Malam itu, langit Sekte Naga Putih dihiasi oleh bintang-bintang yang bersinar redup. Angin dingin berhembus perlahan, menggoyangkan dedaunan dan membawa ketenangan yang semu.
Di luar sekte, di atas sebuah bukit yang menghadap ke lembah, Shen Wei duduk bersila dalam meditasi. Energinya mengalir dengan tenang, menyatu dengan alam sekitarnya. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya dipenuhi oleh gambaran yang membuat hatinya bergetar.
Dalam penglihatannya, sebuah tempat kuno yang dipenuhi reruntuhan terbuka di hadapannya. Cahaya kebiruan bersinar dari celah-celah tanah, memancarkan aura kuno yang terasa begitu asing dan menakutkan.
Lalu, dari balik bayangan, mereka muncul—Penjaga Alam Kuno.
Makhluk-makhluk bercahaya biru itu berdiri tegak, memancarkan kekuatan yang tak terukur. Tatapan mereka tajam, seakan menembus jiwa Shen Wei.
"Sudah saatnya kau datang, Pelindung Dunia..."
Suara dalam dan bergema memenuhi pikirannya, membawa pesan yang jelas.
Shen Wei membuka matanya, menarik napas dalam. Dia tahu, panggilan ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan.
Dia harus pergi.
Sebelum pergi, Shen Wei memasuki ruangannya dan mengambil selembar kertas serta tinta. Tangannya sedikit bergetar saat dia mulai menulis.
> Untuk Mei Er, Chen Guang, Yu Lan, dan semua muridku...
Ketika kalian membaca surat ini, aku mungkin sudah pergi jauh.
Ada sesuatu yang harus kuselesaikan sendiri. Aku tidak ingin melihat siapapun terluka lagi, terutama Mei Er. Aku sangat takut kehilangannya.
Tolong jangan mencariku. Aku akan kembali... suatu hari nanti.
Tetaplah berlatih dan lindungi satu sama lain. Kalian adalah keluarga yang berharga bagiku.
Shen Wei
Setelah menyelesaikan surat itu, Shen Wei menghela napas panjang. Dia meletakkannya di meja utama ruang pertemuan, tempat para murid biasanya berkumpul.
Sebelum benar-benar pergi, Shen Wei menuju ke salah satu ruangan. Di sana, Mei Er tertidur lelap, wajahnya tenang, tanpa mengetahui bahwa saat dia bangun nanti, dunianya akan berubah.
Shen Wei duduk di sampingnya, menatap wajahnya dalam-dalam. Dia mengangkat tangannya, menyelipkan beberapa helai rambut Mei Er yang tergerai di wajahnya. Lalu, dengan penuh ketulusan, dia menunduk dan mencium rambutnya.
"Maafkan aku, Mei Er... Aku harus pergi."
Dengan berat hati, Shen Wei bangkit dan meninggalkan ruangan tanpa suara.
Dalam sekejap, dia menghilang ke dalam kegelapan malam.
Matahari pagi menyinari Sekte Naga Putih, tetapi udara di dalam sekte terasa aneh. Mei Er, yang biasanya bangun dengan penuh semangat, merasa ada sesuatu yang berbeda.
Saat dia keluar dari kamarnya, dia melihat Chen Guang dan Yu Lan berdiri di depan meja utama ruang pertemuan. Wajah mereka tampak pucat.
Di tangan Chen Guang, ada selembar kertas yang sedikit bergetar.
"Mei Er..." suara Chen Guang terdengar lirih.
Mei Er berjalan mendekat dengan hati berdebar. Ketika matanya menangkap tulisan tangan yang begitu dikenalnya, napasnya tercekat.
Itu surat dari Shen Wei.
Tangannya bergetar saat dia mengambil surat itu dan mulai membacanya. Setiap kata terasa seperti belati yang menusuk hatinya.
Ketika dia sampai pada bagian yang menyebutkan namanya... air matanya jatuh.
"Aku sangat takut kehilangannya."
Mei Er menggigit bibirnya, tetapi tangisnya tak bisa dibendung lagi. Surat itu terjatuh dari tangannya, dan dia menutup wajahnya, bahunya bergetar.
"Senior..." isaknya pelan.
Chen Guang mengepalkan tangannya, matanya memerah menahan emosi. "Kenapa... Kenapa dia harus pergi sendirian?"
Yu Lan menghela napas dalam, menatap ke luar jendela. "Karena dia ingin melindungi kita... seperti yang selalu dia lakukan."
Mei Er menundukkan kepala, air matanya masih mengalir. Tapi di balik kesedihan itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam hatinya—tekad.
Dia mengepalkan tangannya erat-erat.
"Senior, tidak peduli berapa lama... aku akan menunggumu. Walaupun itu bertahun-tahun, aku akan tetap di sini, menunggumu kembali."
Langit pagi yang cerah terasa begitu sunyi.
Di suatu tempat yang jauh, Shen Wei melangkah menuju takdir yang telah menunggunya.
Dan di Sekte Naga Putih, seorang gadis menatap ke arah yang sama... dengan harapan yang tak akan padam.
(Bersambung ke Bab 70...)