Eksekusi

Setelah berdiskusi lama akhirnya mereka sampai di malam itu, malam yang menjadi penentu nasib mereka. Setelah kembali ke ruang kurungan, Nala, Mahen, dan Cakra duduk melingkar di lantai dingin, mencoba menenangkan pikiran sembari merancang langkah-langkah akhir dari rencana yang mereka susun. Udara terasa pengap, seolah menyatu dengan kecemasan yang memenuhi ruangan kecil itu. Namun, di balik ketakutan yang menyelimuti mereka ada percikan harapan yang terus menyala, mendorong mereka untuk maju.

"Gue nggak percaya kita udah sampai di titik ini," ujar Mahen sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. Suaranya terdengar pelan, tetapi penuh keyakinan.

Di bawah redupnya lampu ruang kurungan yang menembus netra mereka, Nala mulai mengarahkan mereka untuk mengingat setiap detail laboratorium yang telah mereka lalui. Mereka berbicara dengan suara nyaris berbisik, memastikan tak ada seorangpun yang mendengar diskusi mereka.

"Dari lorong ini ada tikungan pertama ke kanan," ucap Nala sembari menggambar jalur khayalan di lantai dengan jarinya. "Di situ ada kamera. Gue inget pola putarnya setiap lima belas detik. Kita harus nunggu momen yang pas."

"Dan setelah itu, di mana lagi?" tanya Cakra sembari mengerutkan alisnya.

"Gue inget ada pintu ganda besar di ujung lorong, tapi gue nggak tahu ruangan apa itu karena pintunya nggak ada celah sedikitpun." jawab Nala.

Cakra menghela nafas panjang. "Ini banyak banget risikonya, Kak. Lo yakin kita bisa ngelakuin ini cuma bertiga? Maksud gue, kita nggak punya apa-apa selain nekat."

Nala menatap Cakra dengan senyum tipis, berusaha menyuntikkan keberanian. "Cak, kita nggak butuh banyak orang buat ngelakuin ini. Kita cuma butuh fokus dan keberanian. Lo sendiri tahu, kalau kita nunggu orang lain buat bantuin kita, kita bakal terus terjebak di sini."

Mahen ikut menimpali, suaranya tegas. "Yang penting kita tetap tenang, kalau kita mulai panik semuanya bisa berantakan."

Diskusi mereka terus berlangsung, semakin mendalam membahas rencana yang telah mereka bangun. Dengan berdasar ingatan dan observasi selama beberapa hari, mereka terus mencoba memetakan laboratorium dan mengingat pola patroli penjagaan yang mereka lihat saat menuju ruang eksperimen, memastikan setiap detail tak terlewatkan.

"Ini mungkin kesempatan terakhir kita," ucap Nala dengan nada serius. "Kita harus pastiin semuanya berjalan sesuai rencana. Kalau ada yang salah, kita harus tetap tenang dan cari solusi."

Cakra masih terlihat ragu, tetapi akhirnya ia mengangguk perlahan. "Oke, gue bakal percaya sama lo, Kak. Tapi gue harap kita semua selamat."

Malam itu, mereka mengulang setiap langkah dalam pikiran mereka, mengukir peta laboratorium yang mereka buat di ingatan masing-masing. Meski hanya dengan mengandalkan memori, mereka merasa cukup yakin dengan rencana ini.

"Besok pagi kita mulai," ucap Nala akhirnya, memecah keheningan yang sempat melingkupi mereka. "Dan apa pun yang terjadi, kita nggak boleh kehilangan fokus."

Mahen dan Cakra mengangguk, wajah mereka mencerminkan tekad bercampur kegugupan. Mereka tahu bahwa langkah ini penuh risiko, tetapi mereka juga sadar bahwa diam berarti menyerah. Dengan rencana yang tertanam dalam pikiran mereka, mereka mencoba untuk tidur. Dalam diri mereka jantung terus berdetak kencang menandakan kegugupan, menanti hari esok yang akan menguji diri mereka.

---

Pagi itu, Nala dibawa keluar dari ruang kurungan seperti biasa. Satu ilmuan pria dan satu ilmuan wanita menggiringnya menyusuri lorong panjang menuju ruang eksperimen. Sementara di sisi lain, Nala menyembunyikan kecemasan yang menyelimuti dirinya di balik wajah tenang. Ia tahu momen ini adalah bagian dari rencana mereka.

Ketika mereka sampai di depan pintu dengan papan nama bertuliskan "Ruang Eksperimen 7", salah satu ilmuwan yang bersamanya mengeluarkan kunci dari saku jas laboratorium yang dipakainya. Membuka pintu itu dan menggantungkan Kuncinya pada sebuah gantungan kecil bersamaan dengan kartu tanda pengenal. Nala memperhatikan dengan seksama, itulah yang ia butuhkan untuk melancarkan rencananya bersama Mahen dan Cakra.

Nala lalu di bawa masuk ke ruangan yang dingin dan steril itu. Mesin-mesin besar dengan layar berkedip menghiasi dinding. Beberapa tabung kaca berisi cairan misterius berdiri di sudut ruangan.

Dapat Nala lihat juga di dalam ruangan itu terdapat Dr. Johnny yang berjalan mendekatinya.

"Natala, sudah siap untuk prosedur?" ucapnya tetapi tidak Nala jawab.

Nala duduk di kursi yang dikelilingi berbagai alat, tangan dan kakinya dipasangkan borgol sebagai pengaman. Meski terlihat tenang, ia merasakan dinginnya keringat di telapak tangannya. Matanya tetap fokus pada gerakan ilmuwan yang membawa kunci tadi, mencari kesempatan untuk mengambilnya.

Eksperimen dimulai. Kabel-kabel dihubungkan ke sensor di tubuhnya, sementara para ilmuwan sibuk mencatat data. Nala menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa sakit saat salah ilmuan menyuntikkan cairan ke lengannya. Ia harus bertahan, ini bukan pertama kalinya ia melalui eksperimen semacam ini.

Setelah melalui proses eksperimen yang cukup lama, para ilmuwan akhirnya menghentikan prosedur.

"Cukup untuk hari ini," ujar Dr. Johnny. Yang lain pun mulai membereskan alat-alat dan mencatat hasil eksperimen.

Saat seorang ilmuan mulai membuka borgol yang tersambung dengan kursinya, Nala melihat kunci yang sempat tergantung di dinding berpindah ke pinggang seoran pria itu yang pagi tadi membawanya. Ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu. Dengan gerakan halus, ia berpura-pura menggerakkan salah satu tangannya yang sedikit mati rasa, bergerak cepat mencuri kunci tersebut. Kunci itu kini tersembunyi di balik lengan bajunya.

---

Setelah eksperimen selesai, Nala digiring kembali ke ruang kurungannya. Ia berjalan dengan langkah pelan, memastikan tidak ada yang mencurigai apa yang baru saja ia lakukan. Ketika mereka sampai di sel, Mahen dan Cakra sudah menunggu di dalam, ekspresi mereka terlihat tenang walau penuh kekhawatiran.

"Kalian nggak akan percaya," bisik Nala sembari melirik penjaga di belakangnya.

Namun sebelum ia sempat menjelaskan lebih lanjut, salah satu ilmuwan yang mengantar mereka mulai mengarahkan tangannya ingin mengambil kunci. Ia memegang gagang pintu, siap menguncinya, tetapi kemudian berhenti dengan ekspresi panik.

"Kuncinya... tidak ada," ucapnya dengan nada cemas.

"Apa maksudmu?" tanya ilmuwan wanita yang berdiri di belakangnya.

"Aku yakin tadi masih di sini," ucapnya sembari memeriksa pinggang dan saku jasnya, tak lupa mengguncang kantong kecil itu. "Mungkin jatuh di ruang eksperimen?"

Nala merasakan tubuhnya menegang, sementara Mahen dan Cakra saling bertukar pandang dengan ekspresi gugup.

"Kita pasti ketahuan," bisik Cakra dengan suara nyaris tak terdengar.

Namun, ilmuwan wanita itu tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan. Ia mengeluarkan kunci cadangan dari sakunya dan menyerahkannya pada sang rekan. "Pakai ini saja, mungkin kuncimu tertinggal di ruang eksperimen atau jatuh di suatu tempat. Nanti kita cari."

Pria itu mengangguk, meskipun wajahnya masih cemas. "Baiklah, aku akan memeriksanya nanti."

Dengan kunci cadangan, ia akhirnya mengunci pintu ruang mereka. Ketiganya menahan nafas saat pintu tertutup dan dikunci rapat. Para ilmuwan dan penjaga akhirnya pergi, meninggalkan mereka bertiga sendirian.

Setelah memastikan tidak ada siapa pun di sekitar, Mahen berbisik, "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Nala mengeluarkan kunci dari balik bajunya dan memperlihatkannya pada Mahen dan Cakra. "Kita punya ini sekarang," ucapnya dengan senyum penuh kemenangan.

Cakra ternganga, sementara Mahen hanya mengangguk dengan kagum. "Lo luar biasa, Nala."

"Tapi ini belum selesai," balas Nala. "Kita harus gunakan ini dengan hati-hati. Kalau mereka sadar kuncinya dicuri, rencana kita bisa gagal total."

---

Akhirnya waktu yang dinanti ketiganya tiba. Suasana malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah ikut menjadi saksi bisu keberanian Nala, Mahen, dan Cakra. Cahaya dari lampu-lampu kecil di lorong luar memantulkan bayangan yang tercetak jelas di celah pintu ruangan mereka. Ketiganya duduk dalam keheningan di sudut ruangan, mencoba menenangkan pikiran yang dipenuhi dengan berbagai skenario kemungkinan terburuk.

Suara langkah kaki para penjaga yang berpatroli menjadi satu-satunya hal yang memecah kesunyian. Irama langkah itu terdengar konstan, seperti ketukan jam yang mengingatkan bahwa waktu terus berjalan. Namun, mereka telah mempelajari pola patroli ini selama berminggu-minggu. Mereka tahu kapan waktu terbaik untuk bergerak.

"Waktunya hampir tiba," bisik Nala sembari melirik ke arah celah pintu. Wajahnya tegang, tetapi sorot matanya menunjukkan tekad yang kuat.

"Begitu penjaga di lorong depan bergerak ke arah kanan, kita mulai."

Mahen mengangguk dengan wajah serius, ekspresinya tak tergoyahkan. Namun, di dekat mereka terlihat Cakra tampak menelan ludah, gugup. Tangannya mengepal, dan kakinya bergoyang kecil, tanda jelas bahwa ia sedang mencoba meredam ketegangan.

"Lo baik-baik aja, Cak?" Nala yang merasakan kegugupan Cakra menepuk bahunya pelan.

Cakra mengangguk cepat, meskipun nafasnya terdengar berat. "Gue... gue cuma mikir. Kalau kita gagal... gimana kalau—"

"Kita nggak akan gagal," potong Mahen cepat, nada suaranya tegas.

"Dengar, kita udah siapin ini semua dengan matang. Kalau lo terus mikirin yang buruk, kita nggak bakal maju. Fokus aja, oke?"

Cakra menarik nafas dalam-dalam sebelum mengangguk lagi, kali ini dengan lebih yakin. "Oke... oke, gue siap."

Langkah kaki di luar semakin menjauh. Momen yang mereka tunggu-tunggu akhirnya tiba. Nala memberikan isyarat dengan tangannya, dan ketiganya berdiri secara bersamaan. Mereka mendekati pintu dengan langkah yang hati-hati, mencoba menahan suara langkah kaki mereka sendiri.

"Kunci siap?" tanya Mahen dengan suara nyaris tak terdengar.

Nala mengangguk, menunjukkan kunci yang berhasil ia curi sebelumnya.

"Tenang aja," bisiknya.

Dengan gerakan pelan, Nala memasukan kunci itu ke celah lubang pintu.

Suara 'klik' kecil terdengar, membuat mereka membeku sejenak dan jntung mereka berdegup kencang. Setelah memastikan tak ada tanda-tanda gerakan dari luar, Nala memutar gagang pintu perlahan.

Pintu berderit pelan, menghasilkan suara kecil yang terdengar sangat nyaring di telinga mereka. Nafas mereka tertahan, menunggu apakah ada yang akan mendengar suara itu. Namun, ketika tak ada tanda-tanda penjaga kembali akhirnya mereka memutuskan membuka pintu lebih lebar.

Nala melangkahkan kakinya keluar, dapat ia rasakan dingin dari lantai beton menjalar ke telapak kakinya yang hanya beralas tipis. Udara terasa lebih berat di luar sel, menambah tekanan yang sudah mereka rasakan. Nala berhenti sejenak untuk memastikan jalur mereka aman. Di ujung lorong, kamera pengawas berputar dengan lambat, menciptakan jeda waktu yang mereka bisa manfaatkan.

"Kita pisah di sini," bisik Nala, berbalik memandang Mahen dan Cakra. Matanya bergantian menatap keduanya, memastikan bahwa mereka memahami arahan selanjutnya. "Mahen, lo cari ruang kontrol! Cakra, lo cari ruangan berkas atau ruangan penting lain! Gue akan cari jalan keluar. Ingat, tetap tenang dan kembali sebelum patroli berganti!"

"Kalau ada apa-apa?" tanya Cakra ragu.

"Kalau ada apa-apa kita semua balik ke sini. Jangan coba bertindak sendiri," jawab Nala tegas. "Kita tim, kita nggak ninggalin siapa pun."

Mahen mengangguk, menepuk bahu Cakra dengan senyum kecil untuk memberinya dorongan. "Kita bisa ngelakuin ini, Cak. Ikutin rencana!"

Dengan itu ketiganya berpisah, masing-masing melangkah ke arah yang telah mereka diskusikan sebelumnya. Lorong-lorong di depan mereka terasa seperti labirin yang penuh bahaya, tetapi mereka tahu ini adalah satu-satunya cara untuk melanjutkan perjuangan mereka.

Setiap langkah mereka diiringi dengan kewaspadaan tinggi, menghindari setiap suara atau gerakan mencurigakan. Saat mereka berpisah di persimpangan lorong, Nala menatap ke belakang untuk melihat rekan-rekannya sekali lagi, lalu bergerak maju dengan tekad membara. Malam ini adalah langkah pertama dari rencana panjang mereka.

-To be Continued-