Malam di desa perbatasan terasa sunyi setelah kejadian di hutan bambu. Shen Wei kembali ke penginapan dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Pria berjubah gelap itu bukan hanya sekadar musuh biasa—ada sesuatu yang lebih besar yang sedang direncanakan di balik bayang-bayang.
Saat dia melangkah masuk ke kamarnya, dia mendapati Mei Er duduk di dekat jendela, menatap ke luar dengan tatapan kosong.
"Kau belum tidur?" suara Shen Wei terdengar lembut.
Mei Er menoleh, wajahnya masih terlihat cemas. "Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, Senior…"
Shen Wei berjalan mendekat, berdiri di sampingnya. "Kau merasakan sesuatu?"
Mei Er mengangguk. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi aku merasa ada bahaya besar yang semakin mendekat. Seolah-olah… ada seseorang yang sedang mengawasi kita dari jauh."
Shen Wei menatap langit malam yang diterangi rembulan. Firasat Mei Er tidak salah. Dia juga merasakan kehadiran sesuatu yang tidak wajar.
"Jangan khawatir, Mei Er. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu."
Mei Er menunduk, tangannya mengepal di atas lututnya. "Aku… Aku tidak ingin menjadi beban, Senior."
Shen Wei menghela napas, lalu berlutut di hadapannya agar mereka sejajar. "Dengar baik-baik, Mei Er. Kau bukan beban. Kau adalah muridku, dan lebih dari itu… kau adalah seseorang yang sangat berharga bagiku. Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi."
Mata Mei Er berkaca-kaca, tapi sebelum dia bisa menjawab, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka.
"Senior, ada yang perlu kau lihat." Suara Chen Guang terdengar dari luar.
Shen Wei segera membuka pintu, dan Chen Guang masuk dengan wajah serius.
"Ada apa?" tanya Shen Wei.
"Desa ini… Tidak sesederhana yang kita kira."
Shen Wei, Mei Er, Yu Lan, dan Chen Guang berkumpul di aula kecil penginapan. Chen Guang meletakkan peta kuno di atas meja dan menunjuk ke titik di mana mereka berada.
"Aku berbicara dengan beberapa penduduk setempat, dan ada hal aneh yang mereka katakan tentang desa ini."
Yu Lan mencondongkan tubuhnya. "Aneh bagaimana?"
Chen Guang menarik napas dalam. "Mereka bilang desa ini dulunya adalah tempat peristirahatan bagi para petapa, tetapi sejak beberapa tahun lalu, banyak orang yang menghilang tanpa jejak."
Mei Er merinding. "Menghilang?"
Chen Guang mengangguk. "Dan yang lebih aneh lagi, setiap kali ada orang baru datang ke desa ini, selalu ada yang mengawasi mereka dari bayang-bayang."
Yu Lan menyipitkan matanya. "Kau pikir ini ada hubungannya dengan Mo Jian atau pria berjubah gelap itu?"
Shen Wei mengepalkan tangannya. "Kemungkinan besar."
Mei Er menelan ludah. "Jadi… kita dalam bahaya?"
Shen Wei menatapnya dengan tenang. "Tidak. Mereka yang seharusnya merasa dalam bahaya karena telah mengusik kita."
Chen Guang tersenyum kecil. "Itu baru Senior Shen Wei yang kukenal."
Shen Wei berdiri. "Kita harus mencari tahu lebih banyak. Aku dan Mei Er akan menyelidiki sekitar desa. Yu Lan dan Chen Guang, kalian coba cari informasi dari penduduk setempat."
Mereka semua mengangguk, lalu segera bersiap untuk menjalankan tugas masing-masing.
Shen Wei dan Mei Er berjalan di sepanjang jalan desa yang gelap, hanya diterangi oleh lentera-lentera yang tergantung di depan rumah-rumah.
Mei Er menggenggam pedangnya dengan erat. "Senior, apakah kita benar-benar bisa menemukan sesuatu malam ini?"
Shen Wei melangkah dengan hati-hati. "Kalau memang ada sesuatu yang mencurigakan, pasti akan menunjukkan dirinya sendiri."
Mereka terus berjalan hingga tiba di sebuah rumah tua di pinggir desa. Rumah itu terlihat sudah lama ditinggalkan, dengan jendela-jendela yang pecah dan pintu yang terbuka sedikit.
Shen Wei menatap Mei Er. "Tetap di belakangku."
Mei Er mengangguk, lalu mengikuti Shen Wei masuk ke dalam rumah tersebut.
Begitu mereka masuk, aroma aneh langsung tercium—seperti bau darah yang sudah mengering bercampur dengan sesuatu yang busuk.
Mei Er menutup hidungnya. "Tempat ini…"
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas.
Shen Wei segera mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Mei Er tetap diam. Dia berjalan perlahan menuju tangga, lalu menaikinya satu per satu dengan penuh kewaspadaan.
Di lantai atas, mereka menemukan sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Cahaya remang-remang keluar dari celah pintu, dan suara napas terdengar dari dalam.
Shen Wei mendorong pintu itu perlahan…
Dan di dalamnya, mereka melihat seseorang.
Seorang pria tua, kurus kering, dengan mata kosong yang menatap mereka. Bajunya compang-camping, dan di sekelilingnya terdapat kertas-kertas mantra yang sudah menguning.
"Siapa kalian…?" suaranya bergetar.
Shen Wei menatapnya dengan tajam. "Kami bukan musuhmu. Tapi kami ingin tahu… apa yang sebenarnya terjadi di desa ini?"
Pria tua itu menelan ludah, lalu berbisik dengan suara lemah. "Kalian… harus segera pergi. Desa ini… sudah dikutuk."
Mei Er merasa bulu kuduknya berdiri. "Dikutuk?"
Pria tua itu mengangguk lemah. "Mereka… ada di bawah tanah. Mereka yang hilang… mereka tidak benar-benar pergi."
Shen Wei menajamkan pandangannya. "Apa maksudmu?"
Pria itu tiba-tiba gemetar, matanya membelalak ketakutan. "Mereka sudah datang…"
Seketika, lantai di bawah mereka bergetar. Suara gemuruh terdengar dari luar rumah, dan jeritan menggema di udara.
Shen Wei segera menarik Mei Er ke belakangnya. "Mei Er, bersiaplah!"
Dari luar jendela, mereka melihat bayangan hitam mulai merayap keluar dari tanah, seperti makhluk-makhluk yang baru terbangun dari tidur panjang mereka.
Dan dari kegelapan desa, suara familiar terdengar.
"Shen Wei… aku sudah menunggumu."
Mei Er menggigit bibirnya. "Itu… Mo Jian!"
Shen Wei menyipitkan matanya. "Seperti yang kuduga. Ini adalah jebakan."
Mo Jian tertawa dingin. "Jebakan? Tidak, ini adalah panggung di mana kau akan menyaksikan kehancuranmu sendiri!"
Bayangan hitam itu mulai bergerak, mendekati rumah tua tempat mereka berada.
Shen Wei menghunus Pedang Surgawi, cahaya murni menyala dari bilahnya.
"Kalau begitu, kita lihat siapa yang akan hancur lebih dulu."
Bersambung ke Bab 105…