Masa Kecil

"Tidak apa apa, kakak akan selalu bersamamu. Kita berdua akan selalu bersama sehidup semati. Aku akan selalu melindungimu, adikku". Apa ini. Rasanya ini ingatanku yang aneh. Hal memuakkan yang terjadi pada kami. Hari itu, kami berdua tenggelam di sungai. Karena sebuah monster yang disebut orang tua. Aku membenci mereka. Orang tua itu menjijikkan, mereka itu memuakkan. Tapi, pada akhirnya semua yang kulihat ini hanya mimpi bukan?

"Arrrgghhh" Teriakku. Aku akhirnya terbangun dari tidurku karena mimpi buruk yang menghantuiku itu. "Ehh, Miko. Kau kenapa. Tenanglah ada kakak disini" Bisik kakakku sambil memelukku. "Ahh tidak, rasanya aku bermimpi buruk. Disitu kita berdua tenggelam, lalu kakak mengatakan hal aneh padaku. Ugh, rasanya samar samar" Tegasku.

"Huft, tak apa. Aku berada disini. Lagipula memangnya aku mengatakan hal aneh macam apa? Sudah sudah jangan takut, itu kan hanya mimpi" Tegas kakakku. Dia mencoba menghiburku yang takut karena mimpi burukku. Dia memang kakak yang selalu bisa di andalkan.

Kami selalu tidur beralaskan tanah dan daun. Cuaca dingin selalu menusk tubuh kami. Lagipula kami tak punya uang untuk membeli selimut, untuk baju saja tak bisa. Kakakku yang mendapat baju ini untuk kami berdua. Dia selalu berkata jika itu sumbangan dari gereja atau semacamnya, tapi yang aneh saat itu hanyalah tubuhnya yang dipenuhi luka memar. Aku tau jika dia mencuri semua ini, tapi aku tetap menyayanginya apapun yang terjadi.

Kakakku Erika. Dia selalu bersamaku. Dia memberiku makanan di jalanan yang kotor ini. Sebenarnya umur enam tahun itu mustahil untuk bertahan hidup di dunia yang kotor ini. Kami berdua tak memiliki apapun untuk bertahan hidup. Kami hanya selalu bersama bagaimanapun juga. Itulah sebabnya aku mengidolakannya, kakakku Erika yang kuat dan tegar.

"Kenapa kamu melamun begitu?" Tanya kakakku membubarkan pikiranku. "Ehh, tidak. Aku hanya lapar" Tegasku. "Iyaa iyaa, ini kakak akan mencari makanan. Kau bertahanlah disini, jangan pergi kemana mana" Tegas kakakku. Dia selalu menyuruhku untuk tinggal disini. Gubuk lusuh yang terbuat dari ranting dan daun. Bahkan ini bisa roboh jika ditendang.

Adikku, akhirnya kau mengingat momen itu ya. Momen saat kita berdua akan dijual oleh orang tua kita sendiri. Saat itu aku membawamu untuk melarikan diri. Tapi pada akhirnya kita terpojok dan akhirnya jatuh di jurang. Beruntung sekali kita karena dibawahnya ada sungai. Kau tidak perlu mengingatnya. Aku tak ingin hal itu membuatmu sedih. Aku tak ingin itu membebanimu, tetaplah lupa dengan kejadian orang tua kita.

Kakak, maafkan aku. Aku tadi memang bermimpi soal kejadian itu. Tapi dari awal aku mengingat semuanya. Aku mengetahui semuanya dengan detail. Tapi aku sengaja meyembunyikannya darimu, idolaku. Aku ingin menjadi kuat sepertimu. Aku tak ingin menjadi beban untukmu. Terimakasih juga untuk segalanya.

Jalanan yang kotor, jalanan yang begitu keras. tapi disinilah tempat kami berdua tinggal. Setiap pagi aku selalu melakukan olahraga. Lebih tepatnya aku dikejar kejar para orang dewasa. Wajar saja karena aku selalu mencuri roti keras ini dari toko mereka. Dan seperti biasanya, agar cepat kembali ke adikku Miko. Aku selalu dengan sengaja tertangkap oleh orang orang dewasa ini. Dan lagi lagi mereka pasti akan memukuliku. Aku juga dengan sengaja menjatuhkan roti yang kucuri ini ke tumpukan tanah. Kulakukan agar rotinya menjadi kotor dan tak diambil kembali oleh mereka.

"Bajingan kau. Orang tuamu mana hah? Tiap hari mencuri dari tempatku" Teriak paman pemilik toko itu. Dia menendangku berkali kali. Tak apa apa, ini semuanya demi Miko. Aku tak ingin dia kelaparan. Aku harus menjadi kakak yang kuat, aku ini memang kuat. Rasa sakit semacam ini bisa kutahan dengan mudah.

Enam tahun, umur yang terlalu muda untuk bertahan hidup seorang diri. Tapi saudari kembar itu saling bergantung sama lain. Mereka selalu Bersama apapun yang terjadi. Mereka masihlah anak anak yang polos. Mereka masih lugu dan memiliki senyuman yang tulus. Tapi anak manis macam itu dipaksa menjalani kehidupan yang keras. Jalanan yang kotor akan mulai membimbing anak anak macam mereka untuk melakukan tindakan kriminal. Berawal dari hal sederhana yang begitu romantis seperti saling melindung satu sama lain, mereka akan mulai melakukan kejahatan dan berpikir "Tidak apa apa, ini demi bertahan hidup. Karena orang dewasa tak mau merawat kami".

Begitulah awal dari anak yang begitu polos berakhir menjadi pencuri maupun pembunuh. Awalnya demi bertahan hidup. Tapi lama kelamaan mereka akan semakin ditarik ke dalam jurang kejahatan. Dan akhirnya mereka akan berakhir menjadi orang yang buruk. Sungguh fakta yang sangat ironis.

Lalu, hal itu juga akan terjadi pada saudari kembar itu. Orang yang tadinya memukul dan menendang Erika kini diam membeku lalu terjatuh lemas tak berdaya. Tubuhnya terlihat begitu kaku dan tak bisa bergerak. Dan dalang di balik semua itu adalah Miko. Dia membawa pisau yang sudah berlumuran darah. Sudah jelas jika dia menusuknya dari belakang.

"Heii, apa yang kau lakukan. Bukankah aku menyuruhmu tetap di gubuk itu?" Bentak Erika pada adiknya tersayang. Walau dia membentaknya, tapi suaranya terdengar begitu pelan agar tak melukai perasaan adiknya. "Tidak mau, ini tak adil. Kenapa hanya kamu yang bekerja dengan keras. apa aku ini hanya beban bagimu?" Lirih Miko. Dia kini menjatuhkan pisau itu, tangannya mulai mengusapi tangis yang membasahi pipinya.

"Kita sudah saling berjanji agar selalu bersama. Suka dan duka. Lapar atau kenyang. Hidup dan mati. Dalam keadaan apapun, bukankah kita sudah saling berjanji? Ajak aku juga. Aku tak mau melihatmu dipukuli. Lebih baik kita dipukuli bersama agar rasa sakitnya berkurang" Murka Miko ke kakaknya.

Ahh, apa yang sudah kulakukan. Aku tak boleh membuat adikku menangis. Ini semua salahku. Aku telah melanggar janji yang sudah kami buat. Maafkan aku. Jadi kumohon, berhentilah menangis. Sesuai keinginanmu, aku takkan menanggung semuanya sendiri lagi.

Saat itu, Erika memeluk adiknya sendiri dengan erat. "Maafkan aku karena melanggarnya. Jadi tolong, berhentilah menangis" Bisik Erika tepat di telinga adiknya. "Huum" Gumam Miko. "Karena kita telah membunuhnya, lebih baik kita pergi ke desa selanjutnya" Ajak Erika.

"Aku tak membunuhnya kok. Aku hanya membuat tubuhnya kaku untuk sementara. Pisau itu kuolesi dengan getah dari pohon sisik ular" Jelasnya. "Tapi tetap saja berbahaya, jadi ayo kita pergi?" Ajak Erika sekali lagi. "Yasudah ayoo. Lain kali jangan meninggalkanku" Tegasnya. "Apa ada sesuatu yang tertinggal?" Tanya Erika. "Kita tidak memiliki apapun. Walau ada juga itu tak terlalu penting" Jawab Miko.

Mereka berdua mulai pergi meninggalkan paman itu. Dia ditinggal dalam keadaan terbaring kaku tak bisa bergerak sama sekali. Mereka berjalan dengan pakaian lusuh compang camping dan tanpa alas kaki. Kaki mereka sudah cukup kuat karena terlalu sering kabur bersama sama. Erika membagi roti keras yang tak enak itu menjadi dua bagian. Untuk dimakan adiknya dan untuknya.

"Lihat lihat, ada pohon jambu. Aku masih belum kenyang" Teriak Miko sambil menunjuk nunjuk sebuah pohon. "Ajari aku memanjat" Tegasnya. "Iyaa iyaa" Sambung Erika. "Pertama tama pastikan kau memiliki tempat berpijak yang bagus. Lalu kedua kau harus mengenggam bagian yang menonjol. Lalu angkat tubuhmu keatas. Tak perlu terburu buru, pastikan saja pijakan dan peganganmu itu aman" Kata Erika sambil mempraktekkan langsung.

Saat sudah cukup tinggi, dia kini meloncah kebawah seolah itu bukanlah apa apa. Hanya sebuah rintangan kecil. "Baiklah akan kucoba" Ujarnya sambil memegang batang pohon itu. Miko mulai mencoba memanjat. Tapi sesuatu itu tak bisa langsung berhasil untuk satu percobaan. Kini dia terjatuh menghantam tanah. Erika dengan cepat menahan adiknya yang jatuh dengan tubuhnya sendiri, agar dia tak terlalu kesakitan. "Ahahaa. Apa apaan itu?" Godanya sambil tertawa.

"Ish, aku bisa melakukannya" Miko mulai bangkit kembali. Sekali lagi dia mencoba memanjatnya. Dan yahh dia bergerak lebih pelan kali ini, tapi sudah ada kemajuan darinya. "Tetaplah seperti itu. Aku tepat dibawahmu" Teriak Erika. Dia kini mulai memanjat juga untuk memetik buah. Erika dengan lihai bergerak diatas pepohonan itu. Dia bahkan bisa meloncat dari dahan ke dahan.

Setelah itu mereka berdua turun secara bersamaan. Miko dengan cara bergelantungan dengan kedua tangannya, lalu meloncat kebawah. Sementara itu kakaknya, Erika. Dia langsung meloncat dari atas dahan. "Apa apaan ini. Aku cuma bisa mendapat dua, tapi kamu sepuluh" Ketus Miko padanya. Erika mulai membusungkan dadanya dan berdiri dengan bangga atas pencapaiannya itu. "Sudah sudah tak apa. Kau memakan enam, aku enam" Ajaknya. Mereka berdua mulai berbagi hasil dengan sama rata.

"aku melompat…" Teriak Miko. "Mandi di sungai itu memang paling enak saat kita meloncat dari atas pohon" Tuturnya. "Iyaa deh iyaa. Asal jangan sampai terluka" Saran Erika pada adiknya. Mereka sekarang mandi di sungai untuk membersihkan tubuh mereka. Sungai yang jernih dan segar. Di dalamnya juga banyak ikan, jadi mereka juga menangkap ikan ikan itu.

Kini mereka berdua berada di desa selanjutnya. Dengan tubuh basah dan pakaian compang camping yang begitu urakan, hal itu membuat mereka menjadi dilirik oleh banyak orang. Mereka mulai sampai di tempat yang mereka tuju. "Paman, aku ingin menjual ikan ini" Tawar Erika.

Mereka berdua berniat menjual hasil tangkapan mereka. Yahh walau hanya tujuh ekor, dan semuanya tak terlalu besar. "Tapi ikan ini sudah terluka pada beberapa bagian tubuhnya" Tegas penjual itu. Wajar saja karena Miko dengan cerdik membuat jebakan untuk menangkap ikan itu. Alhasil beberapa ikan itu terluka karena jebakan yang dibuatnya. "Aku hanya bisa memberi harga 21 koin perunggu" Tawar paman itu. "Murah sekali, genapkan jadi 30 koin dan Fitreya dewi kehidupan akan memberkahi pekerjaanmu" Goda Miko mencoba menaikkan harga.

"Huft, bodoh. Seharusnya Midas si dewa kekayaan" Ejek paman penjual ikan itu. "Yasudah ini 30 koin perunggu untuk kalian" Imbuh paman itu. "Yeyy, terimakasih" Jawab Miko. Mereka memang benar masih anak anak yang polos. Bahkan mereka tak lupa mengucapkan terimakasih. Mereka berdua mulai berlari meninggalkan penjual ikan itu. "Hati hati" Gumam paman itu saat melihat mereka berlari menjauh.

"Ahahaa. Dengan ini kita bisa membeli baju baru. Kita tak akan kedinginan lagi saat malam" Kata Miko. Wajahnya terlihat begitu bahagia dan bersemangat. Erika juga sangat senang karena adiknya tersenyum begitu lebar. Mereka berlarian di jalanan itu demi mencari toko yang menjual baju.

Kedua saudari kembar itu sekarang sudah sampai di sebuah toko baju. Tempatnya hanya seadanya. Banyak baju baju kasual dari berbagai ukuran yang dipajang. Sementara itu ada juga baju baju yang dilipat diatas meja. Itu hanya bagian depan toko. Didalamnya juga banyak baju, namun kedua saudari itu masih menatap toko itu dengan mata yang berbinar.

Disini yang paling senang itu Miko. Dia berpikir jika dirinya dan kakaknya tak akan kedinginan lagi. Lagi pula baju mereka sudah terlalu jelek. Usang, banyak lubang dan robekan. Kini Miko mulai melangkah dengan gugup untuk memasuki toko baju itu. Dia gugup dan jantungnya berdebar. Dia berusaha bertindak sesopan mungkin. Namun, sebelum kakinya mulai melangkah untuk memasuki toko, ada sebuah tangan besar yang menghalanginya. Dia dicegah masuk oleh seseorang, sepertinya paman itu adalah pemilik toko baju ini.

"Ehh" Bisik Miko. Dia kaget kenapa dia dihalangi untuk masuk. "Ada apa, kau mau apa" Tanya paman itu dengan tidak ramah. Tetapi, Miko masih bertindak sopan. Jika dia bersikap kurang ajar, maka dia pasti tak diizinkan untuk membeli baju baju itu. "Pak, akum au membeli baju" Katanya. Saat mengatakan itu juga dia tersenyum begitu lebar. Senyum yang murni berisi ketulusan dari seorang anak.

"Tak ada. Aku tak menjual baju ini" Tegas paman itu. "Ehh, lalu itu apa?" Kata Miko sambil menunjuk ke dalam toko itu. Di dalamnya ada banyak baju dengan berbagai warna, model, ukuran, dan bahan. Ada juga banyak lembaran kain yang tertata rapi. "Kau tak paham ya. Maksudku itu tak ada untukmu" Hina paman itu.

Raut wajah mereka berdua mulai terlihat cemas. Tapi Miko lebih kea rah takut. Wajah memelas dan memohon. "Tak apa, beri kamu baju using juga tak masalah" Pintanya. "Ukuran yang besar atau kecil. Model apapun juga tak masalah" Selanya. "Tak ada. Aku tak ingin menjual kepada pengemis kotor macam kalian" Bentak paman itu.

Miko mulai terlihat resah. Dia begitu khawatir jika nanti malam mereka berdua akan kedinginan lagi. Rasa dingin malam hari itu membuat kakaknya harus memeluknya untuk menghangatkan dirinya. Dia tak ingin kakaknya menahan dingin itu sendirian. Dia mulai menekuk lututnya sendiri. Memperlihatkan beberapa koin perunggu yang ada di kedua tangannya. Dia merendahkan dirinya sendiri hanya demi suatu hal yang dianggap remeh oleh orang lain.

"Kami bukan pengemis. Kami punya uang" Lirihnya sambil memperlihatkan sekumpulan koin perunggu receh yang ada di tangannya. Saat itu dia begitu memohon, bahkan hingga menangis. "Beri kami selembar kain juga tidak masal-" Ucapannya terhenti. Dia yang meminta minta itu ditendang dengan kuat oleh paman itu.

Tendangan itu membuat tubuh kecilnya terpental. Kini dia jatuh dan tak sadarkan diri. Matanya terlihat seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Koin yang tadinya dia pegang juga berhamburan di udara dan berakhir jatuh ke jalanan. Melihat adiknya yang diperlakukan macam itu, Erika mengamuk dan tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

"Sialan kau" Teriak Erika. Dia mulai meloncat ke dada paman penjual baju itu. Jari jarinya mencengkram lehernya dengan begitu kuat. Erika juga mengigit telinga paman itu sekuat tenaganya. Dia menarik gigitannya sekuat tenaga hingga telinganya robek. "Arrggghh" Teriak paman itu. Dengan sebuah telinga yang sudah terlepas dan masih berada di mulutnya, Erika masih belum puas menyerangnya.

Kini dia melepaskan tangan kanannya yang mencengkram leher orang itu. Sasarannya telah berganti. Dia mencolok kedua bola mata orang itu dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Dia menusuk matanya bolak balik hingga mulai terlihat tak etis.

"Hentikan, hentikan" Teriak paman penjual baju itu.

"Hei berhenti" Teriak seorang penjaga yang sedang berpatroli. Sekumpulan penjaga itu mulai mendekati perkelahian itu. Erika yang menyadari hal ini segera turun dari dada paman bajingan itu. Dia meloncat dan mengendong adiknya yang tak sadarkan diri. Dia berlari sekuat tenaga mencoba kabur dari para penjaga. Mereka berdua kabur dan meninggalkan uangnya sendiri.

Erika sekuat tenaga berlari. Dia sebisa mungkin mencoba tak tertangkap. Walau adiknya hanya menjadi hambatan, tapi dia tak ingin meninggalkannya. Hanya adiknya Miko harta yang dia miliki. "Kakak, maafkan aku. Aku mengacaukan semuanya" Bisik Miko tepat di telinga kakaknya. Dia sudah sadarkan diri, tetapi tubuhnya masih lemas tak bisa bergerak. Erika masih terus berlari hingga keluar dari desa itu.

"Tidak, tidak, tidak" Ucap Erika berulang kali. "Itu semua bukan salahmu. Kau sudah bekerja dengan keras. Dunia ini saja yang tak adil" Lirih Erika. "Maafkan aku, kita nanti akan kedinginan sekali lagi" Bisiknya. "Tidak apa apa. Asalkan kita selalu bersama, kita pasti bisa hidup" Desisnya.

"Kenapa? Kenapa para orang dewasa itu begitu jahat. Kita mendapat uang itu dengan menjual ikan, kita juga membawa uang untuk membeli baju. Lalu kenapa kita diusir? Kita berdua hanya memiliki satu sama lain. Selain itu tak ada apapun, TAK ADA!!" Teriak Miko.

"Aku benci mereka. Orang dewasa itu memuakkan. Mereka menjengkelkan. Rasanya aku ingin lari dari semua ini. Aku ingin kita berdua kabur dan hidup damai hanya berduaan saja" Katanya. Tepat setelah Miko melontarkan kekesalannya itu, tiba tiba terbentuklah sebuah lubang sihir yang begitu aneh. Kedua saudari itu memasukinya, ternyata itu adalah portal teleportasi.

Portal itu hilang begitu mereka masuk. Portal sihir yang begitu aneh itu menyelamatkan nyawa mereka. Kini mereka lagi lagi berada di hutan. Berada di dekat sungai tempat mereka menangkap ikan.

Merasa situasi sudah aman, Erika menurunkan adiknya dari gendongannya. Dia membaringkan adiknya tepat dibawah suatu pohon besar. "Apa kau tak apa apa?" Tanya Erika. "Iyaa, kakak sendiri?" Responnya. "Aku juga baik baik saja" Jawabnya. Mereka mulai menatap satu sama lain, mereka mencoba saling memperhatikan luka saudarinya. Bagi mereka berdua, tak ada yang lebih berarti dari pada saudari kembarnya itu. Karena hanya hal berharga itu yang mereka miliki.

"Aku punya ide untuk menghasilkan uang. Tapi yahh, mungkin ini sedikit buruk" Saran Miko. "Katakan saja, mungkin kita tak akan kelaparan lagi" Sahutnya. "Kita bisa membuat jebakan. Aku yang akan membuat perangkapnya, dan kakak yang memegang tali kekangnya. Jika tali itu dilepas maka akan memicu batu besar yang sudah diikat" Jelasnya.

"Tunggu tunggu. Maksudnya bagaimana" Tanya Erika pada adiknya. "Huhh, aku akan berpura pura menjadi gadis yang terluka atau semacamnya. Lalu saat ada orang datang dia akan terhempas hingga pingsan karena dipukul batu besar dari samping. Dan yang mengaktifkan jebakan batu itu adalah kakak" Tegasnya. "Itu sepertinya tak bisa kita lakukan. Karena batu besar itu terlalu berat" Ujarnya. "Ahh, iyaa benar" Ucapnya. Kini Miko terlihat murung karena ide bodohnya itu.

Dia diam sejenak menatap tanah. Saat itu juga ekspresinya terlihat lebih cerah. Sepertinya dia mendapatkan ide baru. "Itu dia, kita menggunakan getah dari pohon itu, pohon sisik ular. Kita akan menggunakannya untuk melumpuhkan seseorang, lalu kita ambil uangnya" Sarannya. "Nahh, kalua ini sepertinya bisa dilakukan. Lalu apa tugasku saat itu?" Respon Erika.

"Kakak berjaga jaga saja dari atas pohon. memantau area sekitar dan mencari korbannya" Sambungnya. Kini mereka berdua mulai berada di jalan yang salah. Memang benar jika tak ada kesempatan hidup di jalanan jika kau ragu. Pada dasarnya kau harus mengenyangkan perutmu agar tetap hidup. Walau kau memberi makan mulutmu dengan ikan basi sekalipun.

Waktu kian berlalu. Malam telah datang. Ini waktunya mereka melakukan pergerakan mereka. Kebetulan sekali di hutan tempat mereka berada, ada sebuah rombongan yang akan melewati hutan itu. "Mereka terlalu banyak. Apa kita bisa melakukannya" Tanya Miko pada kakaknya. "Jangan ragu. Kita incar saat salah satu dari orang orang itu berpisah dari kelompoknya" Tegas Erika.

Rombongan itu mulai beristirahat. Mereka membuat api unggun dan membakar daging yang mereka simpan. "Kakak, mereka punya daging" Ucap Miko sambil meneteskan liur. Aroma daging panggang itu benar benar menggugah nafsunya.

"Heii, kapan dagingnya akan matang?" Ucap seorang wanita yang berada di rombongan itu. Rombongan mereka hanya berisi lima orang. Satu wanita dan empat pria. Sepertinya juga mereka itu petualang yang berperingkat rendah. Itu jika dilihat dari peralatan mereka yang terkesan murahan. "Sabarlah, aku baru membuat api unggun dengan sihirku kan?" Sahut seorang pria. Rambut pendek berwarna biru sepanjang bahu, dan jubah sihir hijau yang melindungi tubuhnya.

"Ughh, aku tak tahan lagi. Aku ingin buang air kecil sebentar" Tegas seorang pria lainnya. Hanya berbekal armor sederhana seperti perisai dan pedang yang dia sarungkan di punggungnya. Mereka benar benar masih pemula. "Aku pergi dulu, sudah tak tahan. Pastikan dagingnya nanti tak gosong ya hehe" Godanya. Kini dia pergi meninggalkan empat kawannya.

Berjalan cukup jauh. Berada di tengah kegelapan malam tak membuatnya gentar sama sekali. Karena yang paling dia butuhkan sekarang adalah buang air kecil. "Tapi tiba tiba kakinya tergores oleh sesuatu yang tajam. "Heh, apa itu" Bentaknya. Kini dia menoleh kebelakang, tapi kakinya sudah kaku karena racunnya sudah menyebar. "Euagghh. Tolong aku" Teriak orang itu saat menyadari ada yang memberikan racun pelumpuh padanya. Hanya dalam waktu beberapa detik saja sebelum tubuhnya ikut kaku juga.

"Kerja bagus Miko" Puji Erika pada adiknya. "Tentu" Sahutnya. Dia hanya melukai kaki orang itu dengan ranting yang sudah di tajamkan. Lalu ujung ranting itu diolesi dengan getah dari pohon sisik ular. Hanya dengan luka kecil saja sudah cukup untuk penyebaran. "Mari kita lanjut ke rencana selanjutnya" Ajak Miko.

Kedua saudari itu menyeretnya ke suatu tempat. Mereka menaruhnya di tengah tengah semak semak berduri. Semak itu begitu banyak hingga menggunung. Siapapun yang memaksa untuk masuk ke dalamnya pasti akan terluka karena durinya. Tapi durinya hanya ada di bagian atas tanaman, dan kedua saudari itu masihlah anak anak yang pendek. Mereka bisa lewat di sela sela semak itu.

"Teriakan? Sepertinya ada sesuatu. Kalian bertiga, coba cari tahu, mungkin Arnold dalam bahaya" Perintah seorang pria dengan luka pada matanya. Mungkin dia adalah pemimpin dari party itu. Tiga orang yang diperintahkannya itu hanya menurut dan meninggalkannya sendirian. Kini dia hanya duduk sambil mengasah pisau miliknya agar tetap tajam.

Mereka bertiga mulai menjelajah hutan itu. Mereka pergi ke arah Arnold pergi. Tapi tak ada yang bisa mereka temukan. Kini mereka sudah dekat dengan semak berduri tempat si kembar itu menyembunyikan teman mereka. Erika menarik sebuah tali kecil yang terhubung dengan semak semak itu. Sekarang semak itu sedikit bergoyang karena olahnya. Melihat hal itu seseorang dari mereka mendekati semak semak itu. Dia terkejut karena mendapati temannya yang sedang berbaring kaku disana.

"Kau ngapain bodoh" Bentak salah satu seorang dari mereka kepada Arnold. "Ck, menyusahkan saja. Ayo kita gendong dia" Ucap seorang lelaki di dalam party itu. "Aku tak tertarik, kau dan Mathew saja yang menolong Arnold. Aku tak ingin kulitku terluka karena duri ini" Tolak wanita itu. "Ck, kau ini. Yasudah, Gido ayo masuk" Ajak Mathew. Mereka berdua mulai menyebrangi semak semak itu.

"Jadi kamu tak ikut?" Bisik Miko yang sedang berada di belakang wanita itu. "Hahh" Responnya. Wanita itu kaget karena tiba tiba ada dua orang anak kecil yang berada di belakangnya. Dengan sepenuh tenaga, si kembar itu mendorong wanita itu agar terjatuh ke semak semak berduri. Dia terbaring diatas semak semak. Kaki, tangan bahkan seluruh kulitnya telah tergores oleh duri duri tajam disana.

"Untung kita tadi siang sudah mengumpulkan getah itu. Bahkan hingga satu ember. Tapi tak kusangka kita akan menggunakannya seperti ini" Ujar Erika. "Ehehee. Tentu mereka akan lumpuh jika getah itu masuk ke dalam tubuh mereka. Bisa bisanya mereka masuk kedalam sana tanpa membawa pisau untuk memotong semak semak ini" Sahut Miko. "Kau semakin cerdas ya adikku" Puji Erika padanya. 'Tentu, aku tak ingin hanya menjadi beban" Tegasnya . Kalau begitu ayo lanjut ke rencana selanjutnya" Ajak Miko pada kakaknya.

Dengan kaki yang bergetar karena ketakutan. Mata yang menangis dengan hebat. Banyak luka lebam dan goresan pada tubuhnya. Baju dan rambutnya juga acak acakan tak teratur seperti sedang ada suatu masalah yang mengejarnya. Anak kecil itu berjalan dengan ketakutan mendekati petualang yang sedang mengasah pisaunya itu. Tentu ketua dari party itu akan menolong perempuan kecil yang sedang menangis itu.

"To-tolong aku paham. Kumohon" Rintihnya. "Tunggu dulu, ada apa nak. Ceritakan pelan pelan" Suruhnya. Ada sekumpulan Ogre yang mengejarku. Lalu ada tiga pria dan satu perempuan yang menolongku" Rintihnya. Dia menggosok gosok matanya yang sedang menangis hebat itu. "Mereka kesulitan menghadapinya. Jadi mereka menyuruhku kabur untuk memanggilmu" Gerutunya.

Pria itu mulai memegang bahu Erika dengan begitu kuat. Dia begitu khawatir dengan keadaan rekannya. "Temanku, dimana teman temanku" Teriaknya dengan nada kasar. "Mereka disana" Ucap Erika sambil menunjuk suatu arah. Arah tempatnya datang. "Tunggu disini" Suruh pria itu. Dia langsung mengambil pedangnya, pisau yang sebelumnya dia asah kini dia simpan di pahanya. Dia juga mengambil beberapa botol aneh, mungkin itu sebuah ramuan penyembuh atau semacamnya. Setelah itu dia segera berlari dengan sepenuh tenaga.

Ekspresi Erika yang sebelumnya sedih dan ketakutan, kini berubah drastis menjadi terlihat dingin dan serius. "Sayang sekali, arah yang kutunjuk bukanlah tempat temanmu" Gumamnya. "Miko, kau sudah selesai?" Tanyanya. "Ya, sudah" Jawabnya. Miko sedari awal sudah berada disana saat Erika datang. Miko mencari harta mereka diam diam.

"apa saja yang kamu dapat?" Tanya Erika pada adiknya. "Yahh lumayan banyak. Dua koin emas. Hal macam ini saja dulu tak bisa kita sentuh sama sekali" Ujarnya. "Tak apaa. Kita akan mendapat banyak uang nanti. Ini saja sudah cukup" Tegas Erika. "Yasudah ayo pergi, walau dia tak searah dengan temannya berada, kita tetap kalah cepat dengan mereka. Jadi lebih baik pergi sekarang" Ajak Miko. "Iyaa, aku tau".

Mereka berdua mulai berjalan menjauh dari perkemahan milik party itu. Kedua saudari itu sukses besar dalam melakukan perampokan pertama mereka. Mereka perlahan lahan berubah. Mereka terpaksa menempuh jalan itu. Nantinya mereka akan mulai terpengaruh banyak kejahatan lainnya.

Walau yang mereka lakukan itu buruk, kedua saudari kembar itu tak peduli. Bagi mereka itu salah dunia ini karena selalu kejam pada mereka. Mereka hanya saling peduli satu sama lain, hanya dengan itu saja mereka akan bisa bertahan di dunia yang hina ini. Dunia yang dipenuhi orang egois. Tapi jika tak bisa egois, maka mereka takkan bisa hidup. Sungguh suatu hal yang ironis.