Bayangan Diri

Cahaya menyilaukan menyentuh wajah Nala, membuat mata indah itu menyipit tak dapat menerima sinarnya. Dengan pelan mata Nala mulai menyesuaikan bersamaan dengan memudarnya cahaya itu. Ketika pandangannya kembali normal Nala menemukan dirinya berada di sebuah kamar, kamarnya. Dapat ia lihat itu ruangan yang sama dengan ruangan yang selalu ia gunakan saat tertidur. Dengan cepat Nala menolehkan kepalanya ke belakang mengecek sekitar, ruangan putih itu sudah tak ada? Nala seketika mengubah badannya ikut mengarah ke belakang, matanya langsung memandang sekeliling melihat apapun yang bisa matanya lihat. Tak bisa dipercaya, ruangan putih hampa itu sudah tak ada dan sekarang Nala berada di rumahnya.

Perlahan Nala melangkah memasuki tempat yang ia ketahui adalah kamarnya. Matanya mengedar meneliti ruangan itu. Bisa dibilang ini memang kamar Nala walau tidak sama seratus persen, karena dapat Nala lihat di kamar itu terdapat rak yang penuh dengan buku serta meja belajar yang tertata rapi tanpa sehelai kertas pun, hanya itu yang membedakan kamar ini dengan kamar Nala. Tapi, yang sangat membuat Nala yakin ini adalah kamarnya selain ruangan yang hampir sama adalah karena di meja belajar terdapat banyak bingkai foto dirinya saat masih kecil, remaja dan saat dewasa. Tidak ada orang yang akan menyimpan banyak fotonya selain dirinya sendiri, begitu yang Nala pikir karena dirinya menyadari ia adalah orang yang cukup narsistik.

Saat melihat sekeliling Nala tidak sengaja melihat pantulan dirinya pada cermin lemari yang cukup besar itu. Di sana terlihat Nala memakai jas dengan rambut yang tertata rapi menampilkan jidatnya, seperti baru saja menghadiri acara formal atau baru saja mendapat penghargaan. Apa ini? Yang Nala tau ia hanya memakai kaos dan celana training tadi, bagaimana bisa langsung berubah?

Ditengah kebingungan Nala bisa mendengar bel rumahnya berbunyi. Dengan ragu Nala keluar dari kamarnya dan menuju pintu depan rumah untuk membukanya. Terlihat seseorang dengan senyum lebarnya berdiri di depan rumah Nala, bersama dengan satu orang lagi yang memiliki badan berotot.

"Siapa?" Tanya Nala bingung.

"Loh Nala? Lo di rumah?"

"Lo siapa?" Tanya Nala lagi.

Pria berotot itu sedikit menaikan alisnya mendengar pertanyaan Nala, sementara pria dengan senyum lebarnya langsung berucap, "Harsa Na, masa lo lupa sama teman sendiri. Lagi bercanda ya?" Ucapnya.

Tanpa menunggu jawaban Nala, Harsa dengan cepat masuk ke rumahnya diikuti pria berotot itu. Mereka duduk di atas sofa dan langsung menyalakan televisi.

"Btw lo kapan balik Na? Udah dua bulan gue sering kesini, tapi rumah lo selalu kosong." Tanya Jendra pada Nala.

"Hah maksudnya?" Belum sempat Jendra menjawab pertanyaan Nala, Harsa masuk di tengah-tengah obrolan.

"Oh iya Na, tadi gue sama Jendra juga udah manggil yang lain. Bentar lagi mereka sampai di sini," ucap orang yang Nala ketahui bernama Harsa.

Sementara Nala, ia tak menjawab dan masih berdiri sembari matanya menatap Harsa dan Jendra. Otak Nala masih berpikir tentang apa semua ini, apakah ini semua mimpinya? Apakah ini yang ada di balik pintu yang selalu menggangu Nala itu?

Lama kelamaan Nala merasa kepalanya berdenyut keras membuat tangannya seketika meraih bagian tubuh teratasnya itu menahan sakit.

"AKH," teriak Nala.

Harsa dan Jendra seketika mengalihkan atensinya kepada Nala. Mereka terkejut melihat Nala yang sudah merintih kesakitan memegang kepalanya.

"NALA, LO KENAPA?" Harsa segera berlari dan memegang bahu Nala.

"NALA," Jendra pun segera mengecek Nala.

Nala seperti tak mendengar pertanyaan dari dua orang itu. Kepalanya terasa sakit sekali, seperti ada sesuatu yang memaksa masuk ke dalam otaknya itu. Perlahan Nala seperti merasa ada potongan puzzle yang mulai tertata dalam pikirannya. Nala merasa tubuh dan pikirannya tak bisa menahan ini semua, kepalanya masih terasa berdenyut keras dan pandangannya mulai menggelap. Ya, Nala pingsan.

---

"Kak Nala..."

Nala merasakan sebuah tepukan pelan pada wajahnya disertai dengan percikan dingin yang menerpanya. Dengan perlahan mata indah itu terbuka menerima bias cahaya yang mulai mengenainya.

"KAK NALA?" Tepukan pada wajahnya kian menguat. Nala yang merasakannya sedikit merintih.

"KAK NALA BANGUN!" Dapat Nala lihat pria yang menepuk wajahnya mengalihkan perhatian pada pria lain yang berdiri membawa gelas di sebelahnya, Harsa.

"Buruan panggil yang lain!" Perintah Harsa.

Sekarang hanya tersisa Nala dan Harsa dalam ruangan itu. Nala perlahan bangun untuk mengubah posisinya untuk duduk pada sofa, Harsa tentu saja membantunya.

"Lo nggak apa-apa?" Tanya Harsa terlihat khawatir.

"Nggak apa-apa," jawab Nala.

Harsa lalu ikut mendudukkan tubuhnya di sebelah Nala, "Lo itu tadi kenapa, Na? Lo sakit?"

Ya, Nala pun tadinya bingung apa yang terjadi pada dirinya. Namun, semua pertanyaan Nala itu sudah terjawab.

Kini bisa dibilang Nala sudah mengetahui bagaimana kehidupannya di dunia ini. Potongan-potongan puzzle yang tadi tersusun dalam pikirannya adalah ingatan kehidupannya disini. Tentang Nala, seorang pria yang baru memasuki usia dewasanya. Nala yang berbeda dengan dirinya, karena disini Nala selalu berhasil. Seingatnya dirinya di sini adalah orang pintar yang selalu mendapat nilai yang bagus, selalu memenangkan lomba, dan bahkan menginspirasi orang lain. Bisa dibilang ia adalah sosok orang yang berhasil. Sungguh kehidupan yang selalu ia idamkan.

Selain tentang keberhasilan itu, disini yang Nala ketahui ia tidak berteman dengan Taro sahabatnya. Bahkan nama Taro itu tak bersinggungan sedikitpun dalam kehidupannya, seolah tak ada. Disini, Nala berteman dengan 5 orang lain yang menjadi sahabatnya. Harsa, Jendra, Arjuna yang kerap disapa Juna, Cakra dan Jingga. Nama-nama itu yang selalu ada bersamanya di kehidupan ini. Harsa, Jendra dan Juna adalah teman satu angkatannya pada jurusan Teknik Informatika, sementara Cakra dan Jingga adalah adik tingkatnya.

Untuk saat ini, Nala rasa ia akan mengikuti terlebih dahulu alur mimpinya ini hingga nanti ia bisa terbangun. Karena, jujur saja Nala tidak tau bagaiman caranya untuk bangun. Biasanya saat hendak membuka pintu kayu tua itu Nala akan selalu terbangun dari mimpinya, namun entah mengapa kali ini tidak.

"Na, ditanya kok malah ngelamun," tanya Harsa membuyarkan pikiran Nala.

"Eh, gue nggak apa-apa, Sa" jawab Nala.

Harsa lalu menempelkan punggung tangannya pada dahi Nala, "Nggak panas," ucapnya. Ayolah Nala tidak demam.

Nala menurunkan tangan Harsa sebelum menanggapinya, "gue nggak apa-apa Sa, lo tenang aja."

Bersamaan dengan itu datang empat orang lain menghampiri Nala dan Harsa yang terduduk di Sofa. "Lo udah nggak apa-apa, Na?" Tanya pria berotot itu, Jendra.

"Nggak apa-apa, Jen..." Ucapnya dan menatap semua orang yang menghampirinya, "... Gue udah nggak apa-apa," lanjutnya meyakinkan.

---

"Na, besok lo, Jendra, Juna sama gue disuruh ketemu pak Malik buat bahas lomba bulan depan," ucap Harsa sebelum menyuapkan makanannya.

Sekarang mereka berenam tengah berada di meja makan sembari memakan mie ayam yang tadi sempat Juna, Cakra dan Jingga beli.

"Oke, jam berapa?" Tanya Nala.

"Siang katanya, abis jam makan siang." Nala hanya menganggukkan kepalanya mengerti.

Sembari memakan mie ayam nya Nala dan teman-temannya lanjut bercanda ria. Mengobrol dengan asik membahas kegiatan mereka hari ini atau cerita lucu yang terjadi. Dilanjut mereka bermain game hingga lelah dan matahari pun mulai menenggelamkan dirinya pada kegelapan. 

Waktu pun berlalu, kini hari sudah malam dan jam menunjukan pukul delapan. Nala saat ini tengah berbaring di atas ranjang kasurnya yang terasa sangat nyaman. Teman-temannya sudah pulang setelah menghabiskan waktu cukup lama di rumahnya.

"Habis ini ngapain?" Tanya Nala dengan suara yang amat sangat pelan, entah pada siapa ia bertanya.

Beberapa menit Nala diam lalu ia memutuskan untuk menghampiri meja belajarnya, mencari apapun yang bisa ia lihat untuk mengetahui lebih banyak tentang dirinya disini. Tubuhnya ia arahkan untuk duduk pada kursi putih itu, sementara tangannya meraih sebuah pigura foto yang menarik perhatiannya. Sebuah foto dimana disana ada Nala dengan pakaian formal dan piala serta sertifikat penghargaan di tangannya. Jika ingatannya pada kehidupan ini tidak salah itu adalah saat ia memenangkan lomba setelah mewakili kampusnya.

"Bangga banget gue sama diri gue sendiri." Ucapnya.

Melihat foto itu hati Nala merasakan perasaan aneh, entahlah seperti ada banyak perasaan berkecamuk dalam dirinya. Nala merasa saat memandang foto itu ia bangga sekaligus iri pada dirinya. Ia bangga tentu saja bisa mencapai titik itu, tapi di sisi lain ia merasa iri. Bagaimana tidak, Nala pada kehidupan yang ia tau adalah seseorang yang cukup sering merasakan kegagalan. Ia sering gagal pada kuis nya dan bahkan mendapat nilai c pada mata kuliahnya. Sementara di dunia ini ada sosok lain Nala yang berhasil mencapai impiannya, di sini ia adalah orang yang berprestasi, populer dan disegani. Ia memiliki teman-teman baik, Ia dengan mudah menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya, selalu mendapatkan pujian dari dosen, dan bahkan sangat terkenal. Seolah dunia ini adalah refleksi bayangan dirinya jika ia adalah sosok yang berhasil.

Tapi ada satu hal yang aneh, ia belum bertemu dengan orang tuanya di dunia ini. Jika sesuai ingatan yang ada pada tubuhnya ini orang tua Nala masih hidup, tetapi memang mereka adalah seseorang yang gila kerja dan jarang ada di rumah.

Nala menghela nafas, walau belum bertemu langsung dengan orang tuanya di dunia ini ia tetap kecewa. Ingatan tentang kehidupan ini membuatnya bisa merasakan apa yang Nala di sini rasakan.

Yang Nala tau dirinya di sini memang adalah sosok pintar yang berhasil dalam banyak hal, terutama di bidang akademik. Namun, di balik semua keberhasilan itu ada perasaan sepi yang hinggap di hatinya, Nala merasa sendiri. Dari kecil Nala sudah terbiasa hidup tanpa orang tuanya yang disibukkan dengan pekerjaan, bahkan sebelum berkuliah Nala tak punya satupun teman. Nala adalah pribadi yang cukup pendiam sehingga membuat orang lain merasa Nala adalah pribadi yang sulit didekati. Berbeda dengan dirinya, Nala yang ini yang sekarang. Nala di kehidupan yang ia jalani adalah pribadi ceria dan narsistik, ya walau memang bidang akademiknya buruk, walau begitu dia memiliki orang tua yang selalu mendukungnya dan teman baik seperti Taro yang sudah bersamanya dari kecil.

Walau Nala senang akan semua yang ada disini Nala merasa tetap harus bangun dari mimpinya, ia harus menghadapi dunia nyata yang benar-benar dunianya, ia harus berusaha lebih keras di kehidupannya agar berhasil. Dan juga ia rindu pada kehidupannya yang sebenernya. Namun satu pertanyaan Nala, bagaimana caranya ia bisa bangun?

"Biasanya gue bangun waktu mau buka pintu itu, tapi sekarang gimana?" Gumam Nala.

"Gue masuk lewat pintu kamar gue tadi, kalau gue keluar lewat sana apa gue bakal balik ke ruangan putih itu?"

Nala bangkit dari duduknya, ia melangkah menghampiri pintu kamarnya yang tertutup rapat.

"Bisa gak ya?" Ucapnya pada diri sendiri.

Tangan putih itu meraih gagang pintu yang terbuat dari besi itu, seketika rasa dingin terasa pada telapak tangannya. Dengan pelan Nala memutar gagang pintu itu menghasilkan suara berderit nyaring, sedikit Dejavu untuknya.

Tangan itu mendorong pintu kayu yang ada di hadapannya. Hingga pintu itu terbuka dengan sempurna dapat ia lihat sebuah sofa dengan televisi di depannya, itu ruang tengah rumah Nala.

"Nggak berhasil," ucap Nala kecewa, ia menutup kembali pintu itu.

Dengan posisi yang masih sama Nala berpikir apa yang salah di sini? Bagaimana caranya untuk bangun dari mimpi ini? Nala menggigit bibir bawahnya, kebiasaan saat berpikir.

"Udahlah tidur aja."

Dirasa tidak menemukan jawaban Nala kembali ke ranjangnya, merebahkan tubuh tingginya itu bersentuhan dengan kasur yang nyaman. Merasa lelah dan mengantuk Nala perlahan menutup matanya, dengan harapan esok pagi ia akan terbangun di kamarnya yang sebenarnya dan bangun dari mimpi ini.

-To be continued-

- Characters Unlocked

1. Harsa Ananda Kiran (21 y.o) (Lee Haechan)

2. Jendra Pramitha (21 y.o) (Lee Jeno)

3. Arjuna Satya Narayana (21 y.o) (Huang Renjun)

4. Cakra Manggala (20 y.o) (Zhong Chenle)

5. Jingga Kusuma (19 y.o) (Park Jisung)