Hari ini adalah hari ketujuh terhitung sejak Nala memulai hidup menjadi dirinya yang lain dalam mimpinya. Nala tak bisa dan tak tahu caranya keluar dari mimpi yang mulai membutakan hatinya, ia mulai frustasi. Jika di tanya apakah ia rindu dengan kehidupan aslinya maka akan Nala jawab dengan lantang "Iya", iya ia sangat merindukan kehidupannya, ia ingin keluar dari jerat membahagiakan ini. Walaupun di sini bagaikan kehidupan impiannya tapi tetap saja ia bimbang, ia rindu dengan orang tuanya. Dan disini Nala merasa seolah dirinya sedang merebut kehidupan milik orang lain. Perasaan itu terus Nala rasakan sejak hari pertama ia hidup di sini.
"Nala, lo mau pesan apa?" Tanya Harsa kepada Nala yang melamun.
Saat ini Nala beserta teman-temannya Harsa, Juna, dan Jendra sedang di kantin kampus hendak memesan makanan, mereka baru saja menyelesaikan kelasnya.
"Gue bakso sama es teh aja, Sa." Jawab Nala. Harsa pun menulis pesanan Nala dan pergi untuk memesan makanannya, karena tadi hanya Nala yang belum memesan makanan.
"Akhir-akhir ini lo banyak ngelamun, lo kenapa, Na?" Tanya Juna setelah Harsa pergi.
"Iya, lo ada masalah Na?" Tanya Jendra juga menimpali pertanyaan Juna. Mereka penasaran karena temannya ini sedikit diam akhir-akhir ini.
"Gue nggak apa-apa kok, cuma lagi banyak pikiran aja." Jawab Nala.
Juna meraih tangan Nala yang ada di depannya itu. Di genggamnya tangan putih sang sahabat, "Kalau ada apa-apa cerita ya, Na!" Nala mengangguk menanggapi.
Tak lama Harsa datang kembali dan duduk pada kursinya, makanan pun datang menyusul tak lama setelah Harsa datang. Mereka memakan makanan pesanan mereka disertai obrolan random yang kebanyakan keluar dari mulut Harsa.
"Kalian pada percaya dunia paralel nggak?" Tanya Harsa setelah menyeruput mie ayamnya.
Jendra sedikit menaikan alisnya memikirkan pertanyaan Harsa. "Gue percaya-percaya aja sih, nggak mungkin juga di alam semesta ini cuma ada manusia doang di bumi kita. Pasti ada yang lain di planet-planet lain juga." Jawab Jendra.
Juna yang disampingnya memukul kepala Jendra dengan sendok. "Itu namanya Alien goblok." Ucapnya.
"Kalau lo, Na?" Harsa mengalihkan pandangannya ke Nala.
"Gue..." Nala menggantung ucapannya, "... Gue nggak tau." Jawabnya.
"Loh? Kok nggak tau? Lo percaya atau nggak jadinya?"
Nala memikirkan ucapan Harsa, setelah mendengar pertanyaan sahabatnya itu jujur saja Nala jadi memikirkan kehidupannya ini, apakah ini termasuk ke dalam dunia paralel? Dunia dimana dirinya yang lain hidup?
"Kalau lo percaya nggak?" Nala mengalihkan pertanyaannya pada Harsa.
Harsa tersenyum mendengar ucapan Nala, dirinya menjawab dengan yakin, "Gue percaya."
"Kenapa?"
"Yang Jendra ucapin lumayan benar, nggak mungkin lah alam semesta ini isinya gue doang, isinya manusia di bumi ini doang. Pasti ada kehidupan kehidupan lain di luar sana, entah makhluk itu alien atau apapun itu, gue yakin pasti ada. Dan pengetahuan manusia itu terbatas, emang iya alam semesta ini cuma yang kita tau doang?" Ucap Harsa panjang.
Teman-temannya menaruh atensi penuh pada Harsa lalu menepuk tangannya, "Lo beneran Harsa?" Tanya Juna.
"Gila, Harsa yang goblok dan pecicilan bisa ngomong kaya gini." Ucap Jendra terkesan mengejek.
Nala pun sama kagum dengan ucapan Harsa, sedikit memikirkan ucapannya itu juga. Nala seolah mendapat titik terang disini.
---
Kali ini keempat bersahabat itu tengah memasuki gedung fakultas hendak menjemput dua sahabatnya yang lain yang berbeda angkatan dengan mereka. Mereka sudah sepakat akan pergi ke bioskop setelah ini untuk menonton film action yang belum lama rilis. Di tengah perjalanan kerap kali ada mahasiswa lain yang akan menyapa mereka, terutama menyapa Nala yang memang sudah di kenal di kampus.
"Itu Cakra." Tunjuk Jendra pada sosok pria muda yang sedang memainkan pintu masuk kamar mandi kampus. Terlihat Cakra tengah membuka dan menutup pintu itu.
"Cakra, mana Jingga?" Tanya Juna begitu jarak mereka sudah dekat.
"Di dalam, panggilan alam katanya." Jawab Cakra.
Tak perlu menunggu lama Jingga pun keluar menghampiri sahabat-sahabatnya itu. Mereka akhirnya segera berangkat menuju Mall menggunakan mobil Jendra, hanya mobil itu yang cukup besar dan mampu membawa mereka berenam.
Di tengah kegelapan bioskop keenam bersahabat itu duduk bersebelahan, dimulai dari Jingga yang duduk paling pinggir dekat dengan tangga bioskop, lalu Cakra, Jendra, Juna, Harsa, dan terakhir Nala. Di samping kursi Nala sudah tak ada ada siapapun, sepertinya tak ada yang memesan kursi bioskop di sana.
Semua orang dalam bioskop terlihat fokus melihat layar besar yang menunjukan adegan perkelahian itu, Nala pun sama. Tiba-tiba ada yang menepuk telapak tangannya yang ia letakkan di atas kursi. Nala menoleh ke samping dan terlihat Harsa tengah menatapnya.
"Kenapa?" Tanya Nala lirih tak ingin mengganggu penonton yang lain.
Harsa tak menjawab pertanyaan Nala, pria itu lebih memilih membuka tas nya dan meraih sebuah buku. Di bukannya lembaran buku-buku itu dan menunjukkannya ke Nala.
"Lo tau ini?" Tanya Harsa menunjuk pada halaman bukunya.
Nala mengikuti arah yang di tunjuk Harsa, walau sedikit remang-remang dapat ia lihat sebuah gambar pada kertas itu, gambar mawar. Coretan pensil pada gambar itu terlihat buruk sekali, namun walau begitu Nala dapat mengetahuinya bahwa gambar itu adalah mawar yang sama dengan ukiran mawar yang ia lihat pada pintu tua dalam mimpinya.
Nala langsung menatap Harsa dalam, matanya terlihat membola menatap mata Harsa. "SA?!" Ucapnya sedikit keras.
"LO TAU?!" Tanya Harsa tak kalah keras sebelum sebuah pukulan mendarat di kepalanya.
"Jangan berisik!" Ucap Juna yang di sampingnya memperingati Harsa.
"Maaf, hehe."
Atensi Harsa kembali lagi pada Nala, "Kita bicarain nanti lagi, Na."
---
Nala, Harsa, dan Cakra tengah duduk di ruang tengah rumah Nala. Suasana rumah itu terlihat sepi dikarenakan orang tua Nala yang sering melakukan perjalanan bisnis ke luar kota atau luar negeri yang membuat tempat itu menjadi base camp para sahabatnya.
"Kok lo bawa Cakra?" Bisik Nala lirih pada Harsa, mengabaikan Cakra yang tengah bermain ponsel di samping sang sahabat.
"Dia juga sama, Na." Ucap Harsa.
Nala membelalakkan matanya, hari ini terlalu banyak kejutan yang menghampiri dirinya. Kejadian saat Harsa menunjukan gambar mawar itu saja sudah sangat mengejutkannya, membuatnya bertanya-tanya apa Harsa mengalami hal yang serupa dengannya? Dan sekarang ia mengetahui bahwa tak hanya Harsa tapi juga Cakra?
"Santai aja kak, gue juga sama kok." Ucap Cakra lalu meletakkan ponselnya. "Gue juga bukan dari sini." Lanjutnya.
"Oke, tunda dulu acara kagetnya, Na. Mending lo ceritain deh tentang diri lo! Apa lo juga kesini lewat pintu itu terus gak bisa keluar kaya kita?" Ucap Harsa.
Nala menghela nafas mendengarnya, mulutnya mulai terbuka menceritakan kejadian demi kejadian yang dialaminya dari awal hingga akhir. Nala menceritakan tentang dirinya, mimpinya, dan bagaimana semua ini berakhir di kehidupan lain Nala ini.
Harsa dan Cakra mendengarkan dengan seksama cerita Nala, kedua pemuda itu kerap kali menganggukkan kepalanya menanggapi cerita yang bisa dibilang mirip dengan cerita mereka.
Tak hanya Nala, Harsa dan Cakra pun menceritakan kisah mereka. Cakra menceritakan tentang dirinya yang sering bermimpi tersesat di dalam hutan belantara dan menemukan sebuah rumah tua di tengah-tengahnya. Sama dengan Nala, Cakra sering kali mencoba membuka pintu rumah itu namun tak bisa, saat dirinya berhasil membukanya ia berakhir hidup dalam dunia ini. Tetapi ada sedikit perbedaan dalam mimpinya dengan Nala, jika Nala selalu mengalami mimpi itu di hari Rabu sementara Cakra mengalaminya tujuh hari berturut-turut sebelum terdampar pada dunia aneh ini.
Lain dengan Nala dan Cakra, Harsa terjebak di dunia ini bukan lewat mimpi, di dunianya Harsa menemukan pintu ini di sebuah rumah kosong yang ada di perumahan kompleknya. Harsa menceritakan ada sebuah rumah tua di depan gang kompleknya yang sudah lama kosong. Harsa yang memang dasarnya orang yang penasaran serta menyukai cerita mistis dan misteri terkadang mendatangi rumah itu untuk mencoba melihatnya, ia hanya melihat-lihat bagian luarnya saja. Hingga suatu hari Harsa mencoba membuka pintu rumah itu yang tak disangka tidak terkunci. Tetapi, baru pintu itu terbuka sedikit ada sebuah truk besar berkecepatan tinggi melaju kearah rumah itu, ke arahnya. Dikarenakan rumah itu berada persis di samping jalan dan tak ada gerbang atau tembok apapun yang menghalangi maka truk itu mengenai tepat pada tubuhnya. Saat terbangun Harsa sudah ada di dunia ini, dunia yang menurutnya sangat berbeda dengan dunianya. Dan satu yang sering Harsa pikirkan, apakah ia masih hidup atau sudah mati di dunia aslinya.
Nala yang mendengarkan cerita Harsa terkejut sekaligus iba, ia tidak menyangka kejadian pahit itu terjadi pada sahabatnya.
"Terus gimana kalian bisa saling tau kalau kalian nggak berasal dari dunia ini?" Tanya Nala penasaran.
"Itu karena gue sering liat Cakra buka tutup pintu terus. Awalnya gue biasa aja dan nggak curiga sama sekali, sampai saat gue nggak sengaja denger waktu Cakra lagi buka tutup pintu dia ngomong kalau pintu mana lagi yang harus dia coba buat balik ke dunianya."
"Habis itu bang Harsa langsung narik gue buat ngejelasin apa maksud ucapan gue. Dan ya, akhirnya kita berdua tau kalau kita nggak sendirian di dunia asing ini." Ucap Cakra melanjutkan cerita Harsa.
Nala terdiam sesaat, "Jujur gue kaget dengar cerita kalian ya, gue nggak pernah kepikiran bahwa ada orang lain yang ngalamin hal serupa sama gue." Ucap Nala, badannya ia tegakkan sebelum melanjutkan ucapannya. "Kalau gue aja nggak sendiri, berarti ada kemungkinan ada lagi orang lain yang ngalamin hal kaya gini." Ucapnya yakin.
Harsa dan Cakra menganggukkan kepalanya menyetujui ucapan Nala. "Dan gue sering obrolin tentang keanehan ini sama Cakra sampai kita tau bahwa kesamaan cerita kita selain pintu itu adalah bunga mawar merah. Gue sama Cakra ngelihat hal yang sama, di depan rumah kosong yang kita lihat ada banyak bunga-bunga mawar yang tumbuh disana menarik perhatian. Dan semua bunganya sama, bunga mawar yang warnanya merah pekat mirip darah, yang lumayan besar terus mekarnya indah banget. Lo juga liat bunga itu kan?" Tanya Harsa.
"Wait, bunga yang tumbuh?" Nala menaikan alisnya sedikit bingung, "kalo gue cuma liat ukiran bunga mawar doang di pintu itu sama tulisan aneh yang nggak gue tau maksudnya apa. Gue sama sekali nggak lihat tumbuhan sedikitpun di mimpi gue."
"Tulisan apa? Gue sama sekali nggak lihat ada tulisan di pintu itu atau pun di sekitarnya." Tanya Harsa penasaran.
"Gue juga nggak liat tulisan apapun, kak."
Nala sedikit berpikir mengingat-ingat tentang tulisan itu, "Tempat rahasia tumbuh sebelum terang, di sana jiwa yang hilang pertama kali bermimpi." Ucap Nala memberitahu sahabatnya tentang tulisan itu.
"Hah, maksudnya apaan?"
"Gue juga nggak tau."
BRAK
"ANJING."
Di tengah keseriusan cerita mereka pintu depan rumah Nala tiba-tiba terbanting keras tertutup. Nala, Harsa, dan Cakra sangat terkejut bahkan Harsa sampai mengeluarkan latahnya.
"Kok tiba-tiba banget, perasaan nggak ada angin." Ucap Nala melihat suasana di dalam dan di luar lewat jendelanya yang terlihat biasa saja tak ada angin kencang.
"Perasaan tadi pintunya udah ditutup deh, lo udah tutup pintunya tadi kan, kak?" Tanya Cakra kepada Nala.
Nala menganggukkan kepalanya kuat merasa yakin bahwa ia sudah menutup pintu rumahnya dengan rapat setelah mereka masuk tadi.
"Tapi kok tiba-tiba bisa kebuka terus kebanting gitu?" Harsa tiba-tiba merasa merinding, seperti mulai ada hawa aneh di sekitarnya.
-To be continued-