Bab 10

Hari-hari pertama Nana di New York dipenuhi dengan kebingungan dan kerinduan. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, budaya yang berbeda, dan bahasa yang masih asing di telinganya. Namun, ia bertekad untuk tetap kuat dan bersemangat menjalani kehidupan barunya.

Nana terdaftar di Stern School of Business, New York University, salah satu sekolah bisnis terbaik di dunia. Ia memilih jurusan bisnis internasional, berharap bisa mempelajari ilmu yang akan membantunya mengembangkan perusahaan keluarganya di masa depan.

Di kampus yang luas dan modern itu, Nana merasa kecil dan tersesat. Ia melihat mahasiswa-mahasiswa dari berbagai negara dengan latar belakang yang berbeda-beda. Mereka terlihat percaya diri dan bersemangat, sementara Nana masih merasa gugup dan ragu.

"Aku harus bisa beradaptasi di sini," batin Nana dengan tekad yang kuat. "Aku tidak boleh menyerah."

Di tengah kebingungannya, Nana melihat seorang mahasiswi yang tampak sama tersesatnya dengan dirinya. Gadis itu memiliki rambut hitam panjang yang diikat kuncir kuda, kulit putih porselen, dan mata cokelat yang lembut. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat anggun. Nana mendekatinya dan menyapa dengan ramah.

"Halo," sapa Nana dengan senyum hangat. "Aku Nana. Kau juga mahasiswa baru di sini?"

Gadis itu tersenyum dan mengangguk. "Ya, aku Kexin Yue. Aku dari China. Senang bertemu denganmu, Nana."

Nana merasa senang akhirnya menemukan seseorang yang bisa ia ajak berbicara. Ia dan Kexin pun mulai berbincang-bincang, berbagi cerita tentang diri mereka dan alasan mereka berkuliah di New York.

"Aku ingin belajar tentang bisnis internasional agar bisa membantu mengembangkan perusahaan keluargaku," kata Nana.

"Aku juga," jawab Kexin. "Aku ingin menjadi seorang pengusaha yang sukses."

Mereka berdua menemukan banyak kesamaan di antara mereka. Mereka sama-sama merindukan keluarga dan masih berusaha beradaptasi dengan kehidupan di New York. Mereka pun berjanji untuk saling mendukung dan menjadi teman baik.

Yuki, yang diam-diam mengamati Nana dari kejauhan, tersenyum melihat Nana yang akhirnya menemukan teman. Ia merasa lega mengetahui Nana tidak lagi kesepian. Ia juga penasaran dengan Kexin, gadis yang berasal dari China itu.

"Semoga Kexin bisa menjadi teman baik untuk Nana," batin Yuki.

Kehidupan Nana di New York berjalan dengan tenang. Ia membagi waktunya antara kuliah, menjelajahi kota, dan sesekali menghubungi keluarga dan teman-temannya di Jepang. Ia mulai terbiasa dengan rutinitas barunya dan menikmati kehidupan di kota yang tidak pernah tidur itu.

Namun, di balik kedamaian itu, bahaya masih mengintai. Hibiki tidak pernah melupakan rencananya untuk menyingkirkan Nana. Ia telah mengirim seorang pria suruhan untuk mengikuti Nana dan mencari kesempatan untuk menyerangnya.

Suatu hari, sepulang kuliah, Nana berjalan sendiri menuju apartemennya. Ia tidak menyadari bahwa seorang pria berhoodie hitam sedang membuntutinya dari belakang. Pria itu adalah suruhan Hibiki, diperintahkan untuk membunuh Nana.

Saat Nana melewati sebuah gang sempit dan gelap, pria itu melihat kesempatan. Ia mengeluarkan sebuah pisau tajam dari balik jaketnya dan mendekat ke arah Nana dengan perlahan.

Namun, pria itu tidak tahu bahwa Yuki selalu mengawasi Nana dari kejauhan. Yuki melihat gerakan mencurigakan pria itu dan segera menyadari bahwa Nana dalam bahaya. Ia berlari secepat kilat menuju gang itu.

Tepat saat pria berhoodie itu hendak menikam Nana, Yuki muncul dan menangkis serangannya. Terjadi pertarungan singkat namun intens di antara mereka. Yuki, dengan kemampuan Tao yang dimilikinya, dengan mudah melumpuhkan pria itu.

Setelah pria itu tumbang, Yuki segera meninggalkan tempat itu. Ia tidak ingin Nana melihat wajahnya dan mengenalinya. Ia khawatir Nana akan curiga dan menemukan rahasianya.

Nana, yang terkejut oleh kejadian itu, mencoba mencari sosok penyelamatnya. Namun, ia hanya melihat sebuah bayangan hitam menghilang di kegelapan. Ia merasa familiar dengan sosok itu, terutama dengan gerakan lincah dan cara bertarungnya.

"Yuki?" bisik Nana dalam hatinya. "Apakah itu benar-benar kamu?"

Ia memegang erat liontin berbentuk separuh hati pemberian Yuki, hatinya dipenuhi dengan pertanyaan dan harapan. Kenapa Yuki selalu menghindar darinya? Kapan ia akan mengungkapkan identitasnya dan perasaannya?

Nana bertekad untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Ia ingin bertemu Yuki dan mengungkapkan rasa terima kasihnya secara langsung. Ia juga ingin tahu mengapa Yuki selalu melindunginya dari bayangan.

Nana tiba di apartemennya dengan langkah gontai. Peristiwa di gang sempit tadi masih terbayang jelas di benaknya. Ia merasa beruntung karena selamat dari maut, namun ia juga diliputi rasa penasaran dan kekaguman pada sosok penyelamatnya.

Ia duduk di tepi tempat tidur, memegang erat liontin berbentuk separuh hati pemberian Yuki. Wajah pemuda bertopeng yang menyelamatkannya tadi terus muncul di pikirannya. Gerakannya yang lincah, kekuatannya yang luar biasa, dan caranya menghilang secepat kilat setelah mengalahkan penyerangnya. Semua itu mengingatkannya pada Yuki, pahlawan kecilnya yang misterius.

"Apakah itu benar-benar kamu, Yuki?" gumam Nana lirih.

Ia ingin sekali menceritakan kejadian ini pada orang tuanya, namun ia takut membuat mereka khawatir. Ia tahu ibunya, Nyonya Emi, sangat protektif padanya. Jika ibunya tahu bahwa ia hampir saja dibunuh di New York, pasti ia akan langsung memintanya pulang ke Jepang.

"Lebih baik aku simpan rahasia ini saja," pikir Nana. "Aku tidak ingin membuat mereka khawatir."

Namun, ada satu hal yang membuat Nana semakin penasaran. Bagaimana mungkin penyelamatnya berada di New York? Apakah ia sengaja mengikutinya ke sini? Atau ini hanyalah kebetulan?

"Apakah kau selalu berada di dekatku, Yuki?" tanya Nana dalam hatinya. "Kenapa kau selalu menghindar dariku? Kapan kau akan mengungkapkan identitasmu dan perasaanmu yang sebenarnya?"

Malam itu menjadi malam yang panjang bagi nana, dia terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa selalu ada penyelamat baginya. Dia terus mengingat kejadian-kejadian membahayakan yang ia alami, namun ia selalu selamat.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema di benak Nana, tanpa jawaban. Ia merasa frustasi dan bingung. Ia ingin bertemu Yuki dan mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya. Namun, ia tidak tahu di mana mencarinya.

Nana memejamkan matanya, membayangkan wajah Yuki yang tampan dan misterius. Ia merindukan Yuki, meskipun ia tidak pernah benar-benar mengenalnya. Ia hanya berharap suatu saat nanti ia bisa bertemu Yuki lagi dan mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya.

Dia sudah menutup hatinya bagi orang lain. Selama ini setiap ada seseorang yang mendekatinya, nana tidak pernah memperdulikan. Karena hatinya hanya untuk pahlawan kecilnya yang selalu ia nantikan.

Malam sudah semakin larut, hanya suara detik jam yang terdengar, Nana mencoba membaringkan badannya, mencoba untuk tidur. Meski butuh waktu, namun pada ahirnya nana tertidur hingga pagi. Ia terlelap dalam tidurnya.