Bab 15

Nana duduk di meja belajarnya, menyelesaikan tugas kuliah yang menumpuk. Ia sesekali melirik ke arah Yuki yang sedang asyik membaca buku di sofa ruang tamu kost mereka. Sejak kejadian di depan pintu kemarin, suasana di antara mereka terasa berbeda. Ada sebuah kedekatan yang baru terjalin, sebuah rasa nyaman dan hangat yang mengalir di hati Nana.

Tiba-tiba, ponsel Nana berdering, membuyarkan konsentrasinya. Ia melirik layar ponselnya dan tersenyum. Nama "Kexin Yue" terpampang di sana.

"Halo, Kexin," sapa Nana dengan riang.

"Nana! Syukurlah aku bisa menghubungimu!" suara Kexin terdengar penuh kelegaan dari seberang sana. "Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Kau menghilang begitu saja dari New York."

Nana tertegun. Ia baru tersadar bahwa ia lupa memberi tahu Kexin tentang kejadian di New York dan keputusannya untuk pindah ke Tokyo.

"Maafkan aku, Kexin," kata Nana dengan rasa bersalah. "Aku lupa menghubungimu. Banyak hal yang terjadi padaku akhir-akhir ini."

Nana lalu menceritakan semua yang ia alami, mulai dari percobaan penembakan di apartemennya, keputusannya untuk pulang ke Jepang, hingga ia bertemu kembali dengan Riku dan memintanya menjadi pengawalnya.

Kexin mendengarkan dengan seksama, sesekali mengeluarkan seruan kaget dan prihatin. Ia bersyukur Nana selamat dari bahaya dan kini memiliki seseorang yang melindunginya.

"Nana, aku senang kau baik-baik saja," kata Kexin dengan tulus. "Aku merindukanmu. Kapan kau akan kembali ke New York?"

"Aku tidak tahu, Kexin," jawab Nana dengan sedikit sedih. "Aku masih belum memikirkan itu. Mungkin aku akan menyelesaikan kuliahku di Tokyo."

"Aku mengerti," kata Kexin. "Tapi kau harus berjanji untuk mengunjungiku nanti, ya?"

"Tentu saja, Kexin," jawab Nana dengan senyum. "Aku pasti akan mengunjungimu."

Mereka berdua kemudian melanjutkan obrolan mereka, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Nana merasa lega telah menceritakan semuanya pada Kexin. Ia merasa lebih ringan dan tenang.

Saat Malam tiba, hujan turun dengan derasnya di kota Tokyo. Kilatan petir menyambar-nyambar, diikuti suara gemuruh yang menggelegar. Di dalam kamar kosnya yang kecil, Nana terbaring di tempat tidur, namun ia tak bisa memejamkan mata. Suara petir yang menggelegar membuatnya ketakutan.

Nana terbiasa tidur di kamarnya yang besar dan mewah di rumah keluarganya. Dinding kamarnya yang tebal meredam suara bising dari luar, termasuk suara petir. Namun, di kamar kosnya yang sederhana ini, suara petir terdengar begitu jelas dan menakutkan.

Nana memeluk gulingnya erat-erat, berusaha menenangkan diri. Namun, rasa takutnya semakin menjadi-jadi. Ia teringat cerita-cerita horor tentang orang yang tersambar petir saat hujan deras. Ia membayangkan petir menyambar kosannya, dan ia terjebak di dalamnya.

Sempat berpikir meminta Yuki untuk menemaninya, namun ia ragu. Ia takut membuat Yuki salah paham. Namun ketika ada satu suara petir yang sangat besar, tanpa berpikir dia berlari dengan selimut yang masih di genggamnya.

Sementara itu, di kamarnya, Yuki sedang asyik main hp . Ia tidak terganggu oleh suara petir dan hujan. Pikirannya justru dipenuhi oleh Nana. Ia memikirkan kejadian di kantin tadi siang, saat Nana menunjukkan rasa cemburunya. Ia tersenyum sendiri membayangkan ekspresi wajah Nana saat itu.

Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka. Yuki terkejut melihat Nana berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat dan tubuh gemetar sambil menggenggam selimut.

"Riku..." panggil Nana dengan suara lirih. "Apa aku boleh masuk?"

Yuki terkesiap. Ia tidak menyangka Nana akan datang ke kamarnya, apalagi di saat hujan lebat seperti ini. Ia sempat berpikir ada sesuatu yang buruk terjadi pada Nana, namun melihat ekspresi ketakutan di wajah Nana, ia menyadari bahwa Nana hanya takut pada petir.

Yuki memang sengaja tidak pernah mengunci pintu kamarnya. Ia ingin memastikan Nana bisa masuk kapan saja jika membutuhkan bantuannya.

"Tentu saja, Nana," jawab Yuki dengan lembut. "Masuklah."

Nana melangkah masuk ke kamar Yuki dengan ragu-ragu. Ia merasa sedikit canggung berada di kamar Yuki, apalagi hanya berdua.

"Terima kasih, riku," ucap Nana. "Aku takut sendirian di kamarku."

"Tidak apa-apa, Nana," kata Yuki menenangkan. "Kau aman di sini."

Yuki mempersilakan Nana untuk duduk di tempat tidurnya, sementara ia sendiri mengambil bantal dan selimut untuk tidur di lantai. Ketika yuki hendak bangkit, suara petir terdengar lebih kencang, yang membuat nana spontan menarik tangan yuki, lalu memeluknya.

"Tolong jangan jauh-jauh dariku" ucap nana sambil bergetar ketakutan.

Yuki tidak melepaskan pelukannya, justru mempererat, hingga membuat nana merasa nyaman.

Nana tertidur pulas dalam pelukan Yuki, napasnya teratur dan wajahnya tampak tenang. Yuki menatap Nana dengan lembut, mengagumi kecantikan gadis itu yang semakin terpancar dalam tidurnya. Ia perlahan melepaskan pelukannya dan membaringkan Nana di tempat tidur dengan hati-hati.

Namun, gerakan Yuki membuat Nana terbangun. Gadis itu membuka matanya perlahan dan menatap Yuki dengan bingung.

"Riku?" panggil Nana dengan suara serak.

"Ssst... tidurlah lagi, Nana," bisik Yuki dengan lembut. "Hujan sudah reda. Kamu tidak perlu takut lagi."

Nana mengangguk kecil dan mencoba untuk kembali tidur. Yuki beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju sofa. Ia berniat untuk tidur di sana agar Nana bisa tidur dengan nyaman.

"Riku," panggil Nana lagi sebelum Yuki sempat duduk di sofa.

"Ya, Nana?" jawab Yuki.

"Bisakah kau... tidur di sampingku?" pinta Nana dengan suara lirih.

Yuki terkejut mendengar permintaan Nana. Ia menatap Nana dengan tatapan khawatir. Ia takut jika ia tidur di samping Nana, ia tidak akan bisa mengendalikan dirinya. Namun, ia juga tidak ingin mengecewakan Nana.

"Baiklah, Nana," kata Yuki akhirnya. Ia pun kembali ke tempat tidur dan berbaring di samping Nana.

Mereka berdua terbaring berdampingan, hanya dipisahkan oleh selimut tipis. Nana memejamkan matanya, mencoba untuk tidur. Namun, ia bisa merasakan kegelisahan Yuki di sampingnya. Yuki tampak tegang dan sesekali menghela napas panjang.

Nana membuka matanya dan menatap Yuki dengan penuh pertanyaan. "Riku, ada apa?" tanyanya dengan lembut.

Yuki menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Nana. Tidurlah."

Namun, Nana bisa melihat bahwa Yuki sedang menyembunyikan sesuatu. Ia bisa merasakan bahwa Yuki sedang menahan diri.

"Riku, kau bohong," kata Nana dengan tegas. "Katakan padaku apa yang sedang kau rasakan."

Yuki menarik napas panjang. Ia tidak bisa berbohong lagi pada Nana.

"Aku... aku tidak bisa tidur," aku Yuki akhirnya.

"Kenapa?" tanya Nana penasaran.

Yuki menatap Nana dengan tatapan yang sulit diartikan. "Karena... kau ada di sampingku."

Nana terkejut mendengar jawaban Yuki. Ia bisa merasakan bahwa Yuki memiliki perasaan yang sama dengannya.

Nana mengerti apa yang dipikirkan Yuki. Sebagai wanita, dan dalam situasi dingin, hanya berdua di kamar, hasrat Nana juga mulai berkobar. Apalagi di hadapannya adalah laki-laki yang sebenarnya ia sukai. Namun, ia juga menahannya. Tatapan mata mereka dipenuhi rasa malu dan ketakutan akan konsekuensi tindakan mereka.

"Riku..." panggil Nana dengan suara lirih.

Yuki mendekatkan wajahnya ke wajah Nana. Ia menatap mata Nana dengan penuh cinta.

"Nana, aku..."

Sebelum Yuki sempat menyelesaikan kata-katanya, Nana menarik Yuki ke dalam ciuman yang hangat. Yuki terkejut, namun ia segera membalas ciuman Nana dengan penuh gairah.

Mereka berdua larut dalam ciuman itu, melupakan segalanya. Hanya ada mereka berdua di dunia itu.

Yuki masih berusaha menahan diri, tetapi Nana sudah tak mampu lagi. Ia menyingkirkan selimutnya, berkata, "Aku gerah." Melihat Nana hanya mengenakan baju tidur tipis, Yuki benar-benar kehilangan kendali. Ia pamit ke kamar mandi, namun Nana tahu Yuki ingin melampiaskan hasratnya sendirian. Hasrat Nana semakin membuncah. Ia mengikuti Yuki ke kamar mandi. Di sana, tak mampu lagi menahan diri, mereka terlibat dalam suatu peristiwa yang sebenarnya tak mereka inginkan. Saat mereka kembali dalam keadaan normal, hanya malu yang dirasa. Mereka membersihkan sisa darah perawan nana dari tubuhnya masing-masing, tanpa ada kata terucap. Lalu mereka kembali ke kasur dan tidur. Nana sudah tidak ragu lagi, dia tidur dalam pelukan yuki.

Sinar mentari pagi yang lembut menembus tirai jendela, menyinari kamar Yuki dengan hangat. Di atas tempat tidur, Nana masih tertidur pulas dalam pelukan Yuki. Wajahnya yang tenang dan cantik membuat Yuki terpana. Ia menatap Nana dengan penuh cinta, mengusap lembut rambut gadis itu.

Yuki tidak ingin melepaskan pelukannya. Ia ingin menikmati momen indah ini lebih lama lagi. Ia merasakan kehangatan dan kedamaian yang mendalam saat berada di dekat Nana. Ia bersyukur akhirnya bisa bersama dengan gadis yang ia cintai.

Namun, Nana perlahan mulai terbangun. Ia membuka matanya dan menatap Yuki dengan bingung. Seketika, ingatan tentang kejadian malam itu membanjiri pikirannya. Wajahnya merah padam karena malu.

"Riku..." panggil Nana dengan suara lirih.

Yuki tersenyum lembut. "Selamat pagi, Nana."

Nana menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Yuki. Ia merasa malu dan gugup. Namun, ia juga merasa bahagia. Ia telah menemukan cinta sejatinya dalam diri Yuki.

"Riku, aku..." Nana mencoba untuk mengungkapkan perasaannya, namun ia ragu.

Yuki mengangkat dagu Nana dengan lembut, memaksa gadis itu untuk menatapnya. "Katakan saja, Nana. Aku siap mendengarkan."

Nana menarik napas panjang dan menatap mata Yuki dengan tulus. "Riku, aku mencintaimu," ucapnya dengan suara bergetar. "Tapi... ada sesuatu yang harus kau ketahui."

Nana lalu menceritakan tentang pahlawan kecilnya yang misterius, pemuda yang selalu menyelamatkannya dari bahaya. Ia menceritakan tentang kalung dengan liontin separuh hati yang ia simpan selama bertahun-tahun.

Yuki mendengarkan dengan seksama. Ia tersenyum kecil dan mengeluarkan sebuah kalung dari sakunya. Kalung itu memiliki liontin berbentuk separuh hati yang cocok dengan liontin milik Nana.

Nana terkejut. Ia meraba kalung yang ia kenakan, lalu Yuki menyatukan kedua liontin itu. Mereka saling melengkapi, membentuk sebuah hati yang utuh.

Mata Nana terbelalak. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Seseorang yang selama ini ia nantikan, pahlawan kecilnya yang misterius, ternyata adalah Riku, pria yang ia cintai.

Air mata mengalir deras di pipi Nana. Ia merasakan campuran emosi yang begitu kuat: kebahagiaan, kemarahan, haru, dan cinta. Ia marah karena Yuki menyembunyikan identitasnya selama ini. Namun, ia juga sangat bahagia karena akhirnya ia menemukan pahlawan kecilnya dan cinta sejatinya.

Yuki memeluk Nana dengan erat, menenangkan gadis itu. "Maafkan aku, Nana," bisiknya dengan penuh penyesalan. "Aku tidak bermaksud menyembunyikan identitasku darimu. Aku hanya...."

Nana membalas pelukan Yuki dengan erat. "Aku mengerti, Yuki," katanya dengan suara bergetar. "Aku juga mencintaimu."

Mereka berdua larut dalam pelukan itu, merasakan kehangatan dan cinta yang tulus. Akhirnya, setelah sekian lama, mereka bersatu. Misteri terungkap, cinta bersemi, dan sebuah kisah baru dimulai.