Sudut Pandang Delia
Ketika Alen membawa pria itu ke hadapanku, aku nyaris tidak mengenalinya sebagai ayahku yang pernah penuh kebanggaan.
Oh tidak, aku tidak lagi ingin memanggilnya ayah; dia sekarang hanyalah Tuan Orban.
Tidak seperti pertemuan kami di kuil, kali ini aku bisa mengamati penampilannya dengan lebih langsung.
Dia tampak benar-benar tua. Rambutnya yang sebagian telah memutih terkulai lemas di atas kulit kepalanya. Postur tubuhnya yang dulu tegap kini membungkuk. Tidak ada lagi kerinduan akan kekuasaan di matanya, hanya rasa tua yang hampir tidak menyerupai seorang alfa.
"Yang Mulia… dan Delia, salam untuk kalian berdua."
Aku mengenakan pakaian kerajaan yang dirancang khusus, duduk di kursi berpunggung tinggi berlapis emas, sementara ayahku—Tuan Orban—berdiri di hadapanku dengan mata tertunduk, terlihat gelisah.