Di tengah kehancuran multiverse yang telah lama terpendam, Galactic Cocoon terus berdetak seperti jantung raksasa yang merayap di antara kepingan realitas. Di dalam jantungnya, di ruang yang penuh dengan cahaya yang berpendar samar, Kael duduk di atas sebuah singgasana yang terbuat dari denyut pulsar. Di sisinya, seorang gadis kecil bermata seperti galaksi—Lysandra-Re—duduk dengan tenang, wajahnya pucat namun penuh misteri. Di sekeliling mereka, gelembung-gelembung membran hitam bergemuruh, dan di dalam setiap gelembung kecil itu, mini alam semesta lahir dan mati dalam siklus yang tak berkesudahan.
Di Alam 1.1, di mana hutan-hutan kaktus yang menjerit mendominasi lanskap, setiap duri mengandung jeritan jiwa-jiwa korban yang pernah terperangkap oleh tangan Kael. Suara mereka berbisik dalam irama duka, seakan meminta keadilan atas setiap kehancuran yang pernah terjadi. Tak jauh dari situ, Alam 1.2 terbentang sebagai samudra asam, lautan pekat yang mengalir lambat di mana kapal-kapal hantu, sisa-sisa peradaban yang telah dihancurkan oleh Kael Prime, terus berlayar dalam keabadian kesedihan. Di antara kedua alam itu, Alam 1.3 muncul sebagai padang pasir waktu, di mana setiap butir pasir menyimpan fragmen memori Kael yang telah hilang, bayangan masa lalu yang terus mengikis identitasnya.
Di tengah kekacauan itu, Lysandra-Re menatap Kael dengan mata yang tajam dan penuh tanya, suaranya lirih namun penuh beban, "Setiap kelahiran di sini adalah kematian dari dirimu yang lama. Ayah… maukah kau menjadi inti dari segalanya?" Kata-katanya seolah menjadi mantera yang menggugah tiap partikel kosmos, memanggil kembali masa lalu yang telah lama terkubur. Kael menatap cermin retak yang terletak di lantai singgasana; bayangan dirinya di Alam 9 tampak tertawa dengan kegilaan, sambil dengan jari kelingkingnya menghancurkan galaksi–galaksi, seolah ingin menepis semua keputusasaan yang selama ini menghantuinya.
Di luar ruang kelahiran itu, di Kota Plasenta yang hidup dalam organik kehancuran, kekacauan mencapai puncaknya. Selene, dengan Starforge Bomb yang kini menyatu dengan tulang belakangnya, menyusup ke dalam kuil pusat. Di dalam kuil tersebut, ritual harian mencapai klimaks yang mengerikan. Di Altar Darah, bayi-bayi galaksi dikorbankan dengan kejam di atas prasasti yang menampilkan gambaran Kael dan Lysandra berpelukan di tengah letusan supernova, sebagai persembahan bagi kekuatan yang terus tumbuh. Para imam, makhluk hibrida manusia dan bintang, dengan telapak tangan yang memiliki mulut, melantunkan mantra-mantra dalam bahasa yang membuat langit pun berdarah, menyatu dengan deru duka yang memenuhi setiap sudut ruangan.
Di antara bayang-bayang upacara yang brutal itu, Selene menatap altar dengan mata yang membara, "Tidak ada yang suci di sini," gumamnya, suara penuh dendam menyatu dengan gema keputusasaan. Tangannya yang gemetar hampir menekan tombol pada Starforge Bomb, namun saat itu pula bayangan seorang sosok muncul. Dalam bentuk holografik yang samar, Astraea, sang dewi perang Dinasti ke-7, berseru dengan nada menggelegar, "Ledakan ini akan membunuhmu, adikku. Tetapi lebih dari itu, ia akan membangkitkan Sang Penelan dari Alam 8." Suara Astraea menghantam setiap jiwa yang hadir, meninggalkan pertanyaan yang menggantung di udara—apakah pengorbanan itu akan menelan sisa-sisa harapan atau justru membuka jalan bagi kehancuran yang lebih besar?
Di balik kekacauan ritual dan pertempuran pikiran, dua dunia bertabrakan di medan supernova buatan. Kael asli dan Kael Prime, dua sisi dari kekuatan yang sama, bertarung sengit dalam medan Mindscape Galactic Cocoon. Di Alam 5, pertempuran pertama terjadi ketika Kael Prime mengayunkan pedangnya, Chrono-Sever, memotong garis waktu sehingga Kael asli kehilangan sepuluh tahun ingatan dalam sekejap. Di ruang kontrol di Alam 9, dengan satu sentuhan tombol, Kael asli mengaktifkan kekuatan yang mampu memusnahkan Alam 3, sebuah keputusan yang mengguncang semesta dan memecah realitas. Sementara itu, di lapisan terdalam, kamar tidur masa kecil Kael yang telah lama terlupakan, ia menemukan kengerian yang tersembunyi; ayahnya, yang pernah digantung, ternyata adalah korban dari eksperimen kejam yang pernah dilakukannya ketika masih kecil. Dengan marah, Kael Prime meneriakkan, "Kau pikir kau korban? Kau selalu algojo!" Sementara Kael asli berusaha bangkit, mengoyak lapisan ingatan itu, mengungkap ruang rahasia di mana dirinya di Alam 9 dengan tawa keji menyaksikan pertempuran itu, seolah menikmati penderitaan yang telah ia ciptakan.
Di Alam 8, puncak kekacauan semakin mendekati titik kritis. Ribuan klon Kael yang telah dikumpulkan dalam Proyek Echo mencapai massa kritis dan mulai meleleh, membentuk sungai energi yang mengalir deras ke inti planet. Langit di Alam 8 retak, dan dari celah-celahnya muncul Mata Abyssal sebesar galaksi, yang menatap tajam ke segala arah. Dalam keheningan yang mencekam, The Devourer bangkit dalam wujud awalnya: sebuah gumpalan energi liar yang memiliki miliaran mulut, setiap mulutnya terus menerus melantunkan nama Kael dengan nada yang menyeramkan. Dampaknya begitu dahsyat sehingga 10% populasi di Alam 3 hingga Alam 7 tiba-tiba mengalami amnesia total, seolah ingatan tentang Kael telah dicuri untuk dijadikan bahan bakar bagi kekuatan baru yang mengerikan.
Di tengah segala kekacauan itu, Lysandra-Re menjerit kesakitan sambil memegang kepalanya, "Dia datang... Dia yang Kuno..." Suaranya seakan menjadi pertanda bahwa masa lalu telah bangkit untuk menuntut keadilan atas dosa-dosa yang telah terjadi. Sementara itu, kapal hantu Kael muda yang telah membawa peti mati tubuh Kael perlahan menghilang dari Pelabuhan Bayangan, meninggalkan koordinat rahasia yang merujuk ke tujuh alam semesta paralel. Di sudut gelap Alam 1.3, patung Kael yang terbuat dari darah menangis, tetesan darahnya menyusun pesan mengerikan:
"Bab 11: Aku Akan Mengubur Kita Semua."
Seluruh multiverse seolah menyaksikan nasib yang telah tertulis dengan tinta penderitaan dan kutukan abadi. Setiap fragmen dari konflik—dari laboratorium rahasia di Alam 8 hingga ritual pengorbanan di Kuil Lupa di Alam 7, dari pertempuran psikis di Mindscape Galactic Cocoon hingga kebangkitan entitas purba—menjadi bagian dari mosaik epik yang menyulam kisah penderitaan, pengkhianatan, dan keabadian.
Dalam perjalanan panjang ini, konflik akan bergulir melalui arc besar yang mengungkap Proyek Echo dan kebangkitan The Devourer, eksplorasi tujuh alam semesta paralel untuk mengumpulkan fragmen jiwa Kael, pemberontakan Dinasti ke-7 yang penuh intrik, dan kembalinya Lysandra asli dalam wujud setengah hantu yang menyimpan rahasia terdalam. Setiap petualangan, setiap pertarungan, setiap pengorbanan akan menjadi benang yang menyusun cerita ini—sebuah narasi yang tak pernah berakhir.
Di ambang babak baru, di mana galaksi yang hancur bersatu dalam simfoni kehancuran dan kelahiran kembali, sebuah pratinjau muncul untuk bab selanjutnya. Dalam bab yang akan datang, berjudul "Kuburan Bintang-Bintang yang Membenciku," Kael akan memasuki Alam 1.3, padang pasir waktu yang sunyi, untuk mencari fragmen jiwa pertamanya. Di sana, The Devourer akan mengirimkan seratus klon Kael untuk menghadang, dan twist mengejutkan akan terungkap ketika setiap butir pasir di padang itu ternyata merupakan versi miniatur Selene yang terkutuk, sebuah metafora pahit tentang identitas yang terfragmentasi.
Di balik cakrawala multiverse, di mana setiap tindakan dan keputusan mengukir nasib dunia, setiap detak jantung yang berdetak di antara kehancuran dan harapan, tersimpan janji bahwa meskipun segalanya telah hancur, masih ada cahaya yang tersisa. Cahaya itu, yang akan menerangi jalan menuju keabadian dan penebusan, akan menjadi penentu apakah mereka akan terus terjebak dalam lingkaran penderitaan atau bangkit untuk menantang kutukan yang telah menghantui sepanjang zaman.
Di tengah segala penderitaan dan pengorbanan, Kael melangkah maju dengan tekad yang menguat, meskipun setiap langkahnya terasa seperti tarian dengan maut. Di sampingnya, Lysandra-Re, simbol dari penyesalan yang terwujud dan cinta yang hilang, menggenggam erat tangan sang arsitek, membawa mereka menembus kegelapan yang semakin pekat, menantang keputusasaan yang seolah telah menjadi hukum alam. Di balik setiap reruntuhan yang tersebar di galaksi, di antara setiap celah waktu yang pecah, nasib seluruh alam semesta bergantung pada satu keputusan: apakah mereka akan memilih untuk terus berjuang melawan arus kehancuran, atau menyerah pada bayang-bayang masa lalu yang tak terhapuskan.
Saat langit multiverse tersusun dari pecahan-pecahan bintang dan kekacauan yang tak terhitung, Kael menyadari bahwa setiap fragmen yang telah ia ciptakan adalah sebuah pesan, sebuah peringatan bagi generasi yang akan datang. Di balik patung darah yang menangis, di mana setiap tetesnya membentuk kata-kata penderitaan, tersembunyi janji akan masa depan yang penuh dengan perlawanan. "Aku akan mengubur kita semua," bisik pesan itu, bukan sebagai ancaman semata, melainkan sebagai panggilan untuk bangkit—sebuah peringatan bahwa di balik setiap kehancuran, ada kesempatan untuk memulai kembali.
Dengan setiap detak yang semakin menguat, setiap serpihan ingatan yang kembali tersusun, dan setiap bisikan yang menghantui ruang kosmik, Kael menatap ke depan dengan mata yang menyala oleh api balas dendam dan penebusan. Di hadapannya, galaksi yang hancur, klon-klon yang terus bermunculan, dan The Devourer yang kini berubah menjadi entitas yang menyerap jiwa-jiwa, semua menyatu dalam tarian kematian yang megah.
Di ambang waktu yang tak terhitung, di mana pertempuran antara versi-versi dirinya sendiri akan mencapai klimaks, Kael tahu bahwa perjalanan belum berakhir. Pengorbanan, konflik, dan pertarungan untuk mengumpulkan fragmen jiwanya akan terus bergulir, membuka jalan menuju babak baru—babak di mana kekuatan yang selama ini tersembunyi akan terpancar dalam kilauan yang memekakkan, dan di mana nasib seluruh multiverse akan dipertaruhkan dalam pertarungan yang tak terhindarkan.
Dan begitu, di balik cakrawala yang dijahit dari jiwa-jiwa yang hilang, di mana setiap fragmen memori adalah saksi bisu dari penderitaan dan kelahiran kembali, cerita ini terus terukir. Di setiap sudut, di setiap denyut waktu, terdapat harapan bahwa meskipun segalanya telah hancur, perjuangan untuk menemukan arti dan keabadian tidak akan pernah padam. Dengan tekad yang kian membaja dan luka yang tak terhapuskan, Kael dan mereka yang masih tersisa melangkah ke depan, menantang kutukan, menantang kehancuran, dan menulis ulang nasib alam semesta—selamanya.