Bab 89: Langkah ke Depan

Hari-hari setelah percakapan itu berlalu begitu cepat, namun perasaan Mei Er tetap bergelayut di dalam hatinya. Meskipun ada sedikit kelegaan setelah dia berbicara dengan Shen Wei, kebingungannya belum sepenuhnya hilang. Setiap kali dia berlatih, setiap kali dia melihat Shen Wei, ada semacam ketegangan yang mengalir di antara mereka, seolah-olah ada sesuatu yang belum sepenuhnya diselesaikan.

Mei Er menyadari bahwa meskipun dia merasa lebih tenang, perasaannya terhadap Shen Wei semakin kompleks. Dia merasa bersyukur atas semua yang telah diberikan Shen Wei—bimbingan, perhatian, dan kebaikan hatinya. Namun, semakin dia mencoba menghadapinya, semakin dia merasa bingung dengan apa yang sebenarnya dia inginkan. Apakah dia hanya menganggap Shen Wei sebagai senior yang dihormati, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam dari itu?

Di tengah kebingungannya, dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Shen Wei selalu ada untuknya, dan setiap kali mata mereka bertemu, ada getaran yang sulit dijelaskan. Namun, Mei Er tahu bahwa tidak ada yang bisa diselesaikan dengan cepat. Dia harus memberi dirinya waktu untuk benar-benar memahami perasaannya.

Pada suatu pagi yang cerah, setelah latihan rutin, Mei Er berjalan perlahan menuju taman di belakang sekte, tempat yang biasanya ia kunjungi untuk menenangkan pikirannya. Langit biru yang cerah tampak begitu kontras dengan kebingungannya yang begitu dalam. Taman itu sepi, hanya ada beberapa murid yang sedang berlatih di kejauhan. Mei Er duduk di bangku batu yang terletak di bawah pohon besar, merenung, mencoba mengumpulkan pikiran-pikirannya.

Namun, tidak lama setelah dia duduk, langkah kaki terdengar mendekat. Mei Er menoleh dan melihat Shen Wei yang muncul dari balik pepohonan. Wajahnya tampak tenang seperti biasa, namun matanya menunjukkan kedalaman yang tidak bisa disembunyikan.

"Mei Er," Shen Wei memanggil dengan lembut, "Bolehkah aku duduk?"

Mei Er mengangguk tanpa berkata apa-apa, memberi tanda bahwa dia sangat ingin mendengarkan apa yang akan Shen Wei katakan. Shen Wei duduk di sampingnya, menjaga jarak yang cukup namun tetap menunjukkan perhatian yang jelas.

"Aku tahu kamu masih bingung," kata Shen Wei setelah beberapa saat keheningan. "Aku juga tahu bahwa aku tidak bisa memaksakanmu untuk segera memberi jawaban. Tetapi aku hanya ingin kamu tahu, aku bersedia menunggu. Aku akan memberi waktu yang kamu butuhkan untuk memahami dirimu sendiri."

Mei Er menatapnya, rasa terima kasih dan kebingungan bercampur dalam dirinya. "Aku... aku takut jika aku tidak bisa menghadapinya," jawabnya dengan suara pelan, hampir tidak terdengar. "Aku takut jika aku tidak bisa memberikan apa yang kamu harapkan."

Shen Wei tersenyum lembut, senyum yang tulus namun juga penuh pengertian. "Aku tidak berharap apa-apa darimu, Mei Er. Aku hanya ingin kamu merasa nyaman dengan perasaanmu sendiri. Aku tidak ingin kamu merasa tertekan atau terburu-buru."

Mei Er terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Shen Wei. "Tapi bagaimana kalau... aku memang tidak bisa membalas perasaanmu?" tanyanya akhirnya, tatapannya kosong seolah mencari jawaban di udara. "Bagaimana jika aku tidak merasakannya dengan cara yang sama?"

Shen Wei menarik napas dalam-dalam, matanya masih tetap lembut menatap Mei Er. "Jika itu yang kamu rasakan, maka kita akan tetap menjadi seperti sekarang—teman yang saling mendukung. Tidak ada yang berubah. Aku tidak akan menjauh, dan aku tidak akan membuatmu merasa tidak nyaman. Aku hanya ingin kamu bahagia, Mei Er."

Mendengar kata-kata itu, hati Mei Er terasa seperti dilepaskan dari beban yang selama ini membebaninya. Meskipun dia masih merasa cemas dan bingung, ada rasa lega yang tak terungkapkan dalam dirinya. Shen Wei tidak hanya menginginkan hubungan yang lebih, tetapi dia juga menghargai perasaan Mei Er, memberinya ruang untuk berkembang tanpa paksaan.

"Terkadang, perasaan itu datang tanpa kita rencanakan," lanjut Shen Wei, suaranya rendah namun penuh makna. "Dan mungkin, ini adalah waktu yang tepat untukmu untuk memahami apa yang ada dalam hatimu."

Mei Er memandangnya dengan tatapan yang lebih lembut. "Aku ingin mengerti," ujarnya, "Aku ingin tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku hanya butuh waktu."

Shen Wei mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Tidak masalah, Mei Er. Waktu akan memberi jawaban. Yang terpenting adalah kamu bisa jujur dengan dirimu sendiri. Aku akan selalu ada di sini untukmu."

Percakapan itu berakhir dengan keheningan yang nyaman. Mei Er merasa seolah-olah beban yang selama ini dia bawa telah berkurang, meskipun dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Ada banyak pertanyaan dalam dirinya yang harus dijawab seiring berjalannya waktu. Namun, satu hal yang pasti: dia tidak sendirian dalam kebingungannya.

Hari-hari setelah percakapan itu berjalan seperti biasa. Mei Er melanjutkan latihannya dengan tekun, namun pikirannya sering kali melayang kembali pada percakapan dengan Shen Wei. Meskipun tidak ada perubahan yang dramatis, ada ketenangan yang mulai menyelimuti hatinya. Dia tahu bahwa perasaannya terhadap Shen Wei bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan atau dibiarkan begitu saja. Dia harus benar-benar menghadapinya, dan dia harus memberi waktu untuk diri sendiri agar bisa mengerti dengan jelas apa yang dia inginkan.

Sementara itu, Shen Wei tetap menjadi sosok yang sabar dan penuh pengertian. Dia tidak terburu-buru untuk mencari jawaban. Dia tahu bahwa cinta itu bukan tentang paksaan, tetapi tentang waktu dan pengertian. Mei Er tidak perlu menjawab hari ini atau minggu depan—dia hanya ingin agar Mei Er merasa nyaman dengan perasaannya.

Suatu sore, setelah latihan berakhir, Mei Er kembali bertemu dengan Yu Lan di taman yang sama. Yu Lan, seperti biasa, selalu bisa membaca perasaan Mei Er dengan cepat.

"Mei Er, kamu terlihat lebih tenang," ujar Yu Lan dengan senyum lebar. "Apa yang terjadi? Kamu dan Senior sudah berbicara, kan?"

Mei Er mengangguk, senyum kecil muncul di wajahnya. "Kami sudah bicara," jawabnya pelan. "Aku masih bingung, tapi aku merasa sedikit lebih baik."

Yu Lan menatapnya dengan penuh pengertian. "Aku tahu kamu akan merasa lebih baik. Senior itu orang yang penuh perhatian. Dia akan menunggumu sampai kamu siap."

Mei Er mengangguk, menghela napas lega. "Aku hanya butuh waktu," ujarnya dengan suara yang lebih percaya diri. "Dan aku tahu bahwa aku bisa melalui ini."

Malam itu, saat Mei Er merenung sendirian di kamarnya, dia merasa lebih kuat. Meskipun jalan yang ada di depannya masih penuh ketidakpastian, dia tahu bahwa dia tidak perlu terburu-buru. Dengan dukungan Shen Wei dan teman-temannya, dia yakin bahwa suatu saat nanti, dia akan menemukan jawabannya. Apa pun yang akan terjadi, dia akan siap untuk menghadapinya.

Akhir Bab 89