Bab 12

Pesawat yang membawa Nana dan Yuki mendarat dengan mulus di Bandara New Chitose, Hokkaido. Udara dingin khas musim dingin Jepang langsung menyapa mereka saat melangkah keluar dari pesawat. Nana merasakan sebuah kehangatan menyebar di hatinya saat kembali menginjakkan kaki di tanah kelahirannya.

Namun, ada sebuah perpisahan yang harus dihadapinya. Yuki, yang selama perjalanan berpura-pura tidur untuk menghindari pertanyaan Nana, kini harus berpisah dengan gadis itu.

"Sampai jumpa lagi, Nana," kata Yuki dengan senyum tipis. "Jaga dirimu baik-baik."

Nana menatap Yuki dengan tatapan sendu. Ia masih ingin berada di dekat Yuki, namun ia tahu ia harus segera pulang dan bertemu dengan keluarganya.

"Terima kasih atas semuanya, Riku," kata Nana dengan tulus. "Kau telah banyak membantuku."

Yuki mengangguk perlahan. "Sama-sama, Nana."

Mereka pun berpisah di bandara. Yuki mengamati Nana yang berjalan menjauh dengan tatapan penuh cinta. Ia berharap suatu saat nanti ia bisa mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya pada Nana.

Nana menelusuri kerumunan orang di bandara, mencari sosok kedua orang tuanya. Tiba-tiba, matanya berbinar. Ia melihat Tuan Ichiko dan Nyonya Emi berdiri di dekat pintu kedatangan, wajah mereka dipenuhi kegembiraan dan kelegaan melihat Nana kembali dengan selamat.

Nana berlari ke arah mereka dan langsung memeluk ibunya erat-erat. "Ibu!" serunya dengan suara gembira.

Nyonya Emi membalas pelukan Nana dengan hangat. "Nana, syukurlah kau sudah pulang. Ibu sangat khawatir padamu."

Tuan Ichiko juga memeluk Nana dengan penuh kasih sayang. "Selamat datang kembali, Nana."

Yuki menyaksikan reuni hangat itu dari kejauhan. Ia tersenyum melihat Nana yang bahagia bertemu kembali dengan keluarganya. Ia merasa lega karena Nana sudah aman dan kembali ke pelukan orang-orang yang menyayanginya.

Yuki lalu berbalik dan meninggalkan bandara. Ia memiliki misi lain yang harus ia selesaikan. Ia harus mengungkap kebenaran tentang kecelakaan ayahnya dan menghentikan Hibiki yang terus mengancam keselamatan Nana.

Mobil yang membawa Nana dan keluarganya melaju meninggalkan bandara, membelah jalan bersalju menuju kediaman keluarga Aoi. Hati Nana dipenuhi kehangatan saat ia melihat rumah besar yang familiar itu kembali. Kenangan masa kecil yang indah bersama keluarga dan teman-temannya membanjiri pikirannya.

Sesampainya di rumah, Nana disambut dengan pelukan hangat dari kakeknya, Taro Aoi, dan adiknya, Akari. Ryuu, yang selalu bersikap dingin dan pendiam, kini menunjukkan senyum tulus melihat kepulangan sepupunya. Ia merasa lega karena Nana telah kembali dengan selamat.

"Selamat datang kembali, Nana," sapa Taro Aoi dengan suara lembut. "Kakek sangat senang melihatmu lagi."

"Kakak, aku merindukanmu!" seru Akari sambil memeluk Nana erat-erat.

"Aku juga merindukanmu, Akari," jawab Nana sambil membalas pelukan adiknya.

Tuan Ichiko dan Nyonya Emi menyambut Nana dengan penuh kebahagiaan dan kelegaan. Mereka bersyukur Nana telah kembali dengan selamat setelah mengalami berbagai peristiwa mengerikan di New York.

"Nana, Ayah sudah memikirkan tentang pendidikanmu selanjutnya," kata Tuan Ichiko saat mereka berkumpul di ruang keluarga. "Ayah ingin kau melanjutkan kuliah di Jepang saja."

Nana mengangguk setuju. Ia juga merasa lebih nyaman dan aman jika berkuliah di negeri sendiri.

"Aku ingin kuliah di Tokyo," kata Nana dengan mantap.

Tuan Ichiko dan Nyonya Emi bertukar pandang dengan khawatir. Mereka masih trauma dengan peristiwa penculikan dan percobaan pembunuhan yang dialami Nana di Tokyo.

"Nana, apa tidak lebih baik kau kuliah di Hokkaido saja?" tanya Nyonya Emi dengan lembut. "Ibu masih khawatir dengan keamananmu di Tokyo."

"Ibu, aku sudah dewasa," jawab Nana dengan yakin. "Aku bisa menjaga diriku sendiri."

Tuan Ichiko mengeluh napas panjang. Ia tahu Nana memiliki tekad yang kuat. "Baiklah, Nana. Ayah izinkan kau kuliah di Tokyo. Tapi dengan satu syarat."

"Apa syaratnya, Ayah?" tanya Nana penasaran.

"Kau harus selalu membawa pengawal," jawab Tuan Ichiko dengan tegas. "Ayah tidak ingin kejadian di New York terulang lagi."

Nana mengerutkan keningnya. Ia merasa sedikit risih jika harus diikuti pengawal ke mana-mana.

"Ayah, aku tidak mau dikawal seperti anak kecil," protes Nana.

"Ini demi keamananmu, Nana," kata Tuan Ichiko dengan serius.

Nana berpikir sejenak. "Baiklah, Ayah. Aku setuju untuk dikawal. Tapi aku ingin pengawal yang seumuran denganku. Aku ingin dia juga kuliah bersamaku, jadi tidak terlihat seperti pengawal."

Tuan Ichiko tersenyum. Ia mengerti keinginan Nana. "Baiklah, Nana. Ayah akan mencarikan pengawal yang sesuai dengan keinginanmu."

Nana tersenyum gembira. Ia tidak sabar untuk memulai kehidupan barunya sebagai mahasiswi di Tokyo, bersama dengan pengawal yang akan menjadi teman barunya.

Beberapa hari setelah kepulangannya ke Jepang, Nana dipanggil oleh ayahnya ke ruang kerja. Di sana, ia mendapati sebuah pemandangan yang cukup mengejutkan. Dua puluh orang berbaris rapi di hadapan ayahnya, mengenakan pakaian seragam hitam dan bersikap tegas. Mereka adalah para kandidat pengawal yang telah diseleksi oleh Tuan Ichiko untuk melindungi Nana.

Nana menatap para kandidat itu satu per satu. Mereka memiliki postur tubuh yang tegap, tatapan mata yang tajam, dan aura yang mengintimidasi. Nana merasa sedikit gugup berada di antara orang-orang yang terlatih untuk bertarung itu.

"Nana, Ayah sudah menemukan beberapa kandidat pengawal untukmu," kata Tuan Ichiko. "Silakan kau pilih salah satu yang menurutmu paling cocok."

Nana menghela napas panjang dan mulai mengamati para kandidat dengan lebih seksama. Ia mencari seseorang yang tidak hanya kuat dan terampil, tetapi juga memiliki kepribadian yang baik dan bisa dipercaya.

Tiba-tiba, matanya melebar. Di antara para kandidat itu, ada seorang pemuda yang wajahnya sangat familiar. Ia memiliki rambut hitam yang rapi, mata cokelat yang tajam, dan senyum yang menawan. Nana mengenali pemuda itu dalam sekejap. Ia adalah Riku, tetangganya di New York yang telah menyelamatkannya dari percobaan penembakan.

Nana tidak bisa menyembunyikan rasa kaget dan bahagianya. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan Riku di sini. Ia pun langsung menunjuk Riku tanpa ragu.

"Aku memilih dia, Ayah," kata Nana dengan mantap.

Tuan Ichiko tersenyum. Ia senang Nana telah menemukan pengawal yang cocok. Ia lalu memperkenalkan Riku pada Nana secara resmi.

"Nana, ini Riku Aizawa. Dia akan menjadi pengawal pribadimu mulai hari ini."

Nana dan Riku bertukar senyum. Nana merasa sangat senang bisa bertemu kembali dengan Riku. Ia tidak sabar untuk mengenal Riku lebih dekat dan menghabiskan waktu bersama pria itu.

Riku, di sisi lain, merasa sedikit gugup. Ia tidak menyangka akan dipilih oleh Nana sebagai pengawalnya. Ia harus berhati-hati agar tidak membongkar identitas aslinya. Namun, ia juga merasa senang karena bisa berada di dekat Nana dan melindunginya.

Libur panjang telah usai, menandai awal dari sebuah babak baru dalam kehidupan Nana. Ia telah diterima di Universitas Tokyo, melanjutkan studinya di jurusan Bisnis Internasional. Ryuu, yang kini telah lulus dari fakultas hukum dan bekerja di divisi HR perusahaan Aoi, turut berbahagia atas keberhasilan Nana. Ia memberikan selamat pada Nana dan berpesan agar Nana fokus pada kuliahnya.

Tuan Ichiko telah menyiapkan sebuah apartemen mewah untuk Nana di pusat kota Tokyo. Apartemen itu sama dengan yang pernah Nana tempati sewaktu SMA dulu. Ia juga telah menugaskan Riku Aizawa, pengawal pribadi Nana, untuk selalu mendampingi dan melindungi Nana selama berada di Tokyo.

"Riku, Ayah percaya padamu," kata Tuan Ichiko pada Riku dengan serius. "Jaga Nana baik-baik. Meskipun nyawamu taruhannya."

Yuki, yang menyamar sebagai Riku, hanya tersenyum kecil. Ia sudah terbiasa dengan ancaman dan bahaya. Ia akan melakukan apapun untuk melindungi Nana, bahkan jika harus mengorbankan nyawanya sendiri.

Pada hari pertama kuliah, Nana dan Yuki berangkat bersama menuju Universitas Tokyo. Mereka menggunakan mobil sport berwarna ungu milik Nana. Mobil itu melaju dengan mulus di jalanan kota Tokyo yang ramai.

Sesampainya di depan gedung apartemen Nana, Yuki tidak langsung turun dari mobil. Ia tampak ragu dan gelisah. Nana yang melihat gelagat Yuki pun menjadi bingung.

"Ada apa, Riku?" tanya Nana dengan heran. "Kenapa kau tidak turun?"

Yuki menarik napas panjang dan menatap Nana dengan serius. "Nona Nana, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu."

"Apa itu?" tanya Nana penasaran.

"Apartemen ini... terlalu luas," kata Yuki dengan hati-hati. "Aku khawatir aku tidak bisa menjagamu dengan maksimal jika kita tinggal di sini."

Nana mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"

"Bagaimana kalau kita tinggal di kost-kostan yang lebih sederhana saja?" usul Yuki. "Yang jarak antar kamarnya tidak terlalu jauh, sehingga aku bisa dengan mudah mengawasi dan melindungimu."

Nana terdiam sejenak, memikirkan usul Yuki. Ia mengerti kekhawatiran Yuki. Apartemen itu memang cukup luas, dan akan sulit bagi Yuki untuk menjaganya jika mereka tinggal berjauhan.

"Baiklah, Riku," kata Nana akhirnya. "Aku setuju dengan usulmu. Kita cari kost-kostan yang sesuai dengan kebutuhan kita."

Yuki tersenyum lega. Ia senang Nana memahami keinginannya. Ia pun segera mencari informasi tentang kost-kostan yang cocok untuk mereka.

Setelah berkeliling mencari beberapa tempat, akhirnya Nana dan Yuki menemukan sebuah kost-kostan yang sesuai dengan kriteria mereka. Lokasinya strategis, hanya beberapa meter dari kampus, dan memiliki kamar-kamar yang saling berdekatan. Suasana kost-kostan itu juga terasa nyaman dan tenang, cocok untuk belajar dan beristirahat.

Yuki membantu Nana membawa barang-barangnya ke dalam kamar. Kamar Nana cukup luas dan dilengkapi dengan perabotan yang lengkap, termasuk tempat tidur, meja belajar, lemari pakaian, dan kamar mandi dalam.

"Bagaimana, Nona Nana? Apakah kau suka dengan kamar ini?" tanya Yuki.

"Ya, aku suka, Riku," jawab Nana dengan senyum. "Terima kasih sudah membantuku."

"Sama-sama, Nona Nana," balas Yuki.

Yuki kemudian menjelaskan tentang aturan yang ia terapkan sebagai pengawal Nana. "Nona Nana, aku tidak akan mengunci kamarku. Jadi, jika terjadi sesuatu, kau bisa langsung masuk ke kamarku kapan saja."

Nana mengerutkan kening. "Tapi, bagaimana dengan barang-barangmu? Apa tidak apa-apa?"

Yuki tersenyum. "Tenang saja, Nona Nana. Di kamarku tidak ada barang berharga, hanya baju dan beberapa buku."

Nana tersenyum lega. Ia merasa aman dan nyaman mengetahui Yuki selalu siap siaga untuk melindunginya.

"Riku, aku ingin membeli beberapa kebutuhan untuk kamarku," kata Nana. "Maukah kau menemaniku berbelanja?"

"Tentu saja, Nona Nana," jawab Yuki dengan sigap.

Mereka pun pergi ke sebuah supermarket terdekat untuk membeli berbagai kebutuhan Nana, seperti selimut, bantal, handuk, dan peralatan mandi. Yuki dengan sabar membantu Nana memilih barang-barang yang ia butuhkan. Ia juga membantu Nana membawa barang-barang belanjaan mereka kembali ke kost-kostan.

Nana merasa senang memiliki Yuki sebagai pengawalnya. Yuki tidak hanya kuat dan terampil dalam melindungi Nana, tetapi juga sangat perhatian dan baik hati. Nana mulai merasa nyaman berada di dekat Yuki, meskipun ia masih menyimpan rasa penasaran tentang identitas asli pria itu.