Butuh perjuangan besar untuk membawa kembali tumpukan dokumen yang mereka temukan di laboratorium. Setelah keluar dari goa itu mereka dihadapkan kembali dengan kesulitan dimana mereka masih tersesat di dalam hutan. Untungnya keberuntungan bersama mereka. Setelah mencari jalan keluar dari malam hingga dini hari, akhirnya mereka berhasil keluar.
Begitu sampai di kediaman nenek Jingga, mereka semua disambut dengan tangisan kelegaan setelah sang nenek menunggu hampir 24 jam. Mereka pun akhirnya berpisah dengan Mahen, dan membuat janji temu siang nanti setelah beristirahat untuk membahas lebih lanjut dokumen-dokumen itu. Mereka tentu saja butuh tidur, berada di hutan dari pagi hingga dini hari tentu sangat menguras energi mereka, apalagi mereka hanya membawa satu bekal untuk dimakan.
Dan disinilah mereka sekarang, berkumpul di kediaman Mahen untuk mencari tau isi dokumen yang mereka temukan. Dengan hati-hati mereka membuka lembar demi lembar, membaca dengan penuh ketelitian. Pada awalnya, isi dokumen-dokumen itu terlihat seperti catatan ilmiah biasa. Ada tabel-tabel, grafik, dan data yang sulit mereka pahami. Namun, di antara semua itu, mereka menemukan beberapa bagian laporan yang langsung menarik perhatian. Salah satu halaman berisi pernyataan yang membuat dada mereka berdebar.
"Dunia ini bukan ilusi, dunia ini nyata. Setiap individu yang diambil dari dunia mereka sebelumnya dipindahkan ke sini melalui teknologi dimensi. Dunia paralel ini telah ada secara alami, namun manusia hanya memanfaatkan teknologi untuk mengontrol akses ke dalamnya. Dalam eksperimen ini, subjek tidak hanya diuji pada penyesuaian psikologis, tetapi juga pada pengaruh dimensi baru terhadap ingatan dan identitas mereka."
Mereka membaca paragraf itu berkali-kali. Nala merasa seperti ada yang menekan dadanya. "Jadi... dunia ini nyata?" gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Mahen yang duduk di sampingnya mengangguk pelan. "Kalau ini benar, berarti dunia ini sama nyatanya dengan dunia yang kita tinggalkan."
"Gue sebenarnya nggak terlalu paham sama ini semua, tapi kalau kalian memang meragukan dunia yang gue tempati ini maka kalian salah besar. Gue sebagai manusia yang udah hidup di dunia ini dari gue lahir sampai sekarang, tanpa jadi orang yang datang dari dunia lain atau apalah itu, gue dengan yakin bilang emang dunia ini nyata. Nggak mungkin dunia ini palsu secara gue dengan kesadaran penuh benar-benar hidup disini." Jelas Juna panjang lebar. Jendra yang di sampingnya menganggukkan kepala menyetujui.
"Betul apa yang diomongin Juna. Gue juga dari lahir sampai gede benar-benar hidup disini, gue nggak pernah ngerasa di kontrol atau apapun yang bikin gue ngerasa ini bukan dunia betulan." Tutur Jendra.
"Tapi…" Cakra mulai bersuara, tangannya memegang kepalanya seolah berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. "Kalau dunia ini nyata, lalu dunia yang sebelumnya? Dunia tempat kita berasal? Apa itu juga nyata? Atau cuma... ilusi yang mereka tanamkan ke dalam kepala kita? Sebenarnya dunia yang asli yang mana sih?"
Semuanya terdiam, pertanyaan Cakra menusuk mereka semua. Dunia yang mereka ingat dengan keluarga, teman, dan kehidupan sehari-hari, terasa sangat nyata. Namun, kehidupan di dunia ini juga terasa nyata. Mereka bisa merasakan tanah di bawah kaki mereka, udara yang mereka hirup, dan bahkan emosi yang nyata yang hinggap dalam diri mereka.
"Gue ngerasa..." Nala mulai bicara lagi, meski suaranya penuh dengan keraguan. "... kalau ingatan kita terlalu sempurna di dunia ini, terlalu detail. Kita bisa ingat nama-nama kecil, tempat-tempat yang bahkan jarang kita kunjungi."
Harsa yang sejak tadi diam akhirnya mengangkat wajahnya. "Mungkin ingatan itu bukan milik kita," ucapnya pelan. "Mungkin ingatan itu milik tubuh kita di dunia ini. Tapi jujur aja gue juga bingung. Gue di kehidupan sebelumnya juga adalah Harsa, gue ngerasain hidup sebagai Harsa di sana dari gue lahir sampai akhirnya gue berakhir di sini. Tapi, ingatan tubuh ini pun emang rasanya terlalu nyata, terlalu nyata sampai gue ngerasa memang gue yang ngalamin." Harsa menundukkan kepalanya sebelum berucap dengan suara yang amat sangat lirih. "Sebenarnya kita... kita yang sekarang ini... siapa kita sebenarnya?"
Pertanyaan Harsa membuat suasana semakin berat. Mereka tidak hanya meragukan dunia tempat mereka berada, tetapi juga diri mereka sendiri. Jika ingatan mereka bisa dimanipulasi, maka apa yang sebenarnya menjadi identitas mereka?
"Kenapa kita?" tanya Mahen tiba-tiba, suaranya penuh frustrasi. "Kenapa mereka memilih kita? Apa yang mereka lihat dalam diri kita sampai kita jadi subjek eksperimen ini?"
Tak ada yang bisa menjawab. Mereka semua merasa seperti bidak dalam permainan besar yang tak mereka pahami.
---
Meskipun diliputi ketakutan dan kebingungan, mereka sepakat untuk kembali ke pohon besar itu. Mereka merasa bahwa jawaban atas pertanyaan mereka mungkin masih tersembunyi di sana.
"Kemarin kita pergi dari hutan dengan terburu-buru, gue yakin pasti masihada informasi yang tertinggal di sana." Ucap Mahen saat mereka berdiri di depan pintu masuk lorong yang gelap.
Kali ini, mereka lebih berhati-hati. Dengan senter yang mereka bawa, mereka menyoroti jalanan sempit dan licin di dalam lorong itu. Bau lembap menyengat di hidung mereka, membuat mereka menahan nafas sembari terus melangkah.
Saat sampai di laboratorium, mereka berpencar kembali mencari apapun yang dapat dijadikan petunjuk. Hingga mereka melihat sebuah komputer yang menarik perhatian, membuat mereka melangkah mendekat ke ujung ruangan dimana benda itu berada.
"Coba hidupkan," perintah Nala sambil menunjuk ke arah tombol daya di komputer itu.
Mahen menekan tombol tersebut. Untuk beberapa detik tak ada yang terjadi. Namun, perlahan layar monitor mulai menyala. Mereka saling memandang dengan campuran perasaan takut dan lega.
Mahen segera mengotak-atik komputer itu, membuka beberapa folder yang ada di sana. Ada beberapa file dengan nama yang mencurigakan, seperti "Subjek Eksperimen", "Protokol Dimensi", dan "Laporan Akhir (Draft)".
"Mulai dari yang ini," kata Nala, menunjuk file bertuliskan "Subjek Eksperimen".
Di dalam file itu mereka menemukan daftar nama-nama, termasuk nama mereka di dalamnya. Namun, yang membuat mereka terkejut adalah karena di sana ada banyak sekali nama tertera dengan banyak dari nama-nama itu sudah dilabeli dengan warna merah. Di samping setiap nama, ada catatan singkat tentang kehidupan, kepribadian, bahkan informasi seperti masa kecil, nama orang tua, alamat, dan orang terdekat lain tertera di sana.
Mereka membaca deskripsi itu dengan hati yang berat, ternyata mereka telah dipelajari sebelum dibawa ke dunia ini. Semua yang mereka lakukan, pikirkan, dan rasakan telah dianalisis.
"Mereka tahu banyak tentang kita." Ucap Nala begitu membaca deskripsi tentang dirinya. "Mereka tahu lebih banyak daripada yang kita tahu tentang diri kita sendiri."
Mahen melanjutkan membuka file berikutnya, yang berjudul "Protokol Dimensi". Isinya menjelaskan teknologi yang memungkinkan perpindahan antar-dimensi. Namun, di akhir file, ada catatan yang membuat bulu kuduk mereka berdiri.
"Eksperimen ini bertujuan menciptakan 'keseimbangan multiversal' dengan cara memilih individu-individu tertentu untuk dipindahkan ke dimensi lain. Pemilihan berdasarkan faktor kecenderungan psikologis, kepribadian, dan kemungkinan dampak terhadap dunia yang mereka tinggalkan."
"Keseimbangan multiversal?" ulang Cakra, bingung. "Apa maksudnya? Mereka bawa kita ke sini untuk apa?"
Tidak ada yang bisa menjawab, pertanyaan itu hanya menambah lapisan kebingungan dalam pikiran mereka.
Saat mereka terus membaca file di komputer, tiba-tiba alat-alat di laboratorium mulai mengeluarkan suara aneh. Monitor berkedip-kedip, dan suara dengungan yang semakin keras mulai memenuhi ruangan.
"Apa yang terjadi?" tanya Harsa dengan nada panik.
"Kayaknya kita udah nyentuh sesuatu yang nggak seharusnya!" teriak Jingga. "Kita harus keluar sekarang!"
Mereka semua segera berdiri, meninggalkan komputer dan berlari ke arah pintu keluar lorong goa. Di belakang mereka, suara-suara aneh semakin keras terdengar, seolah ada sesuatu yang tidak stabil di dalam laboratorium.
Mereka berlari sekuat tenaga, mengabaikan percikan air yang diakibatkan langkah cepat mereka. Saat mereka berhasil keluar dari lorong itu, sebuah ledakan besar terdengar dari dalam. Getarannya terasa hingga ke tanah di bawah kaki mereka. Mereka berbalik, melihat api mulai menjalar dari keluar dari dalam laboratorium.
"Lihat pohon itu!" teriak Cakra sembari menunjuk ke arah pohon besar yang menjadi penanda tempat tersebut.
Pohon itu mulai terbakar, api menjalar dari akar ke batangnya yang menjulang tinggi. Dalam hitungan menit, pohon besar yang kokoh itu mulai runtuh perlahan, menimbulkan suara gemuruh yang menggetarkan udara.
"LARI! JANGAN SAMPAI KEJATUHAN DAHANNYA!" Teriak Jendra, menyadarkan mereka yang masih diam melihat api yang mulai membesar.
Setelah merasa sudah cukup jauh mereka segera duduk mengistirahatkan tubuh mereka yang berkeringat.
"Pohon itu... habis," gumam Nala.
Mereka hanya bisa diam, setelah menyaksikan kehancuran pohon besar itu bersama laboratorium yang ada di bawahnya. Semua petunjuk yang ada di tempat itu telah hilang.
---
Setelah api mereda mereka duduk di tepi hutan. Beruntung kebakaran itu tidak menjalar cukup jauh dan melahap habis seluruh hutan. Walau begitu rasa bingung dan hampa kini menguasai hati mereka.
"Kita kehilangan semuanya," ujar Harsa, suaranya berat.
"Belum semuanya," Mahen mencoba menghibur. "Kita masih punya dokumen-dokumen yang kita bawa, kita masih bisa mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
"Tapi, gimana caranya?" tanya Nala. "Kita nggak tahu harus mulai dari mana. Dan kalau eksperimen ini belum selesai, apa itu berarti mereka masih mengawasi kita?"
Pertanyaan Nala membuat semua terdiam. Pikiran bahwa mereka mungkin masih diawasi membuat mereka semakin tidak nyaman.
"Kalau mereka benar-benar mengawasi kita," kata Mahen akhirnya, "maka kita harus siap, kita nggak boleh menyerah, kita akan cari tahu apa yang terjadi, siapa yang melakukan ini, dan kenapa harus kita."
Meski penuh dengan ketidakpastian, mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Meskipun laboratorium itu telah hancur, mereka masih memegang sisa-sisa dokumen yang bisa menjadi kunci untuk memahami misteri yang menyelimuti mereka.
-To be Continued-