Hari mulai beranjak malam, dan kegelapan mulai menyelimuti hutan. Jendra yang mulai merasa sulit melihat segera membuka ranselnya dan mengambil sebuah senter, diikuti juga oleh Juna dan Nala yang sama-sama membawa benda itu.
"Udah ketemu kan? Ayo balik, kita udah terlalu lama di dalam hutan." Ucap Jendra.
"Kita nggak bisa pulang sekarang," jawab Mahen tegas, meski suaranya tetap tenang. "Gue yakin ada sesuatu di sini dan kita harus menemukannya." Ujarnya.
"Apa lagi yang sebenarnya kita cari? Ini cuma pohon tua!" Jelas Jendra, "Kalau masih ada yang mau dicari besok aja, ini udah mulai malam!"
Juna menghela nafas panjang sembari memeriksa jam tangannya. "Bang Mahen, gue paham lo lagi semangat, tapi serius deh apa yang perlu kita cari lagi? Pohon ini nggak ngomong atau ngasih petunjuk apa-apa."
Nala mengalihkan perhatiannya mendengar ucapan Juna, mencoba mengabaikan komentar itu. "Gue dengar sesuatu," ucapnya sambil tetap menatap pohon besar itu. "Ada suara yang manggil gue."
"Suara apa?" Tanya Jingga.
"Nggak usah aneh-aneh Na, ini cuma pohon." Sahut Jendra.
"Gue juga nggak tau, tapi gue yakin banget gue dengar ada yang manggil gue, dan gue pernah dengar suara itu sebelumnya." Tutur Nala.
Karena merasa Mahen dan Nala akan tetap memaksa untuk tinggal dan mencari entah apa itu, akhirnya mereka semua sepakat untuk berpencar. Mereka mulai menyebar di sekitar pohon besar itu, masing-masing berusaha mencari petunjuk apa pun yang mungkin ada.
Mahen mengamati batang pohon dengan seksama, matanya menelusuri setiap alur dan retakan di kayu yang tampak kokoh. Sementara itu Nala berjalan memutari pohon, mencoba menyentuh cabang yang rendah seolah mencoba merasakan sesuatu.
"Apa yang sebenarnya kita cari?" tanya Juna, bersandar di salah satu akar besar pohon itu. Ia terlihat mulai kehabisan kesabaran.
"Entahlah," jawab Harsa dari sisi lain pohon. "Tapi kalau Nala dengar sesuatu, mungkin memang ada yang harus kita temukan di sini." Lanjutnya.
Jendra yang sudah mulai lelah duduk di atas salah satu akar pohon, tangannya bergerak memainkan sebuah ranting kecil. "Serius deh, ini buang-buang waktu banget, nggak ada apa-apa di sini."
"Bener." Sahut Juna.
Namun Mahen mengabaikan keluhan itu, ia melangkah lebih jauh memeriksa area di sekitar akar yang mencuat dari tanah.
"Ada sesuatu yang aneh sama pohon ini, kaya ada yang tersembunyi."
"Anomali yang lo bicarain dari tadi nggak jelas, Bang." Komentar Jingga sembari melangkah menjauh. Ia mendekati batu besar yang menempel pada tanah tinggi tak jauh dari pohon. Tangan kanannya tanpa sengaja menyentuh permukaan batu itu, dan ia merasakan sesuatu yang berbeda. "Eh, tunggu, ini kaya ada celah."
Jingga menatap lebih dekat batu besar yang awalnya akan ia jadikan sandaran untuk beristirahat. Tangannya menyisir permukaan batu itu dengan hati-hati.
"Bang, Kak! Ini ada sesuatu!" serunya.
"Apa lagi sekarang?" keluh Juna sambil berjalan mendekat.
Jingga menunjuk bagian samping batu yang sedikit terlihat celah. "Lihat, di sini kaya ada celah kecil."
"Bisa aja itu lubang biasa."
"Iya, lubang ular kali."
Nala yang mendengar itu langsung berjalan mendekat, begitu pula Mahen dan Harsa. Nala berdiri di samping Jingga, memeriksa lebih dekat batu itu.
"Coba deh kita geser batunya, mungkin memang ada sesuatu di baliknya." Ucap Nala, ia tidak ingin mengabaikan petunjuk sekecil apapun yang ditemukan.
"Ya udah, ayo pindahin batunya!" usul Harsa, yang mulai berjalan menghampiri Jingga.
Jingga mencoba mendorong batu itu dengan sekuat tenaga, tapi batu itu tak bergerak sedikitpun. "Ini nggak bisa digeser sendirian," ucapnya sembari menghela nafas.
"Geser bareng-bareng aja," usul Harsa. Ia meletakkan kedua tangannya di sisi batu dan mulai mendorong.
"Hadeh, ya udah ayo. Gue udah pengin banget pulang." Ucap Jendra sebelum berjalan mendekat ingin membantu Harsa dan Jingga.
Batu itu mulai bergeser sedikit demi sedikit. Suara gesekan keras terdengar saat batu besar itu perlahan berpindah tempat, meninggalkan jejak yang sangat terlihat. Mereka terus mendorong hingga akhirnya batu itu bergeser cukup jauh untuk memperlihatkan sesuatu di baliknya. Tampak sebuah lubang gelap yang cukup besar untuk dilewati oleh satu orang dewasa.
Mereka semua terdiam, menatap lubang itu dengan rasa campur aduk antara penasaran dan takut.
"Apa ini?" tanya Nala, suaranya terdengar sangat lirih.
Nala mengangkat senternya dan menyorotkan cahaya ke dalam lubang itu. "Kayaknya ini goa atau lorong gitu deh," ucapnya, mencoba melihat sejauh mungkin ke dalam gelapnya lubang itu.
Kaki Nala berjalan mendekati lubang itu, "Ini bukan lubang biasa. Kayaknya ini buatan manusia deh, soalnya ini terlalu rapi untuk dibuat hewan."
"Kita masuk?" tanya Harsa.
"Masuk ke situ? Jangan gila deh!" Juna memelototi Harsa. "Kita bahkan nggak tahu apa yang ada di dalam. Bisa aja ada hewan buas atau sarang ular di sana."
"Tapi kalau kita nggak coba kita nggak akan pernah tahu," sahut Cakra dengan suara mantap.
Jendra mengangkat tangannya, seolah ingin menghentikan mereka. "Tunggu guys, coba pikirin lagi! Kita ini di tengah hutan, ini bisa jadi jebakan atau sesuatu yang berbahaya. Gue nggak yakin ini ide yang bagus."
"Kalau lo takut tunggu di luar aja," ujar Harsa. "Tapi gue yakin ini penting, kita nggak mungkin nemuin lubang ini tanpa alasan."
---
Setelah perdebatan singkat akhirnya mereka semua sepakat untuk masuk, meskipun Juna masih terlihat enggan. Mereka menyusun urutan dengan Harsa di depan membawa senter, diikuti oleh Nala, Mahen, Jingga, Jendra, dan Juna di belakang.
Lubang itu terasa seperti lorong yang sempit dan panjang. Udara di dalam terasa dingin, dan dindingnya lembab, menunjukkan bahwa tempat ini sudah lama tidak tersentuh.
"Ini panjang banget," gumam Jingga setelah beberapa menit berjalan. "Gue takut."
Beberapa langkah kemudian lorong itu akhirnya berakhir, mengarahkan mereka ke sebuah ruangan besar di dalam tanah yang langsung membuat mereka semua terdiam.
"Astaga." Ucap Nala, ia sangat terkejut dengan apa yang matanya lihat.
Ruangan itu terlihat seperti sebuah laboratorium modern. Meja-meja panjang dipenuhi dengan alat-alat canggih, tabung reaksi, layar komputer, dan berbagai dokumen yang berserakan. Di sudut ruangan, ada tangki kaca besar dengan cairan aneh yang memancarkan cahaya redup.
"Apa-apaan ini?" tanya Cakra entah pada siapa, matanya membesar.
Mahen berjalan mendekati salah satu meja, mengamati alat-alat yang ada di sana. "Ini, ini kaya tempat eksperimen," ucapnya.
"Kenapa ada tempat kaya gini di tengah hutan?"
Juna yang rasa penasarannya mulai memuncak menatap Nala tajam. "Oke, gue nggak peduli lagi. Sekarang kalian semua harus jelasin apa yang sebenarnya terjadi! Ini udah terlalu aneh buat gue abaikan."
Nala terdiam, ia menghela nafas panjang. Matanya menatap Harsa, Mahen, dan Cakra bergantian seolah meminta persetujuan. Setelah beberapa saat, ia akhirnya angkat bicara.
"Jun, mungkin yang gue ucapin bakalan nggak bisa di nalar sama lo, atau bahkan mungkin lo bakalan mikir kalau gue gila. Tapi yang jelas Jun, gue bukan berasal dari dunia ini," ucapnya pelan. "Lebih tepatnya gue, Harsa, Cakra, dan mungkin Bang Mahen bukan dari dunia ini."
"Hah?"
"Kak, nggak usah bercanda yang aneh-aneh deh."
"Apa maksudnya?"
Juna, Jendra, dan Jingga sangat terkejut mendengar penuturan sahabatnya. Apa maksudnya itu? Bukan dari dunia ini? Gila, Nala sudah gila.
"Gue dan yang lain terjebak di sini, Jun." Ucap Harsa, melanjutkan ucapan Nala. "Ini bukan dunia gue, dan kami pikir ini mungkin aja dunia paralel."
Juna menatap mereka dengan ekspresi tak percaya. "Lo bercanda, kan?"
"Nggak, gue nggak bercanda." jawab Nala tegas.
"Dan sekarang, setelah ngeliat tempat ini, gue mulai berpikir..." Nala menjeda kalimatnya, "... mungkin ada yang sengaja ngebawa gue ke sini."
Memang benar tadinya Nala dan yang lainnya percaya bahwa mereka berada di dunia paralel. Tapi, setelah melihat laboratorium ini Nala menjadi berpikir lain. Jika laboratorium ini adalah tempat eksperimen, maka ada kemungkinan ia sengaja dibawa menggunakan eksperimen-eksperimen yang mungkin sudah di lakukan di sini.
---
Juna, Jendra, dan Jingga masih terkejut setelah penjelasan panjang sahabat-sahabatnya. Mereka mulai menyadari kenapa temannya itu berperilaku aneh, apalagi setelah sampai di pulau ini.
Walau sedikit ragu akhirnya mereka memutuskan untuk lanjut membantu, mencari apapun petunjuk yang bisa menolong temannya itu.
Mereka semua kembali berpencar, menelisik setiap sudut laboratorium. Terasa sekali tempat ini sudah lama tak dikunjungi, terbukti dari debu-debu yang mereka rasakan.
Jingga yang masih sedikit linglung dengan kebenaran yang ia ketahui mencoba mengalihkan pikirannya. Ia berjalan mendekati salah satu meja panjang yang penuh dengan tumpukan dokumen, mencoba menyentuh map berdebu yang tertutup sebagian oleh kabel-kabel kecil. Cahaya senter dari ponselnya ia arahkan ke dokumen itu, dengan rasa penasaran ia membuka salah satu map dan mulai membaca isinya.
"Abang, kak, kalian harus lihat ini!" Ucapnya tiba-tiba, suaranya terdengar tegang namun mampu mengalihkan atensi semua orang.
Satu per satu teman-temannya mendekat, berkumpul mengelilingi Jingga yang masih memegang map itu dengan tangan gemetar. Dokumen yang ia pegang tampak seperti laporan resmi dengan sebuah gambar mawar di sudut kanan atasnya.
"Ini, ini benar-benar tentang sebuah eksperimen," ucap Jingga dengan suara serak. Ia membaca lebih lanjut, matanya menyapu cepat halaman pertama.
"Mereka menulis tentang..." "... menciptakan sesuatu yang disebut 'Dunia Impian'"
"Dunia impian?" Jendra mengulang dengan nada tidak percaya. "Seriusan? Yang kaya dongeng gitu?"
"Iya, tapi mungkin yang satu ini nyata." Jingga melanjutkan membaca dokumen itu. "Di sini tertulis, orang-orang yang melakukan eksperimen ini mencoba membuat dunia yang sempurna untuk seseorang. Sebuah dunia yang akan memenuhi keinginan terdalam individu tertentu, di mana semua hal berjalan seperti yang mereka impikan."
Jingga berhenti membaca, wajahnya berubah serius. Teman-temannya yang mendengar itu semua tampak bingung, sebagian mulai merasa gelisah.
Jingga menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan membaca. "Untuk menciptakan dunia impian itu, mereka membutuhkan orang-orang dari dunia yang berbeda. Orang-orang yang hidupnya dianggap tidak bahagia, bermasalah, atau... tidak diinginkan di dunia asal mereka."
Semuanya langsung terdiam, memproses informasi tersebut. Mata mereka saling berpandangan, mencari jawaban yang sama sekali tak didapatkan.
"Jadi, mereka beneran sengaja ngebawa orang-orang kaya kita dari dunia lain?" tanya Nala, suaranya mulai bergetar.
"Kemungkinan besar," jawab Jingga pelan.
"Kenapa mereka ngelakuin ini? Apa tujuan mereka?" tanya Nala, rasa penasaran dan cemas bercampur dalam suaranya.
"Gue juga nggak tau, kak."
"Gue rasa, untuk tau jawaban pertanyaan itu kita harus cari tau lebih lanjut. Dan lagi informasi ini nggak cukup buat tau gimana cara kita pulang." Ucap Mahen.
"Ya, tapi gimana caranya?" Sahut Jendra, ia mulai merasa bingung dan kesal. Sungguh otaknya sedari tadi terasa seperti tak mampu memproses apapun lagi.
"Kita bahkan nggak tahu siapa orang-orang ini. Kita cuma nemuin dokumen dan laboratorium rahasia, apa yang bisa kita lakuin?"
Jingga meletakkan dokumen itu di atas meja dan membuka map lain. Ia mulai membaca dokumen-dokumen lain itu dengan teliti. "Kita bawa ini semua," ucapnya final. "Ada banyak informasi di sini, mungkin kita bisa baca lebih lanjut dan pikirin kesimpulannya nanti."
Nala mengangguk setuju. "Benar, kalau kita tinggalin ini di sini bisa aja kita kehilangan petunjuk penting. Dan kita juga nggak bisa lama-lama di sini, mau nggak mau harus kita bawa pulang."
"Tapi gimana kalau orang-orang yang bikin tempat ini datang lagi?" tanya Juna khawatir. "Gue nggak mau terjebak di dalam masalah yang lebih besar."
"Kita nggak punya pilihan lain," sahut Harsa tegas. "Kalau ini adalah petunjuk tentang kenapa kita ada di sini, kita harus ambil resikonya."
Akhirnya, setelah perdebatan singkat mereka memutuskan untuk membawa pulang dokumen-dokumen itu. Jingga, Nala, dan Harsa dengan cepat mengumpulkan map-map yang mereka anggap penting, memasukkannya ke dalam tas yang mereka bawa.
Setelah semuanya selesai, dengan cepat mereka melangkah keluar dari laboratorium. Langkah mereka terasa berat, memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.
Dalam perjalanan kembali melalui lorong gelap, Nala berjalan di belakang Harsa, "Sebenarnya apa tujuan semua ini?" Ucapnya pelan.
Harsa yang berjalan di depan mendengar pertanyaan itu dan sedikit menoleh ke belakang. "Gue juga nggak tau Na. Tapi satu hal yang gue yakini setelah ngeliat semua ini, kalau kita benar-benar dari dunia lain gue yakin kita nggak ada di sini secara kebetulan. Pasti ada sesuatu di baliknya"
Mereka semua mendengar ucapan Harsa dan terdiam, terutama Nala, Cakra, dan Mahen yang membiarkan kata-kata Harsa bergema di kepala mereka. Entah bagaimana, mereka merasa apa yang terjadi pada mereka memang bukanlah sebuah kebetulan.
-To be Continued-