Hikari Yuna, yang duduk bersama teman-temannya, tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Yuki. Ia kagum dengan postur tubuh Yuki yang tegap dan aura percaya diri yang terpancar darinya. Pria itu pasti sangat kuat dan berpengaruh, pikir Yuna. Ia semakin penasaran dengan sosok Yuki.
Sementara itu, di pojok kantin, sekelompok mahasiswa laki-laki duduk dengan gaya yang mengintimidasi. Mereka adalah anggota geng yang dipimpin oleh Kaito Ishida, seorang mahasiswa senior yang dikenal kejam dan suka membuat onar. Kaito memiliki rambut pirang yang dicat dan tindikan di telinganya. Ia selalu mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans sobek-sobek, menunjukkan sikap pemberontaknya.
Kaito menatap Nana dengan nafsu. "Bukankah itu mahasiswi baru yang tadi pagi maju ke depan?" tanyanya pada teman-temannya.
"Iya, dia Nana," jawab salah satu temannya. "Kau mengenalnya?"
"Tidak, tapi aku ingat wajahnya," kata Kaito dengan seringai. "Dia cantik sekali. Dan sepertinya dia anak orang kaya."
Kaito merasa tertarik pada Nana. ayah Kaito sendiri adalah seorang donatur tetap Universitas Tokyo. Kaito merasa ia bisa berbuat seenaknya karena memiliki "bekingan" yang kuat.
Dengan gaya premannya, Kaito menghampiri meja Nana, Airi, dan Yumi. Ia menatap Nana dengan tatapan menjijikkan.
"Hai, cantik," sapa Kaito dengan nada sombong. "Boleh kenalan?"
Nana mengerutkan keningnya. Ia tidak suka dengan sikap Kaito yang arogan.
"Maaf, kami sedang makan," kata Nana dingin.
"Jangan sok jual mahal, gadis kecil," kata Kaito dengan nada mengancam. "Kau tahu siapa aku?"
Yumi yang geram melihat sikap Kaito pun membentaknya. "Pergi sana! Jangan ganggu kami!"
Kaito menatap Yumi dengan marah. Ia hendak membalas bentakan Yumi, tetapi tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan yang kuat mencengkeram kerahnya.
Yuki, yang selama ini diam-diam mengawasi Nana, tidak bisa menahan diri lagi melihat Kaito mengganggu Nana. Ia berdiri dan menghampiri Kaito dengan tatapan tajam.
"Kau membuat nafsu makanku hilang," kata Yuki dengan suara dingin.
Tanpa basa-basi, Yuki mengangkat Kaito dan melemparkannya ke meja kosong di dekatnya. Kaito terbanting dengan keras, membuat seisi kantin terkejut.
Teman-teman Kaito yang melihat kejadian itu langsung berdiri dan menghampiri Yuki dengan marah. Namun, Yuki hanya menatap mereka dengan dingin. Aura kekuatan yang terpancar dari Yuki membuat mereka gentar.
Kaito, yang merasa dipermalukan, mencoba untuk bangkit. Namun, ia merasakan rasa sakit yang luar biasa di punggungnya. Ia menyadari bahwa Yuki bukanlah orang yang bisa ia lawan. Ia pun memutuskan untuk mundur bersama teman-temannya.
Yuna, yang dari tadi memperhatikan Yuki, semakin kagum melihat kekuatan dan keberanian Yuki. Ia semakin tertarik pada pria misterius itu.
Hari-hari berlalu di kampus, diisi dengan rutinitas perkuliahan, tugas-tugas, dan kegiatan ekstrakurikuler. Namun, bagi Hikari Yuna, ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya: Yuki.
Sejak pertemuan mereka di lapangan kampus, Yuna tidak bisa berhenti memikirkan pria misterius itu. Ia tertarik pada ketampanan, kekuatan, dan aura misterius yang menyelimuti Yuki. Ia sering mencuri pandang ke arah Yuki di kelas, di kantin, atau di perpustakaan. Ia ingin mengenal Yuki lebih dekat, namun ia tidak tahu bagaimana caranya.
Yang membuat Yuna semakin penasaran adalah kedekatan Yuki dengan Nana. Ia melihat Yuki selalu berada di dekat Nana, seolah-olah menjaganya. Meskipun Yuki menjaga jarak dan berpura-pura tidak mengenal Nana, Yuna merasa ada sesuatu yang aneh di antara mereka.
"Siapa sebenarnya Nana ini?" gumam Yuna dengan penuh rasa ingin tahu. "Kenapa pria itu selalu bersama dengannya?"
Yuna tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Ia memutuskan untuk menyelidiki latar belakang Nana. Ia menghubungi salah satu orang kepercayaan ayahnya dan meminta bantuan untuk mencari informasi tentang Nana Aoi.
Dengan jaringan dan sumber daya yang dimiliki keluarga Hikari, tidak sulit untuk mendapatkan informasi tentang Nana. Dalam waktu singkat, Yuna mendapatkan laporan lengkap tentang Nana, mulai dari nama lengkap, alamat, keluarga, hingga riwayat pendidikannya.
Yuna terkejut ketika mengetahui bahwa Nana adalah putri dari Ichiko Aoi, seorang pengusaha terkaya di Hokkaido. Ia juga mengetahui bahwa Nana pernah menjadi korban penculikan dan percobaan pembunuhan di Tokyo dan New York.
"Jadi, dia anak orang kaya," gumam Yuna dengan nada sinis. "Pantas saja pria itu selalu melindunginya."
Yuna sekarang mengerti mengapa Yuki selalu berada di dekat Nana. Yuki pastilah pengawal pribadi Nana. Ia tersenyum kecil. Ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya.
Namun, rasa penasaran Yuna tidak berhenti di situ. Ia justru semakin tertarik pada Yuki. Ia ingin tahu lebih banyak tentang pria misterius itu. Ia ingin tahu apa yang membuat Yuki begitu setia melindungi Nana. Dan yang terpenting, ia ingin menaklukkan hati Yuki dan membuatnya menjadi miliknya.
Sore hari, cahaya mentari mulai meredup, menandakan berakhirnya aktivitas perkuliahan. Nana dan Yuki berjalan berdampingan, meninggalkan gedung kampus menuju kost mereka. Mereka terlibat dalam percakapan ringan, membahas materi kuliah dan tugas yang menunggu mereka.
Tiba-tiba, sebuah mobil sport berwarna merah menyala berhenti di samping mereka. Kaca jendela mobil itu terbuka perlahan, mengungkapkan sosok gadis cantik yang duduk di kursi pengemudi. Nana dan Yuki saling berpandangan, penasaran dengan siapa gerangan gadis itu.
Gadis itu keluar dari mobil dengan gerakan anggun. Ia mengenakan dress berwarna putih yang elegan, menonjolkan kecantikan dan keanggunannya. Rambutnya yang hitam panjang tergerai indah, dihiasi jepit berbentuk bunga sakura. Nana mengenali gadis itu dalam sekejap. Ia adalah Hikari Yuna, mahasiswi baru yang kaya raya dan sempat mencuri perhatian Yuki di lapangan kampus.
Tanpa basa-basi, Yuna langsung menawarkan sebuah proposal yang mengejutkan pada Yuki.
"Aku ingin menawarimu pekerjaan sebagai pengawalku," kata Yuna dengan suara manis namun tegas. "Aku akan menggajimu lima kali lipat dari gaji yang Nana berikan padamu."
Yuki dan Nana terkejut mendengar tawaran itu. Nana menatap Yuna dengan kesal.
"Apa maksudmu, Nona Yuna?" tanya Nana dengan nada tajam.
Yuna tersenyum kecil. "Tidak perlu ditutup-tutupi lagi, Nana," jawab Yuna dengan santai. "Pria di sampingmu ini pengawalmu, kan? Nona Aoi, putri terkaya di Hokkaido."
Yuki tidak terkejut ketika Yuna mengetahui identitas mereka. Ia sudah menduga Yuna akan menyelidikinya setelah melihat kedekatannya dengan Nana.
Yuna mengeluarkan sebuah kartu nama dan menyerahkannya pada Yuki. "Hubungi aku jika kau tertarik dengan tawaranku," katanya dengan senyum menawan.
Yuna kemudian masuk kembali ke mobilnya dan melaju meninggalkan Yuki dan Nana yang masih terdiam di tempat. Nana menatap Yuki dengan tatapan tidak suka. Ia kesal karena Yuki masih memegang kartu nama Yuna.
"Kenapa kau masih memegang kartu itu?" tanya Nana dengan nada cemberut.
Yuki tersenyum dan memasukkan kartu nama itu ke dalam sakunya. "Tenang saja, Nana. Aku tidak tertarik dengan tawarannya."
Nana tidak menjawab, tetapi ia mempercepat langkahnya, meninggalkan Yuki yang tertinggal di belakang. Yuki tertawa kecil melihat tingkah Nana yang cemberut. Ia segera mengejar Nana dan menyamakan langkahnya dengan gadis itu.
Sesampainya di kost-kostan, Nana langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras. BRAK! Suara pintu yang terbanting menggema di lorong kost, membuat Yuki tersentak. Ia menghela napas panjang, merasa sedikit khawatir dan bersalah. Ia tahu Nana marah padanya karena menerima kartu nama Yuna.
Namun, di balik kekhawatirannya, ada sebuah perasaan bahagia yang menyelinap di hati Yuki. Ia bisa merasakan bahwa Nana cemburu. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Nana menunjukkan emosi seperti itu padanya. Selama ini, Nana selalu bersikap dingin dan menjaga jarak dengannya.
Yuki mendekat ke pintu kamar Nana dan mengetuknya perlahan. "Nana, apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan lembut.
Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Yuki mencoba lagi. "Nana, maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu marah."
"Pergi sana!" teriak Nana dari dalam kamar dengan nada manja. "Sana pergi jadi pengawalnya Hikari Yuna!"
Yuki tersenyum kecil. Ia semakin yakin bahwa Nana cemburu. Ia berpura-pura menuruti perkataan Nana.
"Baiklah, Nana," kata Yuki dengan nada pasrah. "Jaga dirimu baik-baik."
Ia berpura-pura melangkah menjauh dari pintu kamar Nana. Namun, ia sebenarnya masih berada di depan pintu, menunggu reaksi Nana.
Nana, yang mendengar suara langkah kaki Yuki menjauh, merasa penasaran. Ia mendekatkan telinganya ke pintu, mencoba mendengarkan suara Yuki. Namun, tidak ada suara apapun.
"Apakah dia benar-benar pergi?" gumam Nana dalam hati.
Ia pun perlahan-lahan membuka pintu kamarnya. Namun, begitu pintu terbuka, ia terkejut melihat Yuki masih berdiri di hadapannya. Hidung mereka hampir bersentuhan.
"Aaaa!" jerit Nana kaget.
Yuki juga terkejut. Ia tidak menyangka Nana akan membuka pintu tiba-tiba.
"Maaf, Nana," kata Yuki dengan gugup. "Aku tidak bermaksud mengejutkanmu."
Nana masih terdiam, wajahnya memerah karena malu. Ia menatap Yuki dengan tatapan kesal bercampur dengan rasa gembira yang sulit ia jelaskan.
Tiba-tiba, Nana mengangkat kedua tangannya dan memukul-mukul dada Yuki dengan manja. "Kau jahat!" serunya dengan nada cemberut.
Yuki tertawa kecil melihat tingkah Nana. Ia menangkap kedua tangan Nana dan memegangnya erat-erat.
"Maafkan aku, Nana," kata Yuki dengan lembut. "Aku hanya bercanda."
Nana menatap Yuki dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, kegembiraan, dan juga sebuah perasaan lain yang mulai bersemi di hatinya. Perasaan itu adalah... cinta.