Tak pernah satu hari pun aku mendapatkan ketenangan. Tiap memasuki rumah ini rasanya seperti didalam neraka. Barang yang pecah berserakan. Teriakan hinaan yang saling mereka lontarkan. Aku bahkan sudah hafal dengan apa yang akan terjadi.
Aku selalu berpikir, kenapa mereka berdua menikah jika akan berakhir saling menikam? Aku juga tak bisa hidup seperti ini terus. Aku harus kaya, aku harus sukses, aku nantinya akan menjadi orang besar yang akan berpengaruh. Itulah mimpiku.
Setiap hari mereka selalu berkelahi. Mereka yang kumaksud disini itu adalah keluargaku. Entah karena ayahku yang tak pernah menghasilkan uang, ataupun karena dia yang menghabiskan uang dengan berjudi. Atau ibuku dengan mulut kotornya. Aku benci keluargaku.
"Paul"
"Oi paul. Jangan melamun saat sedang berjualan" Teriak bosku memecahkan pikiran kacauku. "Maaf, aku akan melakukannya dengan lebih baik" Kataku. Saat itu bos berjalan dengan perlahan padaku. Mulutnya bergerak mendekati telingaku seperti akan membisikkan sesuatu. "Apa kau memikirkan keluargamu lagi? berhentilah. Kau harus fokus saat bekerja" Bisiknya.
Yang dia katakan memang benar. Pekerjaan tak boleh dicampur dengan perasaan. Jika tak begitu maka nanti akan hancur. Bos juga tak terlalu peduli padaku. Hubungan kami hanya sebatas atasan dan bawahan.
Di toko kue ini tempatku bekerja. Tempatku menghabiskan waktuku seharian. Aku lebih suka bekerja disini dari pada pulang kembali ke rumah. Disana memuakkan. Aku tak menyukainya.
Lalu setelah selesai melakukan pekerjaannya, Paul kembali pulang. Dia baru saja membuka pintu, tapi sudah melihat kekacauan. Pada saat membuka pintu rumahnya, dia melihat piring yang terbang ke arahnya. Tapi paul menghindarinya.
"Sialan kau, bisa bisanya setelah semua usaha yang kulakukan kau balas dengan selingkuh" Teriak Ayahnya. "Hahh? usaha macam apa. Kau hanya bermalas malasan dirumah. Aku yang selalu bekerja membersihkan rumah ini, tapi kau malah berjudi" Bentak ibunya. "Terserah, kau tak ada bedanya dengan lacur" Hina ayahnya sambil keluar dari rumah meninggalkan mereka semua.
Paul hanya mengabaikan itu semua. Dia juga dari awal sudah mengetahui jika ibunya berselingkuh. Ibunya selalu berkata itu demi masa depan anaknya, tapi dia bahkan tak pernah menyayangi mereka.
"Terserahlah, lebih baik aku pergi ke kamarku" Pikir Paul sambil melewati ibunya seolah itu bukan apa apa. Saat sudah sampai di kamarnya, dia membaringkan tubuhnya keatas kasur. "Sampai kapan neraka ini akan berakhir?" Pikirnya didalam benaknya. "Aku ingin segera kaya, lalu membeli rumah dan segera pergi dari sini".
"Tak apa, aku bisa melakukan ini. Aku berbakat dalam bisnis. Aku yang paling tau dengan keadaanku sendiri" Gumamnya. Dia pun mulai bangkit dari kasur dan mulai melihat dirinya sendiri di depan kaca. Terlihat seorang lelaki berambut hitam acak acakan. Mata panda karena terlalu sering begadang. Dan tubuh yang begitu kurus. Mentalnya benar benar terkuras karena keluarganya sendiri. Satu satunya alasannya tetap hidup adalah ambisinya dengan uang.
Paul begitu lelah dengan hidupnya itu. Dia menghabiskan waktunya dengan bekerja agar tak mendengar kebisingan yang dibuat keluarganya. Selain itu dia suka bekerja juga demi impiannya, baginya uang adalah segalanya. Jika memiliki uang maka takkan ada keributan macam ini.
Pertengkaran antar orang tuanya sudah sering terjadi. Tak hanya itu, ibunya hanya memanfaatkannya sebagai mesin penghasil uang. Ayahnya juga sering memukulnya hingga pingsan demi mengambil uang tabungannya. Satu satunya yang bisa dia harapkan hanyalah saudaranya. Dia benar benar ingin mengakhiri keluarga busuk ini dengan segala cara.
Kebanyakan orang pasti berpikir jika dia anak yang durhaka. Kenapa hanya anak saja yang bisa disebut durhaka lalu orang tua tidak? Dari awal dia tak pernah meminta untuk dilahirkan. Jika menikah dan memiliki anak maka kewajiban orang tuanya adalah membesarkan dengan layak. Air susu, pendidikan, biaya hidup, orang tua tak pantas menagih itu pada anaknya. Itulah pikiran Paul.
Tak lama kemudian pintu kamarnya terbuka, seseorang masuk ke dalam kamarnya. "Ohh Lucy, ada apa?" Tanya Paul saudaranya. Dia berambut merah muda bergelombang dan rambutnya hanya sepanjang bahunya. Tangan yang lentik gemulai, kulit yang terlihat seperti susu. Bagaimanapun dia terlihat begitu manis dan imut. Tapi nyatanya dia adalah seorang lelaki.
"Antonio, bukan lucy. Sehalusnya jangan memanggilku dengan nama pelempuan" Tegasnya. "Jika tak mau dipanggil begitu, ya jangan berpenampilan seperti itu" Ujar Paul. Walau kelihatan cuek dan tak peduli, sebenarnya paul cukup menyayangi adiknya itu.
Antonio namanya. Satu satunya orang yang waras di keluarga ini. Sayangnya dia adalah saudara beda ayah dengan Paul. Sebenarnya semua orang juga tahu jika dia anak haram ibunya yang berselingkuh dengan lelaki lain. Tapi itu bukan salahnya, itu salah orang tua sialan itu.
Tak seperti Paul, Antonio tak memiliki pekerjaan yang menghasilkan uang. Dia hanya suka meracik obat obatan dari tanaman. Setelah itu dia menjual obat buatannya itu, walau pada akhirnya tak ada yang membelinya. Selain itu dia juga memiliki hobi melukis.
"Yahh, aku mendatangimu kalena" Ucap Antonio, tapi ucapannya itu terhenti karena Paul menyelanya. "Karena apa?" Selanya. "Apa kau baik baik saja?" Tanya Antonio. Setelah mendengar perkataannya itu, Paul mendekati kasurnya dan duduk diatasnya. "Ya, aku tak apa. Kau sendiri seharian ini?".
"Hmm. Aku tadi mencampulkan bunga mawal bilu dengan gingseng goblin. Biasanya goblin menyukai gingseng itu" Ujarnya. "Langsung ke intinya saja" Suruh Paul. "Aku mencoba membuat obat" Ungkap Antonio. "Obat Apa?" Tanya Paul. "Obat diale".
Mereka hanya melakukan basa basi macam itu. Tapi setelah itu keduanya diam karena sudah kehabisan topik. Saat itu Lucy(Antonio) membuka obrolan. "Hei, apa kita nanti akan baik baik saja?" Tanya Antonio.
Paul mengerti penuh apa arti pertanyaannya itu. Karena saudaranya itu juga pasti mengalami stres yang sama dengannya. Tapi tetap saja, mereka berdua hanya anak laki laki biasa yang bahkan tak bisa bertarung.
"Sudahlah, tak perlu khawatir dengan hal tak perlu. Biarkan saja dua idiot itu (Orang tua Paul)" Tegasnya. "Soal mimpimu ingin menjadi dokter bagaimana? Lalu apa kau masih suka melukis?' Tanya Paul. "Entahlah, aku melasa buntu dengan mimpiku. Obat buatanku selalu kalah dengan sihil penyembuh. Lalu aku tak bisa melukis hanya dengan lanting, aku mempelukan alat" Jelasnya.
"Fokus saja dengan yang bisa kau lakukan. Tak perlu khawatir mimpimu akan gagal atau tidak. Toh nantinya kau akan bisa menjadi dokter sungguhan." Hibur Paul pada saudaranya itu. "Tapi Lucy, jangan kaget jika pasienmu nanti memanggilmu setengah perempuan" Godanya. "Ya ya ya ya telselah" Responnya sambil menunjukkan senyum manis yang benar benar imut.
"Sebenarnya aku memiliki uang. Aku menyimpannya dibawah laci. Tapi aku tak bisa membantumu soal alat lukis" Ungkapnya. "Aku memiliki keperluan lain, kau paham kan?" Sambung paul. "Iyaa iyaa. Gapapa. Asal kau tak menyelah itu sudah cukup. Aku juga tak meminta bantuanmu" Jawabnya.
Malam itu akhirnya berlalu. Mereka berdua pergi tidur di kamarnya masing masing. Setelah bangun pagi, Paul langsung berangkat kerja ke toko kue. Dia dengan sengaja melewatkan sarapan karena dia ingin makan roti di tokonya. Lagipula sudah pasti ibunya tak memasak hari ini.
"Halo bos" Sapa Paul saat membuka pintu memasuki toko itu. "Ohh kau sudah datang ya. Ahahaa, seperti biasanya selalu tepat waktu" Puji bosnya. Saat itu bosnya terlihat membawa sebuah kain yang sudah dicat. Tapi tak terlihat ada tulisan apa karena kain itu digulung. "Tak perlu masuk, bantu aku memasang spanduk ini diluar" Suruhnya.
Singkat cerita spanduk telah dipasang. Kini Paul berdiri didepan toko untuk mengamati spanduk itu. "Diskon 10 persen untuk pembelian dengan total 60 koin perak. Tumben si kikir itu memberi diskon" Pikir Paul di benaknya. "Ya terserahlah, mending aku menata roti di rak roti" Gumamnya.
Toko roti itu mulai memempelkan tanda "Buka" di depan jendela. Tanda toko sudah beroperasi. Beberapa pelanggan mulai berdatangan memasuki toko roti itu. Sementara itu di meja kasir ada Paul yang hanya mengamati para pelanggan. Tiba tiba bosnya membuka pintu di belakangnya dan meghampirinya dengan membawa dua keranjang penuh roti yang menggunung.
"Paul, nanti sisipkan roti ini ke para pelanggan" Bisiknya tepat di telinga Paul. "Iyaa" Jawabnya singkat. Saat paul melirik tumpukan roti di keranjang itu, dia terpikirkan sesuatu. "Sudah kuduga jika ini roti kemarin. Walau belum kadaluarsa tapi rasanya berbeda. Yasudahlah bukan urusanku, yang peting gajiku tak pernah dia tunda" Pikir Paul di benaknya.
Waktu telah berlalu. Sekarang matahari hampir terbenam bersembunyi dari rembulan. Saat itu Paul mau kembali ke rumahnya karena tokonya sudah tutup, pekerjaannya telah usai. Saat mulai membuka pintu rumahnya, kepalanya dipukul dengan keras. Pandangannya mulai kabur, semua yang didepannya menjadi tak terlihat. Tubuhnya tak kuat hingga akhirnya pingsan.
Kepala rasanya begitu berat, terasa seperti tertimpa kuda. Pandangannya mulai terlihat dan akhirnya dia terbangun. Saat menyadari dimana dia berada, Paul menjadi gila tak karuan. "Ck, hei hei apa apaan ini" Teriaknya. Dia menyadari jika dirinya berada di dalam sebuah kandang untuk budak. Dan yang lebih parah lagi dia melihat Lucy(Antonio) Saudaranya yang berada di kandang juga tepat di depannya.
"Oi, Oi lucy. Apa ini, kenapa. Apa yang sedang terjadi?" Tanya Paul pada saudaranya. Matanya terlihat memendam benci yang begitu besar. Wajahnya terlihat seperti hantu yang mengerikan. "Paul, maafkan aku. Aku gagal menghentikan meleka. Kita berdua dijual dan...." Ungkap Antonio.
Seketika Paul menjadi meledak ledak saat itu juga. "Sialan, bangsat, bajingan" Teriaknya. "Ahh, yahh seperti itu. Aku tak peduli dengan norma atau hal sialan apapun. Hal yang kuinginkan sejak dulu akan kulakukan. AKAN KULAKUKAN!!" Pikirnya. "Oi, siapapun, aku ini cerdas, bebaskan aku. Akan kuberikan sesuatu yang menarik untukmu, siapapun" Pintanya sambil memelas.
Seorang pria mulai memasuki gerobak. Dia berniat menghentikan ocehannya karena terlalu berisik. "Berisik diamlah" Bentaknya sambil menendang kandang Paul. "Tidak tidak, bebaskan aku. Kau ingin jadi raja? Menguasai sesuatu? Atau apapun itu akan kubantu. Asal kau membebaskanku sekarang" Pintanya.
"Bangsat. Diamlah. Memangnya budak itu pantas untuk berbicara" Hinanya pada paul. Tapi dia tetap memberontak dan mengabaikannya. "Tunggu" Perintah seseorang, suaranya terdengar dari luar gerobak. "Lepaskan dia, aku ingin berbicara dengannya" Perintah orang itu pada pria yang menendang kandang Paul. Hanya dengan satu kalimat, dia dibebaskan. Kemungkinan dia orang berpengaruh di kelompok itu.
Paul berdiri berhadapan dengan orang itu. Rambut coklat yang tergerai sepanjang bahu. Mata coklat yang jernih terlihat seperti biji kakao. Kulit kegelapan yang terlihat begitu hitam hampir menyamai bayangan. Pria itu berdiri di depan Paul, mereka saling berhadapan. "Apa yang kau inginkan, apapun itu pasti kubantu. Asalkan kau membebaskanku sekarang, aku berjanji akan membantumu" Tawar Paul padanya.
"Hmmm, ini menarik" Ujar Pria itu sambil memegang dagunya. 'Tapi untuk saat ini aku ingin budak untuk dijual, jadi aku tak bisa membebaskanmu bocah" Tegas pria itu. "Hanya itu keinginanmu? Baiklah akan kucari lusinan pengantiku untukmu. Ini bahkan selesai lebih mudah dari dugaanku" Kata Paul.
"Berikan aku peta" Pinta Paul. Pria itu mulai merogoh kantungnya, dia mengambil peta dari sana lalu memberikannya pada Paul. Paul mulai duduk diatas tanah, mengambil beberapa batu dan membuka peta itu.
"Disebelah sini ada sumber air, jadi pasti ada suku itu di sini" Ucapnya sambil menaruh satu batu di peta. "Disini tanaman tumbuh jauh lebih subur, otomatis banyak hewan yang berada disini, itu makanan kesukaan suku itu" Ucap Paul sambil menaruh satu batu sekali lagi.
"Kau bisa menculik para Licanthrope di tempat yang kutandai" Tutur Paul. "Mengesankan. Dia bisa mengetahui posisi suku licanthrope dengan tepat. Ternyata dia tak main main" Pikir pria itu di dalam benaknya. "Baiklah, kau boleh pergi" Suruhnya.
"Apa aku bisa meminjam satu pisau dan pemantik api?" Minta Paul pada pria itu. "Ini" Jawab pria itu dengan singkat sambil memberikan sesuatu yang dimintanya. Paul mulai menengok kebelakang ke arah saudaranya. "Antonio, jangan khawatir. Setelah ini aku janji akan kembali. Aku akan membuatmu menjadi dokter juga memberikan alat lukis untukmu" Katanya.
"Bos, kenapa kau membebaskannya. Bukankah lebih baik menangkapnya juga setelah menculik para licanthrope?" Tanya pria yang menendang kandang itu. "Aku tak tahu dendam apa yang dimilikinya maupun sebesar apa. Tapi yang pasti, dengan tatapan matanya itu dia bisa membakar seisi dunia" Jawabnya. "Aku seperti melihat diriku yang dulu" Sambungnya.
Pada waktu itu sudah tepat tengah malam. Tepat saat Paul terbakar oleh amarahnya sendiri. Dan saat itu rembulan terlihat begitu besar dan indah.
Diantara kegelapan malam di dalam hutan, tak ada monster yang menghalangi jalannya. Paul hanya berjalan dengan perlahan di gelap gulita itu. Dia pun mulai memasuki desa dimana dia tinggal. Lampu lampu jalanan bersinar redup. Lampu rumah terlihat sebaliknya karena tak menampakkan cahaya apapun. Tanda semua orang desa sudah tertidur.
Dia pun mulai melihat rumahnya di ujung jalanan. Dia berjalan dengan penuh amarah yang begitu membara. Saat di depan rumah, dia mengambil sebuah balok kayu. Dia pun mulai membuka pintu rumahnya dengan perlahan dan tak menimbulkan suara sedikitpun.
Terlihat ayahnya sendiri yang mabuk hingga tak sadarkan diri di lantai. Paul memukul kepala ayahnya dengan begitu kuat dengan kayu yang tadi dia ambil. Setelah itu dia memukul dada ayahnya hingga rusuknya patah. Ayahnya bahkan tak bisa bangkit saat itu.
Setelah melakukan tindakannya itu, kini dia berjalan dengan begitu santai ke kamar ibunya. Ibunya yang tertidur pulas diatas kasur tak menyadari kehadiran putranya sendiri yang dia jual. Paul mulai mencekik ibunya sendiri dengan kedua tangannya. Jempolnya menekan lehernya dengan kuat. Sekarang ibunya terlihat seperti cacing yang menggeliat karena tak bisa bernafas.
Dia mulai menyeret kedua orang tuanya ke ruangan makan. Ruangan itu adalah pusat dari rumah ini. "Untuk pertama kalinya aku bersyukur karena rumah ini terbuat dari kayu" Ungkapnya. Dia mulai mengikat tangan dan kaki orang tuanya. Setelah itu dia menggantungkan mereka dengan tali. Dia juga menyumpal mulut mereka dengan kain agar tak bisa berteriak.
Setelah itu paul menampar pipi mereka berkali kali. Dia melakukan itu agar orang tuanya terbangun dari pingsannya. "Tentu akan lebih menyakitkan jika kalian menyadarinya" Ungkapnya. Dia mulai berjalan keluar dari rumah itu. Tak lupa dia juga menuangkan minyak tanah di beberapa bagian rumahnya.
Balok kayu yang dia gunakan untuk memukul ayahnya itu juga dia lumuri dengan minyak tanah. Setelah itu dia membakar balok kayu itu dengan pemantik api. "Selamat tinggal untuk kalian para kubangan tahi. Kita akhiri hubungan menyedihkan ini" Gumam Paul.
Dia mulai mengelilingi halaman rumahnya sambil menyalakan api di berbagai sudut. Api mulai menjalar dengan cepat karena minyak tanah yang dia tuangkan. Apalagi rumah itu sepenuhnya terbuat dari kayu. Kini api menjadi begitu besar menelan rumahnya. Tak terdengar sedikitpun teriakan dari orang tuanya karena Paul telah menyumpal mulut mereka.
"Durhaka? Jangan sebut seperti itu. Kalian sendiri yang melakukan itu padaku. Aku membenci kalian berdua. Beginilah jadinya jika dua orang tolol menikah. Kalian tak siap secara mental maupun finansial. Maka itu inilah hasil akhirnya" Gumam Paul.
"Antonio juga bukan anak haram darimu. Dia tak bersalah soal apapun, tetapi masyarakat mengucilkannya karena dia anak hasil perselingkuhan. Masyarakat juga jijik melihatnya karena dia terlihat seperti perempuan. Tetapi itu bukanlah salah Antonio"
"Kau memang ibuku. Tetapi pernahkah sekalipun kau bersyukur karena melahirkanku. Kau bahkan selalu menyebutku tak berguna. Tapi kau sendiri, yang bisa kau lakukan hanya memaki dan memaki. Kau bahkan tak tahu apa mimpi Antonio. Kau juga membakar karya seni miliknya"
"Kau memang ayahku. Tetapi pernahkah kau memberi didikan ataupun nasehat padaku. Kau hanya suka mencekik dan memukulku. Aku bahkan lebih mengingat rasa kaca pecah yang menempel di kulitku dari pada belaian tanganmu"
"Lalu untuk kalian para dewa dewi. Aku tak peduli jika kalian memasukkanku ke neraka atau semacamnya. Kalian juga tak ada bedanya dengan kencing kuda. Yang bisa kalian lakukan hanya bersikap sok bijaksana dan memerintah diatas langit"
"Untuk kalian keluargaku. Aku menyimpan uangku didalam lemari dan dilaci meja. Aku sudah tak memerlukannya. Kalian sekarang bisa memilikinya. Itupun jika kalian masih hidup" Pikir Paul di dalam benaknya sambil berjalan menjauh dari rumahnya yang di telan oleh api.
Paul mulai berjalan ke suatu arah. Dia tesenyum puas saat itu. Tapi anehnya air mata malah keluar dari matanya. "Sekarang ini sudah berakhir, kali ini tak apa untuk menangis" Pikirnya untuk menghibur dirinya sendiri. Dia mulai berjalan keluar desa. "Hmm, tadi rombongan orang itu bergerak ke arah selatan. Mereka pasti akan pergi ke perkumpulan budak. Aku akan kesana juga untuk kembali pada Antonio.
Paul terus berjalan ke arah tujuannya. Walau tanpa alas kaki, dia tetap melangkah maju. Dia sudah melewati beberapa desa pada malam itu.
Namun kali ini dia bertemu seseorang yang duduk dibawah lampu jalanan. Laki laki lesu berambut biru yang terlihat cukup terang karena terkena cahaya lampu jalanan. Paul mendekatinya dan mencoba mengajaknya bicara.
"Kau ngapain malam malam sendirian begini?" Tanya paul. "Hmm? sudah kutunggu ternyata datang juga. Sepertinya dewi Fitreya yang baik hati mengirimmu untuk menjemputku" Ungkap orang itu.
"Dewi? Nampaknya ada satu lagi orang sinting disini" Pikir Paul di benaknya. "Terserah, dan kau belum menjawab pertanyaanku" Tegasnya. "Aku diusir dari rumahku. Singkatnya begitu" Imbuhnya.
"Ohh iyaa, perkenalkan namaku Frans. Kau bisa memanggilku begitu" Ungkap Frans. "Ck terserah. Aku tak peduli dengan siapa namamu" Hina Paul padanya."Tapi dilihat dari tangannya yang memiliki beberapa bekas kasar, dia pasti pekerja keras. Aku bisa memanfaatkannya untuk rencanaku" Pikir Paul.
"Mau ikut denganku? aku bisa menuntunmu ke jalan kesuksesan. Itu jika kau selalu mengikuti perkataanku sih" Tawarnya pada Frans. Tawaran tak jelas yang terdengar cukup sombong. "Maaf saja, tapi tuan yang kucari bukan kamu. Aku menginginkan cahaya pembimbing" Tegasnya. "Ya ya ya terserah" Ledek Paul.
Setelah itu Paul meninggalkan lelaki gila itu sendirian. Tapi Frans mengikuti Paul dengan senang hati tepat di belakangnya. "Kau ngapain? katanya tak ingin ikut?" Tanya Paul sambil berjalan keluar dari desa itu. "Angin berkata padaku jika cahaya akan datang padaku lewat dirimu" Ungkapnya.
"Sudah gila. Orang ini benar benar sinting. Tunggu, apa mungkin dia Atreya?" Pikir Paul. "Kenapa dengan angin? Apa kau ini Atreya atau?" Tanya Paul. "Aku tak memiliki darah macam itu. Aku hanya percaya pada dewa dewi jika keberuntungan akan menyertaiku. Itulah bentuk penghambaanku" Ungkapnya dengan mata berbinar binar. "Yasudah terserah. Ikuti aku jika kau ingin bertemu cahayamu itu" Ucap Paul.
Dia tetap berjalan dengan penuh semangat. Dia ingin kembali menemui saudara tirinya yang menjadi budak itu. Tapi kali ini dia tak sendirian, dia ditemani oleh Frans.
Dengan kecerdasannya, dia dengan mudah menemukan markas perkumpulan para budak. Slave association, itu salah satu cabang perbudakan terbesar. Dan tempat itu di bawahi oleh organisasi kriminal yang beroperasi di dunia bawah [Underworld]. Lalu yang didatangi oleh mereka berdua itu salau satu cabangnya.
"Dia pergi ke tempat ini? apa aku benar benar bisa menemui cahayaku disini?" Pikir Frans di benaknya.
"Oi sialan, biarkan aku masuk" Bentak Paul ke penjaga yang berdiri dengan tegap didepan gerbang. "Hahh? kau mau menjual atau membeli?" Tanya penjaga itu.
"Bukan keduanya. Aku ingin menjadi budak" Ungkapnya. Para penjaga itu pun terkejut dengan maksudnya.
"Tunggu, dia gila atau bagaimana? Kenapa dia ingin kita menjadi budak?" Pikir Frans di dalam benaknya. Frans benar benar keheranan kenapa dia mengatakan itu. Dia mengira jika ada sesuatu yang miring di kepala Paul.
"Tunggu tunggu tunggu" Teriak seseorang dari dalam tempat itu. "Dia tamuku, jadi biarkan saja dia masuk" Ucap seseorang. Dialah yang sebelumnya membebaskan Paul. Pria kulit gelap, mata dan rambut yang serba coklat. Pria itu juga yang memberi Paul pisau dan pemantik api.
"Ahh baiklah. Kalian silahkan masuk" Suruh penjaga itu dengan hangat.
Paul dan Frans memasuki tempat perdagangan budak itu. "Hai" Sapa Paul pada pria itu. "Tak kusangka kamu benar benar kembali. Jadi, apa yang akan kamu lakukan kali ini" Tanya pria itu.
"Dimana saudaraku? kau pasti tau kan" Tanya Paul. "Tentu, biar kuantar" Ungkap pria itu. Mereka pun berjalan menelusuri tempat itu. Hanya bertembok kayu.
Tapi diluar dugaan, tempat seluas itu tak memiliki apapun didalamnya. Hanya ada tumpukan kotak kayu di sebagian ruang. Dan diluar dugaan, ada ruang bawah tanah rahasia. Inilah tempat Lucy(Antonio) berada.
Singkat cerita, Paul dan Antonio sudah saling bertemu. Pria yang memandu Paul juga pergi meninggalkan mereka.
Kondisi Antonio saat itu dia berada di dalam sel besi. Tangan dan kakinya juga dirantai. Pergerakannya begitu terbatas.
"Kukila kau akan pelgi meninggalkanku" Ujarnya. "Lucy, aku tak mungkin meninggalkanmu. Aku tak pernah menanggap remeh sebuah janji" Ungkap Paul.
"Bial kutebak, kau pasti membalas dendam ke meleka bukan? Meleka kau apakan?" Tanya Antonio padanya. "Kupukul, lalu kubakar hidup hidup hingga tak bersisa" Tegasnya. Wajah Lucy(Antonio) berubah menjadi terkejut.
"Tak kusangka kau akan melakukannya sepalah itu" Tegasnya. "Sebenarnya aku masih ingin melakukan yang lebih dari itu" Ungkap Paul. "Jadi setelah ini, kau akan melakukan apa" Tanya Antonio
"Janji tetaplah janji, aku akan menjadikanmu seorang dokter. Lalu aku akan membuatmu mendapat alat melukis yang layak" Sahutnya. "Telimakasih" Sanggah Lucy(Antonio).
"Lucy, apa kau percaya padaku? Yang kulakukan setelah ini akan cukup gila" Tanya Paul dengan wajah cukup serius. "Ya, apapun yang kamu lakukan, aku akan mendukungmu" Jawabnya. "Baiklah, sudah kuputuskan" Gumamnya.
Dua minggu telah berlalu sejak pertemuan mereka. Saat itu Paul melakukan suatu hal yang sungguh gila. Dia menjadi budak dengan sukarela. Dan yang lebih aneh lagi Frans juga mengikutinya.
Paul ditempatkan di tempat khusus. Kini tubuhnya semakin tak terawat. Rambut yang kasar terkena tanah. Kantung mata yang semakin hitam. Pandangan yang terlihat lesu dan kantuk. Tubuh yang begitu kurus tak terawat. Dia benar benar menjadi seorang budak.
"Tunggu, tempatnya tak lewat sini" Kata seseorang. Ucapannya itu terdengar dari kejauhan, tapi Paul tetap mengabaikannya. "Biarkan saja, aku cuma ingin berkeliling".
Setelah itu, terlihat segerombolan orang yang lewat di depan ruangan Paul. Mereka begitu banyak, bahkan memiliki tubuh yang kekar. Lalu, ada seseorang yang begitu tinggi dan berotot. Orang itu berhenti sejenak, lalu berdiri dengan tegas didepan ruangan Paul.
Sekarang pemisah diantara Paul dan orang orang itu hanyalah jeruji besi. " Bukakan pintunya" Perintah orang itu. Sepertinya dia pimpinan mereka. Dan gerombolan itu memanggil penjaga untuk membuka sel itu. Lalu Pemimpin rombongan itu masuk ke dalam sel.
Pria itu berdiri dengan tegap menatap Paul. Kedua tangannya dia masukkan ke saku celana. Pandangannya layu tetapi terkesan menusuk. Hawa keberadaannya begitu mengintimidasi. Aura yang dipancarkannya membuat sebagian orang tak ingin terlibat dengan yang dia lakukan.
"Apa apaan pria ini? kenapa dia bersikap begitu" Pikir Paul. Saat itu paul menengok ke belakang pria itu. Dia melihat segerombolan orang yang terlihat hidup sekaligus mati. "Prajurit perang mungkin?" Pikir Paul.
"Hmm, aura kebangsawanan. Aku juga bisa mencium aroma uang darinya" Pikir Paul di benaknya. "Lalu sikap kepemimpinan begitu terpancar darinya. Aku tak begitu menyukainya, dia terlihat kurang cerdas" Pikir Paul sekali lagi.
"Tunggu, dia terlihat lebih tinggi dari para bangsawan. Apa mungkin" Pikir Paul. "Dante De Claudia" Ucap Paul dengan begitu lantang. Pria yang berada di hadapannya itu kini sedikit terkejut.
"Hahh" Hela nafas Dante terdengar. Dia pun mulai berjalan mendekati Paul, lalu menendangnya dengan begitu kuat. Setelah melakukan itu, dia kini mencekik Paul dengan tangan kanannya dan mengangkatnya hingga hampir menyentuh langit langit bangunan.
"Walau kau tahu namaku, tapi tak sopan jika seorang budak menyebutnya begitu saja" Bentak Dante padanya. "Tak kusangka dia mengetahui penyamaranku" Pikirnya. "Dia berbakat" Pujian Dante untuk Paul di pikirannya.
Setelah itu dia melempar paul hingga terguling guling diatas tanah. Lalu dia pergi meninggalkannya dengan begitu dingin. Dante pun keluar dari ruangan yang menahan Paul.
"Aku akan membelinya, 20 koin emas. Simpan dia dulu, 30 hari lagi akan kuambil" Ucap Dante pada penjaga yang berdiri di dekatnya. Dia juga memberikan sejumlah koin emas pada penjaga itu.
Tapi semua tindakan Dante saat itu sia sia. 7 Hari setelah dia membeli Paul, Cabang Slave Association akan hancur. Itu semua karena ulah Yvonne yang menghancurkannya. Dan Yvonne bahkan merekrut Paul, Lucy(Antonio) dan Frans.