnya dan menunjuk Say untuk menjadi CEO Phoenix Holdings.

"Say, aku ingin kau yang mengelola perusahaan itu," kata Yuki dengan serius.

Say terkejut. "Aku? Tapi... kenapa aku, Yuki?"

"Aku percaya padamu, Say," jawab Yuki. "Kau memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk memimpin perusahaan itu. Aku akan membantumu dari belakang layar."

Say merenung sejenak. Ia merasa terhormat dengan kepercayaan Yuki. "Baiklah, Yuki. Aku akan menerima tawaranmu. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan Phoenix Holdings."

"Terima kasih, Say," kata Yuki dengan senyum tulus.

Yuki kemudian mengungkapkan keinginannya untuk mengganti nama Phoenix Holdings.

"Aku ingin mengganti nama perusahaan itu menjadi NY Corp," kata Yuki.

"NY Corp?" tanya Shika dan Say bersamaan.

"Ya," jawab Yuki. "N untuk Nana, dan Y untuk Yuki. Aku ingin perusahaan ini menjadi simbol cintaku pada Nana."

Shika dan Say tersenyum mengerti. Mereka mendukung keputusan Yuki.

"Itu nama yang bagus, Yuki," kata Shika.

"Aku setuju," timpal Say.

Mereka bertiga pun berdiskusi tentang rencana pengembangan NY Corp. Yuki menjelaskan visi dan misinya untuk perusahaan itu. Ia ingin NY Corp menjadi perusahaan yang tidak hanya mengutamakan keuntungan, tetapi juga berkontribusi pada masyarakat dan lingkungan.

Say dan Shika antusias mendengarkan penjelasan Yuki. Mereka siap bekerja sama dengan Yuki untuk mewujudkan visi dan misi NY Corp.