Yvonne telah kembali dari kekacauan yang dibuatnya. Dia juga telah mengambil Vio yang dititipkan ke suku putih. Dan sekarang dia menyembuhkan dirinya sambil merawat Vio yang sedikit rewel di kamarnya.
Tak henti hentinya Violette menangis. Dia tak tahu apa penyebab tingkahnya itu. Karena merasa aneh dan khawatir, Yve pun mulai mengecek ada apa dengan bayi kecil itu.
Mulai meraba denyut nadi, mendengar detak jantung, mengecek suhu dan mata. "Huft, Syukurlah. Hanya demam biasa ternyata"
Sekarang Yvonne pergi ke dapur sambil mengendong Violette di dadanya. Ia mencari cari di lemari, laci, dan beberapa toples yang berada diatas meja. Jahe yang dia cari pun akhirnya dia dapatkan.
Ia mulai mengolah jahe itu menjadi obat untuk meredakan demam. Dan dia juga menggunakan sihir penyembuh padanya. Tak lama lagi pasti akan sembuh.
Kini mereka berdua duduk di balkon kamar Yvonne. Disana mereka melihat langit yang penuh hamparan bintang. Namun walau sudah diberi obat, Vio tak kunjung tenang. Tangisan kerasny memang sudah berhenti, tapi dia masih sedikit murung.
"Apa dia kesal karena kutinggal ya?"
"bisa jadi sih"
Maafkan aku yang sebelumnya meninggalkanmu. aku tak bisa jamin itu takkan terjadi lagi, karena pekerjaanku banyak. Berhentilah murung, lihatlah kedepan sebentar. Akan kutunjukkan sesuatu yang indah padamu.
Setelah itu Yvonne mengangkat tangan kanannya ke atas. Ia menciptakan banyak debu yang bercahaya. Sekarang debu debu itu terlihat macam bintang. Sebuah semesta dan galaksi yang keindahannya memukau.
Melihat kecantikan debu kerlap kerlip itu, Violette menjadi tenang. Kini ia tak lagi merajuk maupun kesal, tapi fokus melihat dan menikmati debu debu bercahaya yang berada didepannya. Mata Vio menjadi berbinar binar melihat pemandangan itu. Pantulan cahaya dari debu terang itu juga terlihat pada matanya.
"Kira kira sihir ini perlu kunamai apa ya. Debu bintang? mungkin cocok"
"Stardust, nama yang lumayan"
Hanya satu momen kecil penentuan. Dari peristiwa kecil ini nantinya akan ada penyihir terunik dan terhebat di masa depan.
Beberapa waktu sebelumnya, saat Yvonne sudah sampai di desa suku putih. Saat itu juga diwaktu yang sama namun tempat yang berbeda. Ayaa, Zero, dan Dean sudah selesai menginvestigasi area itu. Kini mereka bersembunyi dari kejauhan memantau rumah besar milik Marquess Dean.
Mereka bersembunyi di halaman. Tetap tenang dan tak bersuara. Mereka bertiga akan membunuh semua orang yang berada disana kecuali Marquess itu, karena perintah Yve membawa dia hidup hidup.
"Sekarang bagaimana rencananya" Tanya Dean kepada mereka berdua.
"Ahh baiklah mari kita-" Sahut Ayaa
Obrolan mereka berdua tak digubris oleh Zero. Dia malah fokus menghitung jumlah penjaga yang berkeliling disana.
"Rencana? Kan kita jauh lebih kuat dari mereka. Lagipula entah kenapa jumlah mereka hanya puluhan. Kita bertiga pasti bisa melakukannya" Pikir Zero didalam benaknya.
"Apa apaan rencana. Kita maju saja langsung" Tegas Zero kepada mereka berdua. Ia langsung keluar dari persembunyiannya dan langsung mengeluarkan cakarnya untuk memotong tombak salah seorang penjaga. Datang tanpa diundang, ia langsung menebas dan bertarung dengan penjaga yang sudah siaga.
"Arrghhh. Si tolol itu" Teriak Dean.
"Ayo maju, kita bantu dia" Sahut Ayaa.
Pertarungan dari jarak dekat diserahkan kepada Zero sebagai garda depan. Sementara itu Ayaa merobek mulut para penyihir yang berusaha merapal. Dean juga membantu dengan sihir sederhana.
Pasukan itu tak dapat menahan keganasan mereka bertiga. Tak sempat mundur dan meminta bantuan, mereka dibasmi secara sepihak seperti belatung.
"Ughh, jangan sembrono seperti itu lain kali" Bentak Dean padanya.
"Tapi, nanti terlalu lama" Ketus Zero.
"Oi, jika misi ini menjadi susah karenamu maka aku tak segan menghajarmu nanti. Tuan memerintahkan kita tuk menangkapnya. Lalu jika kita ketahuan, bagaimana jika dia kabur atau memanggil bantuan dari eksekutif Hell Hound" Ayaa memarahinya cukup tegas. Sekarang Zero tampak merenung menyesali perbuatannya. Ia sungguh menyesal jika gagal melaksanakan tugas yang diberikan.
"Sudah sudah, lagipula kita sudah ketahuan kok. Kita berpencar saja agar bisa mencarinya dengan cepat." Ucapan dari Dean menengahi perkelahian mereka. Nampaknya dia yang paling dewasa dan rasional disini. Zero memang kuat tapi dia masih polos dan suka asal menyerang. Sementara itu Ayaa terlalu setia kepada Yvonne, itu bukan hal yang buruk sih.
"Zero, kau ke lantai tiga. Ayaa, kau lantai satu. Dan aku lantai dua" Penjelasan singkat dari Dean. Kini Ayaa memasuki pintu utama rumah Marquess itu. Sementara itu Dean digendong oleh Zero yang tadinya dia marahi. Setelah itu Zero memanjat dinding dengan lincah dan menurunkannya pada lantai dua. Lalu dia lanjut memanjat hingga lantai ketiga.
Ayaa mendorong pintu besar itu dengan kedua tangannya. Namun seluruh hal yang ada didepannya hanyalah ruang kosong yang gelap gulita.
"Huhh apa ini. Mereka ternyata sudah mengetahui penyusupan kami. Baiklah, aku tak bisa membuat Tuanku malu dengan kegagalanku"
Ayaa pun mulai mengeluarkan sihirnya. Ia bukan melakukan sihir serangan. Tapi ia fokus membuat partikel kecil yang bersinar agar ruangan itu cukup terang. Semua partikel itu kini menyebar dan memenuhi ruangan. Tapi ternyata ia sudah dikepung belasan prajurit yang bersiap menembakkan anak panah.
Alih alih menciptakan perisai atau dinding besar seperti sebelumnya saat hanya berdua dengan Yvonne. Ayaa telah memahami kekurangannya, ia hanya menciptakan perisai besi seukuran daun kecil. Hal itu ia lakukan untuk menghalau anak panah padanya. Dengan kecepatan tinggi panah melesat padanya, namun langsung diblokir oleh perisai itu. Membutuhkan penglihatan yang tajam untuk melakukan hal itu. Beberapa serangan sihir juga diblokir olehnya dengan cara yang sama.
"Duh, ini tak menguntungkanku"
Ayaa menciptakan tiga ribu jarum kecil sepanjang jari tengahnya. Sekarang jarum jarum itu kini ia lesatkan ke semua arah. Jarum jarum dengan arah lurus itu menembus beberapa organ dalam mereka semua sekaligus.
"Tuan Yvonne, apa ini yang anda maksud dengan potensi saya" Pikir Ayaa sambil tersenyum sekarang. ia merasa cukup bangga pada dirinya.
"Terimakasih atas didikannya. Tapi sepertinya mana saya belum cukup, jadi serangan tadi masih kurang efisien"
Disaat Ayaa tersipu sambil mengingat Tuannya. Kini dari lorong itu datang banyak prajurit yang mendekatinya. Mungkin puluhan, dan juga ada beberapa yang memakai jubah. Ayaa berpikir jika yang memakai jubah itu penyihir
Tak menghadapi mereka secara langsung, Ayaa hanya melompat lompat diatas mereka sambil menghindari tiap serangan. Umurnya masih 12 tahun, jadi tubuhnya cukup kecil jika dibandingkan dengan orang dewasa. Apalagi elf juga memiliki kelincahan yang hebat, dan Ayaa memanfaatkan hal yang dia punya dengan baik.
"Kita harus bagaimana, dia terlalu cepat"
"Berhati hatilah dari serangan dari belakang. Melihat dari gerakannya, kemungkinan dia petarung yang mengandalkan kecepatan. Dia pasti seorang assasin"
Ada yang aneh dengan tindakan Ayaa. Dia tak menyentuh mereka sama sekali dengan sihir maupun pedangnya. Ia hanya melompat kesana kemari mengelilingi mereka. Padahal ada kesempatan untuk kabur ataupun melakukan serangan balik, tapi dia tak melakukan hal itu.
"Tetap dalam formasi. Jangan sampai-" Ucapan pemimpin regu yang disana terhenti. Ia terjatuh dan entah kenapa tiba tiba memuntahkan darah yang cukup banyak. Setelah itu diikuti seluruh bawahannya yang berada di tempat itu, mereka juga terjatuh, bahkan mereka mengeluarkan darah dari mulut. Tapi tak terlihat luka tebasan atau apapun.
Kini semuanya tewas karena kehabisan terlalu banyak darah. Namun ketua regu mereka masih bisa bertahan dengan kegigihannya. Setiap dia bangkit, rasanya seolah dadanya tercabik. Ia merasakan ada sesuatu dalam tubuhnya sehingga tak bisa bergerak sama sekali. Namun, bibirnya bergerak seolah olah ingin mengungkapkan sesuatu.
"Apa yang kau lakukan pada tubuh kami semua" Teriaknya.
Kini Ayaa merasa dia bukan lagi ancaman. Ayaa melonggarkan kewaspadaannya, lalu duduk berjongkok di depan ketua regu itu. Ayaa mengarahkan jari telunjuknya dan menyentuh pipi ketua itu.
"Ahahaa, lucu sekali. Pertama, kau salah mengira jika aku ini petarung. Padahal aku ini penyihir"
"Aku mungkin terlihat berlari larian tak jelas mengelilingi kalian. Tapi saat itu aku menciptakan partikel partikel kecil. Dan kalian menghirup itu dari hidung, setelah itu. Yahh~ semua organ kalian kacau dan berlubang" Penjelasan Ayaa pada ketua regu itu.
Raut wajahnya langsung berubah karena kesal telah ditipu melalui tindakan. Namun ia lebih terkejut lagi jika anak perempuan didepannya bisa melakukan sihir tanpa rapalan. Jadi ketua regu itu berpikir "Itu tipuan, pasti dia menyebarkan partikel aneh itu dari suatu tempat. Dia pasti menyimpannya di kantung, lalu menghamburkannya agar kami menghirupnya. Tak mungkin seseorang bisa melakukan tanpa rapalan".
Namun, saat berpikir tentang semua tindakan Ayaa. Kini ketua regu itu batuk, cukup banyak darah yang ikut keluar dari mulutnya.
"Uwah kau gigih juga, tapi tak lama lagi kau juga mati. Jadi, menyerah saja dan terima nasibmu. Kau tau? aku tak ada dendam pada kalian, tapi ini perintah dari Tuanku. Malang sekali nasib kalian"
Ayaa mulai berdiri dan berjalan meninggalkan mereka. Kini Ayaa mulai menyusuri lorong itu.
"Byebyee" Salam perpisahan dari Ayaa terdengar lembut, namun juga dingin. Tapi tak ada yang mampu memahami bahasa apa itu. Diakhir hayatnya, ketua regu itu berpikir jika itu mungkin bahasa kaum Elf.
Saat mereka melakukan misinya, disini Yvonne kesusahan mengurus Vio. Saat diajak makan malam ia tak mau disuapi. Bahkan ia menepis suapan penuh kasih sayang yang diberikan Yvonne. Padahal di mangkuknya banyak sayur seperti bayam dan brokoli.
"Vio. Jangan begitu ish. Kita harus cepat makan lalu aku harus mengerjakan banyak hall. Duhh kamu ini"
Kenapa ini. Kenapa dia tak mau makan sama sekali. Apa dia tak suka rasa sayur ini. Tunggu, rasa? ahh aku ingat sekarang. Ada yang pernah bilang jika brokoli bagi bayi itu rasanya seperti sabun. Ahh~ kamu ini rewel. Violetteku suka sekali pilih makanan, duhh mengasuh bayi merepotkan sekali.
Walau Yvonne berpikir merepotkan, dia tetap peduli padanya. Akhirnya dia menganti makanannya dengan pepaya dan pisang yang dihaluskan.
"Pisang tentu mengandung banyak vitamin C. Jadi nanti kamu pasti cantik sepertiku kan" Cibir Yvonne sambil mencubit pipi Vio kecil yang tembem seperti mau meledak.
Di waktu yang lain. Saat Yvonne kesusahan mengasuh Vio, kini Dean sampai di balkon mansion. Dia memegang gagang pintu, dan ternyata itu tak dikunci. Mungkin karena itu begitu tinggi, jadi mereka berpikir tak akan bisa dipanjat.
Ia masuk ke sebuah ruangan gelap sambil berhati hati takut ketahuan. Langkah pelan takut menimbulkan bunyi pada lantai. Sebelumnya dia tak pernah melakukan hal berbahaya macam ini, bahkan dalam mimpinya.
Ia mulai menyusuri ruangan gelap itu perlahan lahan. Tak ada yang bisa dilihatnya, jadi dia meraba seluruh tembok dan berkeliling didekatnya. Tak lama kemudian, matanya sudah cukup beradaptasi dengan kegelapan dan akhirnya dia mulai berjalan menuju pintu.
Kesialan mendatanginya sekali lagi. Saat Dean membuka pintu itu, seorang pelayan memergokinya dan berteriak dengan keras. Akhirnya, para prajurit datang dengan berbondong bondong. Mereka semua belum memakai baju besinya, tapi tetap saja dengan pedang sepanjang lengan pria dewasa, mereka tetap berbahaya.
Karena dia seorang kutu buku, satu dari mereka saja takkan pernah bisa dikalahkan oleh Dean dalam adu kekuatan fisik. Dan sekarang malah ada lusinan yang menyerbu padanya. Tapi tentu fisik Dwarf sedikit lebih unggul dari manusia. Oleh karena itu Dean bisa berlari lari menghindari kejaran mereka. Walaupun dia berlari sambil kelelahan.
Sambil berlari ia menciptakan cairan aneh dengan sihirnya yang mengenai semua prajurit. Ia terus berlari sambil mengarahkan sihir lemah itu pada mereka semua. Tapi cairan aneh itu tak melukai prajurit sama sekali. Tak terelakkan juga tebasan pedang pada tubuh Dean, namun itu tak memberikan dampak fatal, hanya tergores sedikit.
"Ugh, aku tak terbiasa dengan situasi macam ini. Mari kita lihat apa semua yang dia tulis itu benar"
Diriku, bertahanlah sekuat tenaga. Sebentar lagi reaksinya bisa dilakukan. Ini hanyalah salah satu jalan untuk menyelamatkan ayah. Aku menyesal telah berkelahi dengannya terakhir kali. Walaupun harga diriku hancur, tapi dengan mengabdi pada gadis bernama Yvonne itu aku melihat ada sebuah kesempatan. Sebuah cahaya kecil dari celah tembok didalam ruangan yang gelap gulita.
Kira kira sekitar sepuluh menit lebih telah berlalu. Kini wajah Dean tampaknya sudah menjadi lebih cerah. Ia memasuki sebuah kamar seseorang, entah punya siapa tapi tak ada orang didalamnya. Dengan pisau kecil di pahanya, ia memotong kain gorden pada jendela. Ia mengibas kibaskan pada prajurit yang tengah memenuhi ruangan itu.
Keajaiban telah terjadi. Tidak, itu tak bisa disebut dengan keajaiban jika dilihat dari ilmu pengetahuan. Pedang besi mereka yang keras kini menjadi lapuk. Saat tersentuh kain gorden, pedang itu bahkan hancur menjadi pecahan kecil kecil. Sungguh sebenarnya ada apa ini? ini sedikit diluar nalar.
"Itu benar, buku itu benar. Tak kusangka yang dia tulis itu kebenaran. Dengan ini aku bisa meneliti banyak hal" Teriak Dean dengan keras.
"Hah? kau nampaknya cukup bahagia. Entah sihir apa yang kau gunakan untuk menghancurkan pedang kami seperti pasir. Tapi kau tetaplah sendiri, seorang kutu buku berkelahi dengan prajurit yang membawa pedang besar" Teriak salah seorang dari prajurit itu.
"Tentu itu tak logis kan dasar idiot?" Teriaknya sekali lagi.
Sekarang semua prajurit itu tertawa melihat tingkah Dean yang begitu bahagia. Aneh sekali rasanya melihat seorang Dwarf yang tersenyum seperti orang gila saat bertatapan dengan kematian bukan?
"Hmph. Tentu takkan bisa. Orang yang bisa menghunuskan pedang harus dihadapi oleh yang ahli memenggal bukan? Sekarang atau tidak, AYAA!!" Teriaknya.
Setelah teriakan kerasnya, entah kenapa kepala semua prajurit itu terpenggal. Kepala mereka terlempar dan berputar putar ke arah langit langit hingga akhirnya terjatuh. Potongan yang begitu tipis dan rapi, tentu saja karena ini partikel kecil. Darah mereka muncrat dari leher seperti air mancur karena dipompa oleh jantung. Setelah adegan itu, tubuh mereka jatuh tergeletak tak bernyawa. Jatuh kedepan, mendekati meja, jatuh kebelakang, dan berceceran dilantai.
Saat itu datang seorang elf berambut hitam pekat dengan rambut. Rambutnya lurus lemas terurai hingga pungung, bahkan hampir menyentuh pantatnya. Elf itu datang dengan tangan kiri membawa sepiring kue yang entah dari mana. Dan tangan kanannya melindungi kue itu agar tak terkena darah yang terciprat. Pada pahanya juga ada pedang kecil. Elf itu, Dia masuk dengan anggun dan perlahan mendekati Dean.
"Ahahaa, tak kusangka kau mengulur waktu menungguku. Untunglah tadi aku ke atas"
"Disaat seperti ini, kau malah cari cemilan" Tanya Dean kepada Ayaa yang datang mendekat padanya.
"Eheee. Tadi tak sengaja kutemukan didapur, dan terlihat enak jadi kuambil" Jawab Ayaa sambil menjulurkan lidah seolah mengejeknya, ia juga melakukan pose dua jari pada pipinya.
Saat mereka berdua tengah mengobrol, tiba tiba atap ruangan itu bergetar seolah terguncang.
"Tunggu, apa ini gempa?" Tanya Ayaa sambil berjalan keluar ruangan.
"Ahh jadi getarannya tak sampai di lantai satu ya. Itu perbuatan Zero yang menyerang mereka dengan brutal hingga lantainya bergetar. Aku tak bisa membayangkan ada apa diatas sana" Sahut Dean yang sekarang berjalan disampingnya Ayaa dan keluar ruangan.
"Yahh dia pada dasarnya memang barbar dan urakan. Dia tak peduli terluka asal bisa menghajar targetnya. Tunggu, jika seperti itu maka seharusnya sudah selesai dari tadi. Apa mungkin?" Kini wajah Ayaa bersinar sinar seolah mengetahui suatu hal berharga.
"Ya, kau benar. Di atas sana pasti lebih banyak prajurit. Yang berarti mereka berprioritas mengamankan sesuatu. Yang paling logis sih Marquess itu" Lanjut Dean kepadanya.
"Kalau begitu ayo segera ke tempatnya sebelum dia membunuh Marquess itu" Teriak Ayaa. Sekarang mereka berlari menuju tangga dan segera ke lantai selanjutnya.
Pemandangan di lantai tiga benar benar mengerikan. Tak seperti lantai dua ataupun satu. Disini semua ruangan penuh dengan orang yang tidur tergeletak. Entah di tangga, lorong, kamar, dan hampir semua ruangan ada bekas sayatan dari makhluk buas.
Semua mayat mayat itu ada luka cakaran pada tangannya. Ada juga bekas gigitan pada leher, seolah mati dalam sekali gigit. Lantai tiga kini penuh bau darah, bahkan bisa tercium dari lantai bawah. Bahkan ratusan botol parfum wanginya bisa ditutupi oleh bau amis ini. Tapi yang lebih mengejutkannya lagi, hampir setengah orang yang berada di sana dadanya berlubang seperti tertusuk sesuatu. Mungkin itu alasan kenapa banyak jantung berceceran di lantai.
Zero berjalan sembari tangannya mencakar tembok, hal itu menimbulkan bunyi yang membuat siapapun pasti merinding. Marquess yang menyadari binatang gila yang telah menyerangnya itu, sekarang dia bersembunyi di dalam ruang kerjanya. Dia di dalam ruangan kerjanya sebisa mungkin menghalangi pintu masuk dengan lemari, rak buku dan semua hal yang bisa ia lihat agar Zero tak bisa masuk kedalamnya. Jika itu didobrak pasti menimbulkan suara yang begitu keras.
Kini ia bersembunyi di bawah meja kerjanya, berharap agar tak bisa ditemukan olehnya. Jantungnya berdetak begitu kencang. Tubuhnya penuh keringat, ia berharap jika masalah ini bisa di selesaikan dengan uangnya.
"Sudah kutemukan" Suara bisikan itu memang pelan, tapi juga terdengar begitu keras.
Marquess itu kini merinding. Entah mana yang lebih menakutkan. Antara dirinya yang sudah ditemukan atau suara itu berasal dari atas meja tempatnya bersembunyi.
Kini Zero mengebrak meja yang dibawahnya itu hingga hancur. Dan ia segera mencekik Marquess yang bersembunyi itu. Tekanan dari cekikan yang ia berikan begitu keras hingga wajah targetnya kini menjadi biru. Namun, ia teringat dengan ucapan Yvonne jika harus membawanya hidup hidup. Oleh karena itu cekikannya segera ia lepaskan, dan akhirnya Marquess dean terjatuh lemas dan akhirnya pingsan.
"Oi, dia bisa mati jika barusan tak kau lepaskan" Ketus Ayaa memarahinya dan berjalan mendekatinya.
"Memangnya kenapa, jika tak kubuat pingsan nanti dia bisa kabur"
Mata mereka berdua kini bertemu dan saling memandang. Mereka seperti sudah siap saling serang, padahal rekan sendiri. Wajar sih, dua orang ini masih anak anak yang belum stabil mentalnya. Walau sering tak akur, sebenarnya Zero juga menghormati Ayaa dengan segenap hatinya.
Dean pun datang dan menghela nafas soal kelakuan mereka berdua. "Sudah sudah, tak baik jika bertengkar sesama teman" Ujar Dean menangani mereka berdua. Rasanya takkan ada habisnya.
Jadi Dean mengusulkan sesuatu yang lebih baik "Sekarang mending kita berkeliling mencari informasi, uang, dan menghancurkan barang bukti penyerangan ini" Ucapnya.
Marquess itu kini diikat di kursi dengan sebuah tali. Ia juga takkan bisa bangun sementara. Mereka bertiga kini berpencar melakukan tugasnya masing masing. Zero berkeliling mencari harta berupa sebuah koin. Ia juga menghitung jumlahnya dan memasukkannya ke dalam kantung. Ayaa mencari makanan, ehh tidak. Ayaa mencari banyak informasi tentang peredaran obat obatan itu sambil memakan camilan. Ia mengambil semua hal yang bisa bersifat petunjuk dan menyimpannya.
Sementara itu Dean berkeliling mansion besar milik Marquess Dean. Ia berkeliling dan meneliti tiap sudut ruangan. Ia juga mencatat sesuatu dalam buku tulisnya, terkadang ia juga terlihat seperti memikirkan sesuatu hal, dan lagi lagi penanya bergerak mencoret coret buku tulisnya.
Sudah hampir mendekati tengah malam. Yvonne duduk di kursi pada balkon kamarnya. Ia tak mengurus Violette karena dia sudah tidur. Sesekali dia juga meminum kopi yang ada di sebelahnya. Yve juga terlihat menikmati keheningan itu.
Sudah hampir tengah malam, aku sedikit khawatir. Apa mereka belum bisa menyelesaikannya, atau ada suatu hambatan lain. Eksekutif Hell Hound misalnya? Ahh berhentilah berpikir aneh Yve. Sesekali kau harus membiarkan mereka terluka agar bisa berkembang. Tapi tetap saja, aku khawatir mereka terkena suatu hal. Bersabarlah diriku, sebentar lagi mereka juga pulang.
Saat hati Yvonne menjadi gundah, kini mereka sudah kembali ke lantai tiga. Hanya ada Zero dan Ayaa disana. Mereka menunggu Dean menyelesaikan tugasnya yaitu melenyapkan bukti. Dan tanpa menunggu lama, kini Dean ikut berkumpul dengan mereka.
"Yo, halo. Sudah lama menunggu kah?" Tanya Dean pada mereka berdua.
"Tidak juga, disini sih aku hanya bersantai" Ujar Ayaa yang sekarang lagi bersantai tiduran diatas lemari.
"Apa kalian tak merasakan sesuatu? Aku merasa disini menjadi sedikit lebih panas" Sahut Zero.
"Ahh itu. Sepertinya sudah dimulai ya"
Tanpa diketahui mereka berdua. Sebenarnya Dean mengamati tiap sudut rumah ini untuk menghancurkan barang bukti. Struktur, bentuk, pondasi, arah angin, semua hal itu ia gunakan untuk satu hal. membakar rumah itu agar jejak pertarungan tak mudah dilihat.
Ayaa yang mendekati jendela, ia menengok karena penasaran. Ayaa mulai menyadari suatu hal, bangunan ini mulai terbakar dari bawah. Dari lantai satu, dan tak lama lagi akan menjalar kepada mereka. Namun, sifatnya malah tetap santai
"Kau berbeda sekali dengan Tuan ya" Tegas Ayaa sembari menjauhi jendela.
"Maksudnya?" Tanya Dean kepadanya.
"Tuan Yvonne menghapus bukti satu persatu dengan perlahan, tapi kau membakar semuanya sekaligus. Yahh tak masalah sih, segera persiapkan diri kalian. Akan kubuka portal teleportasinya"
Ayaa mulai mengambil tas yang isinya semua petunjuk tentang transaksi obat ataupun tentang Hell Hound. Ia menaruh tepat disampingnya.
"Nanti kalian harus cepat masuk. Sihir ini menghabiskan banyak mana. Untuk saat ini aku hanya bisa mempertahankannya selama 5 detik"
Ayaa mulai mengarahkan kedua tangannya ke depan, perlahan mulai terbuat lubang berwarna hitam gelap. Dan akhirnya terbentuklah sebuah portal. Dean langsung masuk ke dalamnya sambil membawa sekantung koin. Diikuti Oleh Zero sambil membawa Marquess itu. Dan terakhir Ayaa memasukinya.
Mereka benar benar kembali ke Hutan dekat Mansion milik Yvonne. Kepala mereka melihat ke segala arah, tapi tak terlihat dimana mansion itu. Dan saat itu juga, Yvonne menjentikkan jarinya. Mansion besar yang menghilang kini terlihat oleh mereka.
Yvonne duduk di pagar balkonnya sambil menyilangkan kakinya. Ayaa dan Dean mendekati Tuannya itu, sementara itu Zero masih membawa Marquess itu dengan cara menjambak rambut dan menyeretnya.
Melihat kedatangan mereka, Yvonne langsung meloncat dari sana.
"Ikat dia di salah satu kamar lantai satu. Setelah itu hal ini kita bahas besok. Kalian tidur saja dulu" Perintah Yve kepada mereka bertiga.
Mansion yang dibangun Yvonne cukup besar. Memiliki dua lantai yang luas. Lantai pertama memiliki aula, dan ada tangga memutar menuju lantai dua di pojok aula. Ada dapur di sebelah kiri aula, dan empat kamar kosong. Dan di sebelah kanan aula, ada lima kamar kosong.
Lalu jika melewati tangga dan sampai di lantai dua. Di sebelah kanan ada juga ada kamar milik Yvonne yang cukup luas, hanya di kamarnya saja yang memiliki balkon menghadap searah dengan Mansion. Disebelah kanan juga ada ruang kerja milik Yve, dan kamar Ayaa. Lalu di lantai dua sebelah kiri juga ada tiga kamar. Dua dari tiga kamar tidur itu ditempati oleh Zero, dan Dean. Ada juga labolatorium tempat penelitian Dean. Berarti pada lantai itu ada 5 kamar Termasuk milik Yvonne. Hanya saja, kamar milik Yve paling besar. Kamar mereka semua juga memiliki jendela yang menghadap keluar.