Cakra melangkah dengan hati-hati menyusuri lorong yang sunyi. Suara dengusan nafasnya ia tahan agar tak terdengar. Ia menoleh ke kiri dan kanan setiap beberapa langkah, memastikan tak ada penjaga yang muncul dari balik persimpangan.
Langkahnya terhenti sejenak ketika ia melihat kamera pengawas di sudut atas dinding. Ia memperhatikan gerakan lambat kamera itu, mencoba menghafal pola perputarannya. Cakra menghitung dalam hati, menunggu saat yang tepat sebelum bergegas melewati area itu dengan tubuhnya menempel ke dinding.
"Tenang, Cakra. Lo pasti bisa," gumamnya pelan mencoba meyakinkan diri sendiri.
Lorong itu terasa begitu panjang, dan setiap langkahnya seolah membawa beban yang tak terlihat. Setelah mencari cukup lama, ia akhirnya melihat sebuah pintu dengan papan nama bertuliskan "Arsip."
Ia berhenti beberapa meter dari pintu itu, matanya memeriksa sekeliling. Tidak ada kamera yang langsung menghadap ke pintu tersebut, dan lorong itu tampak kosong.
Dengan langkah perlahan, ia mendekati pintu itu. Tangannya menyentuh gagang pintu, namun rasa ragu menghampirinya sejenak. Bagaimana jika pintunya terkunci? Bagaimana jika ada seseorang di dalam? Berbagai pikiran melintas di kepalanya, tetapi ia segera menggelengkan kepala, mencoba mengusir keraguan itu.
"Fokus," bisiknya pada diri sendiri.
Ia memutar gagang pintu perlahan, menghindari suara derit yang terlalu keras. Beruntung, pintu itu tidak terkunci dan terbuka dengan mudah. Cakra mendorongnya sedikit, mengintip ke dalam sebelum melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati.
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu kecil di pojokan. Rak-rak tinggi berbaris rapi di sepanjang dinding, penuh dengan dokumen, map, dan kotak berkas yang tersusun rapi. Aroma kertas tua bercampur dengan udara lembap menyeruak ke hidungnya dan membuatnya sedikit mual.
Ia melangkah maju, matanya menjelajahi ruangan dengan cepat. Ada begitu banyak berkas dan ia tahu tak mungkin mencari apa yang mereka butuhkan malam ini. Tapi itulah rencana awal mereka, hanya menemukan lokasi ruangan ini dan memastikan jalurnya aman.
Di sudut ruangan, Cakra melihat sebuah meja besar dengan beberapa tumpukan dokumen yang tampak baru. Ia mendekat, tangannya terulur untuk membuka salah satu map, tetapi ia berhenti sejenak. Jika ia menyentuh terlalu banyak hal seseorang mungkin akan menyadarinya keesokan harinya.
Namun, rasa penasaran mengalahkan logikanya. Dengan cepat ia membuka salah satu map dan melihat isinya. Tulisan tangan dan diagram memenuhi halaman pertama. Ia tak punya waktu untuk membacanya dengan teliti, tetapi salah satu kata yang tertulis besar di atas dokumen itu membuat tubuhnya merinding.
"Subjek Eksperimen."
Cakra menelan ludah, merasakan bulu kuduknya meremang. Ia segera menutup map itu dan meletakkannya kembali di tempat semula. Waktunya hampir habis, ia harus segera keluar sebelum ada yang curiga.
Mengambil nafas dalam-dalam, ia melangkah kembali ke pintu. Telinganya menangkap suara samar langkah kaki di kejauhan. Ia membeku sejenak, mencoba menentukan arah suara itu. Tidak ada yang mendekat ke ruangan ini. Dengan segera Cakra membuka pintu, tahu lebih baik bergerak cepat daripada mengambil risiko.
Cakra memeriksa lewar celah kecil pintu yang dibuka nya untuk mengintip ke luar. Lorong tampak kosong. Dengan hati-hati, ia melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Ia mencatat pintu itu dalam pikirannya, memastikan ia bisa kembali ke sini jika diperlukan.
Saat ia mulai berjalan kembali ke jalur semula, ia melihat kamera yang sama di ujung lorong. Kali ini ia lebih tenang, menghitung kembali pola perputarannya sebelum melewati area tersebut dengan langkah cepat dan tenang.
Cakra menahan nafas sampai ia kembali ke titik pertemuan yang mereka sepakati sebelumnya, di ruang kurungan mereka. Di sana ia bersandar di dinding, mencoba menenangkan dirinya. Misi kecilnya selesai, tetapi kegugupannya belum sepenuhnya hilang. Ia hanya berharap Nala dan Mahen juga berhasil menjalankan tugas mereka tanpa masalah dan segera kembali ke sini.
---
Mahen melangkah dengan hati-hati melalui lorong yang terasa lebih panjang dari biasanya. Suara langkah kakinya yang pelan bergema samar, membuatnya semakin waspada. Setiap beberapa meter ia akan berhenti untuk memeriksa sekeliling, memastikan bahwa tidak ada penjaga atau kamera yang mengarah ke tempatnya berdiri. Ia menahan nafas setiap melewati persimpangan, mengintip ke kiri dan kanan untuk memastikan aman sebelum melanjutkan perjalanan.
Setelah cukup lama mencari, Mahen sampai pada sebuah lorong yang terasa berbeda. Dindingnya dilapisi bahan logam mengilap dan beberapa lampu indikator kecil berkedip di sepanjang jalan. Ia bisa mendengar suara samar mesin yang terus berdengung dari kejauhan.
Ketika ia mencapai persimpangan lain, Mahen berhenti lagi. Di sini, suara mesin terdengar lebih jelas, seolah-olah sumbernya berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia melirik ke arah lorong kanan, matanya menangkap sebuah pintu dengan papan nama yang tertempel di atasnya bertuliskan "Ruang Kontrol."
Mahen merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, inilah yang ia cari. Namun, ia tak ingin gegabah. Dengan gerakan perlahan, ia mendekati pintu tersebut, memastikan bahwa tidak ada kamera atau penjaga di sekitar. Setelah memastikan aman, ia berdiri di depan pintu dan memperhatikan celah kaca kecil yang ada di bagian atasnya.
Dari celah itu, ia bisa melihat isi ruangan. Beberapa monitor besar menampilkan gambar dari berbagai sudut laboratorium berisi rekaman dari kamera pengawas yang tersebar di seluruh area. Ada panel kontrol dengan banyak tombol dan layar kecil, serta beberapa kursi yang kosong. Sejauh yang ia lihat tidak ada siapa pun di dalam ruangan itu.
"Bagus, kosong," gumam Mahen pelan, meskipun rasa gugup tetap menguasai dirinya. Ia meraih gagang pintu dan memutarnya perlahan.
Usahanya dihentikan oleh bunyi klik keras, terkunci.
Mahen mendesah pelan, menahan rasa frustrasi yang mulai muncul. Ia tahu bahwa ruang kontrol ini adalah bagian penting dari rencana mereka. Jika mereka bisa mengaksesnya, mereka bisa mengetahui lokasi pasti semua kamera, pintu keluar, bahkan mungkin sistem keamanan laboratorium ini. Tapi untuk saat ini, pintu yang terkunci menjadi penghalang besar.
Setelah beberapa detik, ia memutuskan untuk tidak memaksakan diri. Ruang kontrol ini sudah ia temukan, dan itu cukup untuk saat ini. Mungkin ia akan mencoba membukanya nanti dengan kunci-kunci yang sempat Nala curi.
Mahen mencatat posisi pintu itu dalam pikirannya, memastikan ia bisa mengingat jalur yang ia lalui untuk kembali ke sini nanti.
Sebelum pergi ia sekali lagi memeriksa sekeliling, memastikan bahwa ia tidak meninggalkan jejak atau menarik perhatian. Dengan hati-hati, ia menyelinap kembali ke lorong utama, mencoba berjalan sepelan mungkin agar tidak membuat suara.
Ketika hampir sampai ke ruang kurungan mereka, Mahen berhenti sejenak, mendengar suara langkah kaki di kejauhan. Ia menekan tubuhnya ke dinding, menahan nafas, dan menunggu dengan tegang. Suara itu semakin cepat mendekat, membuatnya merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dengan cepat ia melangkah mendekati pintu ruangan mereka, sebelum suara tiba-tiba terdengar.
"Mahen!"
---
Nala bergerak menyusuri lorong dengan langkah yang nyaris tanpa suara. Setiap gerakannya penuh perhitungan, setiap tarikan nafasnya terkontrol. Ia menatap tajam ke arah kamera pengawas yang berputar perlahan, menunggu saat yang tepat untuk bergerak maju. Waktu terasa melambat setiap kali ia menunggu kamera berpaling, dan detak jantungnya seolah menjadi satu-satunya suara yang ia dengar. Begitu kamera berpindah arah, Nala segera melangkah cepat, tubuhnya menempel pada dinding, memastikan tidak ada celah untuk tertangkap.
Lorong-lorong itu terasa tak berujung dan membingungkan. Dinding putih polos di sekelilingnya memancarkan rasa dingin yang merayap ke dalam dirinya, tetapi ia harus tetap fokus. Instingnya mengatakan bahwa ia berada di jalur yang benar. Setelah beberapa persimpangan Nala akhirnya melihat sesuatu di kejauhan yang membuat langkahnya berhenti sejenak, pintu ganda besar dengan logo bunga mawar merah samar di tengahnya.
Pintu itu terlihat berbeda dari yang lain, lebih kokoh dan lebih formal. Nala mengerutkan kening, matanya meneliti setiap detail dan mencoba mengingat apakah ia pernah melihatnya sebelumnya. Perlahan Nala menggali kembali ingatan tahun-tahun masa lalunya saat menjalani eksperimen. Saat ingatannya mulai menyatu, ia merasa yakin bahwa pintu itu mungkin jalan keluar yang mereka cari.
Tetapi kegembiraannya hanya berlangsung sesaat. Langkah kakinya terhenti ketika matanya menangkap dua sosok penjaga berdiri di depan pintu tersebut. Mereka berseragam hitam lengkap dengan senjata di pinggang. Terlihat mereka tampak sedang berbincang santai. Sesekali salah satu dari mereka tertawa pelan, seolah tidak ada yang perlu mereka khawatirkan malam itu.
"Sial," gumam Nala pelan. Dengan cepat ia bergerak mundur dan bersembunyi di balik pilar besar yang ada di dekatnya. Ia mengintip dari celah pilar, matanya terus memantau kedua penjaga itu. Pikiran Nala berpacu, mencoba mencari cara untuk mendekati pintu itu tanpa menarik perhatian mereka.
Tetapi dari posisi para penjaga dan suasana di sekitarnya, Nala tahu bahwa tidak mungkin baginya untuk mendekati pintu itu malam ini. Tanpa alat untuk mengalihkan perhatian mereka atau cara untuk menyelinap masuk, mengambil risiko hanya akan menghancurkan rencana mereka.
Nala menarik nafas dalam-dalam, menenangkan dirinya. Ia mengamati area sekitar dan mencatat dalam otaknya posisi pintu, jumlah penjaga, dan kemungkinan celah yang bisa digunakan di lain waktu. Setelah merasa cukup, ia memutuskan untuk kembali.
Perjalanan kembali terasa lebih berat. Kelelahan fisik dan tekanan mental mulai menyerang dirinya, tetapi Nala tidak membiarkan dirinya lengah. Ia terus bergerak dengan kehati-hatian yang sama, menghitung setiap langkah dan menunggu setiap kamera berpindah arah sebelum bergerak maju.
Ketika ia mulai mendekati area kurungan, telinganya menangkap suara langkah kaki yang mendekat di belakangnya. Suara itu berat dan teratur, jelas bukan milik teman-temannya. Jantung Nala berdegup kencang. Ia segera mempercepat langkahnya, tubuhnya mendekat ke dinding untuk menghindari sorotan cahaya dari kejauhan.
Begitu sampai di ujung simpamgan terakhir menuju ruangan mereka, Nala melihat sosok Mahen berjalan mendekati pintu. Jantung Nala nyaris berhenti saat melihatnya begitu terbuka. Dengan cepat, ia berlari kecil ke arahnya.
"Mahen!" bisik Nala dengan suara pelan namun penuh tekanan. Mahen tersentak dan menoleh dengan ekspresi terkejut.
"Cepat masuk!" Nala berkata dengan nada panik, matanya melirik ke lorong di belakang mereka memastikan tidak ada yang muncul. Mahen segera mematuhi dan masuk ke dalam ruang kurungan.
Begitu mereka berada di dalam, Nala dengan cepat menutup pintu di belakang mereka. Tangannya langsung merogoh ke dalam saku celananya, mengeluarkan kunci kecil yang telah ia curi sebelumnya. Dengan gerakan cepat ia mengunci pintu itu kembali. Suara kecil dari kunci yang terkunci memberikan sedikit rasa lega, meski tekanan masih terasa di udara.
---
Ketiganya berhasil kembali ke ruangan mereka dengan selamat. Tubuh mereka basah oleh keringat, nafas terengah-engah, dan wajah yang memancarkan kelegaan sekaligus ketegangan.
Untuk beberapa saat mereka hanya duduk di sana dalam diam, mendengarkan bunyi langkah kaki para penjaga yang kembali berpatroli di lorong-lorong luar. Setiap langkah itu terasa seperti ancaman nyata yang menggantung di udara, mengingatkan mereka betapa tipisnya batas antara keberhasilan dan kegagalan dalam misi malam ini.
Mahen akhirnya memecah keheningan. "Gue berhasil nemuin ruang kontrol," ucapnya dengan suara pelan namun tegas. Meski wajahnya masih menyiratkan ketegangan, ada sedikit rasa puas dalam nada bicaranya.
"Ruangannya ada di lorong tengah, tetapi pintunya terkunci. Kalau mau masuk, kita harus coba buka pintu itu dengan kunci-kunci yang lo dapat, Na."
Cakra yang duduk bersandar di dinding langsung menimpali. "Gue juga berhasil nemuin ruangan arsip," ujarnya sembari mengusap wajahnya yang penuh keringat. Suaranya terdengar gemetar, dan ia terlihat masih terguncang oleh pengalaman tadi.
"Ada banyak rak berkas di sana. Gue cuma sempat lihat sedikit dokumen yang ada tulisannya 'Subjek Eksperimen' karena waktunya nggak cukup. Tapi kalau kita balik ke sana, gue yakin ada informasi penting yang bisa kita pakai."
Nala mengangguk, mendengarkan laporan mereka dengan seksama. Ia duduk di lantai sembari mencoba mengatur nafasnya yang masih tersengal.
"Gue nemu pintu keluar," ucapnya.
"Pintu ganda besar di ujung lorong. Gue yakin itu jalan keluar kita. Tapi, masalahnya ada dua penjaga di sana, bahkan mereka bersenjata. Nggak mungkin kita lewat sana tanpa rencana yang lebih matang."
Mereka saling pandang dalam keheningan, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka lakukan dan apa yang mereka temukan.
Cakra yang terlihat masih gelisah memecah keheningan. "Kalau kita balik ke ruangan arsip, kita butuh waktu lebih lama buat baca apa isinya. Ada terlalu banyak rak, dan pasti kita bakal ambil risiko lebih besar kalau ketahuan."
Mahen menatapnya. "Kita nggak punya pilihan selain ambil risiko, Cakra. Kalau kita nggak tahu apa yang ada di arsip atau nggak bisa akses ruang kontrol, kita bakal terus terjebak di sini tanpa tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan sama kita."
Nala mengangguk setuju. "Gue ngerti kalau lo gugup, Cakra. Kita semua gugup. Tapi kita harus fokus sama apa yang bisa kita dapat. Informasi dari ruang arsip dan ruang kontrol itu penting, itu yang bakal jadi kunci buat kita keluar."
Cakra menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Oke, tapi apa lo yakin kak, kita bisa bawa dokumen atau data keluar dari ruangan itu tanpa ketahuan?"
Nala mengangkat bahu. "Itu risiko yang harus kita ambil. Gue nggak yakin kita bakal bisa nyelundupin apa pun dengan mudah, tapi kalau kita tahu apa yang kita cari, kita bisa buat rencana lebih jelas."
Mahen menatap Nala dengan serius. "Kalau lo yakin jalan keluar itu ada di pintu besar itu, berarti kita harus cari cara buat ngatasin penjaganya. Mungkin kita perlu sesuatu buat alihin perhatian mereka."
"Gue mikir hal yang sama," jawab Nala. "Tapi kita butuh waktu buat nyusun rencana. Kita nggak bisa gegabah. Kalau ada satu langkah salah, kita semua tamat."
Mereka kembali terdiam sejenak, pikiran masing-masing berpacu memikirkan langkah berikutnya. Meski ada rasa takut dan ketidakpastian.
"Gue rasa malam ini cukup," ujar Nala akhirnya.
"Kita udah dapat banyak informasi. Besok, kita harus lebih rapi dan terorganisir. Kita nggak boleh punya ruang buat kesalahan."
Mahen dan Cakra mengangguk setuju. Meski tubuh mereka lelah, tekad di hati mereka terasa semakin kuat. Malam itu, meski kecil, adalah kemenangan yang membawa mereka satu langkah lebih dekat menuju kebebasan.
-To be Continued-