Bab 103: Bayangan di Balik Kegelapan

Di bawah sinar bulan yang samar, Shen Wei dan murid-muridnya berjalan keluar dari reruntuhan kuil bawah tanah. Udara malam terasa dingin, namun bukan karena angin biasa—melainkan karena aura kegelapan yang masih tersisa setelah pertarungan dengan Mo Jian.

Mei Er menekan lukanya yang hampir sembuh, sementara Yu Lan dan Chen Guang berjalan di belakang mereka, mengawasi sekeliling dengan waspada. Meski Mo Jian telah kabur, mereka tahu bahwa ini bukan akhir dari bahaya.

Setelah berjalan beberapa li, Shen Wei akhirnya berbicara.

"Kita harus mencari tempat yang aman untuk beristirahat."

Chen Guang mengangguk. "Ada desa kecil tidak jauh dari sini. Kita bisa mencari penginapan dan memulihkan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan."

Mei Er melirik Shen Wei. "Senior… apakah kau baik-baik saja?"

Shen Wei menoleh, matanya yang tajam seketika melunak saat melihat kekhawatiran di wajah Mei Er. Dia mengangguk. "Aku baik-baik saja. Yang penting sekarang adalah memastikan kau tidak terluka lagi."

Yu Lan tersenyum kecil. "Senior Shen Wei memang selalu seperti itu. Lebih khawatir pada orang lain daripada dirinya sendiri."

Mei Er tersipu, tapi sebelum dia bisa membalas, Chen Guang berdeham. "Ayo, kita harus segera pergi sebelum sesuatu yang lain muncul."

Mereka pun mempercepat langkah mereka menuju desa kecil di perbatasan pegunungan.

Di dalam gua yang tersembunyi di sisi tebing, Mo Jian duduk dengan napas tersengal. Luka di tubuhnya masih mengeluarkan darah hitam, dan wajahnya penuh amarah.

Di hadapannya, seorang pria berjubah gelap berdiri dengan tangan terlipat di belakang.

"Kau gagal, Mo Jian."

Mo Jian menggeram. "Shen Wei… kekuatannya jauh lebih besar dari yang kita duga. Jika aku bertahan lebih lama, aku mungkin sudah mati."

Pria berjubah gelap itu tertawa kecil. "Itulah yang membuatnya menarik. Dewa yang turun ke dunia fana, membawa pedang suci, namun masih terikat oleh emosinya. Jika kau ingin mengalahkannya, kau harus menyerang kelemahannya."

Mo Jian mendongak. "Kelemahannya?"

"Muridnya. Mei Er."

Mo Jian terdiam sejenak, lalu tersenyum licik. "Kau benar… dia bisa menjadi kunci untuk menjatuhkan Shen Wei."

Pria itu mengangguk. "Bersabarlah. Waktu kita akan segera tiba."

Dalam kegelapan gua, cahaya merah samar berkedip dari dalam mata pria berjubah gelap itu.

Shen Wei dan murid-muridnya tiba di desa yang dikelilingi hutan bambu. Meski kecil, desa ini cukup ramai dengan para pedagang dan penduduk yang masih beraktivitas di malam hari.

Chen Guang berbicara dengan seorang pemilik penginapan dan berhasil mendapatkan dua kamar.

Saat mereka masuk ke dalam penginapan, Mei Er merasa tubuhnya semakin lelah. Luka di lengannya sudah sembuh berkat energi Shen Wei, tapi pertempuran tadi tetap menguras banyak tenaga.

Yu Lan menarik tangan Mei Er dan tersenyum. "Kau harus beristirahat, Mei Er. Besok kita pasti akan menghadapi lebih banyak rintangan."

Mei Er mengangguk. "Baiklah. Kalian juga harus beristirahat."

Chen Guang menepuk bahu Shen Wei. "Kau juga, Senior. Jangan terlalu banyak berpikir."

Shen Wei hanya mengangguk pelan. Tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa dia tidak bisa beristirahat begitu saja. Ada sesuatu yang masih mengganggunya—sebuah firasat buruk yang tidak bisa dia abaikan.

Saat yang lain sudah masuk ke kamar masing-masing, Shen Wei keluar ke balkon penginapan, menatap langit malam yang dipenuhi bintang.

Dia mengepalkan tangannya.

"Mo Jian… aku tahu kau tidak akan berhenti di sini."

Lalu, seolah menjawab pikirannya, Shen Wei tiba-tiba merasakan getaran aneh di udara.

Matanya menyipit. "Aura kegelapan…"

Tanpa ragu, dia melesat turun dari balkon dan berlari menuju hutan di luar desa.

Di tengah hutan bambu yang sunyi, kabut tipis melayang di udara. Shen Wei berjalan dengan langkah ringan, mengikuti jejak energi gelap yang dia rasakan.

Saat dia mencapai sebuah tanah lapang di tengah hutan, dia berhenti.

"Keluar."

Suara Shen Wei bergema di antara pohon-pohon bambu.

Dari balik bayangan, sosok pria berjubah gelap muncul perlahan.

"Shen Wei, akhirnya kita bertemu."

Shen Wei menatap tajam. "Siapa kau?"

Pria itu tersenyum tipis. "Aku hanyalah seseorang yang ingin melihat bagaimana dewa sepertimu berjuang melawan takdirnya."

Shen Wei tidak tertarik pada permainan kata-kata. "Apa hubunganmu dengan Mo Jian?"

"Mo Jian hanyalah bidak dalam permainan ini." Pria itu berjalan mendekat, cahaya merah samar bersinar dari matanya. "Tapi aku punya tawaran untukmu, Shen Wei."

Shen Wei tetap diam, menunggu pria itu melanjutkan.

"Tinggalkan Mei Er dan murid-muridmu. Kembalilah ke tempat asalmu di dunia dewa. Jika kau tetap berada di dunia fana, kau hanya akan membawa kehancuran bagi mereka."

Shen Wei mengepalkan tangan. "Aku tidak akan meninggalkan mereka."

Pria itu tertawa pelan. "Tentu saja kau tidak akan. Karena itulah mereka akan menjadi kelemahanmu."

Tiba-tiba, bayangan di belakang pria itu bergerak. Sebuah tangan hitam keluar dari dalam kegelapan dan melesat ke arah Shen Wei dengan kecepatan tinggi.

"Hmph!"

Dengan satu gerakan cepat, Shen Wei menghunus Pedang Surgawi dan menebas tangan hitam itu. Cahaya emas meledak, menghancurkan bayangan tersebut seketika.

Namun, saat cahaya menghilang, pria berjubah gelap itu sudah menghilang.

Hanya suaranya yang terdengar di kejauhan.

"Kita akan bertemu lagi, Shen Wei. Dan saat itu, kau akan menyadari bahwa takdir tidak bisa dihindari."

Shen Wei tetap diam, lalu menatap langit malam.

Dia tahu… pertarungan yang lebih besar akan segera datang.

Bersambung ke Bab 104…