Bab 11

Matahari pagi menyinari gedung-gedung pencakar langit Manhattan, menciptakan pantulan cahaya yang memukau di kaca-kaca jendela. Di tengah keramaian kota New York yang tak pernah tidur, Nana melangkah keluar dari apartemennya dengan semangat. Ia mengenakan coat wol berwarna cream yang melindungi tubuhnya dari dinginnya udara musim gugur, dipadukan dengan syal bermotif bunga sakura yang memberikan sentuhan kehangatan.

Nana sudah menjalani beberapa hari sebagai mahasiswi di Stern School of Business. Ia mulai terbiasa dengan rutinitas kuliahnya dan menikmati suasana akademis yang kental di kampus itu. Ia juga semakin akrab dengan Kexin, teman yang ia temui di hari pertama kuliah.

Hari ini, Nana dan Kexin berjanji untuk berangkat bersama ke kampus. Mereka bertemu di halte bus dekat apartemen mereka. Kexin, dengan kepribadiannya yang ceria dan supel, selalu berhasil membuat Nana tertawa dan melupakan sejenak rasa rindunya pada keluarga dan teman-teman di Jepang.

"Nana, bagaimana dengan tugas ekonomi kemarin? Apakah kau sudah menyelesaikannya?" tanya Kexin sambil menatap Nana dengan penuh semangat.

"Sudah kok," jawab Nana dengan senyum. "Tapi aku masih sedikit bingung dengan beberapa konsepnya. Nanti kita bisa belajar bersama, ya?"

"Tentu saja!" seru Kexin dengan antusias. "Kita bisa membentuk kelompok belajar bersama teman-teman yang lain."

Selama perjalanan menuju kampus, mereka berbagi cerita tentang pengalaman mereka di New York. Mereka membicarakan tentang makanan, tempat-tempat wisata, dan juga tentang kesulitan yang mereka hadapi dalam beradaptasi dengan budaya baru.

"Aku masih belum terbiasa dengan bahasa Inggris di sini," keluh Nana. "Kadang-kadang aku kesulitan mengerti apa yang dikatakan oleh orang-orang."

"Aku juga," timpal Kexin. "Tapi kita pasti bisa menguasainya dengan cepat. Kita harus rajin berlatih berbicara dan mendengarkan."

Nana tersenyum. Ia merasa beruntung memiliki teman seperti Kexin. Kexin membuatnya merasa lebih nyaman dan percaya diri di tengah tantangan hidup di negeri orang.

Di kampus, Nana dan Kexin mengikuti kuliah manajemen pemasaran. Profesor yang mengajar adalah seorang wanita energik bernama Professor Brown, yang terkenal dengan gaya mengajarnya yang interaktif dan menyenangkan.

Nana dan Kexin mendengarkan dengan seksama penjelasan Professor Brown tentang strategi pemasaran, segmentasi pasar, dan riset konsumen. Mereka aktif berpartisipasi dalam diskusi kelas dan menjawab pertanyaan dari Professor Brown.

Setelah kelas selesai, Nana dan Kexin berjalan keluar dari ruang kuliah bersama-sama. Mereka merencanakan untuk makan siang bersama di sebuah restoran Jepang dekat kampus.

"Aku ingin makan sushi hari ini," kata Nana dengan mata berbinar.

"Wah, ide bagus!" seru Kexin dengan antusias. "Aku juga sudah lama tidak makan sushi."

Mereka berdua terus berbincang sambil berjalan menuju restoran. Keakraban di antara mereka semakin erat. Mereka saling mendukung dan menghibur di tengah tantangan hidup di negeri orang.

Waktu berlalu, tahun-tahun berganti dengan cepat. Nana kini telah sampai di semester akhir perkuliahannya di New York. Ia telah berubah menjadi seorang gadis dewasa yang cerdas, mandiri, dan anggun. Ia telah banyak belajar dan berkembang selama tinggal di negeri Paman Sam.

Libur panjang semester tiba, namun Nana memilih untuk tidak pulang ke Jepang. Ia ingin menghabiskan waktu liburnya bersama Kexin, sahabat karibnya yang telah menjadi seperti saudara baginya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota New York, menonton film, atau sekedar mengobrol di apartemen mereka.

"Tidak terasa ya, Kexin, tinggal satu semester lagi kita akan lulus," kata Nana suatu hari saat mereka sedang bersantai di apartemen Kexin.

"Iya, Nana," jawab Kexin dengan senyum. "Waktu berlalu dengan cepat."

Mereka berdua merenungkan perjalanan mereka selama berkuliah di New York. Mereka telah melewati banyak hal bersama, suka dan duka, tantangan dan keberhasilan. Mereka bersyukur bisa saling mendukung dan menghibur di negeri orang.

Sementara itu, di Jepang, Hibiki semakin gelisah. Waktu terus berjalan, dan Nana akan segera lulus kuliah. Itu artinya, Nana akan segera kembali ke Jepang dan menjadi pewaris Aoi Corp. Hibiki tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ia harus menyingkirkan Nana sebelum terlambat.

Hibiki semakin frustasi karena semua rencananya untuk mencelakai Nana selalu gagal. Ia mulai merasa putus asa. Namun, ia tidak mau menyerah. Ia harus menemukan cara lain untuk menyingkirkan Nana.

Akhirnya, Hibiki memutuskan untuk menyewa seorang sniper profesional. Ia berpikir dengan cara ini, kemungkinan berhasil akan lebih besar. Sniper itu akan menembak Nana dari kejauhan, tanpa meninggalkan jejak.

Hibiki tidak tahu bahwa Yuki selalu memantau pergerakannya. Yuki memiliki jaringan informasi yang luas dan dapat dengan mudah mengetahui rencana Hibiki. Ia pun segera menyusun strategi untuk melindungi Nana.

Pada suatu sore yang mendung, Nana pulang ke apartemennya setelah menghabiskan waktu bersama Kexin. Langit kelabu menambah suasana hatinya yang sedikit murung. Ia merindukan keluarganya di Jepang. Ia tidak menyadari bahwa seorang sniper sedang mengincarnya dari gedung seberang. Sniper itu sudah siap dengan senapannya, menunggu saat yang tepat untuk menembak Nana.

Yuki, yang sudah mengetahui rencana Hibiki, berada di depan pintu apartemen Nana. Ia menunggu dengan waspada, siap untuk melindungi gadis yang ia cintai.

Saat sniper itu menembakkan pelurunya, Yuki dengan sigap menghitung waktu tiba peluru itu. Tepat sebelum peluru mencapai jendela apartemen Nana, ia mengetuk pintu dengan keras.

Tok! Tok! Tok!

Nana terkejut dan beranjak dari tempat duduknya untuk membuka pintu.

Prak!

Suara pecahan kaca terdengar nyaring, disusul dengan dentuman peluru yang menghantam dinding di belakang sofa tempat Nana duduk sebelumnya. Nana menjerit ketakutan, jantungnya berdebar kencang.

Yuki segera mendorong pintu dan masuk ke dalam apartemen. Ia melihat Nana yang terpaku di tempatnya, wajahnya pucat pasi. Tanpa berpikir panjang, ia menarik Nana ke dalam pelukannya.

"Tenanglah, kau aman sekarang," bisiknya lembut, mengusap punggung Nana dengan lembut.

Nana masih terguncang, namun ia merasa sedikit lebih tenang dalam pelukan Yuki. Ia tidak menyadari bahwa pria yang sedang memeluknya adalah orang yang selama ini ia rindukan.

Yuki menuntun Nana keluar dari apartemen dan masuk ke kamar sebelah yang ia sewa. Ia mendudukkan Nana di sofa dan mengambil segelas air putih untuk menenangkan gadis itu.

"Minumlah ini," kata Yuki dengan lembut. "Ini akan membantumu tenang."

Nana menerima gelas itu dan meminum airnya perlahan. Ia mulai merasa lebih tenang, meskipun napasnya masih terengah-engah.

"Terima kasih," ucap Nana lirih.

"Sama-sama," jawab Yuki dengan senyum menenangkan. "Aku Riku, tetanggamu di sebelah."

Yuki mengamati Nana dengan seksama. Ia berpura-pura ragu dan bertanya, "Wajahmu... sepertinya tidak asing. Apakah kita pernah bertemu?"

Nana mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat. "Mungkin saja. Aku juga merasa begitu," jawab Nana. "Tapi aku tidak ingat di mana."

"Ah, sudahlah," kata Yuki dengan santai. "Mungkin aku salah orang."

Tiba-tiba, mata Nana melebar. "Ah, aku ingat! Kau... kau pengawal Airi Hayashi, kan? Yang menyelamatkan kami waktu itu!"

Yuki tersenyum kecil. "Benar. Kau teman Airi, ya?"

"Iya," jawab Nana. "Tapi... apa yang kau lakukan di New York?"

"Sebenarnya, aku datang ke New York untuk melamar pekerjaan sebagai pengawal di salah satu perusahaan ternama di sini," jawab Yuki dengan sedikit gugup. "Tapi sayang sekali, aku gagal dalam ujian seleksi."

"Oh, begitu," kata Nana dengan simpati.

"Jadi, aku menyewa apartemen ini untuk semalam saja," lanjut Yuki. "Besok pagi aku akan kembali ke Jepang."

Nana masih sedikit curiga. "Tapi... kenapa kau mengetuk pintu apartemenku tadi? Apakah kau sengaja menolongku?"

"Ah, itu..." Yuki berpura-pura gugup. "Sebenarnya, aku ingin meminjam charger ponsel. Ponselku kehabisan baterai dan aku lupa membawa charger."

Nana menjawab. "Oh, begitu."

"Terima kasih sudah menolongku tadi, Riku," kata Nana dengan tulus. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada di sini."

"Sama-sama, Nana," jawab Yuki dengan lembut. "Sebenarnya itu bukan suatu kesengajaan."

Lalu nana dengan nada sendu "tetap saja karna ketidak senghajaan membuat nyawaku terselamatkan".

Yuki tersenyum kemudian menawarkan Nana untuk menginap di kamarnya karena khawatir akan ada serangan susulan.

"Bagaimana kalau kau menginap di kamarku saja malam ini?" tawar Yuki. "Sepertinya lebih aman jika kita bersama-sama."

Nana menerima tawaran Yuki dengan syarat Yuki tidur di sofa. Yuki pun mengiyakannya.

Malam harinya, Nana yang masih terguncang oleh peristiwa penembakan itu memutuskan untuk menelepon ayahnya. Ia menceritakan semua yang terjadi, termasuk kejadian di gang sempit beberapa waktu lalu.

Tuan Ichiko sangat khawatir mendengar cerita Nana. Ia tidak menyangka Nana mengalami banyak bahaya di New York. Ia pun memutuskan untuk memanggil Nana pulang ke Jepang.

"Nana, Ayah ingin kau pulang sekarang juga," kata Tuan Ichiko dengan tegas. "Ayah akan mengurus keperluanmu untuk kembali ke Jepang."

Nana mengerti keputusan ayahnya. Ia juga merasa lebih baik pulang ke Jepang dan berada di dekat keluarganya.

Keesokan paginya, Nana menceritakan pada Yuki (yang ia kenal sebagai Riku) bahwa ia akan pulang ke Jepang.

"Riku, aku akan pulang ke Jepang hari ini," kata Nana.

Yuki yang mendengar itu langsung mengajak Nana untuk pulang bersama. "Kebetulan sekali, aku juga akan pulang ke Jepang hari ini. Bagaimana kalau kita pulang bersama?"

Nana tersenyum dan menyetujui ajakan Yuki. Mereka pun bersama-sama menuju bandara untuk kembali ke Jepang.

Di dalam kabin pesawat yang sunyi, Nana dan Yuki duduk berdampingan. Jendela oval di sisi mereka menampilkan hamparan awan putih yang lembut, seolah kapas raksasa yang terbentang luas di bawah birunya langit. Nana menatap pemandangan itu dengan tatapan sendu, pikirannya dipenuhi oleh berbagai peristiwa yang ia alami di New York.

Yuki, yang sebenarnya masih menyembunyikan identitas aslinya, berpura-pura tertidur. Ia menutup matanya dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, berusaha menghindari kontak mata dengan Nana. Ia takut jika Nana akan mengajukan pertanyaan yang sulit ia jawab tanpa membongkar rahasianya.

Nana mencuri pandang ke arah Yuki. Ia mengamati wajah tenang Yuki yang tertidur. Ada rasa nyaman yang aneh yang ia rasakan saat berada di dekat Yuki, meskipun ia baru mengenal Yuki sebagai "Riku", tetangganya yang menolongnya dari percobaan penembakan.

"Kenapa aku merasa begitu tenang saat berada di dekatnya?" tanya Nana dalam hatinya. "Apakah ini hanya perasaanku saja?"

Ia teringat pada pahlawan kecilnya yang misterius, yang selalu muncul di saat-saat genting untuk menyelamatkannya. Mungkinkah Riku adalah pahlawan itu? Mungkinkah perasaan nyaman yang ia rasakan ini adalah sebuah pertanda bahwa Riku adalah seseorang yang istimewa dalam hidupnya?

Nana menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. Ia merasa konyol karena menghubungkan Riku dengan pahlawan kecilnya. Riku hanyalah seorang pria biasa yang kebetulan menolongnya. Tidak mungkin ia adalah pahlawan yang selama ini ia cari.

Namun, semakin ia mencoba menyangkalnya, semakin kuat perasaan itu muncul di hatinya. Ada sebuah ikatan tak terlihat yang menghubungkannya dengan Riku, sebuah ikatan yang membuatnya merasa dekat dan tertarik pada pria itu.

Nana menghela napas panjang. Ia harus mencari tahu kebenar

an tentang Riku. Ia harus mengungkap misteri di balik sosok pria itu dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak di hatinya.