Bab 120: Portal Amarah dan Keputusasaan

Langit di atas Sekte Naga Putih masih dipenuhi awan gelap yang menggantung berat, seolah menekan seluruh dunia di bawahnya. Shen Wei berdiri di tengah reruntuhan sekte, tatapannya kosong, hatinya terasa lebih hampa dari sebelumnya. Selama lima ratus tahun menjalani kultivasi dan membimbing murid-muridnya, tak ada rasa sakit yang bisa menandingi apa yang dia rasakan sekarang. Kehilangan Mei Er—murid yang sudah seperti keluarganya sendiri—membuat jiwanya terasa koyak.

Yu Lan dan Chen Guang berdiri di sampingnya, keduanya terluka namun tetap berdiri tegak, menunggu perintah dari guru mereka. Tapi Shen Wei hanya terdiam, tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. Napasnya berat, dan untuk pertama kalinya, tekadnya goyah.

"Aku... tak bisa hidup tanpa dia," pikirnya. Mei Er telah bersamanya dalam suka dan duka, menemani perjalanan panjangnya sebagai dewa dan guru. Tanpa dia, segalanya terasa hampa.

Dalam keputusasaan, Shen Wei mencoba memanggil Tubuh Dewa—sebuah bentuk tertinggi dari kekuatan ilahinya yang mampu menghancurkan bahkan entitas terkuat di alam semesta. Dia menutup matanya, mengumpulkan seluruh kekuatan spiritual yang tersisa di dalam dirinya, mencoba menembus batas kesadarannya.

Namun… tak ada yang terjadi.

Tubuhnya bergetar, bukan karena kekuatan yang meluap, tetapi karena kegagalan yang menghantamnya seperti palu godam. Tubuh Dewa menolaknya. Kekuatan yang selama ini dia andalkan, kini meninggalkannya di saat dia paling membutuhkannya.

“Senior…” Yu Lan memanggil dengan suara pelan, tapi Shen Wei tak menjawab.

Chen Guang melangkah maju, wajahnya penuh kekhawatiran. “Kita harus bergerak. Jika kita menunggu lebih lama, Dewa Mo Li akan membunuh Mei Er.”

Kata-kata itu membangunkan sesuatu dalam diri Shen Wei. Perlahan, dia mengangkat kepalanya, menatap ke langit yang bergemuruh. Jika kekuatan ilahinya menolaknya, maka dia akan menggunakan amarahnya.

Dengan suara serak dan penuh tekad, Shen Wei berbisik, “Aku akan membawanya kembali… dengan cara apa pun.”

Dia mengangkat tangannya ke langit. Awan gelap berputar di atasnya, dan badai energi spiritual mulai berkumpul di sekitar tubuhnya. Angin berdesir kencang, dan tanah di bawah kakinya mulai retak. Cahaya biru keunguan bersinar dari telapak tangannya, merambat ke atas, menembus awan gelap.

Seketika, langit terbuka. Sebuah portal bercahaya terbentuk di atas awan, menghubungkan dunia mereka dengan dimensi tempat Dewa Mo Li bersembunyi. Energi dari portal itu begitu kuat hingga membuat seluruh sekte bergetar. Murid-murid lain yang selamat hanya bisa menatap takjub, menyadari bahwa Shen Wei telah melampaui batas kekuatan manusiawi.

“Yu Lan, Chen Guang,” kata Shen Wei dengan suara dingin. “Bersiaplah. Kita akan mengambil kembali Mei Er.”

Tanpa menunggu jawaban, Shen Wei melompat ke dalam portal, diikuti oleh kedua muridnya.

Mereka mendarat di sebuah tempat yang suram dan penuh kabut gelap. Tanahnya retak-retak, dan udara di sekeliling mereka dipenuhi aroma darah dan kematian. Di tengah area tersebut, mereka melihat Mei Er—terikat dengan rantai sihir berkilauan hitam, tubuhnya lemah dan penuh luka. Di depannya, berdiri Dewa Mo Li, dengan senyum licik terpampang di wajahnya.

“Shen Wei,” suara Dewa Mo Li bergema, penuh dengan ejekan. “Akhirnya kau datang. Aku sudah menunggu.”

Shen Wei menatap tajam ke arah Mei Er, melihat luka-luka di tubuh murid kesayangannya. Amarahnya mendidih, tapi dia menahan diri. Dia tahu, jika dia kehilangan kendali sekarang, semuanya akan berakhir sebelum dimulai.

“Lepaskan dia, Mo Li,” kata Shen Wei, suaranya dingin seperti es. “Atau aku akan menghancurkanmu.”

Dewa Mo Li tertawa keras, suaranya menggema di seluruh dunia kegelapan itu. “Menghancurkanku? Kau bahkan tak bisa memanggil Tubuh Dewamu, Shen Wei. Kau lemah. Kau tak punya apa-apa.”

Yu Lan dan Chen Guang segera menarik pedang mereka, energi spiritual mereka berkobar, siap bertempur. Tapi Shen Wei mengangkat tangannya, menghentikan mereka.

“Aku akan menghadapinya,” katanya pelan.

Pertempuran dimulai dengan ledakan energi. Shen Wei melesat ke depan, meninju Dewa Mo Li dengan kekuatan penuh. Tapi dewa kegelapan itu hanya mengangkat satu tangan, menghentikan serangan Shen Wei dengan mudah.

Yu Lan dan Chen Guang menyerbu dari samping, serangan mereka terkoordinasi dengan sempurna, tapi Dewa Mo Li seperti tak terpengaruh. Dia hanya menggerakkan jarinya, dan sebuah gelombang energi hitam menghantam mereka, membuat mereka terpental jauh.

Shen Wei mencoba menyerang lagi, kali ini dengan teknik-teknik kuno yang telah dia pelajari selama berabad-abad. Namun setiap serangannya dipatahkan dengan mudah. Dewa Mo Li terlalu kuat.

“Lihatlah mereka, Shen Wei,” kata Dewa Mo Li sambil melirik Mei Er yang masih terikat. “Murid-muridmu lemah. Seperti kau.”

Dia melayangkan tangan ke arah Mei Er, dan sebuah cambuk energi menghantam tubuh gadis itu. Mei Er menjerit, tubuhnya bergetar hebat. Shen Wei menatap dengan mata melebar, hatinya terasa seperti diremas.

“Berhenti!” teriak Shen Wei, tapi Dewa Mo Li hanya tertawa dan terus menyiksa Mei Er.

Yu Lan dan Chen Guang mencoba bangkit, tetapi Dewa Mo Li melancarkan serangan lain yang membuat mereka jatuh kembali, tubuh mereka penuh luka.

Shen Wei merasa amarahnya memuncak. Tubuhnya bergetar hebat, dan aura gelap mulai muncul di sekelilingnya. Tapi sebelum dia bisa melepaskan kekuatan itu, Dewa Mo Li tiba-tiba melancarkan serangan besar—sebuah bola energi hitam pekat yang melesat ke arahnya dengan kecepatan luar biasa.

BOOM!

Serangan itu menghantam langsung ke tubuh Shen Wei. Dia terpental ke belakang, dan saat dia mendarat, sebuah rasa sakit luar biasa menyerang tubuhnya. Dia menunduk, menatap lengan kanannya yang telah hancur, terpotong bersih oleh serangan Mo Li.

“Senior!” teriak Yu Lan dengan panik.

Mei Er menjerit, air matanya mengalir deras saat melihat Shen Wei yang terbaring lemah dengan satu tangan hilang. Rantai sihir yang mengikatnya semakin erat, membuatnya tak berdaya.

Shen Wei mencoba bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Pandangannya mulai kabur, namun matanya tetap terkunci pada Mei Er yang menangis.

Dewa Mo Li berjalan mendekat, dengan senyum puas di wajahnya. “Kau lihat, Shen Wei? Kau tak bisa melindungi mereka. Kau tak bisa melindungi Mei Er.”

Shen Wei menggertakkan giginya, darah mengalir dari sudut mulutnya. Amarahnya mendidih, lebih panas dari sebelumnya. Tapi tubuhnya tak lagi merespons seperti yang dia inginkan. Dia tahu bahwa jika ini terus berlanjut, mereka semua akan mati.

Dewa Mo Li mengangkat tangannya lagi, siap melancarkan serangan terakhir. Mei Er hanya bisa menangis, suaranya serak memanggil nama seniornya.

Dan di saat itulah, Shen Wei merasakan sesuatu di dalam dirinya berubah. Amarah, rasa sakit, dan keputusasaannya berpadu menjadi satu. Tapi sebelum kekuatan itu benar-benar meledak, layar kegelapan menutup.

Pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.

Akhir Bab 120