Arena Dimensi dan Harga dari Keputusan
Langit Jakarath tampak berbeda pagi itu. Bukan karena warnanya, tapi karena sesuatu yang tidak terlihat—tekanan. Sebuah aura berat menyelimuti udara, seolah dunia sedang menahan napas.
Ryuta berdiri bersama Lucas, Reina, dan Akira di tengah lapangan batu hitam yang melingkar. Di sekeliling mereka berdiri pilar-pilar raksasa yang memancarkan cahaya biru redup, seperti denyut jantung dari dimensi lain. Ini adalah lokasi uji perwakilan antar dunia—Arena Dimensi.
Dari kejauhan, Alicia ar Rexya mendekat. Sosoknya tenang, dengan rambut keperakan yang jatuh lurus ke punggung, dan mata tajam berwarna merah tua. Ia tidak berkata apa pun, hanya memberi anggukan dingin pada Ryuta saat mereka berpapasan.
Lucas berbisik, “Dia dari keluarga Rexya… bangsawan kuno. Dengar-dengar, dia udah menaklukkan dua dungeon sendirian.”
Ryuta hanya menatapnya singkat. Ia belum bisa membaca maksud di balik tatapan Alicia, tapi satu hal yang pasti—dia bukan sekadar peserta biasa.
Dari tengah arena, muncul kilatan cahaya ungu pekat. Sosok tinggi berwujud kabut padat berdiri, mengenakan jubah dengan lambang lima mata di dadanya. Suara datarnya bergema di pikiran semua peserta.
"Selamat datang di Seleksi Perwakilan Bumi. Hari ini, kalian akan menghadapi ujian sejati. Bukan hanya kekuatan… tapi keputusan."
Semua peserta—lebih dari 70 orang—langsung diam. Tidak ada arena, tidak ada penjelasan.
Tiba-tiba, lantai di bawah kaki mereka terbelah, dan satu per satu mereka terjatuh ke dalam bayangan.
---
…
Ryuta terbangun di sebuah ruangan gelap yang tampak seperti versi mati dari rumah masa kecilnya. Di luar jendela, tidak ada dunia. Hanya kehampaan.
“Ujian ini… bukan fisik?” bisiknya.
Suara muncul dalam pikirannya. "Ujian ini adalah tentang pilihan. Satu keputusan bisa mengubah segalanya. Kamu akan diberi tiga kesempatan. Salah satunya bisa menyelamatkanmu. Dua lainnya… mungkin tidak."
Tiga pintu muncul di depannya. Satu berwarna merah darah, satu biru gelap, satu putih samar. Di masing-masing tertulis kata:
Pengorbanan
Ambisi
Kebenaran
Ryuta terdiam lama.
"Ini bukan hanya pilihan biasa… ini jebakan berpola psikologis," gumamnya. Dia menatap setiap pintu, menilai struktur, simbol di atasnya, dan arah energi yang memancar samar. Ia berpikir cepat.
"Kalau ini permainan para Penguasa… maka mereka sedang menguji prioritas."
Dia membuka pintu Ambisi.
Seketika, ia dilempar ke medan pertempuran ilusi. Di depannya, Lucas terluka parah, Reina menjerit, dan monster bayangan mendekat dengan mulut ternganga.
Sebuah suara kembali bergema:
"Kau hanya bisa menyelamatkan satu. Sisanya akan mati."
Ryuta menatap mereka, lalu melihat ke arah monster. Matanya tajam, tenang, analitis.
"Ini… hanya simulasi. Tapi keputusan itu nyata bagiku," katanya. Ia berjalan ke arah Reina dan menariknya, sambil membiarkan monster mendekati Lucas.
Jeritannya terdengar nyata. Reina terkejut.
“Ryuta! Kenapa—!?”
“Karena aku tahu ini bukan dunia nyata,” katanya tegas, “Dan kalaupun ini nyata… aku memilih orang yang lebih berguna dalam jangka panjang.”
Semua lenyap. Ryuta berdiri lagi di arena nyata. Nafasnya berat, tapi langkahnya mantap.
Dari jauh, Alicia ar Rexya menatapnya, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Entah senyum kekaguman atau kewaspadaan.
Lucas dan Reina muncul tak jauh darinya—mereka juga lulus. Ryuta menatap Lucas sebentar… pria itu masih belum sadar keputusan apa yang ia buat di dalam ilusi.
"Jangan tanya," gumam Ryuta pelan.
---
Sosok berjubah kembali berdiri di tengah arena.
"Dari 70 peserta, hanya 27 yang lulus. Kalian sekarang adalah calon perwakilan dunia."
Ryuta menggenggam jemarinya.
“Ini baru permulaan. Dan jika keputusan sesulit itu sudah muncul sekarang… berarti yang berikutnya akan lebih kejam.”
Ia menatap langit, dan untuk pertama kalinya merasa seolah… dirinya sedang diamati oleh sesuatu yang lebih besar dari hidup.