Jika Anda Memakannya, Anda Akan Mati

"Dia adalah gadis tercantik yang pernah Anda tawar! Jika Anda melihatnya, Anda pasti akan setuju dengan saya."

Brenda Hardy berbicara dengan nada yang bercampur kecemasan sambil melirik jam di atas meja. Gadis desa asing itu harus pergi berjalan-jalan dengan santainya di saat yang begitu penting! Sang Viscountess sangat membenci Erna dalam banyak hal.

"Seharusnya begitu, Viscountess."

Tatapan tidak sabar Countess Meyer, yang sebelumnya terfokus pada taman kecil yang berantakan di luar jendela, kini beralih ke Brenda Hardy.

"Atau kalau tidak, Anda hanya membuang-buang waktu saya, saya sangat benci membuang waktu untuk hal-hal yang tidak berguna."

Bertolak belakang dengan suaranya yang lembut dan tenang, matanya yang menatap viscountess itu terasa begitu dingin. Menekan gemetar di perutnya, Brenda Hardy berusaha memaksakan senyum meyakinkan. Dia harus bersabar dan bersikap sopan, mengingat situasi yang sedang dihadapinya.

Countess Meyer adalah sosok terkenal dengan reputasi baik di pasar pernikahan kalangan sosialita Lechen. Terlahir sebagai putri dari seorang setengah-baron yang sederhana, dia berhasil naik pangkat menjadi seorang countess. Pernikahannya dengan keluarga kaya menjadi semacam jaminan bagi dirinya, serta bagi anak-anak perempuannya agar bisa menikah dengan pria dari keluarga yang memiliki reputasi baik. Putri sulungnya menjadi seorang countess, sementara putri keduanya menikah dengan seorang saudagar kaya. Bahkan, dia juga berhasil menemukan suami yang baik untuk para gadis yang berada dalam asuhannya. Dengan begitu, tersebarlah rumor tentang ketajamannya dalam memilih pasangan yang sesuai, hingga para wanita dari berbagai kalangan mulai mengantri untuk mendapatkan bantuannya.

Hampir seperti sebuah keajaiban bahwa sosok Victoria Meyer kini duduk di ruang tamu keluarga Hardy. Awalnya, dia telah mengumumkan bahwa dia tidak akan menerima chaperone (pendamping wanita muda dalam pergaulan) musim ini karena ingin menghabiskan musim panas bersama putri keduanya di luar negeri. Namun, rencana itu berantakan ketika putri keduanya memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang bersama suaminya. Setelah mengetahui perubahan rencana itu, Brenda Hardy memanfaatkan semua koneksi yang dimilikinya untuk mendapatkan janji temu dengan Countess Meyer sebelum keluarga lain merebut kesempatan tersebut.

Sang viscount ingin "menjual" putrinya yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan.

Ketika pertama kali mendengar hal ini, bahkan Brenda Hardy pun berpikir bahwa suaminya akhirnya kehilangan akal sehatnya! Namun, ternyata dia benar-benar serius dan bahkan mampu mengajukan alasan-alasan yang masuk akal untuk ambisinya itu. Bagi keluarga yang hampir terpuruk karena lilitan utang, menawarkan putri mereka di "pasar pernikahan" tidaklah dipandang terlalu buruk dalam lingkaran sosial mereka. Lagipula, bukan berarti mereka sedang melakukan pengkhianatan terhadap negara!

Sebenarnya, bukankah semua pernikahan di kalangan masyarakat hanyalah transaksi belaka pada akhirnya?

***

Tentu saja, mengungkapkan pemikiran terang-terangan tentang 'praktik bisnis' semacam ini secara terbuka dianggap sebagai tindakan rendahan, tetapi keluarga Hardy saat ini tidak berada dalam posisi untuk mempertimbangkan hal semacam itu. Lagipula, gadis bernama Erna itu pasti akan menjadi penjualan terbaik mereka!

Pada akhirnya, Brenda Hardy menerima usulan gila suaminya. Apa yang perlu ditolaknya? Dia berencana menyingkirkan gadis itu juga, jadi sekalian saja mendapatkan keuntungan!

Bisnis semacam ini seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat, jadi kemungkinan besar mereka akan mendapatkan pasangan yang menguntungkan sebelum akhir musim panas ini.

"Nyonya, Nona Erna sudah tiba."

Tepat ketika kerutan di dahi Countess Meyer semakin dalam, seorang pelayan mengumumkan kabar baik itu. Brenda Hardy langsung melompat dari tempat duduknya, hampir melupakan sikap anggunnya sebagai seorang wanita bangsawan.

"Cepat masuk, Erna! Kami sudah lama menunggumu!"

Saat Erna memasuki ruang tamu, ibu tiri menyambutnya dengan kehangatan yang hampir terasa tulus.

Countess Meyer yang baru saja meletakkan kipas tangannya di atas meja, juga menoleh untuk menatap Erna. Meskipun sudah diberi berbagai pakaian baru yang mereka belikan, gadis itu tetap saja mengenakan gaun sederhana ala pedesaan.

"Kemari! Sapa Countess Meyer dengan baik."

Brenda Hardy mendesaknya dengan suara cemas. Tiba-tiba harus berhadapan dengan orang asing, wajah Erna langsung menegang.

Lihat itu! Lihat sikap kampungannya!

Darah Brenda Hardy hampir mengering karena takut countess akan berdiri dan pergi kapan saja!

"Salam hormat, Countess Meyer. Nama saya Erna Hardy."

Setelah terdiam sejenak, Erna akhirnya melangkah maju dan menyapa countess dengan sopan, menggunakan suaranya yang lembut seperti biasa.

Tatapan Countess Meyer tajam bak bilah pedang, mengamati Erna dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan saksama.

"Bagaimana menurut Anda, Nyonya? Apakah Anda menyukainya?"

Brenda Hardy, yang tak tahan dengan keheningan, buru-buru bertanya.

"Sepertinya Anda tidak berbohong."

Countess Meyer mengangguk dengan ekspresi aneh di wajahnya. Dengan gerakan anggun, dia perlahan berdiri dan berjalan menuju Erna.

"Senang bertemu denganmu, Nona Hardy. Mari kita lihat bagaimana hasilnya untuk kita semua!"

Sang countess mengulurkan tangan bersarungnya ke arah Erna untuk berjabat tangan.

"Saya Victoria Meyer. Saya akan bertanggung jawab sebagai pendamping Anda, Nona Hardy."

***

Saat suara gunting yang memotong kain berhenti, kamar tidur kembali sunyi.

Erna yang tengah membungkuk di mejanya dan sibuk menggerakkan tangannya, menghela napas panjang sebelum duduk tegak kembali. Dalam matanya yang lelah, yang kini menatap bunga peony yang telah selesai dibuat, berkilauan cahaya kebahagiaan dan kepuasan yang luar biasa.

Fokuslah pada pekerjaan saat kepalamu dipenuhi pikiran yang kacau.

Itu adalah kebiasaan lama Erna. Dulu, dia sering membantu Nyonya Greve membuat dan menjual bunga tiruan. Pekerjaan itu cukup berguna untuk mendapatkan sedikit penghasilan.

Selain itu, menggenggam gunting dan mengerjakan sesuatu saat pikirannya dipenuhi stres selalu membantu Erna untuk merasa lebih tenang.

Sungguh lucu bahwa dia membawa kebiasaannya ini hingga ke tempat barunya. Tapi bagi Erna, hal-hal seperti ini sudah menjadi bagian dari dirinya.

Setelah merapikan sisa kain dan peralatan, Erna pergi ke kamar mandi dan mencuci tangannya dengan bersih. Tangan kecilnya yang tadinya penuh bekas noda, segera kembali halus dan lembut seperti semula.

Sepertinya musim panas ini tidak akan berjalan dengan mulus.

Begitulah pikirnya saat menatap kosong pantulan dirinya di cermin kuningan yang indah.

Sudah sepuluh hari sejak dia pindah ke rumah keluarga Hardy. Setiap harinya terasa berjalan begitu lambat—hampir menyakitkan.

Sejak tiba di Schwerin, Erna menghabiskan sebagian besar waktunya bersama sang viscount. Lebih tepatnya, dia diseret ke sana kemari.

Dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menolak saat diangkut masuk dan keluar dari berbagai toko berwarna-warni, membeli setumpuk barang. Semua hanya tentang mencoba, melepas, dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Tepatnya, dia diperlakukan seperti boneka di tangan seorang anak kecil.

"Nona!"

Seorang pelayan yang melihat Erna keluar dari pintu kamar mandi berseru dengan gembira.

"Saya tadi bertanya-tanya ke mana Anda pergi!"

"Maaf jika aku membuatmu khawatir!"

"Tidak apa-apa, Nona Erna! Anda tidak perlu meminta maaf!"

Merasa canggung, Lisa buru-buru melambaikan tangannya.

Erna tersenyum kecil melihat antusiasmenya, lalu perlahan berjalan mendekati meja tempat teh sore telah disajikan. Lisa, setelah ragu sejenak, ikut mendekat ke arahnya.

"Lain kali, bawakan juga cangkir teh untukmu."

Empat hari yang lalu, saat waktu minum teh, Erna mengucapkan hal itu dengan santai kepada Lisa. Lisa, yang tidak langsung memahami maksudnya, tampak terlonjak kaget.

"Tidak, tidak! Saya tidak bisa melakukan itu, Nona! Dan Anda juga tidak boleh mengatakannya! Anda bisa mendapat masalah!"

"Kenapa? Aku biasa minum teh sore bersama Nyonya Greve di rumah."

Erna hanya memiringkan kepalanya dengan ekspresi kosong.

"Siapa Nyonya Greve?" Lisa menurunkan suaranya dan bertanya dengan gugup.

"Dia pengurus rumah di rumah kami di Baden."

Tanpa sadar, Erna juga menurunkan suaranya dan menjawab dengan tenang.

Sejak percakapan itu, waktu minum teh rahasia antara sang nona dan pelayannya pun dimulai, berlangsung dengan damai selama beberapa hari terakhir.

Dia memang gadis yang agak aneh!

Lisa sedikit setuju dengan bisikan para pelayan Hardy.

Putri baru keluarga Hardy ini, yang tiba-tiba muncul begitu saja, sama sekali tidak memiliki aura seorang wanita bangsawan. Dari penampilan hingga sikapnya, dia jauh dari gambaran anggun yang biasanya dimiliki para wanita dari kalangan aristokrat di sini.

Namun, anggapan bahwa dia sombong atau aneh sama sekali tidak masuk akal. Erna selalu berusaha untuk tidak menarik perhatian dan jarang berbicara. Sekilas, wajahnya mungkin memberikan kesan kekanakan. Tetapi, siapa pun yang mengenalnya lebih dalam akan mengatakan bahwa dia adalah gadis yang murah hati dan memiliki kepribadian yang menyenangkan.

"Wah! Apa ini buatan Anda?"

Mata Lisa membesar saat melihat bunga yang tergeletak di atas meja. Erna sedikit merona dan mengangguk malu-malu. Bayangan bulu matanya yang panjang, yang bergetar lembut setiap kali dia berkedip, tampak seperti kepakan sayap kupu-kupu.

"Sungguh cantik! Anda benar-benar berbakat, Nona Erna. Saya bahkan akan percaya jika seseorang mengatakan ini adalah bunga sungguhan!"

Lisa benar-benar terkesan. Saat menoleh kembali ke wajah Erna yang berseri-seri karena pujian tulusnya, Lisa terdiam sejenak. Namun, perasaan itu segera digantikan oleh kesedihan saat memikirkan masa depan gadis polos ini.

Keluarga yang keji! Kalian kehilangan segalanya karena keserakahan kalian! Sekarang kalian mencoba menjual putri kalian sendiri demi melunasi utang!

Ketika Viscount Hardy tiba-tiba ingin membawa kembali putri dari mantan istrinya ke rumah ini, para pelayan sering kali membisikkan tuduhan semacam itu.

"Jelas mereka akan menjual gadis itu dengan harga yang cukup tinggi, tapi siapa kita untuk menghakimi? Tidak peduli apa pun yang mereka jual demi uang, bukankah itu baik bagi kita semua jika keluarga ini tetap bertahan?" kata mereka.

Kini Lisa seakan bisa memahami beban di balik kata-kata itu.

Apakah nona tahu tentang semua ini?

Pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benaknya membuat Lisa gelisah. Saat itulah Erna, entah sejak kapan sudah berada di sisinya, tiba-tiba menyodorkan bunga peony yang tadi dibuatnya.

"Nona Erna! Anda memberikan bunga ini pada saya?"

Lisa bertanya dengan tidak percaya, dan Erna mengangguk pelan.

"Tidak, Nona!.. Saya..," ia berusaha bicara, tapi kata-katanya berantakan. "Maksud saya, saya tentu saja tidak menolak! Saya hanya terkejut....!"

Melihat wajah Lisa yang kebingungan, Erna tersenyum tenang.

"Aku memberikannya sebagai hadiah. Bunga ini akan terlihat cantik di topimu. Bisa juga dipakai sebagai bros."

Erna menyelipkan peony yang baru dibuat itu ke tangan Lisa.

Lisa yang tidak tega menolak ketulusan gadis polos ini, akhirnya menerima hadiah itu dengan penuh suka cita. Erna tersenyum lega. Senyumnya yang manis menyerupai bunga cantik yang ia buat.

"Bagaimana jika kita berjalan-jalan? Schwerin pasti masih terasa asing bagi Anda. Sebagai balasan atas hadiah Anda, saya akan menunjukkan tempat-tempat favorit saya."

Lisa langsung melompat dari kursinya dengan penuh semangat. Erna menatapnya dengan mata terkejut, bercampur sedikit ketegangan.

"Bagaimana jika aku malah merepotkanmu?"

"Tidak akan! Sudah menjadi tugask saya untuk merawat Anda dengan baik, Nona."

Sambil tersenyum cerah, Lisa dengan cepat mengambilkan payung dan topi Erna.

"Ikuti saya, Nona!"

***

Schwerin adalah kota terbesar kedua setelah ibu kota.

Keluarga bangsawan biasanya memiliki rumah mewah di bagian selatan kota. Kerajaan Schwerin, kediaman musim panas keluarga kerajaan, juga terletak di sana.

Dari deretan toko-toko kelas atas dan hotel-hotel mewah hingga gedung teater yang megah, Schwerin adalah kota yang sibuk, memancarkan kemewahan khas kota resor tempat para bangsawan terkenal kerajaan datang untuk menikmati musim panas.

Lebih jauh ke utara, terdapat pelabuhan besar yang terhubung langsung ke lautan luas. Schwerin memang merupakan kota dengan perkembangan perdagangan dan keuangan yang pesat sejak zaman dahulu.

Erna mendengarkan celotehan Lisa sambil berjalan dengan langkah lambat. Ia sudah memiliki sedikit pengetahuan tentang kota ini dari buku-buku yang pernah dibacanya. Namun, sekarang ketika ia melihat semuanya langsung di depan matanya yang penuh rasa ingin tahu, segalanya terasa baru.

"Lihat, Nona! Hotel itu sangat terkenal di Schwerin. Itu yang terbaik!"

Lisa menarik perhatian Erna dan menunjuk ke sebuah hotel yang terletak di persimpangan tiga jalan utama. Hotel itu memang terlihat elegan di mata Erna. Dipenuhi dengan dekorasi bunga yang rumit, namun tetap mempertahankan kesan antiknya.

"Restoran dan ruang teh di sana sangat populer di kalangan para wanita. Bagaimana menurut Anda, Nona?" tanya Lisa dengan cepat.

Namun, sebelum Erna sempat mengalihkan pandangan dari hotel dan menjawab, seorang pria tinggi berpenampilan rapi menarik perhatiannya.

Pria yang baru saja keluar dari pintu hotel itu berjalan dengan langkah panjang. Di sampingnya, seorang wanita tampak berusaha mengatakan sesuatu, tetapi pria itu tidak berhenti dan terus berjalan.

Di belakang mereka, sekumpulan orang mengikuti dari kejauhan, seolah ingin mengawasi tanpa terlihat mencolok. Dengan perhatian sebesar itu dari para penonton di sekitar, pria itu tampaknya adalah sosok yang cukup terkenal bagi Erna.

"Oh tidak, Nona!"

Erna hampir merasa pusing karena tiba-tiba Lisa mencengkeram lengannya erat. Ia pun memalingkan pandangannya dari pria tadi dan menoleh ke Lisa.

"Ya, Nona Erna. Dia memang sangat tampan! Say mengerti perasaan itu. Tapi Anda tidak boleh... Anda tidak bisa...!" Lisa berusaha mengatakan semuanya dengan cemas, tetapi lidahnya terasa kelu.

Erna kebingungan dengan ocehan Lisa yang tidak masuk akal dan kembali menatap pria berambut pirang itu dengan rasa ingin tahu. Namun, kereta yang membawanya bersama wanita tadi segera menghilang di tikungan jalan.

"Karena itu tidak akan pernah terjadi! Dan itu adalah hal yang sangat melegakan!"

Lisa menarik napas dalam-dalam dan berdiri di depan Erna, tetapi Erna masih tidak mengerti apa-apa.

"Apa yang sedang kau bicarakan, Lisa? Siapa orang itu?"

"Itu... Anda tidak perlu tahu! Jangan tanya."

"Apakah dia memiliki reputasi buruk?"

"Ugh, jangan ditanya lagi! Bukan itu intinya. Dengarkan saya, Nona!"

Lisa menggeleng kuat dan menggenggam lengan Erna dengan kedua tangannya.

"Ingat ini baik-baik, Nona. Jangan dia! Jangan pernah!"

"Apa? Kenapa?"

"....dia itu jamur beracun!"

Lisa mengatupkan giginya, matanya menatap tajam. Meski kata-katanya terdengar konyol dan tidak masuk akal bagi Erna, wajahnya menunjukkan ekspresi yang sangat serius.

"Ingat kata-kata saya, Nona. Pria itu adalah jamur beracun. Jika Anda memakannya, Anda akan mati!"