Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi Phoenix Holdings. Say Uchida, seorang pemuda yang baru saja lulus kuliah, resmi menjabat sebagai CEO baru. Ia melangkah masuk ke gedung pencakar langit Phoenix Holdings dengan tegap dan percaya diri, ditemani oleh Shika Kashiwagi, sahabat karibnya yang akan menjadi kepala divisi IT.
Di ruang rapat utama, para petinggi dan dewan direksi Phoenix Holdings telah menunggu kedatangan Say. Mereka menatap Say dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit ragu. Mampukah pemuda ini memimpin perusahaan sebesar Phoenix Holdings?
Say menyapa mereka dengan senyum ramah dan berwibawa. "Selamat pagi, semua. Saya Say Uchida, CEO baru Phoenix Holdings. Senang bertemu dengan Anda semua."
Ia lalu memperkenalkan Shika. "Dan ini Shika Kashiwagi, kepala divisi IT yang baru."
Para petinggi perusahaan terkesan dengan kepercayaan diri dan kemampuan komunikasi Say. Mereka mulai merasa optimis dengan kepemimpinan Say.
Say kemudian menyampaikan visi dan misinya untuk Phoenix Holdings. Ia ingin mengubah Phoenix Holdings menjadi perusahaan yang lebih modern, inovatif, dan berkelanjutan. Ia juga ingin meningkatkan kinerja perusahaan dan memperluas jaringan bisnis ke pasar global.
Para petinggi perusahaan antusias mendengarkan presentasi Say. Mereka terinspirasi oleh semangat dan ide-ide brilian Say. Mereka yakin bahwa di bawah kepemimpinan Say, Phoenix Holdings akan mencapai kesuksesan yang lebih besar.
Setelah pertemuan itu, Say dan Shika mulai bekerja. Mereka mengkaji data keuangan, mengevaluasi kinerja setiap divisi, dan merencanakan strategi baru untuk pengembangan perusahaan. Mereka bekerja keras dan penuh semangat, siap menghadapi tantangan dan membawa Phoenix Holdings ke puncak kesuksesan.
Mentari pagi menyinari gedung pencakar langit di jantung kota Tokyo. Di puncak salah satu gedung tertinggi, sebuah logo baru terpampang megah, menggantikan logo Phoenix Holdings yang telah lama berdiri. Dua huruf sederhana, NY, kini menjadi simbol baru bagi perusahaan holding raksasa tersebut.
Berita pergantian nama ini menyebar dengan cepat, membuat gempar dunia bisnis dan memicu rasa penasaran publik. Berbagai spekulasi bermunculan mengenai arti di balik nama NY Corp.
"Apa arti NY?"
"Inisial pemilik barunya kah?"
"Atau singkatan dari sebuah visi baru?"
Media berlomba-lomba mencari tahu kebenarannya, namun pihak NY Corp. tetap bungkam. Yuki, sang pemilik misterius, sengaja merahasiakan arti di balik nama itu. Ia ingin menciptakan sebuah misteri yang membuat orang penasaran dan teringat pada perusahaan barunya.
Di dalam gedung NY Corp., Say dan Shika sibuk menata ulang struktur organisasi dan strategi bisnis. Mereka mengadakan rapat dengan para petinggi perusahaan, menyampaikan visi dan misi baru, serta membangun semangat kerja sama yang solid.
"Kita akan membawa NY Corp. ke puncak kesuksesan baru," kata Sai dengan penuh semangat.
"Kita akan menjadi perusahaan yang inovatif, berkelanjutan, dan bermanfaat bagi masyarakat," tambah Shika dengan antusias.
Para karyawan NY Corp. termotivasi oleh kepemimpinan Say dan Shika. Mereka siap bekerja keras untuk mewujudkan impian bersama dan membuat NY Corp. menjadi perusahaan kebanggaan bangsa.
Sementara itu, Yuki mengamati semua itu dari kejauhan. Ia bangga dengan Say dan Shika yang mampu memimpin NY Corp. dengan baik. Ia yakin bahwa perusahaan itu akan berkembang pesat di bawah kepemimpinan mereka.
Yuki tersenyum kecil sambil menatap logo NY Corp. yang terpampang di layar komputernya. Ia membayangkan wajah Nana yang ceria dan penuh semangat. NY Corp. adalah simbol cintanya pada Nana, sebuah kerajaan bisnis yang ia bangun untuk masa depan mereka bersama.
Di kediaman keluarga Aoi, Tuan Ichiko menyampaikan sebuah keputusan yang mengejutkan Nana. "Nana, Ayah sudah memutuskan. Kau akan kuliah di New York, Amerika," ujarnya dengan tegas.
Nana tertegun. Ia tidak menyangka ayahnya akan mengirimnya kuliah sejauh itu.
"Kenapa, Ayah?" tanya Nana dengan bingung.
"Ayah ingin kau mendapatkan pendidikan terbaik di universitas ternama dunia," jawab Tuan Ichiko. "Dan Ayah merasa Amerika adalah tempat yang tepat untukmu."
Tuan Ichiko selama ini tidak pernah mengetahui kejadian-kejadian yang mengancam keselamatan Nana di Tokyo. Ia merasa Nana aman dan terlindungi di Jepang. Oleh karena itu, ia berpikir Amerika akan memberikan lingkungan yang lebih baik dan jauh dari ancaman yang tidak diketahui.
Nana sendiri merasa Amerika bisa menjadi tempat pelarian yang aman. Ia percaya bahwa orang-orang yang ingin mencelakainya berada di Jepang. Dengan berkuliah di Amerika, ia bisa menghindari bahaya dan memulai hidup baru.
Namun, ada seseorang yang justru merasa gembira dengan keputusan Tuan Ichiko. Hibiki, yang selama ini terus memantau Nana, tersenyum sinis saat mendengar kabar itu.
"Amerika, katamu?" gumam Hibiki dengan nada mengejek. "Kau pikir kau bisa melarikan diri dariku, Nana? Kau salah besar."
Hibiki memiliki jaringan yang luas, bahkan hingga ke Amerika. Ia akan tetap bisa memantau Nana dan menunggu kesempatan untuk menyingkirkannya.
Sementara itu, Yuki yang mendapat kabar tentang keberangkatan Nana ke Amerika dari mata-matanya di keluarga Aoi, segera menyusun rencana. Ia tidak akan membiarkan Nana pergi sendirian. Ia akan mengikuti Nana ke Amerika dan melindunginya.
Berkat jaringan intelijen Tuan Haru yang tersebar di mana-mana, Yuki bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang Nana, mulai dari universitas tempat Nana akan berkuliah, hingga alamat apartemen yang akan ia tinggali. Yuki pun segera mengurus keperluan untuk kepergiannya ke Amerika.
Keesokan harinya, Nana bersiap untuk berangkat ke Amerika. Ia berpamitan pada ayah, ibu, dan adiknya, Akari, yang kini sudah beranjak remaja dan duduk di bangku kelas 1 SMA.
"Jaga diri baik-baik di sana, Nana," pesan Tuan Ichiko dengan penuh harapan.
"Jangan lupa menghubungi kami sesering mungkin," tambah Nyonya Emi dengan mata berkaca-kaca.
"Kakak, aku akan merindukanmu," kata Akari sambil memeluk Nana erat.
Nana tersenyum dan membalas pelukan adiknya. "Aku juga akan merindukanmu, Akari. Jaga Ayah dan Ibu baik-baik, ya."
Nana lalu melangkah keluar dari rumah dengan koper di tangannya, menuju sebuah babak baru dalam hidupnya di negeri Paman Sam. Ia tidak tahu bahwa Yuki juga sedang dalam perjalanan menuju ke sana, siap untuk menjaga dan melindunginya dari bayangan.
Pesawat yang ditumpangi Nana mendarat dengan mulus di Bandara Internasional John F. Kennedy, New York. Nana melangkah keluar dari pesawat, menghirup udara dingin kota metropolitan itu. Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, lalu lalang orang-orang dari berbagai penjuru dunia, dan suara sirene mobil polisi yang meraung-raung menciptakan suasana yang jauh berbeda dengan Tokyo.
Nana merasakan semangat dan ketakutan bercampur menjadi satu. Ia bersemangat untuk memulai hidup baru di kota yang penuh dinamika ini, namun ia juga merasa takut karena harus tinggal jauh dari keluarganya.
Yuki, yang tiba di New York beberapa jam lebih awal, telah menyiapkan sebuah apartemen untuk Nana. Ia sengaja memilih apartemen yang berdekatan dengan apartemen Nana, agar ia bisa dengan mudah mengawasi dan melindungi Nana tanpa diketahui. Namun, ia tidak ingin mengambil risiko dengan tinggal di apartemen yang sama dengan Nana. Ia tidak ingin identitasnya terbongkar.
Nana tiba di apartemennya yang terletak di sebuah gedung tinggi dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Ia meletakkan kopernya dan berjalan menuju jendela. Dari sana, ia bisa melihat keramaian kota New York yang tidak pernah tidur. Lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, mobil-mobil yang berlalu lalang, dan orang-orang yang berjalan dengan terburu-buru menciptakan sebuah pemandangan yang mengagumkan.
Namun, di balik keindahan itu, Nana merasakan sebuah kesedihan yang mendalam. Ia merindukan keluarganya, teman-temannya, dan juga... pahlawan kecilnya. Ia merasa semakin jauh dari Yuki, pemuda misterius yang selalu ada di hatinya.
"Yuki, di mana kau sekarang?" gumam Nana lirih, air matanya berlinang. "Apakah kau baik-baik saja?"
Ia memegang erat liontin berbentuk separuh hati pemberian Yuki. Benda kecil itu adalah satu-satunya kenangan yang ia miliki tentang Yuki. Ia berharap suatu saat nanti ia bisa bertemu Yuki lagi dan mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya.
Tanpa Nana sadari, Yuki sedang mengamatinya dari apartemen sebelah. Ia tersenyum kecil melihat Nana yang tampak rapuh dan kesepian. Ia ingin mendekat dan memeluk Nana, memberikan kehangatan dan perlindungan. Namun, ia menahan dirinya. Ia tidak ingin membuat Nana takut atau bingung.
"Sabar, Nana," bisik Yuki dalam hatinya. "Aku akan selalu menjagamu, meskipun dari kejauhan."
Yuki berjanji akan menemani Nana dalam perjalanan barunya di New York. Ia akan menjadi malaikat pelindung yang selalu mengawasi dan melindungi Nana dari bayangan. Ia akan menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan identitasnya dan perasaannya pada Nana.