Masuk Dalam Genggaman

Hari-hari berlalu sejak ledakan besar yang menghancurkan laboratorium di bawah pohon besar itu. Meski kehilangan salah satu sumber informasi paling penting, Nala dan teman-temannya tidak menyerah. Mereka yakin bahwa jawaban yang mereka cari masih ada di dunia ini. Sisa-sisa dokumen yang berhasil mereka bawa menjadi satu-satunya petunjuk yang tersisa.

Setelah berhari-hari tinggal di kediaman nenek Jingga, akhirnya mereka memutuskan kembali. Ya, bagaimanapun masih ada kehidupan sehari-hari mereka yang menanti.

Oh ya, saat Nala dan teman-temannya pergi keluar pulau bersama Mahen, ia mengetahui bahwa pemuda yang satu tahun lebih tua darinya itu ternyata adalah kakak tingkatnya di kampus. Mahen ternyata mengajukan cuti agar ada waktu untuk mencari tau tentang semua misteri yang dialaminya.

Malam ini, Nala berada di kamarnya dan dengan serius membaca ulang salah satu dokumen. Wajahnya yang biasanya tenang terlihat penuh dengan kegelisahan.

Nala tak sendiri, tentu saja ada teman-temannya yang berkumpul di sana. Menjadikan kamar Nala sebagai base camp mereka.

"Ada sesuatu yang kita lewatkan," gumam Nala sembari menunjuk salah satu paragraf dalam laporan itu. "Di sini disebutkan kalau eksperimen ini dikendalikan oleh sebuah organisasi bernama Black Roses. Tapi nggak ada detail lain tentang siapa mereka? Atau apa tujuan mereka yang sebenarnya?"

"Mungkin mereka cuma organisasi ilmiah biasa yang ingin tahu tentang dimensi lain." Sahut Jingga.

"Tapi kalau ini cuma organisasi biasa, kenapa mereka sembunyikan semuanya? Kenapa harus ada laboratorium di bawah tanah di tengah hutan?" Cakra menambahkan.

Tidak ada yang bisa menjawab tentu saja. Hening melingkupi ruangan kecil itu, hanya suara angin malam yang terdengar dari celah-celah jendela.

Namun, keheningan itu tiba-tiba pecah oleh suara Harsa.

"Ada satu cara untuk kita tahu lebih banyak," katanya mantap. "Kita harus mencari tau tentang Black Roses, mereka nggak mungkin nggak meninggalkan jejak." Ucap Harsa, ia menunjuk sebuah alamat yang tertulis pada dokumen lain yang sebelumnya ia baca.

---

Keesokan paginya, mereka memulai perjalanan. Dengan membawa dokumen dan beberapa bekal seadanya mereka meninggalkan rumah Nala. Menurut alamat yang mereka temukan di salah satu dokumen, ada sebuah kota bernama kota langit yang disebut sebagai salah satu lokasi pengamatan eksperimen. Awalnya mereka bingung apa yang dimaksud kota langit, karena mereka belum pernah mendengarnya sama sekali. Setelah berusaha mencari akhirnya mereka tau, bahwa kota langit itu adalah julukan sebuah kota yang cukup jauh dengan kota mereka tinggal. Butuh setidaknya 10 jam perjalanan menggunakan mobil untuk sampai di sana. Dengan keberanian penuh mereka pergi, berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut.

Di dalam perjalanan yang menggunakan mobil Nala itu, mereka bersenda gurau mengalihkan pikiran cemas dan takut yang hinggap pada diri mereka.

"Lo beneran nggak apa-apa ikut, Jun?" Tanya Nala yang tengah menyetir, setahunya Juna itu tidak ingin terlibat terlalu dalam pada masalah ini.

Juna yang duduk di sampingnya menoleh, "demi sahabat-sahabat gue nggak apa-apa, Na."

Nala tersenyum mendengarnya, ia berjanji pada dirinya sendiri setelah semua ini selesai ia akan memberikan hadiah besar untuk Juna, Jendra, dan Jingga.

Berjam-jam mereka duduk di dalam mobil akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan. Di kota itu Nala dapat merasakan sesuatu yang aneh. Jalanan terasa terlalu sepi untuk kota sebesar itu, dan orang-orang yang mereka temui hanya memberikan tatapan singkat sebelum bergegas pergi.

"Kenapa mereka terlihat takut?" Tanya Nala.

"Entahlah, gue juga nggak tau." Sahut Harsa yang ada di belakangnya.

Mereka akhirnya menemukan sebuah cafe kecil di sudut jalan. Begitu masuk, mereka disambut seorang wanita dengan dengan senyuman tipis, mungkin pelayan cafe.

Memilih meja paling ujung dekat dengan kaca cafe, mereka dengan bergantian mengucapkan pesanan mereka.

Sembari pelayan cafe menulis pesanan mereka, Nala dan teman-temannya membicarakan tentang Black Roses, berdiskusi tentang langkah selanjutnya setelah mereka sampai di kota ini.

"Apa tujuan kalian datang ke sini?" Tanya pelayan cafe itu tiba-tiba.

Nala langsung mengalihkan atensinya ke arah wanita yang tengah berdiri itu. "Maaf, maksudnya?" Tanya Nala, menurutnya sedikit aneh jika ada orang yang tidak ia kenal sama sekali tiba-tiba bertanya mengenai tujuannya datang ke kota lain.

"Saya tadi dengar anda bilang sesuatu tentang Black Roses." Ucap wanita itu, sedikit memelankan suaranya di bagian akhir.

"Ah iya mba, kami datang kesini untuk mencari tau info tentang Black Roses. Mba mungkin ada tau sesuatu tentang Black Roses nggak ya?" Tanya Harsa. Nala sedikit kesal mendengarnya karena pria gemini itu dengan terang-terangan mengucapkan tujuan mereka.

Wajah wanita itu langsung berubah pucat. Ia melirik ke luar jendela sebelum membungkuk mendekati mereka. "Kalian nggak seharusnya bicara soal itu di sini," bisiknya. "Mereka mengawasi semuanya."

Seketika mereka semua langsung merasa bingung.

"Siapa mereka?" tanya Harsa.

Wanita itu menggelengkan kepala. "Maaf tapi saya juga nggak tahu banyak dan saya nggak bisa jawab apa-apa. Kalau kalian cerdas, kalian akan pergi dari kota ini sebelum mereka menemukan kalian."

---

Saat malam mulai datang mereka memutuskan menginap dan mencari hotel terdekat. Namun, anehnya setelah menjalankan mobilnya dan berkeliling selama satu jam mereka tak menemukan satu pun penginapan.

"Kok nggak ada hotel sih?" Ucap Cakra kesal. Ia lelah setelah seharian perjalanan dan ingin segera merebahkan tubuhnya.

"Sabar, Cak!" Ucap Jendra yang tengah menyetir. Mereka memang bergantian untuk menyetir, agar tidak hanya satu orang saja yang merasa lelah memimpin perjalanan.

"Eh itu penginapan bukan ya?" Ucap Harsa tiba-tiba begitu melihat sebuah gedung besar di pinggir jalan.

Jendra memberhentikan mobilnya dan melirik ke arah yang ditunjuk Harsa, terlihat palang bertulis 'Hotel Dirgantara' di depan sebuah gedung yang cukup besar.

"Mungkin."

"Coba ada yang turun dan tanya." Ucap Mahen.

Setelah memutuskan akhirnya Nala dan Harsa yang turun untuk bertanya apakah itu penginapan atau bukan.

Saat sampai di depan gedung, Nala memperhatikan sekitar. Ia merasa gedung itu tampak tua dan tidak terlalu terawat, tapi masih ada beberapa kamera keamanan yang terpasang di sudut-sudutnya memberikan kesan bahwa tempat itu mungkin masih digunakan.

Malam semakin larut, udara dingin menusuk tulang, dan rasa lelah yang tak tertahankan membuat Nala dan Harsa memutuskan mengetuk pintu gedung tua itu. Setelah beberapa saat, seorang pria tua dengan wajah kaku membuka pintu.

"Selamat malam pak maaf menganggu waktunya." Ucap Nala dengan nada sopan.

"Ya, kenapa?"

"Maaf pak, izin tanya ini benar hotel ya, pak?"

"Betul, mas."

"Masih ada kamar kosong nggak ya, pak?"

Pria itu mengangguk pelan. "Ya, kami masih menerima tamu, silahkan masuk."

Mereka dipersilakan masuk ke dalam ruangan lobby yang remang-remang dan sedikit pengap. Setelah mendaftar, pria itu menyerahkan kunci kamar dan menunjukkan arah ke lantai atas. Nala dan Harsa kembali ke mobil, memberi tahu teman-temannya, dan akhirnya mereka semua masuk ke gedung itu dengan membawa barang bawaan mereka.

---

Mereka bertujuh akhirnya memasuki hotel Dirgantara itu, berjalan melewati lorong panjang dengan lampu yang remang-remang dan suara angin yang menderu dari jendela. Walau suasananya sedikit tidak enak mereka berusaha mengabaikannya, rasa lelah memaksa mereka untuk tetap menginap di sana.

"Kita harus istirahat dulu," kata Harsa sambil memimpin mereka ke kamar yang telah disediakan pria tua penjaga hotel tadi.

Nala masih merasa ada sesuatu yang aneh, tetapi ia mengabaikannya karena tidak ingin memulai argumen di tengah malam. "Oke, kita bicarakan rencana besok pagi aja," katanya singkat sebelum masuk ke kamar.

Omong-omong mereka memesan 3 kamar. Kamar pertama berisi Mahen dan Jendra, kamar kedua Juna dan Cakra, dan terakhir kamar ketiga ada Nala, Harsa, dan Jingga.

Setelah memasuki kamarnya, Nala merasa ada sesuatu yang tidak beres. Harsa tampak terlalu tenang dibandingkan yang lain. Saat mereka semua sibuk beres-beres, Harsa beberapa kali melirik ke jam tangannya.

"Kenapa lo, Sa?" Tanya Nala sembari membereskan barang bawaannya.

"Gue kenapa?"

"Lo bolak-balik liatin jam mulu, nunggu apaan?"

"Oh, gue cuma ngecek jam berapa. Gue nggak sabar besok buat lanjut pencarian." Jawab Harsa. Nala hanya menganggukkan kepalanya mengerti.

"BTW Sa, kenapa lo yakin banget sama tempat ini?"

"Gue cuma ikut apa yang dokumen bilang," jawab Harsa. "Tempat ini satu-satunya petunjuk yang kita punya."

Jawaban itu membuat Nala mengernyit. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, lampu kamar tiba-tiba padam.

"AKH, KENAPA INI?!" Teriakan Jingga membuat Nala segera menghampiri si bungsu.

Hanya berlalu beberapa detik lalu lampu darurat menyala, memancarkan cahaya merah redup. Suara mesin terdengar samar dari lantai bawah membuat mereka semua langsung berjaga-jaga.

"Ini kenapa, kak?" Jingga berbisik sambil merapat ke Nala.

"Tenang, mungkin cuma mati listrik," sahut Nala berusaha menenangkan, meski suaranya terdengar tidak yakin.

Namun sebelum mereka sempat memeriksa, pintu kamar terbuka sendiri dengan suara berderit pelan. Di balik pintu, seorang pria berjubah hitam berdiri dengan kaku, wajahnya tak terlalu terlihat karena pencahayaan yang kurang.

"Harsa, waktunya," ucap pria itu singkat.

Nala langsung menoleh ke arah Harsa dengan ekspresi kaget.

"Harsa, apa maksudnya?" tanya Nala langsung.

Harsa berdiri perlahan, menatap mereka dengan raut wajah yang sulit ditebak. "Gue minta maaf, Na. Orang itu orangnya Black Roses."

"Maksud lo apa, Sa?!"

"Apa yang lo lakuin, Bang?!" teriak Jingga, bergerak maju untuk menghadapi Harsa.

Harsa mengangkat tangannya, seolah mencoba menenangkan. "Dengerin gue dulu! Gue disuruh bawa kalian ke sini. Mereka butuh kalian untuk langkah berikutnya."

"Butuh kita?! Apa maksud lo?!" Suara Nala terdengar penuh emosi. Baginya semua ini terlalu cepat dan tiba-tiba terjadi di depannya.

Pria berjubah hitam itu maju, suaranya dingin. "Kalian semua adalah bagian dari proyek ini. Dari awal, kalian sudah dipantau. Harsa hanya membantu kami memastikan kalian sampai di sini dengan selamat."

Nala mundur selangkah, merasakan dada sesak. "Jadi dari awal, semuanya jebakan?"

Harsa mengangguk dengan berat. "Maaf, Na. Gue nggak punya pilihan. Black Roses tahu terlalu banyak tentang gue... tentang kita semua. Kalau gue nggak nurut, ada hal yang bakalan dipertaruhkan."

"Lo pengkhianat!" teriak Jingga berusaha mendekat dan melayangkan pukulan, tapi Nala menahan bahunya.

Pria berjubah hitam melangkah lebih dekat, menekan tombol di alat kecil di tangannya. Tiba-tiba gas tipis mulai memasuki ruangan, memenuhi Indra penciuman mereka.

"Kita mulai sekarang." Ucapnya dengan nada dingin.

Mata Nala melebar saat gas itu membuat tubuhnya mulai lemas. Dalam detik-detik terakhir sebelum kesadarannya hilang, ia menatap Harsa dengan penuh amarah. "Kita percaya sama lo, Sa." Ucapnya pelan sebelum jatuh pingsan.

-To be Continued-