Persimpangan Jalan

Matahari mulai terbenam memancarkan cahaya jingga kemerahan, membias di balik jendela perpustakaan Nasional. Nala, Harsa, dan Cakra duduk di bangku perpustakaan terbesar di negaranya itu dengan tenang. Kemarin, ketiga bersahabat itu sepakat untuk mengunjungi perpustakaan Nasional, mencoba mencari informasi apapun itu untuk memecahkan misteri yang terjadi pada mereka. Sebelumnya Harsa dan Cakra sudah beberapa kali mencoba mencari tau di perpustakaan kampus dan kota-nya, namun informasi yang didapat tidak memuaskan mereka. Kali ini mereka mencoba keberuntungan di perpustakaan terbesar dengan mengajak Nala.

"Jadi, lo berdua percaya kalau dunia kita ini cuma salah satu dari banyak dunia?" tanya Nala, suaranya terdengar ragu.

Harsa mengangguk mantap. "Gue udah baca banyak teori tentang multiverse. Mungkin aja kita lagi ngalamin semacam glitch di alam semesta."

Nala terdiam, ia memang dari dulu suka pada cerita atau hal-hal berbau mistis dan misteri. Namun, mendengar teman-temannya percaya pada keberadaan dunia paralel membuatnya merasa takjub sekaligus takut.

Buk

Suara tumpukan buku yang diletakkan terdengar, terlihat Cakra datang sembari membawa lebih dari sepuluh buku ke meja mereka.

"Banyak amat, ini mau lo baca semua?" Tanya Harsa.

"Nggak sih, hehe. Cuma tadi karena judul-judulnya menarik jadi gue ambil aja, gue bahkan nyari sampai pojokan perpustakaan."

Tangan Nala meraih beberapa buku yang diambil Cakra, "Misteri Dunia Paralel, Apakah Multiverse Benar Adanya?, Kumpulan Konspirasi Dunia." Ucap Nala membaca setiap judul buku yang dibawa Cakra.

"Ini Apa?"

Nala meraih sebuah buku yang sampulnya terlihat lusuh.

"Cakra, ini kenapa nggak ada judulnya?"

Cakra menoleh melihat buku yang dipegang Nala, "Nggak sengaja ke ambil mungkin." Jawabnya.

Karena penasaran Nala membuka buku yang kertasnya mulai menguning itu. Di halaman pertama dapat dilihatnya sebuah gambar seorang wanita cantik dengan sekuntum mawar merah yang merekah di tangannya. Nala ingat pernah melihat simbol mawar merah itu, mawar yang sama dengan ukiran di pintu kayu tua di mimpinya.

"Harsa, Cakra lihat ini!" Nala menunjukan halaman pertama buku pada kedua sahabatnya.

"Mawar!" Ucap Harsa sedikit keras.

Entah kenapa semenjak diskusi yang mereka lakukan kemarin membuat mereka selalu merasa aneh melihat simbol mawar merah yang merekah. Seperti ada sensasi yang timbul dari dalam tubuh mereka.

"Sebenarnya simbol mawar itu apa sih?" Ucap Nala, suaranya terdengar sedikit frustasi.

Bagaimana tidak, ia mengetahui ada yang aneh dengan simbol mawar, pintu, teka-teki, dan mimpinya. Namun, ia tak bisa menemukan jawaban apa arti dari hal-hal tersebut.

"Coba buka lagi, kak!" Perintah Cakra.

Nala membuka halaman berikutnya terlihat disana hanya ada satu gambar mawar merah yang merekah. Ketiga bersahabat itu saling berpandangan, mereka merasa simbol mawar merah itu sangat penting.

Nala membuka kembali lembaran berikutnya disana tertulis kalimat yang terdengar familiar bagi mereka. "Tempat rahasia tumbuh sebelum terang, di sana jiwa yang hilang pertama kali bermimpi." Ucap Nala membacanya.

"Udah fix ini buku berhubungan sama yang kita alami." Ucap Harsa yakin.

Nala, Harsa, dan Cakra semakin tenggelam dalam buku itu, bergantian membolak-balik halaman demi halaman, mencari petunjuk lebih lanjut. Semakin dalam mereka membaca, semakin yakin mereka bahwa buku ini memang ada hubungannya dengan mereka.

Di salah satu halaman, mereka menemukan sebuah gambar peta yang sangat sederhana. Peta itu hanya menunjukan sebuah pulau kecil dengan gambaran pohon besar di tengahnya. Pohon itu memiliki bunga-bunga berwarna merah yang sangat mirip dengan mawar merah yang mereka lihat di halaman-halaman sebelumnya. Di bawah gambar peta, terdapat tulisan tangan yang mulai pudar, entah siapa yang sudah mencorat-coret buku ini.

"Di bawah kunci kehidupan, rahasia tersembunyi." Ucap Nala membaca tulisan itu.

"Kayanya kita perlu cari tempat ini deh." Ucap Cakra tiba-tiba, "Gue kaya familiar sama pulaunya."

"Tapi, gimana kita bisa tau pulau apa ini?" tanya Harsa ragu-ragu. Peta yang mereka miliki sangatlah sederhana dan tidak memberikan informasi yang cukup untuk mengetahui lokasi pulau tersebut.

"Dan belum tentu pulau itu beneran ada."

---

Buk

Nala melemparkan sebuah buku tebal yang dipinjamnya dari perpustakaan ke atas kasur.

"Udah seminggu kita bolak-balik perpustakaan, tapi nggak ada petunjuk baru." keluhnya.

Cakra yang mendengarnya menghela nafas kesal, sekarang ketiga bersahabat itu tengah berada di kamar Nala mencoba mencari tau dimana letak pulau itu.

"Gue juga mulai frustasi, udah nyari kesana kesini nggak ketemu juga. Bahkan gue sampai nggak tidur buat nyelam di internet cari lokasi pulau itu." Timbal Cakra.

Harsa menoleh pada yang lebih muda dan melempar pensil yang dipegangnya pada Cakra. "Ide lo," Ucapnya.

"Maaf."

"Pasti ada sesuatu yang kita lewatin." Ucap Harsa lalu membuka buku yang entah sudah ke berapa yang ia baca hari ini.

Mereka memang berusaha sangat keras mencari informasi tentang pulau itu, mulai dari buku-buku sejarah, internet, bahkan hingga cerita legenda. Namun, semua upaya mereka rasanya sia-sia.

Tiba-tiba ponsel Nala berdering, terlihat ada panggilan masuk dari Jendra.

"Halo Jen." Ucapnya setelah menekan tombol hijau pada layar ponsel.

"Halo Na, gue di depan nih sama Juna, Jingga. Buka pintunya dong!"

"Nggak dikunci masuk aja, gue di kamar." Jawab Nala.

"Oke"

Nala pun mematikan sambungan teleponnya dan lanjut duduk di karpet lantai bersama dengan Harsa. Sementara Cakra berada di atas kasur merebahkan diri sembari membaca buku teori konspirasi.

"Siapa?" Tanya Harsa.

"Jendra, kesini bareng Juna sama Jingga." Jawabnya.

"Oh"

Huft

Terdengar suara helaan nafas yang ketara sekali menyiratkan keputusasaan. Suara itu terdengar dari atas kasur.

"Kenapa, Cak?" Tanya Harsa.

Cakra menoleh melihat kedua kakak tingkatnya dengan mata berkaca-kaca.

"Eh lo nangis?" Tanya Nala khawatir, ia segera mendekati Cakra untuk melihat keadaannya.

"Kak, kayanya pulau itu cuma mitos, atau kalau nggak cuma imajinasi deh." Ucap Cakra kecewa. Padahal beberapa hari yang lalu Cakra merasa menemukan petunjuk setelah sekian lama mencari bersama Harsa, namun sama saja ternyata hanya jalan buntu yang didapat.

"Gue pengin pulang, kak." Terdengar suara Cakra bergetar menahan isakan.

Cakra itu anak terakhir di keluarganya, ia sangat dimanja oleh orang tua dan kakak lelakinya. Hidup di dunia yang tak ada sosok yang ia sayangi membuatnya merasa amat sangat rindu. Kehidupan yang ada disini memang tidak buruk, hanya saja ini bukan kehidupan yang ia tau.

Mendengarnya Nala segera membawa sang adik untuk duduk dan memeluknya, "Gue juga." Ucap Nala. Sementara Harsa duduk di dekat mereka berdua dan mengelus punggung Cakra mencoba menenangkan.

"Hello brothers." pintu kamar Nala terbuka, membuat seluruh atensi berpindah ke seseorang yang membawa banyak cemilan itu.

"Eh, kok lagi pada nangis."

---

Keenam bersahabat itu kini tengah duduk bersama di dalam kamar Nala, membuat kamar yang tidak terlalu besar itu terlihat sempit. Sesudah acara bersedih yang tidak diketahui alasannya oleh Jendra, Juna, dan Jingga mereka memutuskan untuk bergabung saja di dalam kamar, saat ditanya kenapa Cakra menangis hanya di jawab gelengan kepala oleh yang bersangkutan.

"Kalian lagi ngapain belajar serius banget?" Tanya Juna melihat banyak tumpukan buku di dalam kamar Nala, "Atau malah nggak belajar?" Lanjutnya melihat buku-buku itu bukan buku pelajaran.

"Kalian lagi memecahkan rahasia konspirasi dunia atau gimana?" Tanya Jendra sedikit terkekeh melihat judul-judul buku yang dibaca sahabatnya.

Nala, Harsa, dan Cakra sedikit kesal mendengarnya, tidak tau saja bahwa ini terkait hidup dan mati mereka.

Jingga yang sedari tadi diam mendengarkan ocehan kakak-kakaknya tidak sengaja melihat satu buku di samping Nala, terlihat lusuh sekali tidak seperti buku-buku yang lain.

"Apa ini, kak?" Tanyanya meraih buku itu.

"Oh, buku biasa itu pinjam di perpustakaan." Jawab Nala tak ingin menjelaskan banyak tentang buku itu.

Jingga membuka lembaran-lembaran buku yang dipegangnya, "Eh, ini kan kampung nenek." Ucapnya melihat gambar sebuah pulau.

"Hah?" Ucap Nala, Harsa, dan Cakra bersamaan, ketiganya dengan cepat langsung menghampiri Jingga dengan raut wajah terkejut.

"Kampung nenek lo maksudnya apa, Ji?"

"Lo tau pulau ini, Ji?"

"Kasih tau gue dimana lokasinya, Ji!"

Mereka bertiga langsung memberikan pertanyaan beruntun pada adik mereka yang paling muda.

Jingga menoleh, sedikit terkejut diberi pertanyaan sebanyak ini. "Satu-satu, kak!" Ucapnya.

Jendra dan Juna yang juga penasaran menghampiri mereka, mata Juna sedikit mengintip pada buku yang dipegang Jingga. "Eh, iya ini mirip bentuk pulau kampung nenek lo, Ji." Ucapnya.

Juna memang mengetahui kampung nenek Jingga, ia pernah berkunjung kesana menemani sang adik mengunjungi neneknya. Walau agak samar-samar Juna ingat bentuk pulau itu saat melihat di maps dulu, bentuknya yang unik menyerupai bunga membuatnya terpatri dalam otak kecilnya.

"Lo tau dimana pulau ini, Ji?" Tanya Harsa lagi.

Jingga mengangguk, "Tau bang, ini nggak jauh kok." Ucapnya.

"Ji, lo harus bawa kita kesana cepat-cepat. Penting banget!" Cakra mengguncangkan bahu Jingga.

"Iya-iya santai, Cak!"

Nala yang mendengarkan keributan didepannya menghela nafas lega, akhirnya ada sedikit petunjuk lain setelah mencari berhari-hari. Sungguh Nala sangat ingin pulang ke rumahnya, ke kehidupan yang sebenarnya.

-To be continued-